Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Kamis, 29 Agustus 2013

Di Bandara Juanda Pagi Ini

Saya mencium tangan mas Ayik, mengucap salam, keluar dari mobil, dan mengambil tas koper oranye saya di jok tengah. Melambai, dan melangkah menjauh ke arah pintu masuk.

Pagi ini, pukul 07.40, saya akan bertolak ke Jakarta menumpang Garuda. Sore nanti, pukul 16.00, ada rapat koordinasi dengan para kepala dinas pendidikan di Provinsi Papua dan Papua Barat, untuk persiapan penyelenggaraan SM-3T. Sebenarnya, jam segini, masih terlalu pagi untuk menghadiri rapat sore nanti. Tapi inilah jadwal penerbangan satu-satunya yang saya bisa dapatkan. Penerbangan setelahnya, full-booked sampai sore. Saya memang baru kemarin sore minta mas Nardi, petugas tiket kami, untuk membelikan tiket ke Jakarta. Sampai tadi malam mas Nardi masih berusahan untuk mendapatkan tiket yang lebih siang, tapi tidak berhasil.

Menjelang masuk ke bandara, mata saya tertumbuk pada pemandangan yang cukup menyentuh. Seorang suami, mencium istrinya dengan penuh perasaan. Perempuan itu lantas melambai menjauh dari suaminya menuju pintu masuk, menangis, mengusap air matanya. Tentu saja saya hanya melihatnya sambil lalu, dan tidak bermaksud untuk ikut larut dalam keharuan mereka.  

Namun, lagi-lagi, persis di depan pintu masuk, saya melihat pemandangan serupa. Seorang suami sedang memeluk dan mencium pipi istrinya. Yang membuat saya seperti ikut larut, adalah betapa jelas wajah penuh kekhawatiran sang suami. 

Saya berjalan di belakang perempuan itu saat masuk di ruang pemeriksaan. Rambutnya sudah dihiasi helaian-helaian putih. Suaminya, berdiri di pagar pembatas, terus mengikuti langkahnya. Saya menikmati pemandangan itu. Di usia mereka yang sudah tidak lagi muda, mereka terlihat begitu romantis. Begitu saling mengkhawatirkan, begitu berat untuk berpisah. Saya berbahagia untuk mereka, sehingga tanpa saya sadari, saya tersenyum sendiri.

Begitu mencapai ruang dalam, saya langsung menuju ke arah tangga/lift, ke arah ruang tunggu. Tidak perlu check in. Mas Nardi sudah melakukannya. 

Namun, lagi-lagi, mata saya tertumbuk pada pemandangan menarik. Seorang bocah perempuan, usianya saya perkirakan dua tahunan, berdiri persis di depan lift. Sepertinya dia siap naik ke atas. Bocah itu bergitu lucu, wajahnya bulat, baju merah membungkus tubuh mungilnya yang gempal. Sontak saya berjongkok di depannya. Tersenyum semanis mungkin, menyentuh pipi gembulnya.

"Mama mana?"
Dia menatap saya. Nggak ada takut-takutnya. Tapi bibir dia terkunci rapat. Lantas matanya beralih ke lift itu lagi. Rupanya senyum saya tidak lebih menarik dari lift itu.

"Mana mama, sayang? Atau papa?" Tanya saya lagi. "Atau...adik di sini sama siapa ya....?" Saya melihat-lihat ke sekeliling. Celingukan. Kebetulan bandara memang tidak terlalu ramai. Saya mencoba memancing bocah itu untuk juga melihat-lihat sekeliling, barangkali dia kemudian melihat mamanya, atau papanya, atau siapa pun  yang bersama dia.

Tapi, lagi-lagi, lift itu lebih menarik. Kakinya tidak beranjak secenti meter pun dari tempatnya berdiri. Bahkan senyum paling manis yang kulempar ke arahnya pun, tak dipedulikan.

Lantas datang seorang petugas. Rupanya dia melihat gerak-gerik saya. Saya masih menanyai anak itu tentang siapa mamanya, ketika petugas itu tiba di depan kami.

"Ibu bukan mamanya?" Tanyanya. Saya menggeleng. "Bukan".

"O ya?" Diraihnya anak kecil itu. "Ayo, dik. Sini, dik...." Anak itu terpaksa menurut. "Terima kasih, bu." Kata petugas itu.

Saya mengangguk, menaiki lift, dan melihatnya pergi dengan menggandeng gadis kecil lucu itu, mendekati kerumunan barisan orang-orang yang lagi check in. Saya tersenyum sendiri. Coba menculik itu tidak berdosa, anak kecil itu pasti sudah kubawa serta dari tadi....


Bandara Juanda, 29 Agustus 2013

LN

Selasa, 27 Agustus 2013

Banda Aceh (3): Selendang dan Tas Khas Aceh

Luar biasa orang-orang ini. Sudah rajin, cantik, ramah, dermawan lagi. Haha.

Setelah setengah hari bersama mereka, saatnya untuk penutupan. Seorang peserta, guru SMK, namanya bu Herti, mewakili kesan-pesan selama pelatihan. Semua yang disampaikannya bagus, dia katakan apa yang diperoleh sejak kemarin, benar-benar hal baru. Benar-benar bermanfaat untuk acuan pengembangan kurikulum dan perangkat pembelajaran. Selama ini, mereka belum pernah menerima materi itu. Hanya sayangnya, menurut Bu Herti, waktunya terlalu singkat. Dan, ini yang terpenting, setelah mengikuti pelatihan sejak kemarin, semakin dirasakan betapa masih begitu banyaknya hal-hal yang belum dipahami. Sebuah kesadaran yang membangkitkan motivasi untuk terus belajar dan belajar.
Saat ini juga, saya mendapatkan hadiah sebuah selendang dengan bordir khas Aceh. Ibu Aminah, dosen paling senior, memasangkannya di kepala saya. Saya senang sekali. Beliau berbisik di telinga saya, 'sudah seperti orang Aceh...'. Saya tertawa lepas, dan terkejut lagi karena ternyata masih ada hadiah lain. Sebuah tas besar, maunya untuk isi oleh-oleh mungkin, tas khas Aceh juga. Wow, keren.....

Siang yang terik, dan kami berkendara menuju pusat oleh-oleh khas Aceh, yaitu arah ke Lhoknga, kemudian ke arah Aceh Besar. Di kejauhan, nampak Gunung Lhoknga, tempat ketinggian yang menjadi tumpuan para pengungsi saat tsunami dulu. Ke sanalah ribuan orang yang sedang dilanda kepanikan luar biasa itu terbirit-birit untuk menyelamatkan diri dari terjangan tsunami. 

Kami berkonvoi, empat mobil. Ya, empat mobil itu semua dikemudikan oleh para perempuan cantik, berbusana muslimah cantik,  dan, insyaallah, berakhlak cantik juga. Saya kali ini duduk di sebelah ibu Aya yang memegang kemudi, ditemani bu Fitri dan bu Kartini yang duduk di jok tengah. Di tiga mobil yang lain, adalah ibu Asmah beserta rombongan, ibu Suryati beserta rombongan, dan ibu...(Haduh, lupa..) beserta rombongannya juga.
 
Di sepanjang perjalanan, bu Kartini, bu Fitri dan bu Aya, bahu-membahu menjadi pemandu untuk saya. Kami melewati Masjid yang kubahnya berbentuk seperti kupiyah meuketuk, sebutan untuk kopiah yang digunakan saat perang oleh Teuku Umar. Sekarang, bentuk kopiah seperti itu digunakan sebagai kopiah pengantin pria Aceh.

Kami juga melewati Taman Ratu Safiatudin, sebuah taman yang di dalamnya menghampar berbagai rumah adat etnik Aceh. Ratu yang merupakan putri Sultan Iskandar Muda ini pernah memerintah kerajaan Aceh pada waktu itu, selama 35 tahun. Dia membentuk barisan perempuan yang ikut berperang melawan penjajah pada saat perang Malaka. Sri Ratu yang cerdas dan cakap ini konon suka menulis sajak dan cerita. Maka tidak heran pada masanya, hukum, pemerintahan dan sastra, berkembang dengan sangat baik. Ratu Safiatudin dianggap sebagai lambang kemegahan perempuan Aceh.

Sultan Iskandar Muda sendiri merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Aceh mencapai kejayaannya pada waktu itu, di mana daerah kekuasannya semakin besar dan memiliki reputasi internasional sebagai pusat perdagangan dan pendidikan Islam.

Sebagai wilayah yang menerapkan syariat Islam, Aceh dipenuhi dengan simbol-simbol Islami. Banyak bangunan kantor yang  berkubah. Jembatan juga berkubah. Bagus. Namun sayang, kata teman-teman saya ini, ornamen-ornamen itu cenderung menenggelamkan hasil-hasil kerajinan Aceh sendiri, misalnya ukiran, lukisan, kain-kain dan lain-lain khas Aceh.

Siang ini, selain untuk membeli oleh-oleh khas Aceh, kami juga akan menyempatkan diri mengunjungi Unsyiah. Ya, tentu saja saya tidak akan membuang kesempatan untuk sekaligus melakukan semacam studi banding kilat ke jurusan PKK Unsyiah. Prodi yang bernaung di bawah FKIP itu (bukan FT sebagaimana di universitas eks-IKIP), sudah sangat akrab dengan PKK FT Unesa. Waktu yang tidak banyak ini musti harus digunakan sedemikian rupa supaya semua dapat. Oleh-oleh dapat, kunjungan ke Unsyiah dapat.

Untuk mencapai Unsyiah, kami melewati Tugu Pena, tugu yang  melambangkan kawasan pelajar/mahasiswa. Di kawasan Darussalam itu, setidaknya ada dua kampus besar, yaitu Usyiah dan IAIN.

Tugu Syah Kuala, berada di dalam kawasan Unsyiah, merupakan tugu untuk menandai berdirinya Unsyiah. Ada juga Gedung Dayan Dawood, sebuah nama yang dimaksudkan untuk mengabadikan salah satu mantan Rektor Unsyiah yang wafat karena penembakan.  Beliau, merupakan salah satu calon kuat Gubernur Aceh, menjadi korban penembakan pada masa konflik tahun 2001, saat Aceh masih menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). Konon, penembaknya adalah dari kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dayan Dawood dibunuh antara lain dengan alasan karena beliau tidak mau membantu perjuangan GAM. 

Alhamdulilah, menjelang pukul 14.30, konvoi sudah memasuki halaman Bandara Sultan Iskandar Muda. Tepat waktu. Garuda akan membawa saya pada 15.25. Meski tiket sudah di-check in-kan, tapi saya musti membagasikan oleh-oleh. Oleh-oleh itu, termasuk kopi Aceh. Pesanan khusus ibu mertua. Harus saya penuhi, atau anak laki-lakinya akan diminta lagi...haha.

Kami berpelukan di ujung pintu masuk. Serombongan perempuan cantik itu mengucapkan selamat jalan dan doa untuk kelancaran perjalanan saya ke Surabaya. Juga harapan semoga bisa bertemu lagi pada kesempatan lain, dengan waktu yang lebih leluasa. Semoga.....

Banda Aceh, 27 Agustus 2013

Wassalam,
LN

Senin, 26 Agustus 2013

Banda Aceh (2): Luka Duka Tsunami

Sore yang cerah. Ya, meski sudah pukul 17.30, Banda Aceh masih terang benderang. Matahari nampaknya bahkan masih memerlukan lebih dari satu jam untuk benar-benar tenggelam di peraduannya. 

Kami mengakhiri workshop sore ini. Setelah kelompok tata busana tampil dengan hasil diskusi perangkat pembelajarannya, presentasi akan dilanjutkan besok, mulai pukul 08.00, oleh kelompok tata boga. Selain karena waktu sudah sore, listrik juga tiba-tiba mati, pet. Menurut ibu Asmah, listrik tiba-tiba mati seperti itu sudah biasa terjadi di Banda Aceh. Tapi bukan hanya karena listrik mati, sore ini, saya akan dibawa jalan-jalan menikmati Banda Aceh oleh ibu-ibu cantik ini. Memanfaatkan sedikit waktu sebelum malam jatuh.

Kami berkendara dengan dua mobil. Saya sempat terkejut. Ibu Asmah menyetirnya sendiri. Juga bu Yuli, di mobil yang satunya. Bukan apa-apa. Ibu Asmah sudah cukup senior, dan ini beliau yang akan membawa saya dan teman-teman jalan-jalan. 

Di Surabaya, saya pun biasa membawa mobil sendiri. Tapi kalau untuk membawa tamu jalan-jalan, saya suka meminta driver atau teman untuk menyetirnya. Sekedar untuk menghemat energi. Dengan kondisi Surabaya dan sekitarnya yang rawan macet, dan adanya kemungkinan salah jalan karena saya seringkali tidak hafal jalan, maka membawa driver akan memastikan perjalanan jauh lebih nyaman. Bahkan belakangan ini, saya nyaris tidak pernah membawa mobil sendiri. Aktivitas yang begitu padat, bertarung dengan kemacetan di jalan bisa memicu stres. Maka ke mana-mana saya lebih senang meminta Anang, driver PPPG, untuk mengantar saya.

Kami keluar dari halaman SMK 3 Banda Aceh. Mungkin kami tidak akan singgah di banyak tempat, karena waktu kami memang tidak terlalu leluasa. Saya duduk di sebelah ibu Asmah, yang begitu anggun memegang setir (perempuan Aceh, bahkan saat menyetir mobil pun, terihat begitu anggun). Ibu Kartini dan ibu...(Aduh, saya lupa namanya), duduk di jok tengah. Bu Yuli, bu Zahara, dan ibu....(siapa ya, lupa lagi namanya), ada di mobil yang lain.

Obyek wisata yang pertama kali kami lihat adalah Museum Tsunani. Sebuah bangunan yang bentuknya mirip kapal besar sekali. Di dalam bangunan itulah tersimpan dan terekam berbagai hal terkait dengan musibah tsunami yang telah memporakporandakan Aceh pada akhir tahun 2004. Meluluhlantakkan segalanya menjadi puing-puing dalam waktu sekejap. Tak kurang 250 ribu orang menjadi korban. 

Duka itu begitu saja menggelayut di wajah ibu Asmah. "Ibu, kita tidak usah mampir ke museum ya...." Bu Asmah menghela nafas. Panjang dan berat. Lantas bibirnya mengucap Nama Allah. Suaranya bergetar. Saya langsung saja menjawab, "Baik, ibu, tidak masalah. Monggo, saya ikut saja apa kata driver..." Saya tertawa menggoda beliau.

"Ibu Asmah kehilangan banyak keluarga saat tsunami itu, bu Luthfi...." Jelas ibu Kartini. "Ada berapa, bu Asmah?" 

Bu Asmah menghela nafas berat lagi. Saya yang di sebelahnya, tiba-tiba merasakan dada saya sesak. "Ya...kalau diurut dari keluarga nenek, ada sekitar dua ratusan...". Jawab beliau, dengan suara sedih. "Sampai saat ini pun....saya tidak ingin memasuki museum itu...".

Tenggorokan saya terasa sakit. Tsunami telah menyisakan duka berkepanjangan bagi orang-orang yang telah menyaksikan dan kehilangan keluarganya. Betapa pun mereka menyadari semua kita adalah milik Allah dan betapa kita akan kembali kepada-Nya, namun bayangan kengerian itu ternyata masih lekat dalam ingatan mereka. Saya akhirnya harus memahami, mengapa justeru orang-orang Banda Aceh, seperti bu Asmah dan kawan-kawan yang lain, tidak ingin melihat seperti apa bagian dalam Musium Tsunami itu. Melihatnya, hanya akan membangkitkan luka duka dan kesedihan yang bertahun-tahun telah berusaha ditimbunnya dalam-dalam.

Ibu Kartini, meski beliau sekeluarga selamat, rumahnya terbakar, karena ada kapal terbakar yang menabrak rumahnya. Tapi ada sejumlah kerabatnya yang menjadi korban. Begitu juga ibu Suryati. Ibunya, ya, ibu kandungnya, dan beberapa saudaranya menjadi korban, meski beliau baru beberapa menit bertelepon setelah terjadi gempa. Ya, begitu cepat semuanya terjadi. Hanya dalam waktu sekitar lima menit, ketika air itu tiba-tiba datang dari bibir pantai, menyapu semuanya, termasuk membawa sanak keluarga mereka yang telah menjadi mayat.

Kami meneruskan perjalanan dengan keheningan yang tiba-tiba menyelimuti. Saya sendiri berdoa dalam hati, semoga semua korban tsunami diberikan tempat yang layak di sisi-Nya, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan tambahan kekuatan lahir dan batin. 

Kami akhirnya sampai di Kapal Apung. Meski sebenarnya obyek wisata itu sudah tutup, tapi petugasnya berbaik hati untuk menyilakan kami, begitu tahu kami (maksudnya saya) dari Surabaya. Bahkan dia mengantar kami ke banyak sudut kapal besi yang besar itu, menceritakan peristiwa yang mengikutinya. Juga menyediakan diri untuk menjadi fotografer supaya kami bisa narsis. Hehe....

Kapal itu, sesuai nama yang tertera di badannya, adalah PLTD Apung I. Tulisan di tugu yang ada di bagian depan halaman obyek wisata itu, berbunyi: 'PLTD Apung I adalah pembangkit listrik tenaga diesel lepas pantai dengan bobot 2600 ton yang didorong sejauh 5 km ke daratan oleh kedasyatan tsunami. Sekarang berlokasi di Gampong Punge Blang Cut, Kota Banda Aceh'. Di bagian sisi yang lain, tulisan bermakna yang sama, namun dalam Bahasa Inggris. 

Kemudian di tugu prasasti, di dekatnya, tercatat nama-nama korban. Ditulis memenuhi kelima sisi prasati. Tulisan itu meliputi: Dusun Krueng Doy 68 jiwa; Dusun Lampoh Lubhok 276 jiwa; Dusun Tuan Dikandang 350 jiwa; Dusun Tuan Dipakeh 212 jiwa; Dusun Tuan Balik Ayei 171 jiwa. Di bawah masing-masing tulisan itu, dicantumkan nama para korban dan usianya. 

Kapal besi yang besar itu adalah kapal pembangkit listrik yang awalnya berada di tengah laut. Tsunami telah menyeretnya sampai sejauh sekitar lima kilometer, menggerus rumah, manusia, dan apa saja uang dilaluinya. Dan dia baru berhenti, di tempat ini, ketika air mulai surut. Allahu Akbar. Saya bergidik membayangkannya. Tidak mungkin kapal itu akan berada di tempat ini tanpa ada campur tangan kekuatan dari Yang Maha Perkasa. Kapal sebesar itu... Dibuat dari besi lagi... Terapung-apung dari laut. Betapa dahsyatnya tsunami itu...

Bu Asmah juga membawa kami melewati makam Sultan Iskandar Muda, tempat mandi istri Sultan Iskandar Muda, juga tempat bermainnya. Lapangan Blang Padang yang di situ bertengger pesawat Seulawah, kapal bantuan rakyat Aceh kepada RI. Beliau dan teman-teman yang lain adalah pemandu yang andal. Hampir semua detil diceritakannya terkait dengan situs-situs itu.

Kami akhirnya sampai di sini. Di Pantai Olee Leu. Pantai yang berada di ujung barat Pulau Sumatra. Di ujung sana, adalah Masjid Baiturrahim, masjid yang tetap berdiri kokoh meski semua yang ada di sekitarnya porak-poranda saat tsunami dulu. Di seberang sana, adalah Pulau Sabang. Sebenarnya hanya memerlukan waktu sekitar 45 menit dengan kapal cepat untuk mencapainya. Di sana banyak obyek yang menarik. Namun saat ini tidaklah memungkinkan. Disimpan untuk kunjungan yang akan datang. Insyaallah....

Senja telah benar-benar jatuh. Kami duduk di pinggir pantai, menikmati matahari jingga, yang sinarnya memantul di permukaan laut. Membiaskan warna-warna merah dan kelabu yang berpadu. Menyajikan pantai Olee Leu ibarat lukisan yang luar biasa indah. Ditemani sebuah jagung bakar dan sebutir kelapa muda, kami mengagumi semua yang tersaji di depan mata. Menunggu adzan maghrib. Untuk menuju ke tempat sujud, di mana kami bisa melabuhkan seluruh hati dan jiwa kami. Melantunkan rasa syukur dan permohonan atas kekuatan lahir dan batin dari-Nya untuk menemani setiap langkah kami......

Banda Aceh, 26 Agustus 2013

LN

Banda Aceh (1): Di sinilah saya....

Minggu, 25 Agustus 2013. Pukul 23.40. Di sinilah saya saat ini, di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda. Akhirnya kaki saya menginjak Bumi Serambi Mekah. Di Tanah Rencong. Wilayah paling barat Indonesia. Setelah sejak pukul 13.40 terbang dari Bandara Juanda. Ya, sepuluh jam lebih di perjalanan. Diwarnai dengan delay sejak di Bandara Soekarno Hatta dan di Kualanamu Medan. Diwarnai juga dengan kegaduhan di Kualanamu karena beberapa penumpang mengamuk dan membentak-bentak petugas, akibat delay yang 'hanya' sekitar satu setengah jam. Teriakan mereka menggelegar memenuhi hampir setiap ruang di Kualanamu yang besar itu. Para penumpang yang lain berkerumun, mereka seperti mendapat tontonan dadakan yang menegangkan.

Begitu mencapai pintu luar bandara, saya sudah melihat wajah itu. Ibu Fitriana, dosen jurusan PKK Universitas Syah Kuala (Unsyiah), yang selama ini menjadi contact person saya untuk kegiatan di Banda Aceh. Wajahnya yang putih bersih, begitu cantik di bawah temaram lampu teras bandara yang hiruk pikuk. Kami berpelukan. Suaminya, bapak Rusman, dosen Kimia di Unsyiah juga, tersenyum ramah mengulurkan tangannya. Mencoba meraih koper saya, tapi saya menolaknya halus.

Di bawah langit Banda Aceh yang gelap, mobil kami menyusuri jalan meninggalkan bandara, menuju kota. Bu Fitri memaksa saya harus makan dulu, dan kami berhenti di sebuah rumah makan. Kami memesan mie goreng, dan pak Rusman memesan martabak telur. Mie gorengnya berasa tajam, khas mie Aceh, dan martabak telurnya lebih mirip omelette, berbentuk persegi. Saya menghabiskan separo porsi, bukan karena mie-nya tidak enak. Namun kelelahan di tubuh saya membuat selera makan tidak terlalu bagus. Separo porsi itu cukuplah untuk memastikan perut saya terisi setelah sejak terbang dari Surabaya tadi tidak sempat menikmati makan siang dan malam. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 00.50 saat kami memasuki pintu hotel Madinah.  Bu Fitri bilang, sebetulnya dia sudah berusaha memesankan kamar di beberapa hotel terbaik di Banda Aceh, tapi semua full-booked. Ada event  Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) yang akan dihelat pada September nanti, tapi panitia dari berbagai daerah di Aceh sudah memenuhi Banda Aceh untuk mempersiapkan kegiatan besar itu. Jadilah saya diinapkan di Hotel Madinah, sebuah hotel melati yang bagi saya tidak terlalu masalah, tapi bu Fitri berkali-kali meminta maaf karenanya. Nama hotel yang Islami, membuat saya merasa nyaman-nyaman saja. Apa lagi, hotelnya juga cukup besar, bersih, dan kamarnya juga luas.

Saya merebahkan kelelahan saya di tempat tidur yang bersih dan nyaman, membiarkan tas koper dan sepatu saya berserak di lantai. Mengirim kabar pada keluarga dan sahabat yang terus memantau perjalanan saya, kalau saya sudah mencapai hotel. 

Besok, saya harus mengisi acara pelatihan pengembangan perangkat pembelajaran di SMK 3 Banda Aceh. Acara yang sudah dipesan sejak lama oleh teman-teman jurusan PKK Unsyiah, namun baru bisa saya penuhi. Di antara berbagai kesibukan yang padat dan menyita waktu, saya sudah tidak mungkin mengulur-ngulur lagi. Semakin ke sini, kegiatan semakin padat. Prakondisi SM-3T, pemberangkatan angkatan ke-3, penarikan angkatan ke-2, ngajar, PLPG....

***

Senin, 26 Agustus 2013. Pukul 05.15. Saya bangun dengan sisa kelelahan semalam. Mengintip keluar melalui jendela. Gelap. Ya, meski tidak ada perbedaan waktu dengan Surabaya, namun jam segini di Aceh masih gelap seperti saat subuh di Surabaya.

Pagi ini saya musti bergegas. Pukul 8.15, bu Fitri dan pak Wildan, PD 3 FKIP, akan menjemput saya. Pak Wildan, sudah saya kenal dengan sangat baik. Beliau adalah koordinator SM-3T Unsyiah. Seperti layaknya satu tim, kami sering bertemu di berbagai kegiatan, bersama para koordinator SM-3T dari LPTK lain. Program SM-3T ini menyatukan kami semua, dan mengakrabkan pertemanan kami sebagai teman-teman seperjuangan.

Sebenarnya saya ingin segera bersiap setelah salat subuh dan mandi, namun SMS dan telepon dari peserta SM-3T dan para calon peserta, menyibukkan saya. Nama saya dipasang sebagai contact person di Dikti sebagai koordinator SM-3T Unesa, dan belasan bahkan puluhan SMS dan telepon membanjiri saya sejak perekrutan dan pengumuman kelulusan SM-3T beberapa pekan yang lalu, tak peduli pagi, siang, malam, bahkan tengah malam. Juga pagi buta seperti ini. Saya, pada posisi seperti ini, benar-benar dilatih untuk menjadi pelayan yang baik, sabar, tawakkal, dan menerima segala sesuatu sebagai berkah, bukan cobaan, dari Allah SWT. Haha...

Kami bertiga sampai di SMK 3 Banda Aceh, tempat pelatihan, pada menjelang pukul 9.00. Sekolah yang bersih, luas dan hijau. Wajah-wajah yang subhanallah...cantik-cantiknya. Ya, yang saya temui adalah dosen dan guru-guru yang 99,9 persen perempuan. Hanya ada satu, satu-satunya laki-laki. Dan para perempuan itu semuanya menarik, busana mereka bagus-bagus, perhiasan gemerlap, dan wangi. Cara mereka berbusana, begitu menawan, dengan blus panjang dan rok yang di beberapa bagiannya ada aksen bordir atau hiasan dari benang yang mengkilat. Untuk ukuran kita di Surabaya, cara mereka berbusana dan mengenakan aksesoris, sudah seperti busana pesta. Jadi nampaknya sayalah orang yang busananya paling kasual di antara para dosen itu. Kecuali para guru, yang saat ini mengenakan seragam mengajar yang berwarna hijau.

Tua maupun muda, semua orang di ruangan ini cakep. Hidup mancung, kulit bersih, mata indah. Dilengkapi dengan keramahan yang tulus, saya merasakan kehangatan berada di tengah-tengah mereka.

Di antara para dosen itu, saya sudah mengenal beberapa di antaranya dengan sangat akrab. Ibu Kartini, ibu Suryati, Ibu Asnah, dan bu Fitriani. Keempatnya juga sudah pernah beberapa kali berkunjung ke Unesa untuk menghadiri seminar Bosaris, yang kami helat setahun sekali. Selain itu, kami juga bertemu di beberapa kali di kegiatan dikti. Di situlah mereka mengenal saya, sebagai narasumber, moderator, dan fasilitator. Saat ini, mereka mengundang saya, untuk sekedar berbagi pengetahuan dan pengalaman.

Betapa beruntungnya saya. Mendapatkan kesempatan mengunjungi Banda Aceh, bertemu dengan banyak teman, dan berbagi pengalaman. Dan yang tak kalah pentingnya, nilai silaturahim itu....tak bisa dinilai hanya dari sekedar uang atau materi.

Pelatihan ini diikuti oleh 35 orang, terdiri dari 5 orang guru SMK, 1 orang guru SMIK, 2 orang dari dunia usaha/dunia industri, 25 orang dosen, dan  2 orang mahasiswa. Didanai dari Badan Operasional Perguruan Tinggi (BOPT).

Di sini, saya menemukan semangat belajar yang dibalut dengan religiusitas yang kental. Semua peserta duduk manis dan mengikuti acara demi acara dengan penuh perhatian. Pembukaan dimulai dengan membaca ummul qur'an bersama-sama, dan kegiatan pelatihan dibuka dengan membaca wal'ashri. 

Pukul 16.00, dan mereka tetap di tempatnya. Setelah saya presentasi sejak pagi sampai pukul 12.30, memahamkan pada mereka tentang SKL, KI, KD dan Keterampilan Berpikir, juga memberikan contoh-contoh menuangkannya dalam silabus dan RPP, mereka bertekad untuk bisa menghasilkan satu silabus dan RPP yang musti dipresentasikan sore ini. Sesuai kelompok masing-masing, yaitu tata boga, tata busana, tata kecantikan, tekstil, kerajinan dan kewirausahaan. 

Saya menikmati keseriusan para ibu cantik itu. Membiarkan diskusi mengalir di antara mereka. Sesekali saya menghampiri kelompok-kelompok itu, melibatkan diri dalam diskusi, atau sekedar mengecek pekerjaan mereka. 

Sore semakin beranjak. Namun meski waktu sudah menapak pada pukul 17.30, matahari masih bersinar cerah. Maghrib di sini jatuh pada sekitar pukul 19.00. 

Kantuk dan lelah sisa perjalanan panjang semalam mulai menghampiri, namun tidak saya hiraukan. Sore di Banda Aceh, sungguh sangat sayang kalau dilewatkan begitu saja....

Bersambung....

Banda Aceh, 26 Agustus 2013

Selasa, 20 Agustus 2013

Mamberamo

Kabupaten Mamberamo, Provinsi Papua. Nama kabupaten ini bahkan baru saya dengar kemarin sore. Ya, waktu rapat koordinasi di Jakarta kemarin sore itu.

Kemarin, begitu saya tahu bahwa Unesa kebagian jatah untuk mengirim guru-guru SM-3T ke Mamberamo Tengah dan Mamberamo Raya, saya langsung komunikasikan ke teman-teman tim. Seperti dikomando, teman-teman begitu saja bagi tugas. Mas Heru Siswanto mematangkan run-down kegiatan prakondisi yang akan digelar pada 1-12
September 2013 nanti. Mas Yoyok menghimpun rekaman-rekaman video kegiatan SM-3T
yang diperoleh dari para peserta, untuk dibuat menjadi film dokumenter, sebagai salah satu materi dalam sesi prakondisi. Mas Sulaiman menangani Jatim Mengajar, dan dik Yanti membuat rancangan biaya dan anggaran untuk berbagai kegiatan. Dik Ucik (panggilan saya untuk bu Lucia) mempersiapkan kegiatan Program Pengenalan Akademik (PPA) S1 KKT.

Ya, begitu banyaknya kegiatan yang musti kami tangani dalam waktu yang hampir bersamaan, membuat kami harus memanfaatkan setiap detik yang ada dengan optimal. Apa lagi sebentar lagi mahasiswa PPG prodi PAUD dan PGSD, juga akan menempuh ujian kompetensi, juga dalam waktu yang hampir bersamaan.

Rekan kami, mas Rukin Firda, meski tentu saja tidak secara resmi sebagai tim SM-3T Unesa, tapi dia sudah seperti tim ahli saja di PPG. Beberapa kegiatan kami minta untuk ditanganinya, meski bukan sebagai tim inti. Saat ini, dia bersama mas Yoyok sedang menyusun konsep pencitraan PPG dan SM-3T Unesa, menggandeng JTV dan beberapa koran Radar di kabupaten-kabupaten. Pada saat prakondisi nanti, dia
juga diminta untuk mengisi materi komunikasi sosial. Pertimbangannya, dia berlatar belakang Ilmu Komunikasi, dan memiliki pemahaman yang baik terhadap kondisi daerah 3T yang akan ditempati sebagai lokasi penugasan para peserta.

Jadi kemarin itu, mas Rukin juga melaksanakan tugasnya begitu saja tanpa dikomando. Dengan cepat dia mencari informasi tentang Mamberamo. Di sela-sela rapat koordinasi, saya menyimak informasi yang diperolehnya, dan menyampaikannya di forum.

Ternyata, Mamberamo itu, menurut informasi awal yang sudah berhasil digali, untuk mencapainya dari Surabaya, perlu 12 jam penerbangan dengan lima kali transit. Itu pun baru sampai Nabire. Padahal, Mamberamo Raya, masih ke timuuurrr lagi. Wow, 12 jam. Ke Tanah Suci saja hanya perlu 8-9 jam...

Informasi yang lain, untuk mencapai Mamberamo, hanya ada satu jalan darat, itu pun sulit dan lama. Transportasi utama menyusuri Sungai Mamberamo dengan speed boat. Tarifnya mahal, ratusan ribu sampai sejuta untuk satu orang satu kali jalan. Kebutuhan sehari-hari tergatung pada suplai dari Jayapura. Harga bahan makanan dan lain-lain bisa dua kali lipat dibanding Jayapura. Padahal di Jayapura saja sudah mahal jika dibanding di Jawa.

Informasi ini akhirnya menjadi pertimbangan bagi tim dikti untuk memikirkan adanya tunjangan kemahalan, tidak hanya bagi Mamberamo, tapi bagi semua kabupaten di Papua dan Papua Barat. Termasuk juga memperhitungkan biaya transportasi yang pasti berlipat-lipat besarnya dibanding di kabupaten yang lain.

Sayang sekali, pada tahun ini, Dikti belum bisa mengalokasikan sejumlah dana untuk survei awal. Pertimbangannya tidak hanya dana, namun juga waktu. Ya, waktunya terlalu mendesak untuk melakukan survei. Akhirnya, seperti tahun-tahun kemarin, penugasan peserta ke daerah-daerah 3T lebih banyak mengandalkan informasi dan koordinasi dengan kepala dinas daerah setempat.

Surabaya, 20 Agustus 2013

Wassalam,
LN

Senin, 19 Agustus 2013

Kabar Awal SM-3T Angkatan Ke-3

Pukul 04.30 WIB. Bahkan bulan pun belum beranjak menuju peraduan saat saya keluar dari lobi Hotel Acacia sekitar satu jam yang lalu. Berlomba dengan waktu menuju Bandara Soetta. Saat ini, saya sudah duduk manis di Garuda Lounge. Memanfaatkan 45 menit waktu yang ada sebelum boarding, untuk salat dan melakukan sesuatu (menulis atau membaca) sambil menikmati teh hangat.

Sejak kemarin siang, saya dan para koordinator Program SM-3T dari 16 LPTK yang lain, melakukan rapat koordinasi di Hotel Acacia, tentu saja bersama tim dari Dikti. Ageda rapat kami adalah penentuan kelulusan calon peserta SM-3T dan plotting kabupaten tempat penugasan. 

Dari sekitar 14 ribuan pendaftar seluruh Indonesia, peserta yang dinyatakan lolos sebanyak 3000 peserta. Peserta yang lolos tersebut akan diundang untuk mengikuti prakondisi sejak tanggal 1-12 September di masing-masing LPTK penyelenggara. Bila mereka lulus prakondisi, mereka akan ditugaskan di 8 kabupaten (sebagaimana tahun yang lalu, plus di 21 kabupaten di Papua dan Papua Barat).

Khusus untuk Papua dan Papua Barat, memang merupakan program khusus di bawah wakil presiden, yaitu program percepatan pembangunan Papua. Pembangunan yang dimaksud menekankan pada bidang pendidikan dan kesehatan. Tahun ini, wapres mengharapkan ada sekitar 1000 orang guru yang ditugaskan di wilayah tersebut. Program SM-3T disebut sebagai program yang dapat memenuhi kebutuhan ini.

Tak ayal, hampir semua LPTK penyelenggara SM-3T kebagian jatah untuk mengirimkan peserta SM-3T ke 21 kabupaten tersebut. Kalau tahun yang lalu hanya UNM saja yang ditugaskan ke tujuh kabupaten di Papua dan Papua Barat, tahun ini, hanya UNP, Undiksha, Untan, Unsyiah dan Unri saja yang tidak. 

Unesa, selain empat wilayah sebagaimana yang sudah ditugaskan tahun yang lalu, tahun ini tambah wilayah Mamberamo Raya dan Mamberamo Tengah. Keduanya ada di Provinsi Papua.

Boarding time....

Jakarta, 20 Agustus 2013

Wassalam,
LN 

Senin, 12 Agustus 2013

Hari Pertama Ngantor

Alhamdulilah, meski dengan hidung mampet karena flu, saat ini saya sudah duduk manis di mobil. Meluncur menuju kampus. Anang, driver PPPG, memegang kemudi. Saya memanfaatkan waktu memainkan BB, duduk di jok tengah.

Kemarin, adalah puncak 'perayaan' idul fitri bagi kami sekeluarga. Setelah mudik ke Tuban, dan sampai di rumah pada Sabtu sore tempo hari, kami langsung bahu-membahu membereskan semuanya. Baju-baju kotor masuk mesin cuci. Berbagai macam uborampe bawaan dari kampung mulai dari jajanan sampai hasil kebun, semua tertata pada tempatnya.

Setelah rapi semua, kami mandi, salat maghrib, dan berangkat ke Carefour, belanja. Lho? Ya, karena besok, kami ketempatan halal bihalal kelompok haji, sekaligus rapat panitia Wisata Religi. Meskipun perkiraan hanya sekitar 15-20 orang yang akan hadir, tapi namanya juga mau ada tamu, maka segala sesuatunya harus disiapkan dengan sebaik-baiknya demi menghormati tamu.

Untunglah apa yang saya cari semua ada di Carefour. Bahan-bahan untuk menyajikan hidangan dengan menu sambal goreng labu siam, sambal goreng udang dan telur puyuh, opor ayam, dan es buah, semua tersedia. Udangnya besar-besar, dan bisa minta dikupaskan lagi. Yang masih ribet tinggal satu, mengupas telur puyuh.

Malam itu, semua hidangan sudah siap. Paginya tinggal memanaskan, menggoreng kerupuk udang, menggoreng pisang dan tape, serta membuat es buah, dan membeli kupat di pasar Karah,  terus menatanya. Beres.

Acara halbil keesokan harinya (kemarin) berjalan dengan lancar. Di kelompok itu, ketuanya adalah mas Ayik, dan saya sekretarisnya. Sekali lagi, nepotisme. Begitulah teman-teman paguyuban mempercayakan ke kami, dan meski pun begitu, kekompakan kami membuat semua urusan menjadi mudah. 

Acara ditutup dengan makan siang, hasil kerja nyonya rumah yang baik hati (hehe), dan alhamdulilah.....semuanya enak, sedap, joss. Itulah kalau memasak dengan hati. Apa pun bahan dan bumbunya, rasanya pasti huwenak... (Ciyusss.....). 

Dan ini hari pertama ngantor setelah libur lebaran. Mungkin karena kecapekan menikmati gegap-gempitanya idul fitri, saya dan mas Ayik kompak, kena flu. Masih mending mas Ayik baru besok masuk kantornya, jadi masih bisa istirahat di rumah (meski saya yakin dia nggak bakalan istirahat, nguteekkk aja...., seperti biasa). 

Saya sendiri harus sudah berangkat ke PPPG pagi ini, karena jam 10, ngundang rapat. Agendanya, persiapan Program Pengenalan Akademik (PPA) S1 KKT, persiapan survei lokasi untuk Jatim Mengajar, dan persiapan prakondisi SM-3T angkatan ketiga. Benar. Tak ada warming-up. Langsung tancap gas, masuk perseneling empat. Wussss......

Baru saja seorang mahasiswa S2 Manajemen Pendidikan menelepon, minta bertemu karena mau mengantar berkas-berkas tesis untuk ujian minggu ini. Saya sudah membayangkan tumpukan berkas bersampul hijau itu. Tadi, di FT, juga sempat bertemu Prof. Munoto, Kaprodi S2 PTK, dan meminta jadwal kosong saya pada bulan ini. Setumpuk tesis juga sudah siap untuk diujikan. Dan malam-malam saya, seperti biasa, akan diwarnai dengan 'nggetu' baca tesis.

Yo wes, kerjo yo kerjo.....

Surabaya, 12 Agustus 2013

Wassalam,
LN

Sabtu, 10 Agustus 2013

Lebaran nih....(5)

Masjid Agung Tuban, icon kota Tuban.
Hari ketiga lebaran. Posisi masih di Tuban. Rencananya, siang nanti baru kembali ke Surabaya. Besok, sudah ada acara halbil di rumah, bersama teman-teman kelompok haji. So, banyak pekerjaan menunggu. Apa lagi Iyah belum balik dari mudik. Jadi musti mengerjakan semuanya sendiri, dibantu anak dan suami.

Pagi ini, setelah salat Shubuh, kami bersiap-siap lagi untuk menunaikan munajad kami. Ya, seperti kemarin. Apa lagi kalau bukan......bersepeda. Taratataaaa....

O'im dan Sa'ad sudah siap. Dua keponakan kami itu memang gemar bersepeda. Setidaknya ada bakat. O'im dan Sa'ad berusia sekitar 13 dan 11 tahun. Dari belasan keponakan kami, khususnya yang cowok, mereka yang terbesar, dan sudah memungkinkan untuk diajak bersepeda. Yang lain masih 'beyes-beyes'. Hehe.

Pagi ini kami menempuh rute yang agak berbeda dengan rute yang kami tempuh kemarin. Kalau kemarin hanya sekitar 10 km pulang-pergi, rute pagi ini sekitar 19 km. Untuk saya dan mas Ayik, itu rute ringan, tapi belum tentu untuk O'im dan Sa'ad. Maka kami membawa bekal air mineral untuk jaga-jaga kalau mereka perlu minum di tengah jalan.

Dan bercandalah kami dengan pagi yang sejuk. Kemarin kami menempuh perjalanan dari rumah langsung ke Merakurak. Saat ini, kami mengambil rute dari rumah menuju arah barat dulu, mampir di rumah adik di Banaran, baru menuju Merakurak. Jadi melingkar rutenya. 

Di Merakurak, kami akan mengambil serabeh yang sudah kami pesan kemarin. Dua puluh tangkep serabeh. Dua puluh ribu duitnya. Ya, murah bangetttt ya? Begitulah. Di sini, Anda masih bisa menemukan nasi bungkus seharga Rp. 2.000,- dan serabeh Rp. 500,- rupiah sebuah. Dengan bahan makanan yang sehat, diproses dengan relatif sehat, tanpa bahan tambahan makanan yang membahayakan bagi tubuh. Rasanya natural. Membagkitkan kenangan masa kecil. 

Saya seperti melihat sisi Tuban yang lain saat bersepeda menjelajah pedalaman seperti ini. Hamparan kebun jagung yang tanaman jagungnya mulai dari yang masih pendek, sedang, berbuah ranum siap dibakar, berbuah kering siap dipetik, semua ada. Bahkan ada juga kebun jeruk. Ya, jeruk. Kalau Tuban terkenal dengan belimbing Tasikmadu, buah srikaya, ubi dan labu kuning (waluh), siapa yang tidak tahu. Tapi ini jeruk. Mungkin ke depan, Tuban tidak hanya dikenal karena siwalannya (juga tuaknya, tentu saja), namun juga jeruknya. Siapa tahu?

Jalan-jalan di kabupaten Tuban, hampir semua beraspal mulus, bahkan sampai di pelosok-pelosok pun. Tuban memang pernah meraih prestasi sebagai kabupaten terbaik dalam hal infrastruktur. 

Berbagai industri yang sejak puluhan tahun tumbuh bak jamur di musim hujan, juga memberi perubahan yang signifikan. Penginapan, rumah makan, toko-toko, dan berbagai macam bisnis sampingan untuk melayani kebutuhan para pendatang juga tumbuh dengan pesat. Termasuk bisnis hiburan: karaouke, billyard, kafe, dan lain-lain. Perubahan musti membawa kosekuensi pada dua sisi, kebaikan dan keburukan.

Pemandangan di sepanjang jalan begitu menyegarkan mata dan jiwa. Sawah-sawah yang menghampar. Para petani yang sedang menyiapkan traktor. Air irigasi yang sedang dialirkan ke petak-petak yang akan ditanami. Para ibu bertopi lebar yang tengah mengayuh sepeda beriring-iringan. Dan....wow, matahari jingga yang begitu indah tersangkut di pepohonan. Subhanallah.... Indahnya....

Pagi ini begitu menyenangkan. Minum susu kopi di rumah adik di Banaran. Makan tempe gimbal panas sambil menunggu serabeh dan nasi pecel bungkus. Beramah tamah dengan orang-orang, dengan alam yang ramah. 

Hidup begitu lengkap. Begitu penuh warna. Begitu banyak cerita. Cerita tentang lebaran yang penuh suka cita, hanyalah salah satunya.....

Tuban, 10 Agustus 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 09 Agustus 2013

Lebaran nih....(4)

Pesta nasi uduk selesai. Yang namanya pesta, jangan bayangkan dengan menu yang mewah dan berlimpah. Pesta kami hanya mengandalkan menu utama nasi uduk bungkus. Nasi uduk, lodeh kecambah, mie goreng, dan tempe goreng, yang disajikan dalam kemasan kertas lilin. Pelengkapnya adalah rempeyek kacang dan krupuk udang kecil-kecil. Juga, tentu saja, teh manis.

Selesai makan uduk, kami bersiap memulai acara selanjutnya, yaitu anjangsana, sowan-sowan ke rumah kerabat. Pakde paklik dan lain-lain. Para keponakan ikut serta. Mereka pakai baju-baju baru, cantik-cantik dan ngganteng-ngganteng. 

Siang yang terik kami sejukkan dengan menikmati setiap detik yang menyenangkan karena bertemu dengan sanak saudara. Di rumah paklik Bisri, adik ragil bapak, kami berebut dan berlomba makan gula-gula (biasa kami sebut arumanis). Ini hidangan khas yang selalu kami cari. Saya katakan khas, karena hidangan ini hanya ada di rumah paklik Bisri. Bulik Sob (istri paklik Bisri) tahu kalau kami semua gemar makan arumanis. Jadi selalu beliau siapkan setoples penuh arumanis, dan kami menghabiskannya dalam waktu sekejab.

Di rumah dik Hisyam, adik ragil saya, suguhan khasnya adalah rempeyek pedas dan minuman wedang sere. Mertua dik Hisyam tahu kalau kami mau datang, dan setoples besar rempeyek sudah beliau siapkan. Juga sepoci wedang jahe yang manis dan hangat.

Begitulah, kami mengalami kekenyangan karena kami makan terus dari satu rumah ke rumah yang lain. Sepertinya semua yang disuguhkan enak dan mengundang selera. Kemplang, keripik gayam, rengginang, kacang bawang, marning.....

Tapi tentu saja bukan makanan-makanan itu yang menjadi tujuan kami bersilaturahim. Adalah mempererat tali persaudaraan, saling berkabar, saling mengembangkan kepedulian, menjaga kebersamaan. Hampir setiap tahun kami melakukan aktivitas itu, sejak Arga masih kecil. Itulah yang diajarkan bapak ibu pada saya, dan saya ajarkan pada Arga. Ajaran itu menjadi tradisi di dalam keluarga besar kami.

Sampai sekarang pun, saat Arga sudah dewasa, dia tetap bersama kami bila melakukan aktivitas sowan-sowan itu. Seringkali teman-teman dan saudara-saudara heran, kok Arga masih mau diajak kesana kemari sama bapak ibunya. Ya, seperti otomatis saja, Arga selalu menyadari, apa tujuan datang ke Tuban, atau ke tempat lain. Ya dalam rangka silaturahim itu. 

"Barang siapa yang senang dipanjangkan umurnya, diluaskan rezekinya, dan dijauhkan dari kematian yang buruk, maka hendaklah bertakwa kepada Allah dan menyambung silaturahim." Begitulah menurut sebuah hadist. Manfaat silaturahim bahkan disebutkan ada 6, yaitu: diluaskan rezekinya, dikenang kebaikannya, dipanjangkan umurnya, khusnul khotimah, kecintaan dalam keluarga, dan kunci masuk surga. Amin YRA.

Maka, mari kita galakkan silaturahim... Apa lagi dalam momen lebaran ini. Yuk, silaturahim, yuk....


Tuban, 9 Agustus 2013

Wassalam,
LN

Kamis, 08 Agustus 2013

Lebaran nih...(3)

Mampir, menikmati  nasi boranan khas Lamongan.
Pagi, adzan subuh menggema. Hari kedua lebaran. Kami bertiga bangun, melakukan ritual pagi, bersiap melaksanakan munajad kami. Apa lagi kalau bukan......bersepeda. Taratataaaaaa......

Tapi Arga mengingkari janji. Sebenarnya tidak mengingkari janji. Dari kemarin dia sudah bilang kalau ingin memburu sunrise di pantai. Maka selepas salat, dia langsung melesat menuju pantai, lengkap dengan peralatan fotografinya.

Kami tidak jadi bersepeda bertiga, tapi berempat. Lho? Ya, kedua keponakan, O'im dan Sa'ad, ikut serta. Mereka kami minta untuk mengenakan jaket, karena pagi masih dingin. Teringat kapan itu, waktu O'im ikut kami bersepeda, dia 'njebeber' kedinginan karena tidak mengenakan jaket. Terus batuk-batuk....uhuk uhuk....

Maka berangkatlah kami menembus pagi yang masih gelap. Sawah di kanan-kiri, pepohonan di sepanjang jalan, dan makhluk-makhluk kecil yang namanya 'samber moto', menemani perjalanan kami. 

Tujuan kami jelas. Nasi uduk dan serabeh Merakurak. Jarak tempuh, untuk 5 kilometer itu, biasanya tidak sampai tiga puluh menit. Mungkin untuk pagi ini kami tempuh sedikit lebih lama, karena kami membawa pasukan anak-anak kecil itu.

Alhamdulilah, meski serabeh tidak buka, tapi nasi uduknya buka. Yang ngantri, wow....bakule sampek gak ketok bokonge. Kami mengambil beberapa buah tempe goreng yang masih hangat, tiga gelas teh panas, dan secangkir kopi. Sambil menunggu nasi uduk bungkus, kami menikmati hidangan itu, duduk-duduk di bale-bale, sebuah tempat duduk dari bambu. Nikmat nian......

Kami juga memanfaatkan menemui Sumarno dan Thoifur, dua teman SMP dan SMA saya, yang rumahnya di sekitar itu. Bertemu dengan anak istrinya, serta dengan orang tuanya. Bapak ibu mereka, yang sudah sepuh-sepuh, bahkan sudah ada yang bungkuk, nampak bahagia sekali dengan kunjungan kami. Mereka semua ikut 'njagongi' kami. Mereka juga menyilakan kami untuk singgah setiap kali mudik, meski pun mungkin Thoifur dan Sumarno sedang tidak di rumah. Indahnya silaturahim....

Nasi uduk, 23 bungkus, sudah siap dibawa pulang. Sepeda kami kayuh lagi. Ditemani matahari yang mulai menggeliat dan membagikan sinarnya yang hangat, kami melaju, menyibak kebekuan pagi. 

Sebentar lagi pesta nasi uduk. Kalau biasanya kami hanya minta Rp. 2.000,- per bungkus, kali ini kami minta Rp. 2.500,-. Jadi porsinya sedikit lebih besar. Padahal dengan dua ribu rupiah sebungkus itu saja sudah kenyang. Tapi tidak masalah. Sedikit kekenyangan tidak apa-apa. Ini kan lebaran?

Tuban, 9 Agustus 2013

Wassalam,
LN

Lebaran nih....(2)

Rencana sowan-sowan ke tetangga-tetangga batal. Perumahan sepi nyenyet. Kata pak satpam, semua mudik, hanya satu rumah saja yang tidak mudik. Tetangga-tetangga di kampung juga sepi. Sebagian besar juga mudik atau sedang berkunjung ke rumah saudara-saudaranya di luar kota. 

Ya sudah. Demi memanfaatkan waktu, kami mengubah agenda. Rencana ke Tuban yang awalnya besok, kami ajukan. 

Sore ini juga kami melaju ke Tuban. Dengan membawa serta tiga buah sepeda lipat, ini 'klangenan'nya mas Ayik. Cita-cita kami, besok pagi, selepas subuh, tiga sepeda itu akan kami kayuh bertiga, ke Merakurak. Apalagi kalau tidak demi nasi uduk dan serabeh. Kalau ini, klangenan saya. Juga klangenan semua.

Masuk tol Gunungsari sampai keluar pintu tol Bunder, jalan relatif lengang. Tapi begitu keluar dari tol, mobil-mobil pribadi dan sepeda motor cukup padat. Beberapa kali sempat kena macet.

Haduh. Tiba-tiba terjadi kecelakaan di depan mata. Meski dari arah berlawanan, nampak jelas di depan mata. Sebuah sepeda motor tertabrak sepeda motor yang lain. Penumpang yang ditabrak itu, seorang laki-laki menggonceng istri dengan anaknya yang masih bayi dalam gendongan ibunya. 

Saya ngeri membayangkan apa yang terjadi pada mereka, terutama pada si bayi itu. Syukurlah, nampaknya tidak terlalu parah, mudah-mudahan. Setidaknya saya melihat, si ibu bisa langsung bangkit, dibantu orang-orang, dan bayi itu tetap dalam gendongannya. Si suami, begitu bisa bangkit setelah ditolong orang-orang, langsung menghambur ke arah anak istrinya. Tidak mempedulikan laki-laki yang menabraknya. Orang-orang sudah mengurus laki-laki itu.

Hhhh.... Sejenak saya bernafas lega. Kemacetan begitu saja terjadi pada jalur kanan. Kami terus melaju. Tidak akan melambatkan mobil hanya sekedar untuk menonton kecelakaan itu. Kecuali akan menyebabkan macet, juga tidak etis, orang kemalangan kok ditonton. 

Gerimis turun begitu kami memasuki Lamongan. Awalnya kami heran, kok bakul-bakul nasi boranan di pinggir jalan itu pada berlarian. Kami pikir ada obrakan, ternyata mereka menghindari hujan. Bernaung di bawah emperan toko yang lagi tutup, menggelar lapak nasi borannya di sana. 

Kami berhenti di tempat kerumunan nasi boranan itu. Nasi boranan, nasi putih, urap, berbagai lauk pilihan, dan dibubuhi bumbu semacam bumbu bali, yang pedas rasanya. Yang khas adalah ikan sili, sejenis ikan kali, yang dipanggang. Juga ikan kutuk (ikan gabus) goreng, yang dicelup ke dalam bumbu yang pedas itu. Lauk khas lainnya, gimbal empuk, sate uritan, telur dadar, telur asin, dan udang goreng.

Saya melahap seporsi nasi boranan. Arga dan mas Ayik, seperti biasa, tak pernah cukup hanya dengan seporsi. Mereka habiskan dua pincuk nasi boranan, tandas.

Gerimis ternyata tidak lama. Gerimis parlente. Kami melanjutkan perjalanan. Ternyata sejak dari Lamongan kota, sepanjang jalan basah. Gerimis sesekali rapat. Memasuki kota Tuban malah disambut hujan deras. Sejuk semilir. Sesejuk hati kami yang sebentar lagi bersua dengan para pujaan hati, ibu, mas-mas, mbak-mbak, adik-adik, keponakan-keponakan.

Masuk halaman rumah kami yang besar, ternyata ada banyak sepeda motor parkir di mana-mana. Ya, ini lebaran pertama. Rumah kami, sejak siang, selalu dipenuhi dengan para santri, para siswa, mantan santri, mantan siswa, para wali kelas, dan juga para ibu jamaah pengajian. Kami langsung mengarahkan mobil ke halaman belakang rumah induk. Parkir di depan rumah kakak kedua saya, mas Zen. Tidak berbeda jauh. Rumahnya juga dipenuhi para tamu. 

Akhirnya malam itu, kami bersua dengan banyak orang. Saya langsung bergabung di ruang tamu putri, setelah bersalaman dengan ibu, mas-mas dan mbak-mbak serta para keponakan. Tamu-tamu itu, sebagian kecil adalah teman masa kecil saya. Setidaknya, mereka masih ingat Luluk kecil yang sekarang sudah menjelma menjadi Luluk jumbo...haha.

Saya hanya sebentar bergabung dengan mereka. Saya lantas menarik diri ke ruang makan di belakang, berkangen-kangenan sama saudara-saudara. Mbak ipar saya, mbak Uma, menyiapkan menu nasi pecel plus tempe gimbal dan ayam goreng. Meski perut kenyang, tak kuasa juga hati ini untuk tidak menikmati lezatnya pecel sayuran dan teman-temannya. Apa boleh buat. Sebulan puasa kan? Dan ini sedang lebaran...

Tuban, 8 Agustus 2013

Wassalam,
LN