Pages

Selasa, 27 Agustus 2013

Banda Aceh (3): Selendang dan Tas Khas Aceh

Luar biasa orang-orang ini. Sudah rajin, cantik, ramah, dermawan lagi. Haha.

Setelah setengah hari bersama mereka, saatnya untuk penutupan. Seorang peserta, guru SMK, namanya bu Herti, mewakili kesan-pesan selama pelatihan. Semua yang disampaikannya bagus, dia katakan apa yang diperoleh sejak kemarin, benar-benar hal baru. Benar-benar bermanfaat untuk acuan pengembangan kurikulum dan perangkat pembelajaran. Selama ini, mereka belum pernah menerima materi itu. Hanya sayangnya, menurut Bu Herti, waktunya terlalu singkat. Dan, ini yang terpenting, setelah mengikuti pelatihan sejak kemarin, semakin dirasakan betapa masih begitu banyaknya hal-hal yang belum dipahami. Sebuah kesadaran yang membangkitkan motivasi untuk terus belajar dan belajar.
Saat ini juga, saya mendapatkan hadiah sebuah selendang dengan bordir khas Aceh. Ibu Aminah, dosen paling senior, memasangkannya di kepala saya. Saya senang sekali. Beliau berbisik di telinga saya, 'sudah seperti orang Aceh...'. Saya tertawa lepas, dan terkejut lagi karena ternyata masih ada hadiah lain. Sebuah tas besar, maunya untuk isi oleh-oleh mungkin, tas khas Aceh juga. Wow, keren.....

Siang yang terik, dan kami berkendara menuju pusat oleh-oleh khas Aceh, yaitu arah ke Lhoknga, kemudian ke arah Aceh Besar. Di kejauhan, nampak Gunung Lhoknga, tempat ketinggian yang menjadi tumpuan para pengungsi saat tsunami dulu. Ke sanalah ribuan orang yang sedang dilanda kepanikan luar biasa itu terbirit-birit untuk menyelamatkan diri dari terjangan tsunami. 

Kami berkonvoi, empat mobil. Ya, empat mobil itu semua dikemudikan oleh para perempuan cantik, berbusana muslimah cantik,  dan, insyaallah, berakhlak cantik juga. Saya kali ini duduk di sebelah ibu Aya yang memegang kemudi, ditemani bu Fitri dan bu Kartini yang duduk di jok tengah. Di tiga mobil yang lain, adalah ibu Asmah beserta rombongan, ibu Suryati beserta rombongan, dan ibu...(Haduh, lupa..) beserta rombongannya juga.
 
Di sepanjang perjalanan, bu Kartini, bu Fitri dan bu Aya, bahu-membahu menjadi pemandu untuk saya. Kami melewati Masjid yang kubahnya berbentuk seperti kupiyah meuketuk, sebutan untuk kopiah yang digunakan saat perang oleh Teuku Umar. Sekarang, bentuk kopiah seperti itu digunakan sebagai kopiah pengantin pria Aceh.

Kami juga melewati Taman Ratu Safiatudin, sebuah taman yang di dalamnya menghampar berbagai rumah adat etnik Aceh. Ratu yang merupakan putri Sultan Iskandar Muda ini pernah memerintah kerajaan Aceh pada waktu itu, selama 35 tahun. Dia membentuk barisan perempuan yang ikut berperang melawan penjajah pada saat perang Malaka. Sri Ratu yang cerdas dan cakap ini konon suka menulis sajak dan cerita. Maka tidak heran pada masanya, hukum, pemerintahan dan sastra, berkembang dengan sangat baik. Ratu Safiatudin dianggap sebagai lambang kemegahan perempuan Aceh.

Sultan Iskandar Muda sendiri merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Aceh mencapai kejayaannya pada waktu itu, di mana daerah kekuasannya semakin besar dan memiliki reputasi internasional sebagai pusat perdagangan dan pendidikan Islam.

Sebagai wilayah yang menerapkan syariat Islam, Aceh dipenuhi dengan simbol-simbol Islami. Banyak bangunan kantor yang  berkubah. Jembatan juga berkubah. Bagus. Namun sayang, kata teman-teman saya ini, ornamen-ornamen itu cenderung menenggelamkan hasil-hasil kerajinan Aceh sendiri, misalnya ukiran, lukisan, kain-kain dan lain-lain khas Aceh.

Siang ini, selain untuk membeli oleh-oleh khas Aceh, kami juga akan menyempatkan diri mengunjungi Unsyiah. Ya, tentu saja saya tidak akan membuang kesempatan untuk sekaligus melakukan semacam studi banding kilat ke jurusan PKK Unsyiah. Prodi yang bernaung di bawah FKIP itu (bukan FT sebagaimana di universitas eks-IKIP), sudah sangat akrab dengan PKK FT Unesa. Waktu yang tidak banyak ini musti harus digunakan sedemikian rupa supaya semua dapat. Oleh-oleh dapat, kunjungan ke Unsyiah dapat.

Untuk mencapai Unsyiah, kami melewati Tugu Pena, tugu yang  melambangkan kawasan pelajar/mahasiswa. Di kawasan Darussalam itu, setidaknya ada dua kampus besar, yaitu Usyiah dan IAIN.

Tugu Syah Kuala, berada di dalam kawasan Unsyiah, merupakan tugu untuk menandai berdirinya Unsyiah. Ada juga Gedung Dayan Dawood, sebuah nama yang dimaksudkan untuk mengabadikan salah satu mantan Rektor Unsyiah yang wafat karena penembakan.  Beliau, merupakan salah satu calon kuat Gubernur Aceh, menjadi korban penembakan pada masa konflik tahun 2001, saat Aceh masih menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). Konon, penembaknya adalah dari kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dayan Dawood dibunuh antara lain dengan alasan karena beliau tidak mau membantu perjuangan GAM. 

Alhamdulilah, menjelang pukul 14.30, konvoi sudah memasuki halaman Bandara Sultan Iskandar Muda. Tepat waktu. Garuda akan membawa saya pada 15.25. Meski tiket sudah di-check in-kan, tapi saya musti membagasikan oleh-oleh. Oleh-oleh itu, termasuk kopi Aceh. Pesanan khusus ibu mertua. Harus saya penuhi, atau anak laki-lakinya akan diminta lagi...haha.

Kami berpelukan di ujung pintu masuk. Serombongan perempuan cantik itu mengucapkan selamat jalan dan doa untuk kelancaran perjalanan saya ke Surabaya. Juga harapan semoga bisa bertemu lagi pada kesempatan lain, dengan waktu yang lebih leluasa. Semoga.....

Banda Aceh, 27 Agustus 2013

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...