Luar biasa orang-orang ini. Sudah rajin, cantik, ramah, dermawan lagi. Haha.
Setelah
setengah hari bersama mereka, saatnya untuk penutupan. Seorang peserta,
guru SMK, namanya bu Herti, mewakili kesan-pesan selama pelatihan.
Semua yang disampaikannya bagus, dia katakan apa yang diperoleh sejak
kemarin, benar-benar hal baru. Benar-benar bermanfaat untuk acuan
pengembangan kurikulum dan perangkat pembelajaran. Selama ini, mereka
belum pernah menerima materi itu. Hanya sayangnya, menurut Bu Herti,
waktunya terlalu singkat. Dan, ini yang terpenting, setelah mengikuti
pelatihan sejak kemarin, semakin dirasakan betapa masih begitu banyaknya
hal-hal yang belum dipahami. Sebuah kesadaran yang membangkitkan
motivasi untuk terus belajar dan belajar.
Saat ini juga, saya
mendapatkan hadiah sebuah selendang dengan bordir khas Aceh. Ibu Aminah,
dosen paling senior, memasangkannya di kepala saya. Saya senang sekali.
Beliau berbisik di telinga saya, 'sudah seperti orang Aceh...'. Saya
tertawa lepas, dan terkejut lagi karena ternyata masih ada hadiah lain.
Sebuah tas besar, maunya untuk isi oleh-oleh mungkin, tas khas Aceh
juga. Wow, keren.....
Siang yang terik, dan kami berkendara
menuju pusat oleh-oleh khas Aceh, yaitu arah ke Lhoknga, kemudian ke
arah Aceh Besar. Di kejauhan, nampak Gunung Lhoknga, tempat ketinggian
yang menjadi tumpuan para pengungsi saat tsunami dulu. Ke sanalah ribuan
orang yang sedang dilanda kepanikan luar biasa itu terbirit-birit untuk
menyelamatkan diri dari terjangan tsunami.
Kami berkonvoi,
empat mobil. Ya, empat mobil itu semua dikemudikan oleh para perempuan
cantik, berbusana muslimah cantik, dan, insyaallah, berakhlak cantik
juga. Saya kali ini duduk di sebelah ibu Aya yang memegang kemudi,
ditemani bu Fitri dan bu Kartini yang duduk di jok tengah. Di tiga mobil
yang lain, adalah ibu Asmah beserta rombongan, ibu Suryati beserta
rombongan, dan ibu...(Haduh, lupa..) beserta rombongannya juga.
Di
sepanjang perjalanan, bu Kartini, bu Fitri dan bu Aya, bahu-membahu
menjadi pemandu untuk saya. Kami melewati Masjid yang kubahnya berbentuk
seperti kupiyah meuketuk, sebutan untuk kopiah yang digunakan saat
perang oleh Teuku Umar. Sekarang, bentuk kopiah seperti itu digunakan
sebagai kopiah pengantin pria Aceh.
Kami juga melewati Taman Ratu
Safiatudin, sebuah taman yang di dalamnya menghampar berbagai rumah
adat etnik Aceh. Ratu yang merupakan putri Sultan Iskandar Muda ini
pernah memerintah kerajaan Aceh pada waktu itu, selama 35 tahun. Dia
membentuk barisan perempuan yang ikut berperang melawan penjajah pada
saat perang Malaka. Sri Ratu yang cerdas dan cakap ini konon suka
menulis sajak dan cerita. Maka tidak heran pada masanya, hukum,
pemerintahan dan sastra, berkembang dengan sangat baik. Ratu Safiatudin
dianggap sebagai lambang kemegahan perempuan Aceh.
Sultan
Iskandar Muda sendiri merupakan sultan yang paling besar dalam masa
Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Aceh
mencapai kejayaannya pada waktu itu, di mana daerah kekuasannya semakin
besar dan memiliki reputasi internasional sebagai pusat perdagangan dan
pendidikan Islam.
Sebagai wilayah yang menerapkan syariat Islam,
Aceh dipenuhi dengan simbol-simbol Islami. Banyak bangunan kantor yang
berkubah. Jembatan juga berkubah. Bagus. Namun sayang, kata teman-teman
saya ini, ornamen-ornamen itu cenderung menenggelamkan hasil-hasil
kerajinan Aceh sendiri, misalnya ukiran, lukisan, kain-kain dan
lain-lain khas Aceh.
Siang ini, selain untuk membeli oleh-oleh
khas Aceh, kami juga akan menyempatkan diri mengunjungi Unsyiah. Ya,
tentu saja saya tidak akan membuang kesempatan untuk sekaligus melakukan
semacam studi banding kilat ke jurusan PKK Unsyiah. Prodi yang bernaung
di bawah FKIP itu (bukan FT sebagaimana di universitas eks-IKIP), sudah
sangat akrab dengan PKK FT Unesa. Waktu yang tidak banyak ini musti
harus digunakan sedemikian rupa supaya semua dapat. Oleh-oleh dapat,
kunjungan ke Unsyiah dapat.
Untuk mencapai Unsyiah, kami melewati
Tugu Pena, tugu yang melambangkan kawasan pelajar/mahasiswa. Di
kawasan Darussalam itu, setidaknya ada dua kampus besar, yaitu Usyiah
dan IAIN.
Tugu Syah Kuala, berada di dalam kawasan Unsyiah,
merupakan tugu untuk menandai berdirinya Unsyiah. Ada juga Gedung Dayan
Dawood, sebuah nama yang dimaksudkan untuk mengabadikan salah satu
mantan Rektor Unsyiah yang wafat karena penembakan. Beliau, merupakan
salah satu calon kuat Gubernur Aceh, menjadi korban penembakan pada masa
konflik tahun 2001, saat Aceh masih menjadi Daerah Operasi Militer
(DOM). Konon, penembaknya adalah dari kelompok Gerakan Aceh Merdeka
(GAM). Dayan Dawood dibunuh antara lain dengan alasan karena beliau
tidak mau membantu perjuangan GAM.
Alhamdulilah, menjelang
pukul 14.30, konvoi sudah memasuki halaman Bandara Sultan Iskandar Muda.
Tepat waktu. Garuda akan membawa saya pada 15.25. Meski tiket sudah
di-check in-kan, tapi saya musti membagasikan oleh-oleh. Oleh-oleh itu,
termasuk kopi Aceh. Pesanan khusus ibu mertua. Harus saya penuhi, atau
anak laki-lakinya akan diminta lagi...haha.
Kami berpelukan di
ujung pintu masuk. Serombongan perempuan cantik itu mengucapkan selamat
jalan dan doa untuk kelancaran perjalanan saya ke Surabaya. Juga harapan
semoga bisa bertemu lagi pada kesempatan lain, dengan waktu yang lebih
leluasa. Semoga.....
Banda Aceh, 27 Agustus 2013
Wassalam,
LN
Selasa, 27 Agustus 2013
Banda Aceh (3): Selendang dan Tas Khas Aceh
Diposting oleh
Luthfiyah Nurlaela
di
Selasa, Agustus 27, 2013
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...