Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Sabtu, 28 Desember 2013

Senja

Senja mulai jatuh perlahan
Membawa sejuta tabir dan menutup kilau matahari
Adzan maghrib berkumandang memanggil setiap insan untuk bersiap diri
Cukuplah hari ini bersibuk diri
Saatnya bersimpuh di hadapan Illahi Rabbi...

Tanggulangin, 28 Desember 2013. 17.50 WIB.


Wassalam,
LN

Soreku

Soreku adalah kelelahan yang memuncak seperti lelahnya matahari yang sinarnya meredup di ujung senja
Diamnya rumput ilalang yang tak bergerak sedikit pun karena angin telah lelah menerpanya
Gegung-gedung tinggi yang beku dan temaram lampu-lampu yang masih bermalas-malasan untuk menyala

Soreku
Menjadi sangat hidup saat sedang mengingatmu 
Bersemangat menyapa pepohonan yang di rerantingnya tersangkut bayang-bayangmu
Mencumbui aroma cemara hutan yang terendus seperti wangimu 

Aku, matahari, ilalang, gedung-gedung, lampu-lampu, semua telah lelah sore ini
Namun kerinduan menemui sosokmu dan membaui wangimu, membasuh semua lelahku

OTW Home, Wiyung
27 Desember 2013
17.00

Wassalam,
LN

Warnamu

Warnamu membuat hari-hariku menjadi semakin penuh warna
Melengkapi warna-warna indah yang ada di sekitarku
Tahukah kau pelangi yang melengkung di langit selepas hujan turun?
Atau semburat jingga yang merona menjelang matahari tenggelam di cakrawala?
Juga kuning keemasan yang terkembang saat rembulan sedang purnama?

Warnamu melengkapi warna-warna indah di sekelilingku
Menorehkan garis-garis emas di kanvas kehidupanku
Adakah dirimu pernah menampak hamparan sawah yang padinya telah rata menguning?                                    Atau seluas padang sabana dengan bukit-bukit hijau yang memayunginya?

Warnamu mengisi sudut-sudut kosong dalam memoriku, memenuhinya dengan gambar-gambar penuh suka cita
Pernahkah dirimu memandangi serombongan kuda yang berlarian di tepian pantai, berlatar batu-batu karang dan jajaran nyiur melambai?
Atau domba-domba yang bekerjaran di antara semak belukar, saat hari segera menjelang sore? 

Indahmu adalah warna-warna itu, berhembus merasuk di setiap helaan nafasku, menggurat meninggalkan jejak di dinding-dinding hatiku, dan mencair mengalir bersama aliran darahku

Warnamu, melengkapi warna-warna indah dalam kehidupanku...

OTW PPG, Macet di Wiyung
27 Desember 2013
14.00 WIB

Wassalam,
LN

Selasa, 24 Desember 2013

Perjalanan Paling Lama

Akhirnya tiba di rumah ibu. Setelah menempuh perjalanan hampir enam jam. Ya, enam jam. Ini perjalanan paling lama Surabaya-Tuban yang pernah kami tempuh. Biasanya, kami hanya perlu waktu dua sampai dua setengah jam. 

Berangkat dari rumah selepas salat maghrib, kami memasuki tol Gunungsari. Tidak pakai lama, langsung dihadang kepadatan yang luar biasa. Begitu sampai tol Romokalisari, kepadatannya sudah meningkat menjadi kemacetan. Rencana keluar melalui pintu tol Bunder, kami urungkan. Macetnya nggilani. Kami terus menuju tol Manyar. Total waktu yang kami perlukan sejak masuk pintu tol Gunungsari sampai keluar pintu tol Manyar, hampir dua jam. Cukup fantastis.

Manyar sampai Tuban lancar meski sesekali padat merambat. Sekitar lima kilometer keluar kota Tuban ke arah Jenu, di depan terminal, tiba-tiba kami dihadang kemacetan lagi. Mandeg jegrek. Truk dan mobil-mobil pribadi berderet-deret. Padahal rumah kami hanya sekitar tiga kilometer di depan. Tapi mobil kami sama-sekali tidak bisa bergerak.

Waktu saya tanya pada seorang bapak, penduduk setempat, yang sedang berdiri di pinggir jalan, kemacetan itu katanya akibat adanya kecelakaan. Entah kecelakaan apa. 

Ketika situasinya memungkinkan, mobil pun kami arahkan ke bahu jalan sebelah kiri. Mlipir-mlipir di sisi barisan truk besar. Lantas memutuskan belok ke kiri, mencari jalan-jalan alternatif masuk ke kampung-kampung. Ada tiga mobil yang mengikuti jejak kami, 'ngintil' di belakang. Untunglah Tuban tidak punya jalan jelek. Di kampung-kampung sepelosok apa pun, semua jalannya beraspal. Jadi meski sempat sekali salah jalan, dengan bertanya pada penduduk setempat, kami bisa segera kembali ke jalan yang benar,

Tiga mobil yang ngintili kami meneruskan perjalanan mereka ke Rembang dan Semarang setelah mas Ayik memberikan petunjuk arah yang mereka harus tempuh. Di ujung jalan, kami berpisah. Tiga mobil itu mengambil arah belok kiri, sedang kami belok kanan. Rumah kami hanya sekitar seratus meter dari titik persimpangan jalan itu.

Alhamdulilah. Setelah membuka pintu gerbang yang pintunya sengaja dibiarkan terbuka sebelah, mobil kami meluncur memasuki halaman, langsung serong kanan, melintasi jalan di samping rumah ibu yang besar, dan parkir di belakang rumah. Lega nian. Apa lagi setelah bertemu ibu, mbak-mas dan keponakan-keponakan. Beberapa dari mereka, meski sudah hampir tengah malam, ternyata belum tidur. Menikmati malam natal sambil menunggu 'Lik-Luk' dan abah Ayik yang cakep-cakep ini....

Tuban, 24 Desember 2013

Wassalam,
LN

Senin, 23 Desember 2013

Puisi untuk Ibu

Ibu
Sore ini hujan turun deras sekali, hujan yang sama seperti kemarin-kemarin
Beberapa hari, bahkan beberapa minggu ini, langit seperti tak pernah kering, sepanjang waktu dia menumpahkan airnya ke bumi
Dinginnya sore yang merangkak menuju senja mengingatkanku pada sosokmu
Saat itu, di sore yang basah dan dingin, kau hangatkan tubuhku dengan selimut kecilku
Tanganmu yang lembut merengkuhku dalam pelukan hangatmu 
Lantas kau dekap terus aku dalam buaianmu, 
Sambil berdiri bersenandung di depan jendela, menunggu harap-harap cemas ayah pulang kerja

Ibu,
Aku sering lupa semua yang kau sudah lakukan
Aku lupa, suatu ketika, aku tarik-tarik mukenamu dalam sujudmu
Hanya supaya kau ambilkan aku segelas susu
Itu pastilah belum seberapa
Menurut cerita, aku juga suka mengencingi wajahmu, mengotori dadamu dengan muntahanku, dan bahkan kau menampung kotoranku dengan kedua telapak tanganmu
Tak terbayangkan bagaimana mungkin aku bisa lupakan semua itu

Ketika aku sudah dewasa, aku seringkali membuatmu kecewa
Membantahmu, mengabaikan nasehatmu, bahkan membohongimu
Kau hanya diam dengan mata penuh luka, menahan kemarahan dan kesakitanmu, dengan istighfar dan doa yang berhamburan dari gemetar bibirmu
Dan aku menghambur pergi dengan kemarahanku, tak peduli, meninggalkanmu terpuruk dalam tangis penuh pilu

Ibu,
Sore ini hujan turun deras sekali, hujan yang sama seperti kemarin-kemarin
Dan aku tak tahu
Adakah yang menyelimuti dirimu dalam dinginnya sore yang basah seperti ini?
Aku bahkan tak tahu, apakah kau punya selimut untuk sekedar menghangatkan tubuh tuamu?
Adakah seseorang yang menghampirimu dan menyorongkan segelas susu untukmu?
Adakah aku yang datang memelukmu dan memberikan kehangatan bagi tubuh kecilmu yang menggigil?

Maafkan aku, ibu
Ternyata aku ada di sini
Di tempat yang jauh dan tak mampu menjangkaumu
Aku masih di sini
Bergumul dengan ribuan urusan yang tak hendak kutinggalkan meski kau membutuhkanku
Maafkan anakmu, ibu
Atas ketakpedulian ini, atas keegoisan ini, atas ketidakpengertianku
Aku mohon, maafkan aku
Karena maafmu adalah energi hidupku, doamu adalah nafasku, dan keikhlasanmu adalah aliran darahku
Sehebat apa pun aku, setinggi apa pun aku, apalah artinya tanpa maaf dan doamu

Ibu, 
Meski seringkali aku menyakitimu
Percayalah, aku sangat mencintaimu, walau tak selalu mampu membahagiakanmu
Percayalah, doaku senantiasa kupanjatkan untukmu, semoga kau dalam lindungan Illahi Robbi selalu
"Allaahummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kamaa robbayaani shaghiiraa"
Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan ibu bapakku, sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku di waktu kecil
Amin Yaa Rabbal alamiin...

Selamat hari ibu...

Surabaya, 22 Desember 2013

Wassalam,
LN

OTW Lawang
(Mendampingi bapak ibu...)

Jumat, 20 Desember 2013

Sepanjang Jalan Doho

Menyusuri sepanjang jalan Ndoho, di Kota Kediri yang berselimut rinai, rintiknya berpendar-pendar membasahi jalan
Menggiring setiap orang berteduh di teras-teras pertokoan yang panjang

Menyusuri sepanjang jalan Ndoho, sambil bergayut erat di lenganmu
Menapak jejak romantisme berpuluh tahun silam, romantisme yang tak lekang oleh waktu
Masih kunikmati rasa dan debar-debar itu, seperti dulu

Menyusuri sepanjang jalan Ndoho, meliuk-liuk di sela-sela para penjual makanan jajanan: pecel tumpang, nasgor, mie goreng, wedang kopi, roti dan bolu
'Ini seperti Malioboro saja', katamu
Lantas menunjuk relief-relief di dinding-dinding toko
'Lihat itu, sayang, itu bangunan-banguna kuno'
Sesaat sebelum kau gamit lenganku, duduk di atas tikar
Menikmati sepincuk pecel tumpang, menghayati suapan demi suapan, ditemani alunan musik para pengamen remaja ingusan

Menyusuri sepanjang jalan Ndoho, di Kota Kediri yang berselimut rinai, rintiknya berpendar-pendar membasahi jalan
Dinginnya malam yang semakin beranjak, terasa hangat karena tanganmu melingkari pinggangku
Hangatnya menyelusup di dinding-dinding waktu, menembus batas kelamnya langit, menghimpun semua kenangan yang berserak di sepanjang jejakmu dan jejakku
Jejak kita
Menyatu dalam satu bahasa qalbu: I love you...


Kediri, 20 Desember 2013. 22.00 WIB.

Wassalam,
LN

Selasa, 17 Desember 2013

Guru Besar 'Tertua' Unesa: Prof. Dr. Poedjiastoeti, M.Si

Wanita itu tidak lagi muda. Usianya 66 tahun. Saat ini, dia sedang berdiri di podium. Membacakan makalahnya yang berjudul 'Upaya Menyajikan Pembelajaran Kimia untuk Siswa SMALB Tunarungu'. Suaranya lantang, tegas, penuh percaya diri. 

"Perkenankan saya pada kesempatan ini, di usia 66 tahun, menyampaikan pidato pengukuhan ini." Begitu dia mengawali pidatonya. Ya, wanita itu, hari ini dikukuhkan sebagai guru besar Unesa. Bersama dengan dua guru besar yang lain, Prof. Dr. Endang Susantini (FMIPA) dan Prof. Dr. Ali Maksum (FIK). 

Apa yang menjadikan wanita itu begitu istimewa di mata saya adalah ketekunan dan kesabarannya. Perjalanan panjang telah ditempuhnya untuk sampai pada tahap ini, dikukuhkan sebagai guru besar, jabatan tetinggi dalam bidang akademik. Jabatan itu diperolehnya pada tanggal 1 Juni 2011 atau tepatnya pada usia 63 tahun 6 bulan 6 hari. Itu merupakan usia tertua dalam memperoleh jabatan guru besar di antara guru besar di Unesa. 

Namun tidak lama setelah diperolehnya jabatan itu, dia harus menerima kenyataan, bahwa masa kerjanya sudah menjelang berakhir. Proses pengajuan pensiun telah diluncurkan oleh Senat Unesa ke Pusat. Artinya, jabatan sebagai guru besar itu hanya sekejap saja dinikmatinya. Permohonannya pada Senat Unesa untuk memperpanjang batas usia pensiunnya, dengan berbagai pertimbangan, tidak diluluskan.

Ternyata Allah SWT berkehendak lain. Turunnya peraturan mendikbud tentang batas usia pensiun guru besar sampai usia 70 tahun, memberinya kesempatan untuk terus mengabdikan diri di Unesa. Subhanallah.

Poedjiastoeti adalah sosok teladan tentang ketekunan dan kesabaran. Wanita kelahiran Wonosobo itu menyelesaikan pendidikan sarjananya di IKIP Surabaya pada tahun 1977 dalam program studi Kimia. Selanjutnya dia melanjutkan ke UGM, mengambil program studi Kimia Analitik, dan mendapatkan gelar Magister Sain pada tahun 1995. Baru pada tahun 2010, dia mendapatkan gelar Doktor Pendidikan IPA dari UPI. Ya, setelah lima belas tahun dia memperoleh gelar magisternya.

Ketekunannya juga tercermin dari karya-karyanya baik dalam bidang penelitian, pengabdian masyarakat, maupun karya ilmiah dalam bentuk buku maupun artikel yang dipublikasikan dalam berbagai jurnal ilmiah serta berbagai seminar nasional dan internasional. Beberapa hasil karya itu terbaca di daftar riwayat hidupnya, dan betapa dia adalah dosen yang cukup produktif.

Dalam usianya yang tidak lagi muda, Poedjiastuti adalah tauladan bagi kita semua. Dengan ketekunan, kesabaran, berhusnudzon dan pasrah sepenuhnya pada kehendak Illahi, apa yang nampaknya tidak mungkin menjadi sangat mungkin. Berikhtiar sekuat tenaga, fokus, dan biarkan Allah SWT yang menentukan. Do the best, let God does the rest. itulah kuncinya.

Selamat, Prof. Poedji. Semoga jabatan guru besar ini menjadi berkah bagi semua. Amin YRA.

Gedung Serba Guna Unesa, 17 Desember 2013. 11.10 WIB.

Wassalam,
LN

Kamis, 12 Desember 2013

Senandung Anak Sulung

Saya terperangah membaca sebuah surel yang masuk di inboks akun email saya. pagi setengah siang hari ini, Kamis, 12 Desember 2013. Di tengah mengikuti acara Seminar dan FGD Penyelenggaraan Pendidikan Guru: Dari Rintisan Menuju Pembakuan", di Hotel Atlit Century, Jakarta.

Elina, pengirim surel itu, meminta saya membuat pengantar untuk buku antologi puisi 'Senandung Anak Sulung'. Dia adalah salah satu mahasiswa Program Profesi Guru Pasca Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (PPG Pasca SM-3T). 

"Ibu Luthfi, yang telah menjadi sosok bunda kedua bagi kami, saya Elina (dari Prodi Bahasa Indonesia). Bu, kami mahasiswa PPG Prodi Bahasa Indonesia telah
mengumpulkan puisi yang mestinya harus sudah kami masukkan ke percetakan pada beberapa bulan lalu. Akan tetapi karena beberapa hal, rencana tersebut mundur dan tidak sesuai dengan rencana. Kami insyaallah akan mencetaknya pada bulan Januari sehubungan dengan waktu perkuliahan yang semakin singkat. Dengan waktu yang singkat ini dan dengan mohon maaf atas email ini, berkenankah Ibu memberikan tanggapan atau kesan terhadap hasil karya kami? Sungguh menjadi suka cita bagi kami jika Ibu berkenan meskipun hasil karya kami sangat sederhana".

Elina dan kawan-kawannya benar-benar telah memberi saya kejutan yang luar biasa. Betapa tidak, selama ini, sebagai Direktur Program PPG Unesa, saya tak bosan-bosannya memberi dorongan pada para semua mahasiswa untuk menulis, termasuk menulis pengalaman berkesan mereka selama mengikuti PPG. Sebagian besar sudah menulis, termasuk Elina dan kawan-kawannya. Meski tulisan mereka tidak semua bagus, namun setidaknya telah terhimpun beberapa tulisan yang layak dibukukan, tentu saja setelah dilakukan penyuntingan. Pada saat kami sedang melakukan pemilihan dan penyuntingan tulisan-tulisan tersebut, tiba-tiba kabar rencana penerbitan antologi cerpen ini saya terima. 

Luar biasa anak-anak ini. Ternyata diam-diam mereka telah melakukan gerilya, melakukan gerakan di belakang saya, kasak-kusuk merencanakan sebuah konspirasi, yang bernama 'gerakan literasi'. Kalau ada istilah 'rapat gelap', maka inilah 'gerakan literasi gelap' itu.  

Saya lebih terperangah setelah membaca puisi-puisi mereka. Sampai 'mbrebes mili' saya membacanya. Terharu, bangga, gemas. Anak-anak 'nakal' ini telah mengaduk-aduk hati saya tanpa perasaan. Puisi-puisi mereka begitu bagus, menyentuh, mengharu-biru dan....membanggakan. 

Begitu saja terbayang sosok-sosok muda yang saya sayangi itu. Wajah-wajah manis mereka yang lucu, ceria, menyimpan mimpi, penuh optimisme. Mereka adalah anak-anak pertama kami, angkatan pertama PPG Pasca SM-3T Unesa. Oleh sebab itu, mereka memberi judul antologi puisi mereka sebagai 'Senandung Anak Sulung'.

Bagaimana pun, apa yang sudah mereka lakukan adalah bukti sebuah komitmen. Mereka telah berbuat tanpa banyak bicara. Mereka telah menyumbangkan satu tonggak sejarah dalam pengembangan budaya literasi. Mungkin hanya sebuah tonggak kecil, namun bagaimana pun, akan meninggalkan jejak di sana. Bersama jejak-jejak lain...menuju pembangunan generasi yang lebih gemilang. Generasi yang lebih sadar baca-tulis. Generasi yang lebih literat.

Terima kasih, anak-anakku. Kalian telah membuat kami semua bangga. Teruslah berkarya, dan jadilah guru yang tidak hanya mampu mengajar dan mendidik, namun guru-guru yang mampu menginspirasi. 


Jakarta, 12 Desember 2013

Wassalam,
Luthfiyah Nurlaela

Sabtu, 07 Desember 2013

Suatu Siang, tentang Kurikulum 2013

Suatu siang, saat saya sedang menunggu waktu untuk menguji tesis mahasiswa di ruang sidang Pascasarjana, dering telepon seluler saya berbunyi. 

"Halo..."
"Assalamualaikum, bu prof..." Suara di seberang.
"Waalaikum salam. Apa kabar pak?"
"Kabar baik, bu prof. Nyuwun sewu, bu prof, kami mau konsultasi lagi. Kami mau mengadakan kegiatan workshop. Mohon arahan, bu, kira-kira kegiatan workshopnya nopo nggih?"

Ini adalah telepon dari seseorang, sebut saja namanya Ngabdul, yang merupakan aktivis di sebuah LSM. Nama LSM-nya keren. Berkaitan dengan pendidikan.

Pertanyaan seperti ini, bukan yang pertama. Seingat saya, ini sudah yang keempat. Hampir setiap tahun sejak tiga tahun ini, dia melontarkan pertanyaan yang sama. 

Awal mulanya, waktu itu, saya ditugasi pak Rektor untuk menggantikan beliau menjadi narasumber di sebuah acara seminar pendidikan. Temanya tentang peningkatan kompetensi guru. Nah, sejak itulah, saya hampir setiap tahun diundang untuk menjadi narasumber seminar yang diselenggarakan oleh LSM tersebut. Pernah ditandemkan dengan Ketua PGRI Jawa Timur, pernah juga dengan Kepala Dinas Provinsi Jawa Timur dan pakar pendidikan dari perguruan tinggi lain.

"Saat ini kan sedang hangat diperbincangkan Kurikulum 2013, pak. Menurut saya, temanya tentang Kurikulum 2013 itu saja...." Saya memberi saran. 

"Lha tapi ini kan tahun 2013 sudah mau habis, bu prof...."
"Maksudnya?"
"Kan sudah mau masuk tahun 2014, bu prof. Apa tidak kadaluwarsa nanti kalau kita mengangkat topik Kurikulum 2013?"

Apa? Saya keheranan.
"Kadaluwarsa gimana, pak?"

"Gini lho, bu prof. Ini kan sudah mau akhir tahun 2013. Lha kalau kita mengangkat topik Kurikulum 2013, apa masih sesuai, wong tahunnya sudah mau habis."

Alamakkkk.

"Pak, sekarang ini, kurikulum yang dipakai kan Kurikulum 2013. Sudah disosialisasikan terus-menerus dan bahkan sudah diimplementasikan di banyak sekolah mulai dari SD, SMP, dan SMA. Namanya memang Kurikulum 2013. Tapi berlakunya kan sampai 2014 dan seterusnya..."

"Woo....ngoten, prof..."

"Sebelumnya kan pakai KTSP. Itu kurikulum sejak tahun 2006. Dipakai terus dan baru tahun 2013 ini dipakai kurikulum baru. Itu pun belum semua sekolah menerapkan."

"Wooo.....ngoten nggih, prof."

"Meskipun sudah disosialisasikan di mana-mana, tapi masih banyak guru yang belum paham. Jadi masih sesuai kalau akan disosialisasikan. Atau kalau tidak, ya topik yang lebih spesifik, misalnya pengembangan perangkat pembelajaran dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Gitu pak."

Woo....ngoten nggih, prof. Nggih nggih menawi ngoten, prof." Dia seperti kegirangan karena sudah mulai ngeh. 

"Prof, dados topiknya nopo, prof?"

"Pengembangan perangkat pembelajaran dalam rangka Implementasi Kurikulum 2013."

"Nggih nggih, prof. Kulo catet rumiyin, prof." Dia nampaknya mulai mencatat. "Prof, menawi topiknya menyusun RPP mawon dospundi, prof?"

Halahhhh.....

"Lha iya to pak.... Perangkat itu kan ya salah satunya RPP itu.... Termasuk juga media pembelajaran, modul, LKS, penilaian dan asesmennya..."

"Wooo... nggih, nggih, prof."

"Inggah-inggih ngertos saestu to pak?"
"Inggih, prof.....insyaallah ngertos prof..." Suaranya ragu-ragu.
"Nggih pun...monggo didiskusikan sama teman-temannya sana." Lanjut saya.
"Nggih, prof, nggih. Maturnuwun nggih, prof. Nyuwun pangapunten sudah mengganggu, prof..." Dia menutup teleponnya setelah bersalam.

"Ada apa, bu...kok njenengan koyok jengkel gitu..." Tanya pak Suparji, teman sesama tim penguji. Dia ternyata nguping pembicaraan saya barusan.

"Iki lho pak....LSM pendidikan nduwe duit, lagi bingung nggawe kegiatan." Jawab saya.

"Hehe..." Pak parji tergelak. "Uwakeh bu LSM sing koyo ngono kuwi. LSM pendidikan tapi ra paham pendidikan..."

Nah kan....

Dan tibalah waktunya untuk menguji...

Surabaya, 7 Desember 2013

Wassalam,
LN 
(otw Pacet, ngguyubi warga RT 04 RW 07 Kelurahan Karah).

Rabu, 04 Desember 2013

Puisi Buat Bung Ayik

Bung Ayik,
Pagi ini gerimis ilmu
Aku saksikan kau di sana membacanya dengan duduk syahdu
Membalik halaman keluarga selembar demi selembar dan mendakinya pada setiap pendakian atau turun ketika terjal dan berjalan perlahan ketika curam memanjang, dan berteduh berhari-hari ketika hujan petualangan tak kunjung reda, berderak dari pesisir Talaud, mengarungi deru laut hingga meretas jejak-jejak peradaban Papua

Bung,
Siang ini udara tidak lekas panas oleh terik mentari yang datang kadang tak pernah bertanya dan mengetuk pintu rumah kita, tapi kau berdiri dengan khidmat, menceritakan melodi kehidupan yang pasir, berbutir-butir banyak sekali, beribu-ribu, berjuta-juta, dan bermuara-muara, dan kau begitu dekati pantaimu dengan gelombang riak yang putih berderit-derit ke pinggir

Aku tak mengenalmu dalam diamku tapi akau menyapamu dalam irama yang tak biasa ketika siang itu kau bunyikan peluit kebaikan di antara gelegak anak-anak tak bersendal untuk mengeja "a" pada alam dan "b" pada bismillah 

Aku bertafakur semenjak itu padahal kutahu kau tak pernah kulihat dalam setiap gelombang dan angin buritan di atas spedboot yang melaju begitu dalam di antara angin laut yang biru juga tatapan alam yang rua 

Hanya sayapmu membaca semua yang tak kulihat dan tak pernah kudengar dan terus saja melintasi beribu peradaban, menjuntai di antara gemeletak tangis, tawa, deru, debu, dua puluh empat jam dalam sekali putaran hari

Aku melepas ingatan sejenak, kapankah anginmu tidur dalam sehari ini jika setiap kepala anak-anak itu terus bergemuruh merangkai harapan-harapannya dengan senyum yang tak bisa kubayangkan getarannya? 

Hei Bung, 
Ke sinilah sebentar saja dan letakkan dulu matahari di pundakmu agar kau bisa telentang sambil minum kopi yang kuseduh sore ini, lepaskan segala kepenatan pengabdianmu pada isterimu yang terus meretas jejak peradaban di bumi nusantara ini tanpa pernah lekang dan berhenti, berhentilah sejenak saja untuk menjadi inspirasi bagi bidadari yang kau sunting ketika bumi menunjuk pada dua puluh tiga derajat penantian panjang yang nyaris tak pernah habis

Aku habiskan suaraku memanggilmu tapi kau tetap bergerak seperti angin yang memasuki kerongkongan dan nafas setiap pengabdian dan tak pernah kau mengibarkan namamu pada setiap jejak yang kau retas bersama suara suara bumi yang rumi

Bung Ayik,
Katakataku hanyalah ijuk di bukit beludru yang nyaris tak mengenal garam...tapi aku merasakan air lautmu terbang ke angkasa membentuk awan-awan kehidupan dan menjadi mendung yang menurunkan hujan kesempatan agar benih-benih yang bertebaran di muka bumi tumbuh menjadi pohon-pohon kehidupan yang terus bercerita tentang kemaslahatan dan kemanusiaan

Aku hanya bersimpuh di sini
Menyaksikan setiap benih lahir menjadi para pengabdi dan ikut serta bertafakur pada bumi, pada air, pada angin yang mengabdi pada Ilahi...

Selamat Ulang Tahun
Semoga Tetap Menjadi Inspirasi bagi sesama, melalui isteri dan keluarga, anak-anak, sahabat, dan siapa saja...

Jakarta, 4 Desember 2013
Habe Arifin 

Selasa, 03 Desember 2013

PUISI ULTAH UNTUK MAS AYIK

Mas Ayik,
Hari ini adalah hari ulang tahunmu yang ke-50
Ya, kepala lima
Tidak terasa ya

Sepertinya baru kemarin
Saat kau sunting aku 
Waktu itu usiaku 23
Masih imut, langsing, kinyis-kinyis..
Dan kau menginjak 27 tahun
Muda, gagah, ngganteng...

Tidak terasa...
Dua puluh tiga tahun sudah kita jalani bahtera rumah tangga
Dengan seorang pangeran tampan semata wayang hasil buah cinta kita

Ada banyak liku-liku
Dengan segala suka duka
Senyum, tangis, susah, senang
Kadang terselip marah, benci, cemburu, curiga
Namun semua terkalahkan oleh cinta

Ya, cinta
Kata orang, cinta bukanlah segala-galanya
Kalau lapar tidak ada makanan, orang tak akan kenyang hanya dengan makan cinta
Kalau di kantong tak ada uang, beras tetap tak terbeli kalau cuma mengandalkan cinta

Tapi kita tahu, cinta tidaklah sesederhana itu
Cinta adalah tanggung jawab, kepedulian, kepercayaan, konsekuensi, kasih sayang dan pengorbanan
Kau telah buktikan, kau punya semuanya
Kau sudah lakukan segalanya untuk cinta kita
Hanya satu yang kau tak bisa
Memutus rasa cinta itu
Mematahkan jembatan kasih sayang yang menghubungkan hati kita
Merenggut saat suka maupun duka 
Dalam cinta yang nafasnya terhembus di mana-mana
Butirannya tertabur di mana-mana
Di setiap sudut rumah kita
Di halaman, di setiap pohon dan bunga
Di gunung, bukit, hutan, tanah lapang
Di sepanjang jalan, di setiap kelokan
Di senyum sanak saudara dan para sahabat
Di tukang rujak, warung sego pecel, resto-resto dan mall
Juga di tenda, kamar-kamar hotel dan villa

Mas Ayik,
Setiap saat, di mana pun, kau selalu memanggilku dengan sebutan 'yang'
Ketika masih muda dulu, itu pastilah kependekan dari kata 'sayang'
Sampai saat ini pun, kau masih memanggilku dengan sebutan itu
Meski kita sudah sama-sama beranjak tua
Katamu, 'yang' saat ini tidak hanya berarti sayang
Namun lebih tepatnya adalah eyang
Ya, 'ngunduri tuwo', katamu
Sebentar lagi anak kita akan menikah, punya anak-anak
Anak-anak itu adalah cucu-cucu kita
Mereka akan memanggil kita dengan sebutan 'eyang'
Eyang kakung dan eyang putri...
Haha...senangnya
Tak sabar rasanya menanti masa-masa itu

Tapi demi memastikan bahwa yang kau maksud adalah memang 'sayang', dan bukan 'eyang'
Kau lebih sering memanggilku dengan sebutan 'sayang' dan tidak sekedar 'yang'
"Sayang, ambilkan kunci mobil..."
"Mau aku kupasin mangga, sayang?"
Dan sayang-sayang yang lain
Dalam hati aku bahagiaaa sekali
Ya, siapa sih yang tidak bahagia bila disayang?

Mas,
Aku kolokan banget ya?
Judes, galak, cemburuan, ngambekan, ngamukan, senengane mleruk, mecucu
Setiap kali menghadapi kelakuanku
Kamu begitu sabar
Hanya diam, memandangiku, geleng-geleng kepala, sambil tersenyum...
"Mosok profesor kok kayak gini se..." Katamu. "Tapi nggak papa, aku seneng kok....itu tandanya cinta..."
Ya sudah...
Kuterus-teruskan saja marahku
Biar bisa bermanja-manja denganmu
Biar bisa selalu mencuri perhatianmu
Biar tak ada peluang sedetik pun kamu berpaling dariku

Aku egois ya?
Suka memang sendiri
Suka menuntut ini-itu
Suka merajuk seperti anak kecil
Biarin
Hehe

Mas Ayik,
Selamat ulang tahun ya
Panjang umur, sehat, barokah
Semakin cinta padaku dan anak kita
Juga keluarga besar kita
Juga kerabat dan para sahabat kita
Dan, tentu saja
Semakin cinta pada Dia Yang Maha Memberi Cinta...

Surabaya, 4 Desember 2013

Wassalam,
LN