Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 14 September 2012

Traveling Lagi...(2)

Minggu, 9 September 
21.00


Pesawat yang kami tumpangi mendarat di Bandara Supadio Pontianak. Setelah tadi malam bekerja sampai larut malam, berkendara sepanjang siang, dan 'kleleran' di Soekarno Hatta lebih dari tiga jam ketika transit, rasa lelah mulai saya rasakan. BB saya pada status SOS. Tidak ada jaringan untuk Axis, atau mungkin jaringan terlalu lemah, sehingga tidak 'ngangkat'. 

Ibu Fuadiyah, staf bagian umum Dinas Dikbud Kota Pontianak, menyampaikan via sms kalau dia sudah menunggu di depan pintu keluar kedatangan. Berkerudung hitam dan berjaket hitam. Andra masih menunggu bagasinya yang  penuh berisi berkas instrumen pengumpulan data dewan pendidikan dan komite sekolah. Ya, kedatangan kami ke Pontianak ini memang untuk tugas tersebut. Seperti tahun kemarin, tahun ini kami dipercaya lagi oleh Direktorat Pendidikan Menengah (Dikmen) untuk menyusun naskah kajian pemberdayaan dewan pendidikan dan komite sekolah. Ada lima PT yang lain, yaitu ITS, UM, Unsoed, UNM, dan UNS. Wilayah pengumpulan data kami ada sebanyak 26 provinsi, tapi kami berbagi. Setiap PT mendapatkan empat atau lima provinsi, tapi instrumen dari semua PT harus dibawa. Pola itu jugalah yang kami gunakan tahun yang lalu, dan sangat efektif ditinjau dari keterwakilan populasi dan keterbatasan biaya.

Bu Diyah (panggilan dari ibu Fuadiyah) datang menjemput kami bersama temannya sekantor, namanya pak Joko. Kami menggeleng ketika ditawari makan malam. Tubuh lelah kami saat ini rasanya sudah tidak memerlukan apa-apa lagi kecuali mandi dan tidur. Lagi pula, ada beberapa biji lumpia Semarang dan sekotak kue sus 'beard papa's' yang tadi dibeli Andra di Soekarno Hatta. Lebih dari cukup untuk persediaan logistik kami semalam. 

Senin, 10 September 2012
09.05


Kami dijemput oleh bu Diyah dan pak Joko di hotel tempat kami menginap, yaitu Hotel Kini. Hotel yang berada di kawasan pertokoan di jalan Nusa Indah. Segepok instrumen untuk diisi responden sudah dibawa Andra dalam tas khusus. Segepok uang di dalam amplop-amplop untuk transport dan honorarium responden dan petugas dari Dinas Pendidikan juga sudah disiapkan.  

Sebanyak 25 responden sudah berkumpul di ruang sidang kantor dinas pendidikan kota Pontianak. Mereka terdiri dari pengurus Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat, Pengurus Dewan Pendidkan Kota Pontianak, pengurus komite sekolah, beberapa kepala sekolah, dan beberapa guru. Bapak Dwi Suryanto, Kabid Dikmen, mengantarkan diskusi tentang seputar dewan pendidikan dan komite sekolah, serta pengisian instrumen ini.

Diskusi pagi ini bagaikan ajang curhat. Saya memang pada posisi menggali berbagai permasalahan yang terjadi di lapangan terkait dengan dewan pendidikan dan komite sekolah. Hasil penggalian data tersebut akan diolah bersama-sama dengan data yang kami peroleh melalui angket. 

Salah satu hal yang dikeluhkan oleh para responden adalah kurang adanya sinergi antara dewan pendidikan provinsi, dewan pendidikan kota/kabupaten, dan komite sekolah. Tidak ada pedoman yang dapat digunakan untuk memandu pelaksanaan program mereka secara terpadu. Program antara ketiga institusi yang seharusnya terintegrasi ini masih lepas-lepas. Para responden juga mengeluhkan betapa kebijakan pemberian BOS begitu mengebiri peranserta komite sekolah sebagai representasi masyarakat dan orang tua. Seluruh biaya operasional sekolah tidak mungkin bisa seluruhnya teratasi dengan dana BOS. Namun bila ada elemen masyarakat yang dengan inisiatifnya sendiri memberikan kontribusinya pada sekolah, misalnya dalam bentuk bantuan finansial, bangunan fisik atau alat-alat laboratorium, maka kepala sekolah yang bersangkutan akan menjadi sorotan. Para 'oknum' dari LSM (Lembaga Salah Melulu, plesetan singkatan LSM) mengobok-obok sekolah dan menekan dinas pendidikan, dan seringkali membawa-bawa wartawan, agar mengekspose pemberitaan bahwa kepala sekolah tersebut melakukan pungutan dari masyarakat. Sangat tragis dan dilematis. Kampanye sekolah gratis menjadi penjara bagi sekolah-sekolah-khususnya sekolah negeri-yang ingin maju.

Keluhan lain disampaikan oleh seorang kepala sekolah. Tugas kepala sekolah hanyalah sebagai tugas tambahan. Tugas utamanya adalah sama dengan guru, yaitu melaksanakan pembelajaran.  Namun ternyata sebagian besar waktu dan tenaga kepala sekolah justeru habis untuk mengurus masalah-masalah nonkependidikan. Bahkan kepala sekolah seringkali tidak bisa melaksanakan tugasnya melakukan supervisi. Dalam kaitan ini, kepala sekolah berharap, tugas-tugas non-dik seharusnya tidak selalu menjadi tugas kepala sekolah, namun bisa dilakukan oleh unsur lain di sekolah, misalnya komite sekolah. 

Setelah para responden itu puas menyampaikan uneg-unegnya, kami mulai sesi pengisian instrumen. Saya hanya perlu memberikan pengarahan seperlunya terkait dengan instrumen. Responden cukup cerdas memahami isi isntrumen dan bagaimana mengisinya. Selama sekitar dua jam suasana di ruangan itu hening seperti ruang ujian. Saya bersyukur dinas pendidikan telah memfasilitasi kegiatan ini dengan sangat baik, termasuk mengumpulkan semua responden yang kami perlukan, dan mereka semua serius dalam melakukan pengisian instrumen.

13.30
Kegiatan ditutup dengan makan siang nasi kotak. Menunya nasi uduk, ayam goreng, sambal dan lalapan. Sepertinya enak, tapi saya dan Andra tidak makan. Bukan karena tidak berselera, tapi karena saya ingin makan bubur padas siang ini. Salah satu makanan khas Pontianak yang berasal dari suku Sambas. 

Selanjutnya kami berkunjung di SMK 4 Pontianak. Berdiskusi lebih fokus dengan kepala sekolah dan komite sekolah. Bapak Mawardi, kasek SMK 4 Pontianak mengutarakan banyak hal. SMK 4 sudah bersertifikat ISO sejak tahun 2012 ini. Berstatus RSB1 sejak 2009. Sekolah ini memiliki 12 kompetensi keahlian. Guru PNS sebanyak 111 orang, dan guru honorer ada 21 orang. Siswanya yang berjumlah 1413 itu terbagi dalam 49 rombel; jumlah yang dirasakan terlalu berat. Ada 9 guru lulusan S2, dan saat ini ada 9 guru yang sedang menempuh S2 dengan bantuan beasiswa dari dana Hibah ADB. Business center yang ada di SMK 4 adalah teknik mesin otomotif, pengelasan, perkayuan, batu beton, elektronika, dan PKJ.

14.30
Bu Diyah dan pak Joko mengantar kami ke rumah makan sederhana di pinggir jalan. Namanya rumah makan 'Pa' Ngah'.  Menu utama tertulis bubbor paddas. Saya belum tahu seperti apa makanan khas Pontianak itu, justeru itu saya ingin memesannya. Menurut pak Joko dan bu Diyah, bubur padas dibuat dari beras yang disangrai, ditumbuk, dimasak dengan berbagai macam sayuran yang dipotong-potong. Sayuran yang khas, yang memberikan aroma tajam dan harum, namanya daun kesum. Sayang sekali kami tidak bisa melihat bentuk utuh daun kesum karena semua dedaunan itu telah dipotong-potong. Campuran yang lain, bisa diminta sesuai pesanan, adalah daging, tulang, kikil, ayam, dan sebagainya.

Bubur padas rasanya gurih. Juga bergizi. Dalam satu mangkuk, semua sumber gizi yang dibutuhkan ada. Ada juga kacang goreng dan ikan teri sebagai pelengkap. Konsistensinya menyerupai bubur ayam tapi sedikit lebih encer. Meski warnanya kurang menarik karena putih kehitaman bercampur kehijauan, namun rasanya yang enak membuat kami tidak menyisakan sedikit pun di mangkuk. Bubur yang penuh sayuran dan kaya rasa itu menenangkan perut kami yang memang sedang lapar.

Kami selanjutnya dibawa menuju jalur ke luar kota, arah ke kabupaten Singkawang, Sambas, dan kabupaten yang lain. Menyeberangi jembatan di atas sungai Kapuas di wilayah Kecamatan Pontianak Timur. Itulah jembatan pertama yang kami seberangi. Sedangkan jembatan kedua melintang di atas anak sungai Kapuas yang namanya sungai Landak, berada di wilayah kecamatan Pontianak Utara. 

Sepanjang perjalanan, saya melihat ada banyak vihara/pagoda (di Pontianak disebut pekong). Kalau di Lombok dikatakan pulau dengan seribu masjid, di Sumatra Utara dengan seribu gereja, maka di Pontianak ini bolehlah disebut kota dengan seribu pekong. Kami juga melewati kawasan kasultanan. Sebuah gapura di kiri jalan bertuliskan: "Awak dateng kame sambo, Kraton Kadriah Kasultanan Pontianak". 
Pak Joko dan bu Diyah ternyata ingin kami melihat tugu khatulistiwa. Tugu yang menjadi ikon kota Pontianak. Saya sama sekali tidak mengira kami akan ada waktu untuk berwisata di Pontianak ini. Berdasarkan pengalaman kami sebelumnya di Sumba Timur dan Sumba Barat setahun yang lalu, pengumpulan data bisa memakan waktu berjam-jam. Ya, karena respondennya datang sangat terlambat, itu pun satu per satu, dan kami juga harus memandu pengisian instrumen karena kebanyakan dari mereka tidak memahami isi instrumen. Ternyata di Pontianak ini berbeda. Respondennya cerdas, cepat menangkap apa yang saya maksud dan yang tertulis di instrumen, sehingga pengisian instrumen tidak memerlukan waktu panjang. 

Selepas ashar, kami sampai di Tugu Khatulistiwa (monument of equator). Sebuah bangunan yang berbentuk heksagonal yang di puncaknya berdiri tugu berbentuk dua lingkaran yang saling silang. Kami memasuki bangunan tersebut, dan nampaklah tugu ekuator yang asli. Ukurannya tentu saja lebih kecil daripada yang ada di luar. Di dalam bangunan tersebut berbagai foto peristiwa dari masa ke masa seputar tugu ekuator itu terpasang.
Termasuk foto-foto ketika matahari berada pada titik kulminasi, di mana semua benda tidak memiliki bayangan. Menurut pak Joko, peristiwa seperti itu hanya terjadi dua kali setahun, yaitu pada bulan Maret dan Oktober.  
Puas melihat tugu khatulistiwa, kami menyempatkan diri menunaikan sholat ashar di musholla di dekat monumen. Selepas sholat, kami dibawa menuju home industry pengolahan lidah buaya. Daun lidah buaya yang besar-besar berjajar di atas lapak-lapak para penjual di sepanjang jalan, bergabung dengan tumpukan rambutan Pontianak yang ranum-ranum. Kami menikmati es lidah buaya yang rasanya manis dan teksturnya lembut. Lebih lembut dan lunak dari kolang-kaling atau nata de coco. Selain lembut, aloe vera berbentuk dadu tapi agak pipih itu juga sedikit renyah. Dipadu dengan sirup gula putih dan pecahan es batu, es lidah buaya itu benar-benar segar.

Lepas dari es lidah buaya, kami melanjutkan perjalanan menuju kota. Maghrib sudah turun. Lapar mulai terasa. Semangkuk bubur padas yang kami makan siang tadi sudah tak berbekas. Masih ada dua nasi kotak jatah makan siang kami tadi, yang memang sengaja dibawa Andra, karena nasi uduk dan ayam gorengnya pasti enak. Makan malam aman. Maka tawaran 'pesta durian' dari pak Joko dan bu Diyah untuk mengakhiri wisata kuliner sore ini langsung kami terima. Pucuk dicinta ulam tiba. Pontianak sedang musim durian, dan melewatkan durian yang terkenal lezat itu sungguh rugi.

Maka duduklah kami mengitari sebuah meja, di salah satu pusat penjualan durian, di jalan Gajah Mada. Sebutir demi sebutir durian masak pohon itu kami lahap dengan nikmat. Benar kata orang, durian Pontianak memang mantap. Dagingnya tebal, punel, dan sangat legit. Andaikata tidak ingat kesehatan, rasanya kami kuat melahap berapa butir pun. Untuk saat ini, enam butir cukuplah bagi kami yang kebanyakan sudah berkepala empat ini.

Malam ini kami pulang ke hotel dengan tubuh lelah dan perut kenyang, tapi hati senang. Sebaiknya kami segera membersihkan diri, dan tidur. Masih ada pekerjaan yang harus kami lakukan besuk pagi, sebelum kami bertolak ke Kupang pada siang harinya. Tentu saja, membeli lempok durian. Dodol khas Pontianak ini saya perlukan untuk oleh-oleh teman-teman di jurusan yang sudah 'wanti-wanti': jangan balik ke jurusan tanpa lempok.....  
    
Pontianak, 11 September 2012

Wassalam,
LN

Minggu, 09 September 2012

Travelling lagi....

Sabtu, 8 September 2012.
11.20.

Matahari sedang bermurah hati siang ini. Mungkin seperti siang-siang sebelumnya. Sinarnya yang melimpah membuat kota Semarang terasa hangat. Kehangatan itulah yang menyambut kami bertiga ketika mendarat di Bandara Internasional Ahmad Yani. Saya, mas Eddy Sutadji (alumni IKIP Surabaya angkatan 83, dosen Teknik Mesin UM), dan pak Wayan Warpala (dosen Undhiksa), secara kebetulan bertemu di Bandara Juanda tadi, dan terbang bersama-sama dengan Wings ke Semarang. Kami bertiga adalah koordinator SM-3T di universitas kami masing-masing, dan sore nanti diundang untuk menghadiri rapat koordinasi persiapan tes wawancara dan prakondisi peserta SM-3T angkatan kedua.  

16.00
Rapat koordinasi dimulai. Acara pertama sebenarnya sambutan dari Direktur Ditendik, namun karena beliau masih ada acara, sambutan akan diberikan nanti selepas maghrib. Maka Prof. Ana Suhaenah yang sedianya mengisi acara yang kedua, memberikan pengarahannya terkait dengan pelaksanaan SM-3T angkatan kedua untuk memanfaatkan kesempatan tersebut.

Pendaftar SM-3T angkatan kedua di seluruh Indonesia melalui 17 LPTK sebanyak 7070. Yang lulus seleksi administrasi dan tes online sebanyak 2990 orang. Kuota nasional adalah 2950, maka 40 di antaranya lulus sebagai cadangan. Di Unesa, yang lulus tes online tahap 1 dan 2 sebanyak 197. Namun yang memilih PPG di Unesa sebanyak 228. Sedikit melebihi kuota PPG Unesa yang sebenarnya 200.

Dari seluruh pendaftar yang lulus, 82,87 persen adalah lulusan PTN, sedangkan sisanya yaitu 18,13 persen adalah lulusan PTS.

19.30
Acara sore ini dimulai dengan pengarahan dari direktur Ditendik, Prof. Supriadi Rustad. Beliau menyampaikan berbagai hal terkait dengan persiapan tes wawancara dan prakondisi. Belajar dari pengalaman tahun yang lalu, banyak hal yang perlu diantisipasi, misalnya peserta yang sakit, peserta yang tidak tahan mental dan mengundurkan diri, dan sebagainya.  

Sesi malam ini diakhiri dengan kerja kelompok. Kami wakil dari 17 LPTK penyelenggara SM-3T dipandu  tim Dikti membagi diri menjadi dua kelompok. Satu kelompok menyiapkan draf jadwal prakondisi, dan satu kelompok lagi menyiapkan pembagian wilayah. Kami bekerja sampai lepas pukul 23.00.

Tes wawancara akan dilaksanakan pada 14-16 September 2012 di masing-masing LPTK, sedangkan prakondisi akan dilaksanakan pada 24 September-5 Oktober 2012. Kalau tahun 2011 yang lalu Unesa ditugasi untuk Sumba Timur, tahun ini wilayahnya ditambah, yaitu meliputi: Sumba Timur, Maluku Barat Daya, Talaud, dan Aceh Singkil.  

Malam ini juga saya langsung berkoordinasi dengan Dr. Sulaiman, dosen Matematika yang menjadi sekretaris saya di PPG. Sosialisasi dan koordinasi harus segera dilakukan, mengingat waktu persiapan tes wawancara dan prakondisi yang cukup mendesak.

Minggu, 9 September 2012
05.30

Semarang mendung. Gerimis kecil jatuh membasahi jalan dan pepohonan. Kabut tipis menyelimuti kota. Saya dan Prof. Tjutju (koordinator SM-3T UPI) berkendara dengan Dr. Isti Hidayah (koordinator SM-3T Unnes) sebagai drivernya. Oleh karena kegiatan ini diselenggarakan di Semarang, maka 'kewajiban' bu Isti sebagai nyonya rumah untuk 'melayani' kami berkeliling kota.  

Di tengah perjalanan 'kota-kota' itu, saya menyapa teman-teman yang rumahnya di Semarang. Beberapa dari mereka adalah teman ketika di S2 IKIP Yogyakarta, beberapa lagi teman di kegiatan-kegiatan Dikti dan direktorat yang lain. Saya sms mereka semua: 'Selamat pagi, Semarang. Semoga cerah dan semua sehat, meski gerimis kecil dan kabut tipis menyelimuti kota....'.

Bu Isti membawa kami melintasi Monumen Tugu Muda, Lawang Sewu, dan Simpang Lima. Di tempat yang namanya Simpang Lima itu, dia memarkir mobilnya. Kami bertiga turun dan berjalan-jalan di area yang sepagi ini sudah ramai. Para pesepeda dan pejalan kaki menumpuk. Ya, karena kawasan ini merupakan kawasan yang bebas kendaraan bermotor (car free day) pada setiap minggu pagi.

Kami tidak lama berjalan-jalan di Simpang Lima, hanya sekitar 15 menit. Cukuplah untuk melemaskan otot kaki dan cuci mata melihat keceriaan orang-orang yang sedang mengisi Minggu paginya itu. Mobil kami meluncur ke arah jalan Gajah Mada. Ada yang menarik di sana, lumpia Semarang. Seorang teman mengabarkan, di sana ada lumpia yang namanya lumpia express, yang rasanya enak sekali. 

Hanya dalam waktu beberapa menit saja, kami sudah duduk mengelilingi meja makan di Lumpia Express. Tiga buah lumpia basah dan minuman hangat kami pesan. Benar, lumpianya enak sekali. Ada yang isinya kepiting, ada yang isi ayam dan udang. Andaikata saya hari ini langsung balik ke Surabaya, pasti akan saya bawakan untuk mas Ayik, Arga, dan teman-teman di Surabaya. Tapi sayang, saya harus langsung menuju Pontianak siang ini. Maka cukuplah 6 buah lumpia yang saya bawa. Sekedar bekal di perjalanan nanti.

Kami juga melintasi jalan Pandanaran, pusat oleh-oleh kota Semarang. Ada lumpia, tahu baso, bandeng presto, dan wingko babat. Tapi untuk kali ini, cukuplah lumpia saja.

Selama kami 'kota-kota', teman-teman yang tadi saya sms menelepon saya. Salah satu dari mereka, bu Urip Wahyuningsih (saya memanggilnya mbak Ning), dosen Tata Busana Unnes, meminta saya untuk mampir ke rumahnya. Dia akan menjemput saya di hotel, bersepeda motor, dan setelah itu saya akan dibawanya ke mana pun saya mau. He he. Kebeneran. Saya ingin memanfaatkan sedikit waktu ini untuk bertemu beberapa teman penting. 

Maka meluncurlah saya dan mbak Ning di atas jalanan kota Semarang. Helm yang saya pakai meminjam dari satpam hotel. Saya ingin mengunjungi pak Bagio, teman saya di S2 IKIP Yogyakarta, satu kost juga. Pak Bagio terkena stroke sejak dua belas tahun ini. Setiap kali saya ke Semarang, saya selalu berusaha untuk mengunjunginya. Saya tidak yakin apakah beliau masih mengingat saya, tapi kondisi beliau dan keluarganya seperti memanggil saya untuk datang. Justeru istri pak Bagio yang masih mengingat saya, dan dengan penuh kekaguman saya melihat ketabahannya. Perempuan bertubuh kecil itu begitu ikhlas melayani pak Bagio dan tetap mensyukuri hidupnya yang penuh dengan cobaan.

Saya juga mengunjungi pak Seno. Sama, beliau juga teman semasa sekolah di IKIP Yogyakarta. Beberapa waktu yang lalu, beliau 'kagungan kerso mantu', dan saya tidak bisa datang. Sebuah kado pernikahan untuk putrinya kubawa demi menebus ketidakhadiran saya pada waktu itu.

Lantas sampailah kami di rumah mbak Ning. Rumah yang letaknya seperti di atas bukit itu sudah banyak berubah. Ketika saya datang beberapa tahun yang silam, rumah ini masih asli sebagaimana rumah tipe 36. Yang unik adalah tangga menuju rumah. Mbak Ning dan keluarganya tidak perlu repot-repot mencari waktu berolahraga karena keluar masuk rumahnya yang harus naik turun sebanyak 25-an anak tangga itu sudah merupakan olahraga rutin. Di depan rumahnya yang di atas tanah menjulang itu terhampar bukit-bukit dan kebun yang penuh pepohonan. 

Saya ngobrol dengan anak-anak Mbak Ning. Anak pertamanya sedang di sekolah karena mengikuti kegiatan Pramuka. Anak keduanya, sangat pendiam, hanya sepatah-dua patah kata yang keluar dari mulutnya. Selebihnya adalah waktu untuk laptop-nya. Si kecil, satu-satunya perempuan, masih kelas 4 SD, ramah dan ceria. 

Karena waktunya tidak banyak, saya segera meminum teh manis yang disediakan oleh Mak Jas, pembantu mbak Ning. Sebelum pulang, kuselipkan beberapa lembar uang ratusan ke tangan anak-anak mbak Ning. Ketiga anak itu telah yatim. Bapaknya, mas Joko, teman kami, dosen Unnes Juga, telah meninggal setahun yang lalu karena sakit. Orang baik itu meninggalkan istrinya yang tabah dan ketiga anak-anaknya.     

Kami bergegas berkendara lagi di atas jalanan kota Semarang yang diselimuti mendung. Meski mengejar waktu, sepanjang jalan kami mengobrol. Kadang-kadang dengan setengah berteriak mengimbangi deru kendaraan yang berseliweran di sepanjang jalan yang kami lalui. Siang ini saya akan terbang ke Pontianak. Tentu saja transit di Jakarta. Andra, tim teknis kami, siang ini juga terbang dari Surabaya menuju Jakarta. Kami akan bertemu, dan bersama-sama menuju Pontianak. 

Bersambung....

Wassalam,
LN