Pages

Jumat, 14 September 2012

Traveling Lagi...(2)

Minggu, 9 September 
21.00


Pesawat yang kami tumpangi mendarat di Bandara Supadio Pontianak. Setelah tadi malam bekerja sampai larut malam, berkendara sepanjang siang, dan 'kleleran' di Soekarno Hatta lebih dari tiga jam ketika transit, rasa lelah mulai saya rasakan. BB saya pada status SOS. Tidak ada jaringan untuk Axis, atau mungkin jaringan terlalu lemah, sehingga tidak 'ngangkat'. 

Ibu Fuadiyah, staf bagian umum Dinas Dikbud Kota Pontianak, menyampaikan via sms kalau dia sudah menunggu di depan pintu keluar kedatangan. Berkerudung hitam dan berjaket hitam. Andra masih menunggu bagasinya yang  penuh berisi berkas instrumen pengumpulan data dewan pendidikan dan komite sekolah. Ya, kedatangan kami ke Pontianak ini memang untuk tugas tersebut. Seperti tahun kemarin, tahun ini kami dipercaya lagi oleh Direktorat Pendidikan Menengah (Dikmen) untuk menyusun naskah kajian pemberdayaan dewan pendidikan dan komite sekolah. Ada lima PT yang lain, yaitu ITS, UM, Unsoed, UNM, dan UNS. Wilayah pengumpulan data kami ada sebanyak 26 provinsi, tapi kami berbagi. Setiap PT mendapatkan empat atau lima provinsi, tapi instrumen dari semua PT harus dibawa. Pola itu jugalah yang kami gunakan tahun yang lalu, dan sangat efektif ditinjau dari keterwakilan populasi dan keterbatasan biaya.

Bu Diyah (panggilan dari ibu Fuadiyah) datang menjemput kami bersama temannya sekantor, namanya pak Joko. Kami menggeleng ketika ditawari makan malam. Tubuh lelah kami saat ini rasanya sudah tidak memerlukan apa-apa lagi kecuali mandi dan tidur. Lagi pula, ada beberapa biji lumpia Semarang dan sekotak kue sus 'beard papa's' yang tadi dibeli Andra di Soekarno Hatta. Lebih dari cukup untuk persediaan logistik kami semalam. 

Senin, 10 September 2012
09.05


Kami dijemput oleh bu Diyah dan pak Joko di hotel tempat kami menginap, yaitu Hotel Kini. Hotel yang berada di kawasan pertokoan di jalan Nusa Indah. Segepok instrumen untuk diisi responden sudah dibawa Andra dalam tas khusus. Segepok uang di dalam amplop-amplop untuk transport dan honorarium responden dan petugas dari Dinas Pendidikan juga sudah disiapkan.  

Sebanyak 25 responden sudah berkumpul di ruang sidang kantor dinas pendidikan kota Pontianak. Mereka terdiri dari pengurus Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat, Pengurus Dewan Pendidkan Kota Pontianak, pengurus komite sekolah, beberapa kepala sekolah, dan beberapa guru. Bapak Dwi Suryanto, Kabid Dikmen, mengantarkan diskusi tentang seputar dewan pendidikan dan komite sekolah, serta pengisian instrumen ini.

Diskusi pagi ini bagaikan ajang curhat. Saya memang pada posisi menggali berbagai permasalahan yang terjadi di lapangan terkait dengan dewan pendidikan dan komite sekolah. Hasil penggalian data tersebut akan diolah bersama-sama dengan data yang kami peroleh melalui angket. 

Salah satu hal yang dikeluhkan oleh para responden adalah kurang adanya sinergi antara dewan pendidikan provinsi, dewan pendidikan kota/kabupaten, dan komite sekolah. Tidak ada pedoman yang dapat digunakan untuk memandu pelaksanaan program mereka secara terpadu. Program antara ketiga institusi yang seharusnya terintegrasi ini masih lepas-lepas. Para responden juga mengeluhkan betapa kebijakan pemberian BOS begitu mengebiri peranserta komite sekolah sebagai representasi masyarakat dan orang tua. Seluruh biaya operasional sekolah tidak mungkin bisa seluruhnya teratasi dengan dana BOS. Namun bila ada elemen masyarakat yang dengan inisiatifnya sendiri memberikan kontribusinya pada sekolah, misalnya dalam bentuk bantuan finansial, bangunan fisik atau alat-alat laboratorium, maka kepala sekolah yang bersangkutan akan menjadi sorotan. Para 'oknum' dari LSM (Lembaga Salah Melulu, plesetan singkatan LSM) mengobok-obok sekolah dan menekan dinas pendidikan, dan seringkali membawa-bawa wartawan, agar mengekspose pemberitaan bahwa kepala sekolah tersebut melakukan pungutan dari masyarakat. Sangat tragis dan dilematis. Kampanye sekolah gratis menjadi penjara bagi sekolah-sekolah-khususnya sekolah negeri-yang ingin maju.

Keluhan lain disampaikan oleh seorang kepala sekolah. Tugas kepala sekolah hanyalah sebagai tugas tambahan. Tugas utamanya adalah sama dengan guru, yaitu melaksanakan pembelajaran.  Namun ternyata sebagian besar waktu dan tenaga kepala sekolah justeru habis untuk mengurus masalah-masalah nonkependidikan. Bahkan kepala sekolah seringkali tidak bisa melaksanakan tugasnya melakukan supervisi. Dalam kaitan ini, kepala sekolah berharap, tugas-tugas non-dik seharusnya tidak selalu menjadi tugas kepala sekolah, namun bisa dilakukan oleh unsur lain di sekolah, misalnya komite sekolah. 

Setelah para responden itu puas menyampaikan uneg-unegnya, kami mulai sesi pengisian instrumen. Saya hanya perlu memberikan pengarahan seperlunya terkait dengan instrumen. Responden cukup cerdas memahami isi isntrumen dan bagaimana mengisinya. Selama sekitar dua jam suasana di ruangan itu hening seperti ruang ujian. Saya bersyukur dinas pendidikan telah memfasilitasi kegiatan ini dengan sangat baik, termasuk mengumpulkan semua responden yang kami perlukan, dan mereka semua serius dalam melakukan pengisian instrumen.

13.30
Kegiatan ditutup dengan makan siang nasi kotak. Menunya nasi uduk, ayam goreng, sambal dan lalapan. Sepertinya enak, tapi saya dan Andra tidak makan. Bukan karena tidak berselera, tapi karena saya ingin makan bubur padas siang ini. Salah satu makanan khas Pontianak yang berasal dari suku Sambas. 

Selanjutnya kami berkunjung di SMK 4 Pontianak. Berdiskusi lebih fokus dengan kepala sekolah dan komite sekolah. Bapak Mawardi, kasek SMK 4 Pontianak mengutarakan banyak hal. SMK 4 sudah bersertifikat ISO sejak tahun 2012 ini. Berstatus RSB1 sejak 2009. Sekolah ini memiliki 12 kompetensi keahlian. Guru PNS sebanyak 111 orang, dan guru honorer ada 21 orang. Siswanya yang berjumlah 1413 itu terbagi dalam 49 rombel; jumlah yang dirasakan terlalu berat. Ada 9 guru lulusan S2, dan saat ini ada 9 guru yang sedang menempuh S2 dengan bantuan beasiswa dari dana Hibah ADB. Business center yang ada di SMK 4 adalah teknik mesin otomotif, pengelasan, perkayuan, batu beton, elektronika, dan PKJ.

14.30
Bu Diyah dan pak Joko mengantar kami ke rumah makan sederhana di pinggir jalan. Namanya rumah makan 'Pa' Ngah'.  Menu utama tertulis bubbor paddas. Saya belum tahu seperti apa makanan khas Pontianak itu, justeru itu saya ingin memesannya. Menurut pak Joko dan bu Diyah, bubur padas dibuat dari beras yang disangrai, ditumbuk, dimasak dengan berbagai macam sayuran yang dipotong-potong. Sayuran yang khas, yang memberikan aroma tajam dan harum, namanya daun kesum. Sayang sekali kami tidak bisa melihat bentuk utuh daun kesum karena semua dedaunan itu telah dipotong-potong. Campuran yang lain, bisa diminta sesuai pesanan, adalah daging, tulang, kikil, ayam, dan sebagainya.

Bubur padas rasanya gurih. Juga bergizi. Dalam satu mangkuk, semua sumber gizi yang dibutuhkan ada. Ada juga kacang goreng dan ikan teri sebagai pelengkap. Konsistensinya menyerupai bubur ayam tapi sedikit lebih encer. Meski warnanya kurang menarik karena putih kehitaman bercampur kehijauan, namun rasanya yang enak membuat kami tidak menyisakan sedikit pun di mangkuk. Bubur yang penuh sayuran dan kaya rasa itu menenangkan perut kami yang memang sedang lapar.

Kami selanjutnya dibawa menuju jalur ke luar kota, arah ke kabupaten Singkawang, Sambas, dan kabupaten yang lain. Menyeberangi jembatan di atas sungai Kapuas di wilayah Kecamatan Pontianak Timur. Itulah jembatan pertama yang kami seberangi. Sedangkan jembatan kedua melintang di atas anak sungai Kapuas yang namanya sungai Landak, berada di wilayah kecamatan Pontianak Utara. 

Sepanjang perjalanan, saya melihat ada banyak vihara/pagoda (di Pontianak disebut pekong). Kalau di Lombok dikatakan pulau dengan seribu masjid, di Sumatra Utara dengan seribu gereja, maka di Pontianak ini bolehlah disebut kota dengan seribu pekong. Kami juga melewati kawasan kasultanan. Sebuah gapura di kiri jalan bertuliskan: "Awak dateng kame sambo, Kraton Kadriah Kasultanan Pontianak". 
Pak Joko dan bu Diyah ternyata ingin kami melihat tugu khatulistiwa. Tugu yang menjadi ikon kota Pontianak. Saya sama sekali tidak mengira kami akan ada waktu untuk berwisata di Pontianak ini. Berdasarkan pengalaman kami sebelumnya di Sumba Timur dan Sumba Barat setahun yang lalu, pengumpulan data bisa memakan waktu berjam-jam. Ya, karena respondennya datang sangat terlambat, itu pun satu per satu, dan kami juga harus memandu pengisian instrumen karena kebanyakan dari mereka tidak memahami isi instrumen. Ternyata di Pontianak ini berbeda. Respondennya cerdas, cepat menangkap apa yang saya maksud dan yang tertulis di instrumen, sehingga pengisian instrumen tidak memerlukan waktu panjang. 

Selepas ashar, kami sampai di Tugu Khatulistiwa (monument of equator). Sebuah bangunan yang berbentuk heksagonal yang di puncaknya berdiri tugu berbentuk dua lingkaran yang saling silang. Kami memasuki bangunan tersebut, dan nampaklah tugu ekuator yang asli. Ukurannya tentu saja lebih kecil daripada yang ada di luar. Di dalam bangunan tersebut berbagai foto peristiwa dari masa ke masa seputar tugu ekuator itu terpasang.
Termasuk foto-foto ketika matahari berada pada titik kulminasi, di mana semua benda tidak memiliki bayangan. Menurut pak Joko, peristiwa seperti itu hanya terjadi dua kali setahun, yaitu pada bulan Maret dan Oktober.  
Puas melihat tugu khatulistiwa, kami menyempatkan diri menunaikan sholat ashar di musholla di dekat monumen. Selepas sholat, kami dibawa menuju home industry pengolahan lidah buaya. Daun lidah buaya yang besar-besar berjajar di atas lapak-lapak para penjual di sepanjang jalan, bergabung dengan tumpukan rambutan Pontianak yang ranum-ranum. Kami menikmati es lidah buaya yang rasanya manis dan teksturnya lembut. Lebih lembut dan lunak dari kolang-kaling atau nata de coco. Selain lembut, aloe vera berbentuk dadu tapi agak pipih itu juga sedikit renyah. Dipadu dengan sirup gula putih dan pecahan es batu, es lidah buaya itu benar-benar segar.

Lepas dari es lidah buaya, kami melanjutkan perjalanan menuju kota. Maghrib sudah turun. Lapar mulai terasa. Semangkuk bubur padas yang kami makan siang tadi sudah tak berbekas. Masih ada dua nasi kotak jatah makan siang kami tadi, yang memang sengaja dibawa Andra, karena nasi uduk dan ayam gorengnya pasti enak. Makan malam aman. Maka tawaran 'pesta durian' dari pak Joko dan bu Diyah untuk mengakhiri wisata kuliner sore ini langsung kami terima. Pucuk dicinta ulam tiba. Pontianak sedang musim durian, dan melewatkan durian yang terkenal lezat itu sungguh rugi.

Maka duduklah kami mengitari sebuah meja, di salah satu pusat penjualan durian, di jalan Gajah Mada. Sebutir demi sebutir durian masak pohon itu kami lahap dengan nikmat. Benar kata orang, durian Pontianak memang mantap. Dagingnya tebal, punel, dan sangat legit. Andaikata tidak ingat kesehatan, rasanya kami kuat melahap berapa butir pun. Untuk saat ini, enam butir cukuplah bagi kami yang kebanyakan sudah berkepala empat ini.

Malam ini kami pulang ke hotel dengan tubuh lelah dan perut kenyang, tapi hati senang. Sebaiknya kami segera membersihkan diri, dan tidur. Masih ada pekerjaan yang harus kami lakukan besuk pagi, sebelum kami bertolak ke Kupang pada siang harinya. Tentu saja, membeli lempok durian. Dodol khas Pontianak ini saya perlukan untuk oleh-oleh teman-teman di jurusan yang sudah 'wanti-wanti': jangan balik ke jurusan tanpa lempok.....  
    
Pontianak, 11 September 2012

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...