Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Rabu, 23 Oktober 2013

Theresia Taur dan PLPG

Perawakannya tinggi besar, kulit coklat, rambut ikal, mata bulat, garis wajah keras, semuanya khas NTT. Wanita 54 tahun itu adalah guru SMP  Katolik San Karlos Habi, Maumere. Tergolong wanita mahal senyum. Wajahnya lebih banyak seperti menyimpan beban, hal itu nampak juga dari sorot matanya yang terlindung kaca mata.

Ini kali kedua saya bertemu dengannya. Dalam momen yang sama, yaitu PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru). Ya, setahun yang lalu, dia sudah mengikuti program sertifikasi guru ini. Karena belum lulus, dia diberi kesempatan lagi untuk ikut pada tahun ini.

Saya bisa merasakan betapa beratnya beban ini bagi dia. Selama sepuluh hari terkurung dalam ruangan, mulai pagi sampai sore. Jauh dari kampung halaman, jauh dari keluarga, kerabat dan teman-teman. Malamnya masih harus mengerjakan tugas-tugas, atau minimal, membaca modul. Lebih-lebih bila saat kegiatan peer teaching, dia harus menyiapkan RPP dan kelengkapannya. Besoknya, melakukan praktik mengajar di bawah bimbingan dosen. 

Di bawah bimbingan dosen, baginya, mungkin lebih tepatnya adalah di bawah pengawasan dosen. Pengalaman gagal tahun lalu mungkin telah membuatnya begitu trauma sehingga sebuah bimbingan pun bahkan dia anggap lebih seperti pengawasan. Aktivitas untuk mencari-cari kesalahan. Mungkin. Meski pada kenyataannya, tidaklah seperti itu.

Belum lagi beban mental yang memenuhi pikirannya, kemungkinan tidak lulus lagi dalam PLPG kedua ini. Bila itu yang terjadi, maka 'habislah' dia sebagai guru. Dia akan dikembalikan ke Dinas Pendidikan di kabupatennya sana, dan entahlah, jadi apa dia nanti....

Saya melihat wanita itu sudah begitu lelah. Dia tidak terlalu bersemangat mengikuti sesi demi sesi dalam PLPG. Dia duduk menghadapi modul dan kertas-kertas. Kadang matanya memejam sekejap, kepalanya terangguk-angguk, lantas geragapan melihat ke saya yang sedang menjelaskan, mencoba sekuat tenaga mencurahkan perhatiannya pada penjelasan saya. Tidak selalu berhasil memang. Tak lama kemudian, kejadian yang sama berulang lagi. Mata memejam, kepala terangguk....dan seterusnya. 

Saya membiarkan semuanya itu tanpa mencoba untuk mengganggunya. Suara saya mungkin cukup lembut untuk meninabobokan wanita itu. Saya meneruskan saja diskusi dengan 16  peserta PLPG yang lain. Tiga di antaranya adalah mahasiswa saya dulu ketika S1. Selebihnya lulusan dari berbagai perguruan tinggi. Juga ada yang lulusan SMA. Termasuk wanita itu. 

Wanita yang bergaris wajah keras, namun bermata sayu itu, bernama Theresia Taur. Di antara para peserta PLPG Tata Boga, nampaknya dialah yang paling senior. Meski nampaknya dia tidak terlalu bersemangat mengikuti sesi demi sesi, namun keberadaan dia di sini membuktikan, sesungguhnya dia menyimpan  semangat terpendam. 

Ya, selain bu Theresia, begitu saya memanggilnya, sebenarnya ada dua temannya yang lain yang tahun lalu tidak tulus PLPG Tata Boga, serta belasan yang lain di bidang lainnya. Tapi beberapa di antara mereka, tidak mau menempuh kembali PLPG-nya. Sudah kapok, dengan berbagai alasan. Biaya yang harus dikeluarkan dari tempatnya yang nun jauh di sana, atau karena sudah pesimis duluan, atau sudah 'nggak butuh', acuh, apatis, masa bodoh.

Ibu Theresia, tidak termasuk golongan itu. Dia, meski dengan tubuh dan pikirannya yang lelah, hadir di ruang ini. Duduk menghadapi modul dan berkas-berkasnya. Kadang-kadang sambil terkantuk-kantuk. Tanpa senyum.

******

Tapi itu hari kemarin. Hari ini, saya melihat wajah lelah di depan saya itu banyak tersenyum. Saat mereka sedang melakukan diskusi kelompok untuk melakukan analisis kurikulum 2013, saya bergerak dari satu kelompok ke kelompok lain. Lantas memutuskan berhenti di kelompok ibu Theresia. Berhenti di situ. Mengobrol ringan untuk mencairkan kebekuan, di antara aktivitas diskusi mereka.

Dan saya menikmati senyum tulus dari wajah yang sudah mulai menua itu. Mata bulatnya yang indah, seperti kemarin, nampak lelah. Namun bibirnya beberapa kali menyunggingkan senyum manis. 

Tiga puluh tahun dia mengajar. Cukup dengan ijazah SMA. Saat ini, golongannya III-C. Bukan PNS, tapi guru tetap yayasan. Oleh karena masa kerjanya sudah lebih dari dua puluh tahun, dia memenuhi syarat untuk mengikuti PLPG.

Lulus PLPG, saat ini, baginya, bukanlah melulu demi tunjangan profesi pendidik (TPP). Pendapatan dari suaminya yang guru PNS, dan anak sulungnya yang sudah bekerja di kapal, cukuplah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Lulus PLPG, bagi dia, lebih pada kebutuhan untuk pencitraan diri. Pertaruhan akan nama baik dan harga diri. Mungkin tidak seekstrim itu....mungkin. Namun lulus PLPG, apa lagi dia sudah menempuhnya untuk yang kedua kalinya ini...adalah amat sangat penting. Pertaruhan akan profesinya sebagai guru. Lulus, berarti dia layak disebut sebagai guru profesional. Tidak lulus, berarti....dia tidak layak untuk menjadi guru.

Tidak layak menjadi guru. Adakah sebutan yang lebih menyedihkan dari seorang guru yang sudah mengabdi lebih dari tiga puluh tahun?

*****

Bagi saya, tidak terlalu mudah mengajar peserta PLPG. Usia mereka yang sebagian besar sudah tidak muda lagi, bahkan ada banyak yang jauh di atas usia saya, dengan motivasi belajar yang tidak bagus-bagus amat, dan kelelahan fisik dan mental karena stres. Ditambah lagi dengan pengetahuan mereka yang pada umumnya sudah out of date, sudah aus, akibat tidak pernah di-upgrade. Belum lagi materi PLPG yang padat berisi. Mulai dari materi Kebijakan Peningkatan Profesi Guru, Kurikulum 2013, Pembelajaran, Asesmen, Penelitian Tindakan Kelas, dan seterusnya....

Kalau hanya berorintasi pada ketuntasan materi, gampang. Kalau cuma transfer of knowledge, mudah. Tapi tentu saja bukan itu tugas kita sebagai instruktur. Memahamkan mereka, memastikan mereka memegang kata-kata kunci, intisari dari tiap materi, kemanfaatan materi dan penerapannya untuk peningkatan kinerja mereka sebagai guru, itulah yang penting. Membawakan materi dengan menarik, mempertahankan perhatian mereka untuk terus bertahan pada materi, jauh lebih berat dibandingkan mengajarkan materi itu sendiri.

Maka saya pun lebih senang mengajar dengan cara sebisa mungkin menghindari ceramah. Kalau pun ada ceramah, itu hanya penjelasan singkat. Itu pun, meski singkat, sudah cukup berhasil membuat satu dua dari mereka terangguk-angguk kepalanya karena mengantuk. 

Selanjutnya adalah mereka akan bekerja sendiri. Bisa secara individual, bisa kelompok. Kemarin, saya meminta mereka untuk mebuat peta konsep saat belajar tentang model-model pembelajaran. Saya memberi contoh bagaimana membuat peta konsep yang baik. Saya pastikan juga, peta konsep yang baik, hanya dihasilkan oleh orang yang memiliki pemahaman yang baik pada materi yang dipetakonsepkan. Maka mereka pun terpaksa membaca modul. 

Begitu juga ketika membahas asesmen. Satu per satu mereka saya minta membaca alinea demi alinea. Sambil mendiskusikannya. Lantas saya minta mereka menggarisbawahi ide-ide pokok, kata-kata kunci, dan kalimat-kalimat yang dianggap penting. Yang saya tayangkan dengan powerpoint, adalah contoh-contoh bentuk asesmen langsung dalam bidang boga. Seperti apa lembar pengamatan dalam pembelajaran tata boga, lembar penilaian kinerja, lembar penilaian proyek, portofolio, dan penilaian diri.

Siang ini, saat membahas PTK, saya minta mereka langsung bekerja secara kelompok. Mengerjakan soal-soal latihan yang ada di modul. Potong kompas. Untuk bisa menjawab, toh mereka harus membaca modul. Ya, waktu pertemuan yang hanya dua jam tatap muka, sungguh tidak memadai untuk menjelaskan PTK sampai mereka paham. Jadi yang terpenting, mereka tidak mengantuk, semua aktif, dan tetap bersemangat membaca. Saat setiap kelompok menampilkan hasil diskusinya dalam menjawab soal-soal, saya baru memberikan penekanan-penekanan pada kata-kata kunci, hal-hal yang penting, dan memberikan gambaran utuh tentang apa itu PTK.

****

Sore ini, adalah sesi terakhir saya bersama mereka. Besok sampai hari minggu, mereka akan bersama dengan instruktur yang lain, kawan-kawan saya. Saya ingin mengakhiri sesi saya dengan manis, memastikan mereka akan terus bersemangat. Selalu menjadi 'a learning person', supaya pengetahuan dan keterampilan mereka terus terasah. Berusaha sebaik mungkin. Urusan lulus dan tidak, biarlah Tuhan yang memutuskan. Apa pun keputusan-Nya, yakinlah, bahwa itu pilihan terbaik.

Dan mata lelah itu berbinar-binar saat saya menghadiahinya buku 'Khasanah Kuliner Tradisional Jawa Timur'. Meski bukan orang Jawa Timur, dia sangat bersuka cita dengan buku itu. Menghadiahkan buku untuk ibu Theresia Taur, bukanlah tanpa alasan. Dialah peserta PLPG paling senior di kelas ini, yang datang dari tempat yang paling jauh, dan keberadaannya di tempat ini tidak mungkin terjadi tanpa semangat dan keinginannya untuk terus maju. 

Buku kedua juga saya serahkan pada peserta termuda, namanya Siti Fatimah, guru dari Madura. Saya selalu menggoda dan memintanya tersenyum, karena wajahnya yang selalu sedih itu sebenarnya sangat manis dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Dengan penuh suka cita dia menerima buku itu, dan mencium tangan saya dengan penuh haru.

Tiga buku 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca', saya hadiahkan juga untuk tiga guru dari NTT yang lain. Kisah-kisah inspiratif para peserta SM-3T saat mengabdi di Sumba Timur, NTT, yang tertuang di buku itu, saya harapkan bisa memacu semangat dan motivasi mereka untuk lebih meningkatkan kompetensinya sebagai guru, demi membagun pendidikan di NTT ke arah yang lebih baik.
  
Bagi dua belas peserta yang lain, yang sore ini belum kebagian buku, saya janjikan, tetap akan saya beri buku masing-masing satu, besok atau besoknya. Buku yang akan saya hadiahkan itu adalah 'Berbagi di Ujung Negeri'. Ya, baru besok, buku itu dikirim kepada saya. 

Semoga buku-buku itu menjadi kenangan yang manis untuk mereka.  Sebentuk bukti persahabatan dan pertemanan, yang tidak hanya dibatasi oleh empat dinding kelas bernama kelas PLPG.


Gedung PPPG, 22 Oktober 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 13 Oktober 2013

Wisata Edukasi (2): Di Lamongan, ada sekolah di tengah hutan

SDN Kedungbanjar itu akhirnya ketemu. Berada di Desa Kedungbanjar, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan. Setelah kami sempat beberapa kali kesasar. Pasalnya, tidak seperti SDN Jatipandak yang bisa dilacak dengan google map, SDN Kedungbanjar tak terdeteksi. Desa Kedungbanjar saja yang nampak, itu pun tidak terlalu jelas. Maka kami pun terpaksa memanfaatkan GPS konvensional, turun dari mobil dan bertanya pada orang-orang arah menuju Kedungbanjar.

Sekolah di tengah hutan itu merupakan satu-satunya sekolah di desa tersebut. Bersama Arif, guru yang kami tugaskan dalam Program Jatim Mengajar, kami melihat-lihat ruang-ruang sekolah dan sekelilingnya. Satu ruang adalah ruang guru, ada beberapa meja kursi dan rak buku. Satu ruang untuk perpustakaan, tapi rak belum ada, buku belum tertata, berantakan seperti kapal pecah. Jendela bagian belakangnya juga banyak yang bolong-bolong besar, yang ditambal-tambal tripleks. Satu ruangan untuk kelas I dan II, sedang satu ruang lagi untuk kelas III, IV, V dan VI. Dua ruang terakhir itu lantainya sudah berkeramik. Menurut Arif, ruang itu baru saja di rehab.  

Sama dengan dua sekolah yang saya lihat di Jatipandak, siswa SDN Kedungbanjar juga tidak banyak. Jumlah seluruhnya ada 20 orang.
Kelas I ada 5 orang, kelas II, III, IV, masing-masing ada 2 orang, kelas V ada 4 orang dan kelas VI ada 5 orang. Gurunya ada 5 orang, termasuk kepala sekolah. PNS-nya 2, kepala sekolah dan seorang guru.  GTT-nya ada 3. Ditambah Arif, jumlah guru sekarang menjadi 6 orang.

Desa Kedungbanjar hanya terdiri dari 67 KK, dengan 307 jiwa. Jadi memang penduduknya tidak terlalu banyak. Menurut kepala sekolah, semua anak usia sekolah sudah bersekolah. Anak usia SD bersekolah di SDN Kedungbanjar. Sedangkan anak usia SMP dan SMA bersekolah di SMP Wudi dan di Sukobendu atau Kedungpring. 

Saat kami berkeliling, seorang siswa Arif, namanya  Agung Andrianto, selalu bersama kami. Agung kelas VI SDN Kedungbanjar. Nampaknya dia cukup dekat dengan Arif. Waktu saya tanya, senangkah diajar pak Arif, dia jawab, 'nggih seneng, bu....wonten sing ngajar Matematika." "Lha opo sakdurunge gak onok sing ngajar Matematika?" Tanya saya. "Wonten, bu, pak Sundoyo." Terus, apa bedanya dengan pak Arif?" Saya bertanya lagi. "Nggih pokoke seneng wonten pak Arif......" Jawabnya. Saya tidak ingin melanjutkan pertanyaan saya, karena saya memang tidak ingin membanding-bandingkan Arif dengan guru-guru yang sudah ada. Yang saya inginkan adalah kehadiran Arif bisa membantu semuanya, membantu mengajar Matematika dan mata pelajaran yang lain, sesuai dengan kemampuannya. Termasuk membantu membenahi manajemen sekolah, juga perpustakaan sekolah yang masih akan dirintis. 

Cita-cita Agung dalam pandangan saya, begitu sederhana. Ingin menjadi kepala dusun. "Kenapa, Gung, kok ingin jadi kepala dusun?" Dia hanya tersenyum malu-malu. Setelah saya tanyakan ke Arif, ternyata karena bapaknya adalah seorang kepala dusun, dan Agung ingin kelak bisa menggantikan jabatan bapaknya itu.

Agung mempunyai seorang adik perempuan, duduk di kelas V SDN Kedungbanjar juga. Mereka berangkat jam 06.00 pagi dari rumah menuju sekolah, jalan kaki. Kadang-kadang Agung bawa sepeda angin, tapi katanya, lebih sering turun dan nuntun sepedanya, karena jalannya jelek dan naik turun. 

Waktu saya tanya, sebelum berangkat ke sekolah, sudah sarapan belum, dia jawab "sudah, bu. Sarapan nasi goreng". "Selain nasi goreng, apa lagi?" "Nggih nasi goreng niku bu.." "Mosok nasi goreng terus?" "Nasi putih, bu..." Jawabnya. "Lauknya apa? Tahu, tempe, telur, kecap, krupuk....?" Dia berpikir, mengingat-ingat... "Ayam, bu. Mbeleh sendiri. Tapi sudah lama...." 

Setelah puas melihat-lihat sekolah, kami bergerak menuju tempat tinggal Arif, yang jaraknya sekitar satu kilometer dari sekolah. Ternyata Arif menumpang di rumah kepala desa. Kami bertemu dengan pak kades dan bu kades, di rumahnya yang sangat sederhana untuk sebuah jabatan kepala desa. Rumah yang masih setengah jadi, dengan perabot yang juga sederhana. Pak kades baru sekitar tiga bulan menjabat, sejak Juni 2013. Saya menyampaikan terima kasih kepada beliau sekeluarga karena sudah menampung Arif, dan memohon bimbingannya untuk Arif, agar Arif bisa belajar dan melakukan banyak hal selama masa pengabdiannya.

Arif sendiri, adalah lulusan UAD (Universitas Ahmad Dahlan) Yogyakarta, tahun 2013, dari program studi Pendidikan Fisika. Pembawaannya sangat sopan, dan dia, saya lihat, begitu peduli pada anak-anak. Beberapa kali dia mengingatkan Agung, "pakai tangan kanan, Gung..." atau "Itu lho, ditanya ibu, dijawab dengan baik...". Saya berharap, di tempat ini, dia bisa menjadi uswatun hasanah, menjadi tauladan bagi anak-anak didiknya, serta masyarakat pada umumnya. Juga mampu membawa perubahan untuk membangun semangat kebersamaan, kerukunan, dan semangat belajar sepanjang hayat.

Di awal-awal kehadirannya di desa ini, Arif sempat dibingungkan dengan masalah MCK. Di desa Kedungbanjar, hampir sama dengan di desa Jatipandak, MCK nyaris tidak ada di rumah-rumah penduduk. Bahkan di rumah kades pun, tidak ada. Kalau Anas di Jatipandak masih bisa menumpang di sekolah untuk buang hajat, Arif di minggu pertama tidak buang hajat besar sama-sekali. Diempet. Pompa di sekolah rusak, sehingga MCK-nya tidak ada airnya. Mau ikut-ikutan pergi ke hutan seperti penduduk setempat, dia tidak bisa. Sampai akhirnya, dia menemukan MCK di Polindes. Syukurlah. Maka sejak saat itu, Arif selalu pergi ke Polindes untuk buang hajat. Cukup dua hari sekali. Wah, saya sampai geleng-geleng kepala. "Jangan diempet, Rif, bisa jadi penyakit lho. Orang itu normalnya setiap hari be'ol..." Saya mengingatkannya.

Listrik tidak masalah di Kedungbanjar, sudah ada sejak 1999. Tapi air.....susah sekali. Sejak kami memasuki desa Wudi, satu-satunya desa yang menjadi pintu masuk menuju Kedungbanjar, beberapa kali berpapasan dengan para ibu yang sedang memikul drum-drum berbentuk kotak berisi air. Keringat mereka bercucuran. Mereka mengambil air dari sebuah sumur yang jaraknya lumayan jauh. 

Sepanjang perjalanan sejak dari waduk Nggondang menuju Kedungbanjar, kami melewati beberapa jembatan, dan sungai-sungai di bawahnya  kering kerontang. Sama sekali tidak ada air setetes pun. "Yo iki Lamongan....." Kata mas Ayik. "Udan gak iso ndodok, ketigo gak iso cewok...."

Mas Ayik pernah KKN di Lamongan, tepatnya di desa Sidodowo, Kecamatan Mojo. Dia lumayan faham Lamongan. Ungkapan itu, juga dia peroleh dari masyarakat setempat. Lamongan, seperti yang kita ketahui, sebagian wilayahnya selalu menjadi langganan banjir setiap tahun. Namun begitu musim kemarau tiba, maka air menjadi barang langka.

Sebelum pamit, kami diminta mengisi buku tamu oleh pak kades. Buku tamu yang masih baru, usianya sama dengan usia menjabatnya pak kades, baru tiga bulan. Saya lihat, tanggal 13 September 2013, ada nama Suwarno (Unesa) dan Masyhari (YDSF). Keperluan, mengantar guru Jatim Mengajar. Karena saat ini tanggal 13 Oktober, berarti persis sebulan yang lalu Arif datang di tempat ini. Masih ada sebelas bulan lagi yang harus dilaluinya bersama masyarakat dan anak-anak sekolah di sini. Semoga kehadirannya mampu memberikan perubahan bermakna. Mampu menjadi pelita bagi anak-anak didiknya, melambungkan mimpi dan cita-cita mereka, untuk meraih masa depan yang cemerlang. Mengantarkan mereka menjadi generasi yang cerdas (fathonah), jujur (siddiq), peduli(tabligh) dan bertanggung jawab (amanah).  

Semoga Allah SWT meridhoi. Amin ya Rabb....

Lamongan, 13 Oktober 2013

Wassalam,
LN

Wisata Edukasi

Akhirnya kami, saya dan suami, sampai di tempat ini. Di SDN Jatipandak. Sekolah di tengah perkampungan. Di sebuah desa bernama Jatipandak, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan. Sore hari, saat senja siap jatuh. 

Tak pelak, kekaguman saya tak terbendung. Hampir tidak percaya saya menatap empat bangunan itu. Sebuah bangunan bercat oranye, terdiri dari empat ruang. Itulah bangunan yang paling indah di antara tiga bangunan yang lain. Satu bangunan dengan ukuran yang sama, melintang di ujungnya, membentuk huruf L, namun kondisinya bertolak belakang. Bangunan itu tak bercat, tak berpintu, banyak bagian temboknya yang retak, rangkanya melengkung, atapnya koyak, siap ambruk. Satu lagi, bangunan rumah sederhana, lumayan layak meski tembok depannya retak besar. Itulah mes guru. Jauh lebih layak dibandingkan dengan satu bangunan di depannya, yang terdiri dari tiga petak. Tiga petak itu, juga mes guru. Tak terawat, tak layak huni. Temboknya kusam, pintu tripleknya nyaris hancur. 

Beberapa anak sedang bermain di sebuah luncuran dan ayunan, di depan mes itu. Seorang ibu menemani mereka. Tawa ceria mereka, bertolak belakang dengan suasana kusam dan sungup yang melingkupi sekitarnya.

Kami berjalan melihat sekeliling. Mas Ayik sibuk mengambil gambar. Saya melongok ke bagian dalam bangunan bercat oranye, bangunan yang paling indah itu. Dari terali kawat yang sudah berkarat, saya bisa melihat bangku-bangku, papan tulis dan dinding-dinding yang kusam, lantai tanah yang kotor, dan debu di mana-mana. Beberapa hiasan dinding, lukisan di atas kertas, sepertinya karya siswa, bahkan tak mampu memberikan sentuhan keindahan. Kekaguman saya semakin menjadi-jadi. Betapa mungkin anak bisa betah belajar di kelas yang 'senyaman' ini?

Saya menjauh dari bangunan itu. Mendekati bangunan koyak di dekatnya. Hanya melihat-lihat dari teras. Tak berani masuk. Bangunan ini sepertinya siap menimpa siapa saja begitu ada kaki yang menginjak lantai tanahnya. Saya ngeri sendiri membayangkan hal itu.

Saya menjauh dari kelas-kelas yang rusak itu. Menyapa gadis-gadis kecil di halaman sekolah. "Halo adik-adik, siapa yang sekolah di sini?" Dua gadis manis mendekat. Malu-malu menyebutkan namanya saat saya tanya.  

Nama anak itu cukup panjang, Leli Tri Wahyuni Ainur Rochimah, siswa kelas empat (seingat saya, Ainur Rochimah adalah nama asli Inul Daratista, mungkin orang tua Leli, nama panggilan anak itu, penggemar berat Inul...hehe). Yang satunya lagi, namanya Fatazilun Dwi Saskia, kelas empat juga. Panggilannya Ilun.

Sambil menunggu Anas, peserta Jatim Mengajar yang bertugas di Jatipandak ini, saya mengobrol dengan dua anak itu. Selama mengobrol, teman-teman mereka satu per satu datang, bergabung. Jadilah kami mebentuk forum kecil dengan topik seputar sekolah mereka. 

Tidak perlu bertanya ke kepala sekolah atau guru untuk bisa mendapatkan beberapa informasi tentang sekolah ini. Leli dan Ilun saja sudah cukup paham. Jumlah siswa seluruhnya ada 20. Rinciannya: kelas I tidak ada siswanya, kelas II ada 9 siswa, kelas III ada 3, kelas IV ada 5, kelas V ada 1, dan kelas VI ada 2. Bahkan kedua anak itu bisa menyebut semua nama siswa di sekolah itu. Juga siswa Taman Kanak-Kanak. Oya, di sekolah itu, satu kelas untuk TK, satu kelas untuk kelas II dan III, dan satu kelas untuk kelas IV, V dan VI.

Menurut Leli dan Ilun, gurunya ada enam, yaitu bu Wiwin, bu Utami, pak Ma'un, pak Yogi, pak Saidi, pak Matlan. Pak Ma'un mengajar agama, pak Saidi mengajar olah raga. Pak Matlan adalah kepala sekolah. Dua guru yang lain, adalah guru kelas, tentu saja mengajar semuanya. Saat saya tanya, apakah mereka kenal dengan pak Anas, guru baru di sekolah itu, mereka menggeleng.

Jumlah siswa TK ada 9 orang, dengan dua orang guru, namanya bu Issa dan bu Sus. Saat saya minta Leli dan Ilun menyebutkan nama-nama siswa TK, mereka juga hafal semua.

Sekolah setiap hari masuk jam 7.30, pulang jam 11.30. Selama jadi siswa di sekolah itu, Leli dan Ilun belum pernah melaksanakan upacara bendera. Mereka juga tidak hafal lagu Indonesia Raya. Teks Pancasila juga tidak hafal. Beberapa lagu seperti Satu Nusa Bangsa, Padamu Negeri, dan Garuda Pancasila diajarkan oleh guru olah raga. Namun mereka juga tidak hafal saat saya ajak bernyanyi bersama.

Di tengah perbincangan kami, Anas datang, bersepeda motor. Mengenakan jaket almamater, bersarung dan berkopiah. Anas, lulusan STKIP Trenggalek tahun 2012, jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia itu, adalah salah satu peserta Jatim Mengajar. Sebuah program kerja sama antara Unesa dan Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF). Tahun ini merupakan angkatan pertama. Dari 26 calon peserta, hanya 7 yang lolos. Ketujuh peserta itu kami tugasnya di Lamongan 2 orang, Madiun 2 orang, dan Ponorogo 3 orang. 

Program Jatim Mengajar kami kemas persis seperti program SM-3T, mulai dari persyaratan peserta, seleksi, prakondisi, dan tugas-tugasnya selama di tempat pengabdian. Prakondisinya juga sama, yaitu di Kodikmar. Bedanya, peserta Jatim Mengajar harus bisa mengaji, karena ada muatan dakwahnya, dan sementara ini hanya khusus untuk laki-laki. Bedanya lagi, usai mereka melaksanakan tugas pengabdian, tidak ada 'reward' untuk mengikuti PPG (Program Profesi Guru), meski saat ini kami sedang berupaya ke kemdikbud, supaya peserta Jatim Mengajar bisa menempuh PPG juga usai masa pengabdian mereka. Ya, harus ada apresiasi bagi fihak-fihak yang berinisiatif untuk berpartisipasi membantu percepatan pembangunan pendidikan di daerah-daerah tertinggal. Pemerintah belum, atau tidak akan mampu mengatasi semuanya, maka gerakan-gerakan besar maupun kecil dari fihak mana pun yang secara konsisten ikut membantu menyelesaikan berbagai persoalan pendidikan khususnya di daerah-daerah tertinggal, musti diapresiasi.

Ternyata Anas tidak mengajar di sekolah ini. Pantas saja tadi Leli dan Ilun tidak mengenalnya. Ternyata ada SDN Jatipandak yang lain, sekitar dua kilometer dari tempat ini. "Baiklah, kalau begitu, mari ke sekolahmu",
kata saya.

Kalau tadi untuk mencapai tempat ini saya membonceng mas Ayik (dengan meminjam sepeda motor orang kampung, tempat kami memarkir mobil di ujung jembatan), maka saya sekarang membonceng Anas. Sepeda motor yang dikendarai mas Ayik sepertinya sudah cukup tua, dan terlalu berat untuk kami bebani berdua. Selain itu, dengan membonceng Anas, saya bisa mengobrol sepanjang perjalanan menuju sekolahnya. 
Tidak terlalu sulit mencapai sekolah tempat Anas bertugas. Meski harus menembus hutan jati, dengan kondisi jalan terbuat dari rabat semen yang sudah pecah-pecah dan rusak di mana-mana, naik-turun, sangat curam, namun tidak  ada jurang di kanan-kiri jalan, tidak seperti di Sumba Timur. Meski begitu, kita harus tetap ekstra hati-hati dan pandai-pandai memilih jalan kalau tidak ingin jatuh terjerembab atau tergelincir di jalan-jalan yang menanjak dan menurun dengan tingkat ketinggian dan kecuraman yang lumayan ekstrim.

Kondisi SDN Jatipandak 2 jauh lebih baik dibanding SDN Jatipandak 1. Ada sepetak halaman, memang lebih kecil, namun lebih bersih. Dari luar, bangunannya yang juga bercat oranye, nampak lebih terawat. Namun saat saya melongok ke bagian dalamnya melalui jendela kaca, kondisinya tidak berbeda jauh dengan sekolah yang kami lihat tadi. Beralas tanah, dengan papan tulis dan dinding-dinding yang kusam. Debu di mana-mana. Anas bilang, setiap pagi, sebelum pelajaran dimulai, anak-anak harus menyirami kelasnya dulu, agar selama pelajaran, debu tidak beterbangan.

Sekolah itu memiliki tiga kelas, dengan 22 siswa, dan 6 guru, termasuk kepala sekolah dan Anas. Kepala sekolahnya sama dengan kepala sekolah SDN Jatipandak 1, yaitu pak Matlan. Tiga guru sudah PNS, sudah senior semua, salah satunya bahkan menderita asma. Seorang guru yang lain, pak Ma'un, tiga hari bertugas di sekolah tersebut, tiga hari yang lain di sekolah satunya. Dua yang lain guru GTT. Satu lagi, adalah Anas.

Sama dengan SDN Jatipandak 1, sekolah yang berdiri sejak 1983 ini, juga menerapkan kelas rangkap. Kelas I dan II bergabung. Selebihnya, kelas IV, V dan VI, bergabung. Kelas III tidak ada siswanya. Kelas I siswanya ada 6 orang, kelas II ada 3 orang, kelas IV ada 5, kelas V ada 6, dan kelas VI ada 3 orang. 

Setiap pagi, Anas datang ke sekolah paling pagi. Mengkondisikan kelas-kelas dan siswa. Jam 07.00 tepat, dia  memukul lonceng sekolah. Sambil menunggu kepala sekolah dan guru-guru datang, dia mengisi kelas-kelas. 

Saya sempat bertanya-tanya, kenapa SDN Jatipandak 1 dan 2 tidak dimerger saja. Tapi pertanyaan itu saya jawab sendiri. Dengan jarak tempuh yang cukup jauh, dan medan yang tidak terlalu mudah, mungkin inilah jalan terbaik. 

Senja semakin gelap. Adzan maghrib berkumandang. Kami singgah di tempat tinggal Anas, di dekat sekolah itu. Dia menumpang di rumah pak Ponaji, seorang guru juga. Masih muda, baru empat tahun PNS. Istrinya, ibu rumah tangga, aslinya dari Lawang. Putranya satu, masih kecil. Pak Ponaji adalah putra daerah, asli Jatipandak. 

Kami tidak lama di rumah itu, karena kami harus segera melanjutkan perjalanan kembali ke desa Kandangan, tempat mobil kami parkir di ujung jembatan, di depan rumah penduduk. Sebelum gelap benar-benar jatuh, dan menyulitkan pandangan kami berkendara membelah hutan yang gulita.
  
Di tengah menempuh perjalanan yang terjal itu, pikiran saya melayang-layang. Kami hanya perlu waktu sekitar 3,5 jam untuk menjangkau tempat ini.
Dari Surabaya, lewat Menganti, Balungpanggang, Mantup, Sambeng. Dengan mengandalkan google map di tab saya. GPS di mobil lupa tidak di-charge baterainya, jadi mati di tengah jalan menjelang masuk Balungpanggang. Tiga setengah jam, bukan waktu yang lama. Ini Lamongan, kabupaten yang masih berdekatan dengan Surabaya, ibukota Provinsi Jawa Timur. Bukan di NTT, Maluku atau Papua. Namun sensasinya tidak kalah dengan tempat-tempat yang disebut 3T itu. Kondisi sekolahnya, juga kondisi medannya. Bedanya, kami melewati beberapa perkampungan yang padat. Namun hutan-hutan dan jalan-jalan yang terjal dan curam menjadi suguhan yang tak kalah menantangnya.

Wisata edukasi sore ini tuntas. Diteruskan besok saja. Sudah terlalu malam untuk mencapai tempat Arif, salah satu peserta Jatim Mengajar juga, meski di kecamatan yang sama. Tempat tugasnya, di SDN Kedungbanjar, masih lebih dari satu jam waktu tempuh untuk menjangkaunya. Kami hanya bertemu Arif dan temannya, seorang guru honorer di sekolah yang sama, di depan UPT Kecamatan Sambeng. Mengobrol di pinggir jalan.

Kemudian kami berpisah. Saya berjanji untuk mengabarinya besok jika kami akan datang mengunjunginya. Melanjutkan wisata edukasi kami. Mengisi satu dua hari di akhir pekan ini.

Selamat menjalankan puasa arafah. Selamat berkurban. Semoga Allah SWT meridhoi ibadah kita. Amin Ya Rabbal Alamin.

Lamongan, 12 Oktober 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 11 Oktober 2013

Duka untuk Romkisar

Saya termangu-mangu membaca status FB Restika Okatavina. Bunyi status itu seperti ini:  

"9 Oktober 2013"
Satu sms masuk ke hpku. Tak kusangka sms itu datangnya dari Saumlaki (ibu kota kab. Maluku Tenggara Barat) yang isinya aku disuruh telpon.
ku pencet nomor tersebut dan tersambung.
"Halo, selamat pagi, ibu guru ada bikin apa disana" suara seorang perempuan menyapaku. Itu suara mama tua Glen, kak Eti namanya.
"Ibu, Glen ada mau bicara deng ibu" lanjutnya.
"Halo, ibu Vina, ibu ada buat apa di Jawa?" suara mungil menyapaku. 
Itu suara Glen, salah satu muridku di SDN Romkisar, Maluku Barat Daya.
"Ibu baru selesai bacuci baju, Glen" jawabku.
"Glen, pi (pergi) Saumlaki ada buat apa? seng (tidak) sekolah kah?" tanyaku penasaran.
"Ibu, beta seng sekolah. Sekolah ada TUTUP. seng ada guru yang ajar" jawabnya ringan.

"Sekolah TUTUP." 
Ya Alloh, ingin rasanya aku kembali kesana. Mengajar, mendidik dan merangkul mereka. Menemani mereka menggapai cita-cita tertinggi. 
Semoga kata-kata itu tak ku dengar lagi. 
Ingin ku melihat senyum lebar mereka lagi."

Tak terasa, air mata saya meleleh. Saya tak mampu menahan kesedihan  mendengar kabar sebuah sekolah tutup karena tidak ada gurunya. Dan sekolah itu ada di Romkisar, Maluku Barat Daya (MBD). Tempat tugas Romlah, Vina dan Yuni, para peserta SM-3T Unesa angkatan kedua, yang baru meninggalkan tempat itu sekitar sebulan yang lalu.  

Padahal, dalam surat yang pernah dikirimkan ke saya, Romlah sudah memohon-mohon supaya sepeninggal dia dan teman-temannya, SDN Romkisar tetap mendapatkan guru SM-3T sebagai penggantinya. Bahkan dia juga sudah pesan, kalau bisa, guru yang ditugaskan di sana, adalah laki-laki. Romkisar adalah sebuah tempat yang sangat sulit dicapai, musti menyeberangi laut yang  gelombangnya hampir selalu tinggi. Jalan darat harus menembus hutan samun selama berjam-jam dan sangat berbahaya. Belum lagi hal-hal lain seperti masih kentalnya unsur magic dan berbagai keyakinan masyarakatnya yang masih sangat tradisional.

Saya seketika diliputi rasa bersalah. Ya, saya menjadi orang yang paling bersalah. Saya seharusnya memastikan, dengan sebenar-benarnya, bahwa Romkisar dan sekolah-sekolah lain yang sudah pernah ditempati guru-guru SM-3T, akan mendapatkan guru-guru lagi. Tidak sekedar percaya dan pasrah pada kebijakan dinas Dikpora. 

Meski saat rapat koordinasi dengan kepala dikpora di Jakarta, saya sudah meminta supaya sekolah-sekolah yang sudah pernah ditempati guru-guru SM-3T agar diberi guru SM-3T lagi, namun rasa bersalah itu sangat membebani saya. Juga, saat di kegiatan prakondisi di Kodikmar, saya sudah kembali mengingatkan staf dikpora yang waktu itu hadir, untuk tetap menugaskan para guru SM-3T di sekolah-sekolah yang sudah pernah ditempati.

"Ya, ibu. Nanti yang dari UNP akan kami tugaskan di Mdona Hyera dan beberapa tempat yang dulu ditempati guru-guru dari Unesa. Sedangkan Unesa kami tempatkan di Pulau Babar dan sekitarnya." Begitu kata pak Victor, staf dikporaMBD waktu itu.

Maka saya pun tenang. Namun status di FB Vina malam ini membuat hati saya pedih. Ditambah lagi dengan komentar kawan-kawan Vina yang menambah kesedihan di hati. Salah satunya dari Romlah sendiri.

"Sy dan tmn2, bsrta warga Romksar sdh brusaha smampu kami. Mulai dr menyurati ibu lutfi, memohon k kepala UPTD Mdona Hyera, sampai sdikit mgompori peserta dr LPTK Padang (sarjana Pgsd, tapi realitanya dtmpatkan d SMP), namun memang, gusti Allah msh blum mengiyakan. Peserta dr LPTK Unesa mengabdi d wilayah babar n skitarx. Sdgkan LPTK univ. Padang k daerah LeMoLa (leti-moa-lakor) + Mdona Hyera yg rasanya memang ditmptkan untk sekolah menengah. Kepsek kami jg msh smpat menahan 1 guru bntu untk brthan d Romksar sampai kepsek pulang (dr kuliah d Kisar). Namun trxta, sang guru bantu yg sdh punya SK mutasi k Luang sjak bulan Juli pun sepertix tak mampu menepati janjix k kepsek shg hrus buru2 pindah krn alasan administrasi d SD yg bru.. d Tiakur (ibu kota kabupaten) dpt guru SM3T. Memang lbh merata penyebranx drpda yg dlu. Tapi pemerataan ini malah hrus mengorbankan 1 sekolah yg mmg bth guru. DEMI PEMERATAAN. Pengambil kbjakan dari Dikpora MBD sudah ketuk palu.. *saya hanya bs mengelus dada"

Ketika Mustofa Kamal, teman Romlah berkomentar, "inilah potret pendidikan di luar jawa", Romlah menanggapi:  "La mau biking bgaimana, dong bilang lbh baik pi Tual jual kambing deng papa dari pada d kampung seng biking apa2. Ibu guru balik bole..", "bu guru e, Romkisar seng dpat guru dr jawa lai. Kami su krim surat k bupati par minta guru, tapi seng ad jwban. Skolah su tutup, bu guru Leha yg dpasrahi tinggal oleh kepala sekolah su pi d sekolah baru,seng tunggu ibu kepsek dtang lai", (ketakutanku slama ini, takut klau Angga, Andres, Mersi, Erdin, Monalisa, smua murid2 yg su mulai brharap kmbli mengubur asa mereka) *brtanya-tanya ttg jln kluar. "bu guru su senang d jawa, su lupa katong kapa? d Romkisar su seng ada guru lai. Bu guru balik do, la katong belajar" (haaaaa rasanya ingin kmbli...)"

Malam ini pun, saya langsung ber-SMS ke kepala Dikpora. "Bapak, sedih mendengar cerita Romkisar. Kenapa tdk ada guru yg dikirimkan ke sana utk menggantikan guru2 SM3T yang bertugas di Romkisar? Saya dengar sekolah tutup karena tdk ada guru? Mohon, bapak, ada perhatian utk SDN Romkisar. Terima kasih."

Saya tidak tahu entah kapan SMS saya akan dibaca dan dibalas. Besok saya akan mencoba menghubungi pak kadis via telepon. Meski keterbatasan sinyal telepon di MBD membuat hati saya ciut, tapi saya akan tetap berusaha. Saya juga berkoordinasi dengan Bapen (bapak pendeta) Abraham Beresaby melalui FB message meski beliau jelas-jelas tidak sedang online. Tapi saya berharap, SMS saya ke kadis dan message saya ke bapen, entah besok, entah lusa, akan terbaca oleh beliau-beliau, dan semoga segera ditanggapi. Tentu saja, yang saya harapkan, semoga ada jalan keluar untuk Romkisar.

Malam ini saya tidak bersemangat untuk ngapa-ngapain. Tumpukan berkas skripsi dan tesis mahasiswa tidak saya sentuh sama sekali. Tak berselera. Wajah Romlah dan kawan-kawan berkelebat-kelebat di kepala saya. Senyum anak-anak sekolah berkulit hitam yang terpampang di status FB Vina serasa mengiris-iris ulu hati. Sekolah tutup karena guru tidak ada. Anak-anak seperti itik kehilangan induk. Seperti layang-layang yang putus talinya. Tak punya siapa-siapa lagi untuk sekedar mengajari menulis dan membaca. Adakah yang lebih menyedihkan dari ini semua? 

Seperti inikah potret pendidikan di MBD, dan juga di banyak tempat lain di Indonesia ini? Setelah lebih dari enam puluh tahun merdeka? Betapa memprihatinkan.

Duka saya untuk Romkisar. Duka kami semua untuk dunia pendidikan.

Surabaya, dini hari, 12 Oktober 2013.

Wassalam,
LN

Minggu, 06 Oktober 2013

Kelebihan Iman

Pagi, pukul 07.00. Saya memencet bel rumah di jalan Kutisari 5A itu. Seketika saya njomblak. Gonggongan anjing membalas dering bel yang saya pencet tadi. bersahut-sahutan. Saya membayangkan ada lebih dari seekor anjing yang sedang meraung-raung di dalam. Meski pintu rumah yang mirip toko itu tertutup rapat-rapat dan anjing nggak bakalan mencolot keluar, saya beringsut menarik kaki menjauh, sambil tetap menatap pintu. Berharap seseorang menenangkan gonggongan anjing dan membuka pintu bercat biru itu.

Karena tidak kunjung ada tanda-tanda penyambutan, saya mengangkat telepon. Seseorang meresponnya. 'Halo...' Suara tua itu terdengar ramah. 'Ya, bapak. Saya ada di depan rumah bapak.' Kata saya. 'O...ya ya....saya buka'i....". Sejurus kemudian gonggongan anjing itu hilang lenyap, berganti suara klotek-klotek di pintu. 

Dan laki-laki tua itu, pak Wahyudi, keluar dengan T-shirt merah tua bertuliskan 'Saigon'. Di belakangnya, seorang perempuan, cantikkk sekali, adalah istrinya. Tentu saja namanya bu Wahyudi. Hehe.

Saya betul-betul tidak menyangka, mereka berdua China. Waktu bertelepon dengan bu Wahyudi tadi, logat beliau sama sekali gak mambu Cino blas. Malah cenderung seperti bahasa orang kulonan. Dengan selingan kromo inggil di sana-sini.

Ceritanya, beberapa hari yang lalu, bulik saya, bulik Muchsinah, minta tolong saya dan mas Ayik untuk mencarikan alamat rumah pak Wahyudi. Bulik saya itu, pak Wahyudi menyebutnya Ibu Nyai Cholil Bisri, adalah pasien pak Wahyudi. Nanti siang bulik akan rawuh dari Rembang ke rumah saya, dan besok pagi akan ke tempat pak Wahyudi. Bisa di rumahnya di jalan Kutisari, atau di Klinik Bethany Care di Nginden Intan. Maka, supaya kami besok tidak pakai golek-golek sewaktu nderekke bulik, pagi ini kami survei tempatnya dulu, sambil bikin janji untuk besok.

Saya sebenarnya agak heran juga, kok bulik berobat ke Bethany Care, klinik yang sekompleks dengan gereja Bethany itu. Gak salah tah? Sempat terpikir juga, opo wis gak onok tabib liyane tah? 

Saya dan mas Ayik disilakan duduk di ruang kerja pak Wahyudi. Sebuah ruang yang penuh dengan barang-barang untuk terapi. Termasuk kursi listrik, bed untuk periksa, dan juga buku-buku. Di antara buku-buku itu, ada banyak buku untuk pelayanan umat Kristen, Al-Kitab, dan juga....Al-Qur'an.

Akhirnya saya jadi paham kenapa bulik saya itu, yang notabene adalah istrinya pak kyai, berobat pada pak Wahyudi, yang seratus persen nonmuslim. Orang itu, pak Wahyudi, mengisi hidupnya dengan pelayanan dan pelayanan. Kebahagiaannya adalah melayani. Kepuasannya adalah ketika orang lain sehat dan bahagia karena bantuannya. Dia membagi-bagikan obat-obatan asli Cina untuk membantu penyembuhan berbagai penyakit. Dia membawa kursi listrik ke mana pun untuk membantu orang-orang sakit. 

Perkenalan bulik dengan pak Wahyudi itu, adalah juga saat pak Wahyudi melakukan pelayanan di Rembang. Ternyata ada banyak kyai yang jadi langganan pak Wahyudi. Di ruang kerjanya, saya melihat foto pak Wahyudi dan bu Wahyudi, semeja dengan Gus Mus (Musthofa Bisri) dan istrinya. Kata pak Wahyudi, itu foto dari Gus Mus, beliau memberikannya saat pak Wahyudi berulang tahun. Pak Wahyudi juga langganannya bu Nyai Masyhuri Rembang, serta beberapa kyai dan bu nyai yang lain. Kata pak Wahyudi, melayani kyai baginya seperti kewajiban. Karena kyai adalah milik ummat. Kalau pak kyai sakit, kasihan ummatnya. Maka kyai harus sehat, supaya bisa menyehatkan ummatnya. 

Kami jadi terlibat dalam obrolan yang lumayan gayeng pagi itu. Pak Wahyudi bertanya, "apa sebenarnya tujuan orang beragama? Saya jawab, "ya.....intinya, untuk kebagahagiaan di dunia dan akhirat". Beliau mengejar lagi, "di mana sih kebahagiaan itu? Di mana tempatnya?" Saya berfikir, diam sebentar, terus dengan pasti saya menjawab. "Di hati". Beliau langsung mengacungkan jempolnya. "Bagus. Di sinilah...." Beliau menjelaskan panjang lebar, kenapa kebahagiaan itu tempatnya ada di hati. 

Terus beliau bicara tentang surga. "Surga itu ada di langit ke tujuh menurut Islam, dan ada di langit ke tiga menurut Kristen. Menurut ibu, surga di dunia ini, ada di mana?" Saya spontan menjawab, "di rumah." Sekali lagi beliau menyodorkan jempolnya. "Ya. Baiti jannati." Katanya, hampir bersamaan dengan istrinya.

Selain bersahabat dengan banyak kyai, pak Wahyudi ternyata juga memiliki pengalaman-pengalaman buruk dengan para kyai yang menurut istilahnya adalah kyai yang kelebihan iman. "Orang itu harus beriman. Tapi iman jangan membuatnya sombong, egois, dan merasa paling benar. Apa lagi sampai menganggap orang yang tidak seagama itu najis." Beliau bercerita kalau beliau pernah diusir-usir bahkan diancam akan dibunuh oleh kyai tertentu. "Itulah kalau kelebihan iman. Padahal surat Al Hujurat ayat 10 sudah jelas. Tentang kerukunan ummat. Rahmat Allah tidak akan datang pada kaum yang tidak rukun". Tambahnya. "Saya datang menawarkan kebaikan. Saya tidak sedang mengajak orang untuk masuk ke agama saya, meskipun kalau mau, saya bisa lakukan itu. Tidak baik berprasangka. Islam sudah menjelaskan, lakum diinukum waliyadiin." 

Pak Wahyudi mengistilahkan apa yang sedang dilakukannya adalah jihad. "Saya berjihad dengan harta saya, dengan tenaga saya". Beliau mendedikasikan hidupnya untuk melayani, terutama melayani orang miskin. Lantas dia bertanya, "apa jihad yang paling berat? Adalah jihad memerangi hawa nafsu..." Dijawabnya sendiri pertanyaannya. 

Saya jadi ingat sahabat-sahabat nonmuslim saya. Orang-orang baik yang bertebaran di sekitar saya. Juga para pemuka gereja dan pendeta di Maluku dan Papua yang sering mengundang kami untuk makan malam di rumahnya. Di mana-mana, saat semangat saling menghargai dan menghormati itu dikibarkan, kedamaian senantiasa ada di sekitar kita.


Kami berpamit untuk mengakhiri diskusi yang bernas pagi ini. Tiba-tiba saya ingat harus pergi ke pasar, karena siang nanti tamu saya dari Rembang rawuh. Bulik Muchsinah, dua putra-putrinya, dua santrinya, dan ibu saya tercinta. Sayur asam, dadar jagung, pepes, sambal trasi, dan es garbis, kayaknya cocok.

Surabaya, 6 Oktober 2013

Wassalam,
LN