Ini kali kedua saya bertemu dengannya. Dalam momen yang sama, yaitu PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru). Ya, setahun yang lalu, dia sudah mengikuti program sertifikasi guru ini. Karena belum lulus, dia diberi kesempatan lagi untuk ikut pada tahun ini.
Saya bisa merasakan betapa beratnya beban ini bagi dia. Selama sepuluh hari terkurung dalam ruangan, mulai pagi sampai sore. Jauh dari kampung halaman, jauh dari keluarga, kerabat dan teman-teman. Malamnya masih harus mengerjakan tugas-tugas, atau minimal, membaca modul. Lebih-lebih bila saat kegiatan peer teaching, dia harus menyiapkan RPP dan kelengkapannya. Besoknya, melakukan praktik mengajar di bawah bimbingan dosen.
Di bawah bimbingan dosen, baginya, mungkin lebih tepatnya adalah di bawah pengawasan dosen. Pengalaman gagal tahun lalu mungkin telah membuatnya begitu trauma sehingga sebuah bimbingan pun bahkan dia anggap lebih seperti pengawasan. Aktivitas untuk mencari-cari kesalahan. Mungkin. Meski pada kenyataannya, tidaklah seperti itu.
Belum lagi beban mental yang memenuhi pikirannya, kemungkinan tidak lulus lagi dalam PLPG kedua ini. Bila itu yang terjadi, maka 'habislah' dia sebagai guru. Dia akan dikembalikan ke Dinas Pendidikan di kabupatennya sana, dan entahlah, jadi apa dia nanti....
Saya melihat wanita itu sudah begitu lelah. Dia tidak terlalu bersemangat mengikuti sesi demi sesi dalam PLPG. Dia duduk menghadapi modul dan kertas-kertas. Kadang matanya memejam sekejap, kepalanya terangguk-angguk, lantas geragapan melihat ke saya yang sedang menjelaskan, mencoba sekuat tenaga mencurahkan perhatiannya pada penjelasan saya. Tidak selalu berhasil memang. Tak lama kemudian, kejadian yang sama berulang lagi. Mata memejam, kepala terangguk....dan seterusnya.
Saya membiarkan semuanya itu tanpa mencoba untuk mengganggunya. Suara saya mungkin cukup lembut untuk meninabobokan wanita itu. Saya meneruskan saja diskusi dengan 16 peserta PLPG yang lain. Tiga di antaranya adalah mahasiswa saya dulu ketika S1. Selebihnya lulusan dari berbagai perguruan tinggi. Juga ada yang lulusan SMA. Termasuk wanita itu.
Wanita yang bergaris wajah keras, namun bermata sayu itu, bernama Theresia Taur. Di antara para peserta PLPG Tata Boga, nampaknya dialah yang paling senior. Meski nampaknya dia tidak terlalu bersemangat mengikuti sesi demi sesi, namun keberadaan dia di sini membuktikan, sesungguhnya dia menyimpan semangat terpendam.
Ya, selain bu Theresia, begitu saya memanggilnya, sebenarnya ada dua temannya yang lain yang tahun lalu tidak tulus PLPG Tata Boga, serta belasan yang lain di bidang lainnya. Tapi beberapa di antara mereka, tidak mau menempuh kembali PLPG-nya. Sudah kapok, dengan berbagai alasan. Biaya yang harus dikeluarkan dari tempatnya yang nun jauh di sana, atau karena sudah pesimis duluan, atau sudah 'nggak butuh', acuh, apatis, masa bodoh.
Ibu Theresia, tidak termasuk golongan itu. Dia, meski dengan tubuh dan pikirannya yang lelah, hadir di ruang ini. Duduk menghadapi modul dan berkas-berkasnya. Kadang-kadang sambil terkantuk-kantuk. Tanpa senyum.
******
Tapi itu hari kemarin. Hari ini, saya melihat wajah lelah di depan saya itu banyak tersenyum. Saat mereka sedang melakukan diskusi kelompok untuk melakukan analisis kurikulum 2013, saya bergerak dari satu kelompok ke kelompok lain. Lantas memutuskan berhenti di kelompok ibu Theresia. Berhenti di situ. Mengobrol ringan untuk mencairkan kebekuan, di antara aktivitas diskusi mereka.
Dan saya menikmati senyum tulus dari wajah yang sudah mulai menua itu. Mata bulatnya yang indah, seperti kemarin, nampak lelah. Namun bibirnya beberapa kali menyunggingkan senyum manis.
Tiga puluh tahun dia mengajar. Cukup dengan ijazah SMA. Saat ini, golongannya III-C. Bukan PNS, tapi guru tetap yayasan. Oleh karena masa kerjanya sudah lebih dari dua puluh tahun, dia memenuhi syarat untuk mengikuti PLPG.
Lulus PLPG, saat ini, baginya, bukanlah melulu demi tunjangan profesi pendidik (TPP). Pendapatan dari suaminya yang guru PNS, dan anak sulungnya yang sudah bekerja di kapal, cukuplah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Lulus PLPG, bagi dia, lebih pada kebutuhan untuk pencitraan diri. Pertaruhan akan nama baik dan harga diri. Mungkin tidak seekstrim itu....mungkin. Namun lulus PLPG, apa lagi dia sudah menempuhnya untuk yang kedua kalinya ini...adalah amat sangat penting. Pertaruhan akan profesinya sebagai guru. Lulus, berarti dia layak disebut sebagai guru profesional. Tidak lulus, berarti....dia tidak layak untuk menjadi guru.
Tidak layak menjadi guru. Adakah sebutan yang lebih menyedihkan dari seorang guru yang sudah mengabdi lebih dari tiga puluh tahun?
*****
Bagi saya, tidak terlalu mudah mengajar peserta PLPG. Usia mereka yang sebagian besar sudah tidak muda lagi, bahkan ada banyak yang jauh di atas usia saya, dengan motivasi belajar yang tidak bagus-bagus amat, dan kelelahan fisik dan mental karena stres. Ditambah lagi dengan pengetahuan mereka yang pada umumnya sudah out of date, sudah aus, akibat tidak pernah di-upgrade. Belum lagi materi PLPG yang padat berisi. Mulai dari materi Kebijakan Peningkatan Profesi Guru, Kurikulum 2013, Pembelajaran, Asesmen, Penelitian Tindakan Kelas, dan seterusnya....
Kalau hanya berorintasi pada ketuntasan materi, gampang. Kalau cuma transfer of knowledge, mudah. Tapi tentu saja bukan itu tugas kita sebagai instruktur. Memahamkan mereka, memastikan mereka memegang kata-kata kunci, intisari dari tiap materi, kemanfaatan materi dan penerapannya untuk peningkatan kinerja mereka sebagai guru, itulah yang penting. Membawakan materi dengan menarik, mempertahankan perhatian mereka untuk terus bertahan pada materi, jauh lebih berat dibandingkan mengajarkan materi itu sendiri.
Maka saya pun lebih senang mengajar dengan cara sebisa mungkin menghindari ceramah. Kalau pun ada ceramah, itu hanya penjelasan singkat. Itu pun, meski singkat, sudah cukup berhasil membuat satu dua dari mereka terangguk-angguk kepalanya karena mengantuk.
Selanjutnya adalah mereka akan bekerja sendiri. Bisa secara individual, bisa kelompok. Kemarin, saya meminta mereka untuk mebuat peta konsep saat belajar tentang model-model pembelajaran. Saya memberi contoh bagaimana membuat peta konsep yang baik. Saya pastikan juga, peta konsep yang baik, hanya dihasilkan oleh orang yang memiliki pemahaman yang baik pada materi yang dipetakonsepkan. Maka mereka pun terpaksa membaca modul.
Begitu juga ketika membahas asesmen. Satu per satu mereka saya minta membaca alinea demi alinea. Sambil mendiskusikannya. Lantas saya minta mereka menggarisbawahi ide-ide pokok, kata-kata kunci, dan kalimat-kalimat yang dianggap penting. Yang saya tayangkan dengan powerpoint, adalah contoh-contoh bentuk asesmen langsung dalam bidang boga. Seperti apa lembar pengamatan dalam pembelajaran tata boga, lembar penilaian kinerja, lembar penilaian proyek, portofolio, dan penilaian diri.
Siang ini, saat membahas PTK, saya minta mereka langsung bekerja secara kelompok. Mengerjakan soal-soal latihan yang ada di modul. Potong kompas. Untuk bisa menjawab, toh mereka harus membaca modul. Ya, waktu pertemuan yang hanya dua jam tatap muka, sungguh tidak memadai untuk menjelaskan PTK sampai mereka paham. Jadi yang terpenting, mereka tidak mengantuk, semua aktif, dan tetap bersemangat membaca. Saat setiap kelompok menampilkan hasil diskusinya dalam menjawab soal-soal, saya baru memberikan penekanan-penekanan pada kata-kata kunci, hal-hal yang penting, dan memberikan gambaran utuh tentang apa itu PTK.
****
Sore ini, adalah sesi terakhir saya bersama mereka. Besok sampai hari minggu, mereka akan bersama dengan instruktur yang lain, kawan-kawan saya. Saya ingin mengakhiri sesi saya dengan manis, memastikan mereka akan terus bersemangat. Selalu menjadi 'a learning person', supaya pengetahuan dan keterampilan mereka terus terasah. Berusaha sebaik mungkin. Urusan lulus dan tidak, biarlah Tuhan yang memutuskan. Apa pun keputusan-Nya, yakinlah, bahwa itu pilihan terbaik.
Dan mata lelah itu berbinar-binar saat saya menghadiahinya buku 'Khasanah Kuliner Tradisional Jawa Timur'. Meski bukan orang Jawa Timur, dia sangat bersuka cita dengan buku itu. Menghadiahkan buku untuk ibu Theresia Taur, bukanlah tanpa alasan. Dialah peserta PLPG paling senior di kelas ini, yang datang dari tempat yang paling jauh, dan keberadaannya di tempat ini tidak mungkin terjadi tanpa semangat dan keinginannya untuk terus maju.
Buku kedua juga saya serahkan pada peserta termuda, namanya Siti Fatimah, guru dari Madura. Saya selalu menggoda dan memintanya tersenyum, karena wajahnya yang selalu sedih itu sebenarnya sangat manis dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Dengan penuh suka cita dia menerima buku itu, dan mencium tangan saya dengan penuh haru.
Tiga buku 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca', saya hadiahkan juga untuk tiga guru dari NTT yang lain. Kisah-kisah inspiratif para peserta SM-3T saat mengabdi di Sumba Timur, NTT, yang tertuang di buku itu, saya harapkan bisa memacu semangat dan motivasi mereka untuk lebih meningkatkan kompetensinya sebagai guru, demi membagun pendidikan di NTT ke arah yang lebih baik.
Bagi dua belas peserta yang lain, yang sore ini belum kebagian buku, saya janjikan, tetap akan saya beri buku masing-masing satu, besok atau besoknya. Buku yang akan saya hadiahkan itu adalah 'Berbagi di Ujung Negeri'. Ya, baru besok, buku itu dikirim kepada saya.
Semoga buku-buku itu menjadi kenangan yang manis untuk mereka. Sebentuk bukti persahabatan dan pertemanan, yang tidak hanya dibatasi oleh empat dinding kelas bernama kelas PLPG.
Gedung PPPG, 22 Oktober 2013
Wassalam,
LN