Daerah
3T di Indonesia terdiri dari daerah perbatasan darat dan perbatasan laut.Oleh
sebab itu, daerah 3T layak disebut sebagai Ujung Negeri.
Ditinjau
dari nilai strategis dan potensinya, daerah 3T memiliki keunggulan dan keunikan
tersendiri baik dari sumber daya alam maupun budayanya.Daerah 3T juga merupakan
wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara.
Tetapi
sebagaimana diketahui, pembangunan di daerah 3T masih sangat jauh tertinggal dan
kondisinya sangat timpang jika dibandingkan dengan kondisi daerah perkotaan di
Indonesia.Daerah 3T dihuni oleh anggota masyarakat yang tergolong miskin, jauh
dari sejahtera dan sangat tertinggal.Masih belum banyak tersentuh oleh program
pembangunan sehingga akses terhadap prioritas pembangunan seperti infratruktur,
pemberdayaan potensi, pelayanan sosial, ekonomi, dan pendidikan masih sangat
terbatas.
Dalam bidang
pendidikan, daerah 3T memerlukan upaya peningkatan mutu yang harus dikelola
secara khusus dan sungguh-sungguh. Berbagai permasalahan pendidikan antara lain
yang terkait dengan tenaga pendidik, seperti kekurangan jumlah guru (shortage),
distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah
standar (under qualification), kurang kompeten (low competencies), dan
ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu
(mismatched). Permasalahan lain dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah 3T
adalah angka putus sekolah yang masih relatif tinggi, angka partisipasi sekolah
yang masih rendah, sarana prasarana yang belum memadai, dan infrastruktur untuk
kemudahan akses dalam mengikuti pendidikan yang masih sangat kurang.
Berbagai
upaya telah dilakukan pemerintah dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa.Kita semua mengenal Program Wajib Belajar (Wajar).Program ini berawal
pada tahun 1984 dengan Wajar Sekolah Dasar.Kemudian berlanjut pada 1994 dengan
Wajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun, melalui Inpres Nomor 1
Tahun 1994. Inpres ini menginstruksikan kepada Menko Kesra, Mendikbud,
Mendagri, Menag, dan Menkeu untuk melaksanakan Wajar Dikdas Sembilan Tahun di
seluruh Indonesia sebagai suatu gerakan nasional yang dimulai pada tahun
pelajaran 1994/95.
Indonesia
bersama 191 negara anggota PBB telah menyepakati Millenium Development Goals
(MDGs) yang harus dicapai pada tahun 2015 yang lalu.Wajar Dikdas merupakan
salah satu program yang diorientasikan untuk mencapai tujuan MGDs
tersebut.Namun karena ada berbagai hambatan, pemerintah telah beberapa kali
mengundurkan tahun pencapaian Wajar Dikdas yang awalnya 2004 menjadi
2009.Memang tidak mudah mencapai tujuan MDGs di bidang pendidikan.
Permasalahan
dalam penyelenggaraan Wajar Dikdas sangatlah beragam. Selain rendahnya angka
partisipasi tingkat SLTP dan rendahnya angka melanjutkan dari SD ke SLTP,
permasalahan yang lain adalah keterbatasan fasilitas sekolah, termasuk rusaknya
fasilitas sekolah yang ada. Adanya krisis ekonomi sejak 1998 juga menambah
dampak keterbatasan fasilitas. Studi SMERU pada tahun 1999 dan 2003 (Gavin
Jones et al) menemukan bahwa kondisi bangunan sekolah dan fasilitas sekolah SDN
umumnya tidak memadai. Adanya ketergantungan pada pemerintah sebagai akibat
dari dibangunnya SD-SD Inpres telah mengakibatkan hilangnya swadaya dan
partisipasi masyarakat. Hambatan lain, adalah masalah klasik, yaitu terbatasnya
sumber dana pemerintah.
Permasalahan
lain yang perlu mendapat perhatian adalah masalah anak yang putus sekolah.
Berbagai hasil studi dan dari pengalaman penulis pribadi, anak lulusan sekolah
dasar tidak melanjutkan ke sekolah lanjutan pertama disebabkan oleh beberapa
hal, yaitu: Pertama, masalah ekonomi keluarga. Anak dari keluarga miskin tidak
memiliki dana untuk biaya pendidikan. Akibatnya, anak-anak membantu orang tua
baik untuk bekerja maupun kegiatan lainnya.Anak-anak tidak bersekolah karena
mereka membantu bekerja di kebun, menyadap karet di hutan, menggembala ternak,
mencari kayu bakar di hutan, mencari air, mencari rumput, atau mengasuh adiknya
ketika orang tuanya tidak ada di rumah.
Kedua,
rendahnya kesadaran dan motivasi masyarakat untuk menyekolahkan anak. Di
berbagai wilayah ditemukan betapa tingkat kesadaran masyarakat tentang
pentingnya pendidikan sebagai bekal di masa depan masih begitu rendah.
Rendahnya kesadaran ini antara lain nampak dari orang tua yang lebih
mengutamakan anaknya bekerja untuk membantu ekonomi keluarga daripada
bersekolah. Bahkan masih banyak orang tua yang melarang keras anaknya untuk
pergi ke sekolah, dan mengancam anak-anak dengan ancaman-ancaman yang membuat
mereka tidak berdaya.
Ketiga,
jarak atau lokasi sekolah terletak jauh dari tempat tinggal murid.Kondisi ini
diperburuk dengan kondisi sarana dan prasarana (akses) transportasi.Buruknya
ekonomi keluarga dan akses transportasi menyebabkan tidak terjangkaunya biaya
transportasi.Buruknya infrastruktur transportasi juga menyebabkan sulitnya
perjalanan untuk mencapai sekolah.Sudah jamak diketahui, bahwa banyak anak
sekolah yang harus menyeberangi sungai yang arusnya cukup deras dengan atau
tanpa jembatan penyeberangan yang memadai, dan mereka harus mempertaruhkan
nyawa hanya untuk pergi ke sekolah.Di Sumba Timur, guru-guru peserta Program
Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tetinggal (SM-3T) harus
membubuhkan obat luka sebelum siswa masuk kelas.Kaki anak-anak itu teluka
karena tergores bebatuan dan duri-duri tajam saat mereka harus menembus hutan
belantara dan naik-turun bukit saat berangkat-pulang sekolah.
Keempat,
adanya daya tarik cukup besar untuk bekerja dengan upah yang relatif tinggi.Di
berbagai tempat, anak sekolah banyak yang membolos saat musim panen, atau saat
hari pasar.Mereka memilih ikut bekerja di kebun atau menunggu dagangan di
pasar, karena jelas keuntungannnya secara ekonomi. Banyak orang tua yang
menganggap sekolah tidak penting, karena tidak menjamin anak akan cepat
mendapatkan pekerjaan. Peluang pekerjaan yang telah ada di depan mata lebih
menjanjikan secara ekonomi daripada sekolah.
Ketimpangan
pendidikan di daerah 3T itu semakin diperparah dengan etos kerja guru yang
rendah. Guru yang seharusnya menjadi garda depan pembangunan pendidikan
seringkali tak bisa diharapkan perannya. Mangkir dari tugas, melakukan
kekerasan pada anak sekolah, dan tindakan lain yang samasekali tidak
mencerminkan sikap dan perilaku seorang guru seringkali dijumpai. Sebuah
pepatah "di ujung rotan ada roti" menggambarkan betapa kekerasan
menjadi kelaziman dalam mendidik anak.Di beberapa daerah 3T, data menunjukkan,
kekerasan pada anak hampir setiap hari terjadi.Tidak hanya kekerasan fisik,
namun juga psikis dan penelantaran.
Dengan
kondisi seperti itu, bisa dibayangkan seperti apa kemampuan literasi siswa di
daerah 3T. Bahkan literasi dalam pengertian sederhana pun,
membaca-menulis-berhitung, kondisinya sangat memprihatinkan.Anak lulus SD belum
tentu bisa membaca. Kalau pun bisa, mereka seringkali tidak memahami apa yang
mereka baca. Jangan tanya mengapa dengan kondisi kemampuan membaca yang begitu
rendah, mereka bisa lulus UN? Panjang cerita untuk membahas hal ini.
Sekolah
banyak yang tidak memiliki perpustakaan.Kalau pun ada, hanyalah satu-dua buah
rak buku yang di atasnya dipajang buku-buku usang dan berdebu.Kondisi ini tidak
hanya terjadi di tingkat SD, namun juga SMP dan SMA. Jangan tanyakan seperti
apa minat baca siswa dan frekuensi kunjungan mereka ke 'perpustakaan' itu. Jauh
panggang dari api. Jangankan siswa, guru-guru pun nyaris tak memiliki minat
baca.
Tentu
tidak semua sekolah di daerah 3T semacam itu.Ada beberapa sekolah yang tetap
berusaha memberikan layanan sebaik mungkin bagi siswa dalam kondisi yang begitu
serba terbatas.Ada satu-dua orang guru dan kepala sekolah yang 'gila' dan
mencoba menjadi figur panutan bagi siswa.Mereka berjuang untuk memintarkan
anak-anak didiknya dengan penuh komitmen.Namun, sungguh, mencari sosok kepala
sekolah dan guru yang seperti itu, ibarat mencari jarum dalam tumpukan
jerami.Saking langkanya.
Dalam
banyak catatan perjalanan penulis dan para guru peserta program SM-3T, dengan
sangat berat hati harus kita akui, masalah utama pembangunan pendidikan di
daerah 3T sesungguhnya lebih pada masalah mental kerja. Guru PNS mengajar
semaunya atau bahkan mangkir dari tugas.Kepala sekolah tidak setiap hari hadir
di sekolah--bisa absen sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan--dengan
berbagai alasan, tanpa merasa berdosa."Kaki mereka pada baminyak.Seng
betah di tempat.Pigi-pigi terus."Begitu kata seorang tokoh masyarakat di
salah satu pelosok Maluku Barat Daya.
Sudah
begitu, pejabat kabupaten dan dinas pendidikan juga kurang turun ke bawah untuk
melihat kenyataan dan kebutuhan yang sebenarnya di lapangan. Apa lagi kalau
sudah dihadapkan pada momen pilkada atau masalah politik yang lain, maka urusan
pendidikan nyaris selalu terabaikan, dan bahkan sering dikorbankan.
Berbagai
program pemerintah untuk percepatan pembangunan di segala bidang tentulah akan
sangat membantu daerah 3T untuk berkembang mengejar ketertinggalannya. Namun
yang terpenting dari semua program pemerintah itu adalah bagaimana daerah 3T
bisa membangkitkan kesadaran dan kemauan mereka sendiri untuk berdaya.
Pendidikan
dan gurulah yang sebenarnya sangat diharapkan perannya untuk kebangkitan
pembangunan di daerah 3T ini.Coba kita tengok bagaimana peran guru dalam
membangun kesejahteraan masyarakat Finlandia. Guru merupakan profesi yang
terkait dengan pemeliharaan kultur nasional. Salah satu tujuan persekolahan
formal adalah mewariskan pustaka, nilai-nilai, dan aspirasi kultural dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Guru merupakan pemain kunci dalam membangun
masyarakat sejahtera. Sejarah panjang Finlandia yang telah menyebabkan negara
ini bergulat dengan identitas nasional, bahasa ibu, dan nilai-nilai sendiri,
telah meninggalkan jejak yang dalam pada masyarakatnya dan mendorong keinginan
mereka untuk mengembangkan pribadi melalui pendidikan, membaca (reading), dan
perbaikan diri. Literasi adalah tulang punggung kultur Finlandia dan telah
menjadi bagian tak terpisahkan.
Sekarang
ini, generasi literat mutlak dibutuhkan agar bangsa kita bisa bangkit dari
keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain. Wagner (2000)
menegaskan bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya
tingkat drop-out sekolah, kemiskinan, dan pengangguran. Ketiga hal tersebut
merupakan sebagian indikator rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM).
Berdasarkan
laporan UNDP (United Nations Development Programme), IPM Indonesia pada saat
ini meningkat.Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang kuat dalam setiap
indikator IPM pada beberapa tahun terakhir.Namun, meskipun demikian, nilai IPM
Indonesia masih di bawah rata-rata negara dengan IPM menengah.Bahkan masih jauh
lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata IPM negara di kawasan Asia
Timur dan Asia Pasifik.
Melek
huruf atau melek aksara, sebagai salah satu indikator IPM, sangat dekat dengan
literasi.Unesco mendefinisikan melek huruf sebagai kemampuan untuk
mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan, dan
mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan
tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Kemampuan baca-tulis dianggap
penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga
orang tersebut dapat mencapai tujuannya, dan hal ini berkaitan langsung dengan
kemampuan seseorang untuk memperoleh pengetahuan, menggali potensinya, dan
berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas.Menciptakan generasi
literat merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan
peduli.Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi
secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.
Masalahnya,
mampukah guru-guru kita, khususnya di daerah 3T, menjadi figur panutan tentang
kecintaan pada ilmu pengetahuan, kepedulian pada kebutuhan anak didik,
kesungguhan dan ketulusan dalam menjalani profesinya?Mampu jugakah guru-guru
itu menjadi model dalam pengembangan budaya literasi?Jawabannya, perlu
perjuangan yang panjang untuk mewujudkan itu semua.
Surabaya, 1 Juli 2016
Surabaya, 1 Juli 2016