Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Kamis, 19 Februari 2015

Ketika Rumput Mulai Hijau

Musim kemarau beberapa waktu yang lalu menyebabkan rumput-rumput mengering dan pohon-pohon meranggas. Bukit-bukit menjadi gundul dan lembah ngarai menjadi merana. Sapi, kambing, kuda, nampak kurus kering karena padang tempat mereka merumput nyaris tak memberikan apa pun. Kondisi seperti itulah yang saya lihat di berbagai tempat, termasuk di daerah-daerah pedalaman di pelosok Indonesia, sekitar beberapa bulan yang lalu.

Di PPPG, kondisinya tidak berbeda jauh. Kalau saya berdiri di lantai dua, dan melihat ke seluruh penjuru halaman, rerumputan dan pepohonan hampir semuanya kering. Warnanya yang biasanya hijau menyejukkan, berubah menjadi kuning kocoklatan di mana-mana. Sampai saya berkali-kali memanggil mandor taman dan memastikan dia mengontrol anak buahnya saat menyirami tanaman, apakah disirami dengan benar atau tidak. Beberapa kali saya juga turun dan melihat bagaimana para tukang taman itu mengurus tanaman.

Tapi memang, kemarau yang begitu panas membuat kami tidak bisa berbuat banyak. Pagi dan sore tanaman disiram sebanyak apa pun, sinar matahari yang memancarkan panasnya dengan garang, membuat semua upaya seperti tak berarti. Rumput yang hijau hanya di seputaran pohon-pohon besar, radiusnya tak lebih dari semeter, sementara pohon-pohon besar itu pun daun-daunnya rontok di sekitarnya. Hamparan rerumputan, sejauh mata memandang, kuning dan coklat. Haduh, saya sampai pingin nangis rasanya melihat pepohonan dan rerumputan yang kami tanam dengan menghabiskan dana puluhan juta rupiah itu seperti 'hidup tidak, mati pun tak hendak'.

Begitu musim hujan turun, keadaan pun berubah seratus delapan puluh derajat. Hijau di mana-mana. Segar rasanya mata ini memandang. Meski genangan air di bagian-bagian tertentu juga cukup mengganggu, namun kesuburan tanaman yang memenuhi halaman gedung menjulang itu begitu menyegarkan. 

Pagi ini, begitu keluar dari mobil, saya tidak langsung memasuki gedung. Saya sengaja berjalan memutari pagar gedung yang baru kami tanam. Ratusan batang bambu yang tingginya lebih dari dua meter berbaris rapat mengelilingi halaman gedung PPPG. Di beberapa bagian, pagar seng yang semula menjadi batas area halaman, telah rebah rata dengan tanah. Beberapa pohon di depan pagar bambu nampak berdiri miring, terhempas angin dan hujan lebat semalam. Kayu-kayu yang menopangnya tidak  lagi cukup kuat. Harus ada seseorang yang membenahinya agar pohon-pohon itu kembali berdiri tegak.

Saya memutar mulai dari bagian samping kanan gedung sampai ke belakang dan ke samping kiri. Ada beberapa bagian pagar bambu yang terlalu lebar jaraknya, dan saya perkirakan masih bisa dipakai 'brobosan' oleh orang dewasa. Saya hitung, mungkin masih perlu menambah sekitar sepuluh batang bambu untuk membuat pagar hidup itu menjadi lebih rapat. 

Beberapa waktu yang lalu, saat saya menghadiri kegiatan Himapala di malam hari, saya sempat berkeliling melihat-lihat situasi halaman PPPG dari belakang. Kebetulan Sekretariat Himapala memang berada tepat di belakang Gedung PPPG, sekompleks dengan Sekretariat Menwa dan Pramuka. Saat itu, secara kebetulan, ada dua mahasiswa yang nekad 'mbrobos' dari halaman PPPG menuju asrama. Mereka bukan mahasiswa PPPG, karena saya tidak mengenal mereka dan mereka juga tidak mengenal saya. Saya perkirakan mereka mahasiswa di salah satu fakultas di Kampus Unesa Lidah Wetan ini. Mereka memanfaatkan pagar seng yang telah roboh untuk menjadi jembatan yang menghubungkan antara halaman PPPG dengan jalan. Di bawah seng itu adalah selokan. Saya heran, begitu efisiennya mereka, sampai-sampai harus mengambil risiko seperti itu. Bayangkan kalau jembatan seng itu tidak cukup kuat menopang tubuh mereka, dan mereka jatuh terperosok ke dalam selokan. Padahal hanya beberapa meter di sebelah kiri mereka adalah pintu keluar yang sebenarnya. Saya sampai geleng-geleng kepala melihat kenekadan itu. Sepertinya mereka adalah jenis mahasiswa yang tidak betah berada pada zona nyaman. Mereka termasuk jenis mahasiswa yang suka tantangan. Maka menyeberangi selokan dengan menggunakan pagar seng yang dirobohkan menjadi alternatif pemuas rasa haus akan tantangan itu.

Puas berkeliling, saya menuju ruang staf di lantai satu. Sepagi itu, semua staf PPPG sudah berada di posnya masing-masing. 

"Pak Budiman, Pak Somat, ayo ikut saya jalan-jalan." Saya memanggil dua teman staf yang tugasnya adalah mengurus taman dan perlengkapan. 

"Monggo, Bu," Kata mereka serempak.

Saya kembali ke tempat pohon yang berdiri miring tadi. Meminta kedua teman saya itu untuk membetulkan posisinya supaya tidak miring. Saya juga menunjukkan beberapa bagian pagar yang masih perlu dirapatkan dengan batang-batang bambu yang baru. Juga meminta supaya seng-seng yang sudah rebah rata dengan tanah itu diringkas, dan dilaporkan ke Bagian Perlengkapan Unesa, supaya diambil dan dibersihkan. 

"Sekalian Pak, minta tukang taman merapikan rumput-rumput ya?" Pinta saya. Ya, kalau beberapa waktu yang lalu saya sedih melihat rumput-rumput itu menguning dan mengering, sekarang saya sedih melihat rumput-rumput itu tumbuh terlalu subur tak beraturan sehingga perlu dirapikan.

"Inggih, Bu. Minggu ini tukang taman masih mengerjakan pemotongan rumput di FIP, minggu depan jadwalnya di PPPG." Kata Pak Budiman.

"O, baguslah kalau begitu."

Saya senang karena teman-teman di PPPG ini seperti seide dengan saya dalam masalah mengurus kebersihan gedung dan halaman. Seringkali mereka bahkan melakukan hal yang di luar bayangan saya. Beberapa dari mereka menanami halaman dengan lombok dan sayur-sayuran lain. Di balkon lantai dua yang luas, Anda bisa memetik kedondong, jeruk, sawo, belimbing dan jambu. Di halaman, beberapa tahun lagi, akan ada banyak buah mangga dan nangka hasil panen sendiri. Beberapa tahun lagi juga, akan ada banyak pohon peneduh yang tinggi menjulang mengimbangi tingginya gedung. Pagar hidup berupa bambu akan rapat melindungi gedung dan mengamankannya, namun tetap penuh kehangatan dan ramah lingkungan.

Tahun ini, kami terpaksa mengakhiri kerja sama dengan rekanan yang mengurusi kebersihan, karena dari hasil evaluasi kami, kerja rekanan tersebut tidak memuaskan. Bahan pembersih yang mereka gunakan tidak wangi, kabarnya karena terlalu banyak dioplos dengan bahan lain. Lantai hanya nampaknya saja bersih, tapi bersihnya tidak sempurna. Petugas kebersihan sering mengeluh karena bahan pembersih mereka dibatasi dan gaji mereka sering telat. Setidaknya yang saya ingat, dalam setahun kemarin, sempat tiga kali ada kejadian para petugas kebersihan yang jumlahnya sekitar 25 orang itu nyaris mogok kerja, karena gaji mereka belum dibayar. Dua kali mereka berbaris di depan ruang saya, dan setelah kami membantu untuk mengatasi masalah keuangan rekanan, mereka baru reda, tidak jadi mogok kerja. Tentu saja saya dan Bu Yanti sempat ngamuk ke rekanan dan mengancamnya tidak akan memperpanjang kerja sama lagi kalau mereka tidak becus mengurus tenaga kerjanya. Sudah ngurus gedung dan taman tidak beres, ngurus orang juga tidak beres. Payah kan?

Satu hal yang membuat saya dan teman-teman di PPG ini sangat kepikiran adalah ulah orang kampung di sekitar kampus Lidah ini. Beberapa bulan yang lalu, tepat pada hari ulang tahun saya, 18 Oktober 2014, ada 'kebakaran' di samping kanan gedung PPPG. Rumput ilalang yang tinggi dan rimbun itu kabarnya yang menjadi penyebab. Karena kemarau panjang, ilalang mengering, dan gesekan di antara mereka memercikkan api. Karena angin kencang, api itu membesar dan dengan cepat meluas, memangsa rumput dan pepohonan di sekitarnya, mendekat ke arah gedung PPPG. Saat itu bahkan kami sempat memanggil PMK dan dua mobil pemadam kebakaran datang menjinakkan api. Tapi apa mau dikata. Api yang memang sangat besar itu sudah sempat memangsa pipa air dan sebagian pipa jebol sudah.

Belakangan, saya mendengar, kejadian itu ternyata tidak hanya sekali dua kali, tetapi berkali-kali, dan bahkan sudah seperti langganan tiap tahun. Kabarnya, memang ada pihak-pihak yang sengaja membakar ilalang itu, untuk kemudian menanami tanah bekas tempat ilalang terbakar. Saya nyaris tidak percata dengan kabar itu,  sampai akhirnya saya melihat sendiri buktinya.

Suatu ketika, ada acara di lantai sembilan, dan kami melihat halaman PPPG yang berada di bawah sana, dan terkaget-kaget. Tanah yang beberapa waktu yang lalu terbakar, sekarang sudah ditumbuhi dengan tanaman jagung dan polowijo. Tumbuhnya rapi, subur, dan pasti sengaja ditanam oleh orang yang sudah berpengalaman. Ya, bisa jadi, kebakaran yang dulu itu memang dilakukan secara sengaja, agar tanah itu bisa dimanfaatkan saat musim hujan. 

Tentu saja kami semua prihatin dengan kenyataan itu. Ini masalah yang tidak boleh dianggap ringan. Tapi hal ini ternyata, kata banyak sumber, sudah terjadi bertahun-tahun dan berkali-kali. Bagaimana mungkin kita semua bisa membiarkan pihak-pihak luar mengacak-acak kedaulatan kita seperti ini?

Saya mengajak Pak Budiman dan Pak Somat berjalan mendekati tempat yang rawan kebakaran itu. Saya katakan, saya ingin bertemu dengan petani yang memanfaatkan tanah di seberang itu. Saya ingin mengajak mereka untuk bersama-sama menjaga lingkungan kampus. Kalau mereja ingin menanami tanah di dalam kampus dan untuk itu harus lebih dulu membakar ilalang, saya ingin mereka lebih berhati-hati dengan aksinya itu, supaya api yang dibuatnya tidak membesar dan membawa korban apa pun. Termasuk melalap pagar bambu yang kami tanam. Saya ingin Pak Somat dan Pak Budiman meminta orang untuk membuat parit di seputar gedung PPPG dan memastikan parit itu menampung air, sehingga bila ada kebakaran, api tidak sampai menyentuh pagar bambu. Kami harus melakukan itu, karena mungkin hanya itu yang masih  bisa kami lakukan dengan upaya PPPG sendiri. Sambil menunggu respon nyata dari Unesa untuk melakukan sesuatu demi menjaga kedaulatannya. Setidaknya, di beberapa kesempatan, baik dalam forum rapat resmi maupun secara informal, saya sudah menyampaikan kepada para petinggi Unesa bahwa kita harus melakukan sesuatu untuk mencegah terjadinya kebakaran buatan yang sudah terjadi berulang kali. Karena tidak memungkinkan bagi saya dan teman-teman PPPG untuk mengambil kebijakan menyangkut hal itu, maka kami memilih berdamai saja dengan pihak yang memicu munculnya masalah. Yang penting damai dululah, supaya rumput-rumput dan pohon-pohon tetap hijau.....

Surabaya, 8 Februari 2015

Wassalam,
LN