Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label PPPG. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PPPG. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Februari 2015

Ketika Rumput Mulai Hijau

Musim kemarau beberapa waktu yang lalu menyebabkan rumput-rumput mengering dan pohon-pohon meranggas. Bukit-bukit menjadi gundul dan lembah ngarai menjadi merana. Sapi, kambing, kuda, nampak kurus kering karena padang tempat mereka merumput nyaris tak memberikan apa pun. Kondisi seperti itulah yang saya lihat di berbagai tempat, termasuk di daerah-daerah pedalaman di pelosok Indonesia, sekitar beberapa bulan yang lalu.

Di PPPG, kondisinya tidak berbeda jauh. Kalau saya berdiri di lantai dua, dan melihat ke seluruh penjuru halaman, rerumputan dan pepohonan hampir semuanya kering. Warnanya yang biasanya hijau menyejukkan, berubah menjadi kuning kocoklatan di mana-mana. Sampai saya berkali-kali memanggil mandor taman dan memastikan dia mengontrol anak buahnya saat menyirami tanaman, apakah disirami dengan benar atau tidak. Beberapa kali saya juga turun dan melihat bagaimana para tukang taman itu mengurus tanaman.

Tapi memang, kemarau yang begitu panas membuat kami tidak bisa berbuat banyak. Pagi dan sore tanaman disiram sebanyak apa pun, sinar matahari yang memancarkan panasnya dengan garang, membuat semua upaya seperti tak berarti. Rumput yang hijau hanya di seputaran pohon-pohon besar, radiusnya tak lebih dari semeter, sementara pohon-pohon besar itu pun daun-daunnya rontok di sekitarnya. Hamparan rerumputan, sejauh mata memandang, kuning dan coklat. Haduh, saya sampai pingin nangis rasanya melihat pepohonan dan rerumputan yang kami tanam dengan menghabiskan dana puluhan juta rupiah itu seperti 'hidup tidak, mati pun tak hendak'.

Begitu musim hujan turun, keadaan pun berubah seratus delapan puluh derajat. Hijau di mana-mana. Segar rasanya mata ini memandang. Meski genangan air di bagian-bagian tertentu juga cukup mengganggu, namun kesuburan tanaman yang memenuhi halaman gedung menjulang itu begitu menyegarkan. 

Pagi ini, begitu keluar dari mobil, saya tidak langsung memasuki gedung. Saya sengaja berjalan memutari pagar gedung yang baru kami tanam. Ratusan batang bambu yang tingginya lebih dari dua meter berbaris rapat mengelilingi halaman gedung PPPG. Di beberapa bagian, pagar seng yang semula menjadi batas area halaman, telah rebah rata dengan tanah. Beberapa pohon di depan pagar bambu nampak berdiri miring, terhempas angin dan hujan lebat semalam. Kayu-kayu yang menopangnya tidak  lagi cukup kuat. Harus ada seseorang yang membenahinya agar pohon-pohon itu kembali berdiri tegak.

Saya memutar mulai dari bagian samping kanan gedung sampai ke belakang dan ke samping kiri. Ada beberapa bagian pagar bambu yang terlalu lebar jaraknya, dan saya perkirakan masih bisa dipakai 'brobosan' oleh orang dewasa. Saya hitung, mungkin masih perlu menambah sekitar sepuluh batang bambu untuk membuat pagar hidup itu menjadi lebih rapat. 

Beberapa waktu yang lalu, saat saya menghadiri kegiatan Himapala di malam hari, saya sempat berkeliling melihat-lihat situasi halaman PPPG dari belakang. Kebetulan Sekretariat Himapala memang berada tepat di belakang Gedung PPPG, sekompleks dengan Sekretariat Menwa dan Pramuka. Saat itu, secara kebetulan, ada dua mahasiswa yang nekad 'mbrobos' dari halaman PPPG menuju asrama. Mereka bukan mahasiswa PPPG, karena saya tidak mengenal mereka dan mereka juga tidak mengenal saya. Saya perkirakan mereka mahasiswa di salah satu fakultas di Kampus Unesa Lidah Wetan ini. Mereka memanfaatkan pagar seng yang telah roboh untuk menjadi jembatan yang menghubungkan antara halaman PPPG dengan jalan. Di bawah seng itu adalah selokan. Saya heran, begitu efisiennya mereka, sampai-sampai harus mengambil risiko seperti itu. Bayangkan kalau jembatan seng itu tidak cukup kuat menopang tubuh mereka, dan mereka jatuh terperosok ke dalam selokan. Padahal hanya beberapa meter di sebelah kiri mereka adalah pintu keluar yang sebenarnya. Saya sampai geleng-geleng kepala melihat kenekadan itu. Sepertinya mereka adalah jenis mahasiswa yang tidak betah berada pada zona nyaman. Mereka termasuk jenis mahasiswa yang suka tantangan. Maka menyeberangi selokan dengan menggunakan pagar seng yang dirobohkan menjadi alternatif pemuas rasa haus akan tantangan itu.

Puas berkeliling, saya menuju ruang staf di lantai satu. Sepagi itu, semua staf PPPG sudah berada di posnya masing-masing. 

"Pak Budiman, Pak Somat, ayo ikut saya jalan-jalan." Saya memanggil dua teman staf yang tugasnya adalah mengurus taman dan perlengkapan. 

"Monggo, Bu," Kata mereka serempak.

Saya kembali ke tempat pohon yang berdiri miring tadi. Meminta kedua teman saya itu untuk membetulkan posisinya supaya tidak miring. Saya juga menunjukkan beberapa bagian pagar yang masih perlu dirapatkan dengan batang-batang bambu yang baru. Juga meminta supaya seng-seng yang sudah rebah rata dengan tanah itu diringkas, dan dilaporkan ke Bagian Perlengkapan Unesa, supaya diambil dan dibersihkan. 

"Sekalian Pak, minta tukang taman merapikan rumput-rumput ya?" Pinta saya. Ya, kalau beberapa waktu yang lalu saya sedih melihat rumput-rumput itu menguning dan mengering, sekarang saya sedih melihat rumput-rumput itu tumbuh terlalu subur tak beraturan sehingga perlu dirapikan.

"Inggih, Bu. Minggu ini tukang taman masih mengerjakan pemotongan rumput di FIP, minggu depan jadwalnya di PPPG." Kata Pak Budiman.

"O, baguslah kalau begitu."

Saya senang karena teman-teman di PPPG ini seperti seide dengan saya dalam masalah mengurus kebersihan gedung dan halaman. Seringkali mereka bahkan melakukan hal yang di luar bayangan saya. Beberapa dari mereka menanami halaman dengan lombok dan sayur-sayuran lain. Di balkon lantai dua yang luas, Anda bisa memetik kedondong, jeruk, sawo, belimbing dan jambu. Di halaman, beberapa tahun lagi, akan ada banyak buah mangga dan nangka hasil panen sendiri. Beberapa tahun lagi juga, akan ada banyak pohon peneduh yang tinggi menjulang mengimbangi tingginya gedung. Pagar hidup berupa bambu akan rapat melindungi gedung dan mengamankannya, namun tetap penuh kehangatan dan ramah lingkungan.

Tahun ini, kami terpaksa mengakhiri kerja sama dengan rekanan yang mengurusi kebersihan, karena dari hasil evaluasi kami, kerja rekanan tersebut tidak memuaskan. Bahan pembersih yang mereka gunakan tidak wangi, kabarnya karena terlalu banyak dioplos dengan bahan lain. Lantai hanya nampaknya saja bersih, tapi bersihnya tidak sempurna. Petugas kebersihan sering mengeluh karena bahan pembersih mereka dibatasi dan gaji mereka sering telat. Setidaknya yang saya ingat, dalam setahun kemarin, sempat tiga kali ada kejadian para petugas kebersihan yang jumlahnya sekitar 25 orang itu nyaris mogok kerja, karena gaji mereka belum dibayar. Dua kali mereka berbaris di depan ruang saya, dan setelah kami membantu untuk mengatasi masalah keuangan rekanan, mereka baru reda, tidak jadi mogok kerja. Tentu saja saya dan Bu Yanti sempat ngamuk ke rekanan dan mengancamnya tidak akan memperpanjang kerja sama lagi kalau mereka tidak becus mengurus tenaga kerjanya. Sudah ngurus gedung dan taman tidak beres, ngurus orang juga tidak beres. Payah kan?

Satu hal yang membuat saya dan teman-teman di PPG ini sangat kepikiran adalah ulah orang kampung di sekitar kampus Lidah ini. Beberapa bulan yang lalu, tepat pada hari ulang tahun saya, 18 Oktober 2014, ada 'kebakaran' di samping kanan gedung PPPG. Rumput ilalang yang tinggi dan rimbun itu kabarnya yang menjadi penyebab. Karena kemarau panjang, ilalang mengering, dan gesekan di antara mereka memercikkan api. Karena angin kencang, api itu membesar dan dengan cepat meluas, memangsa rumput dan pepohonan di sekitarnya, mendekat ke arah gedung PPPG. Saat itu bahkan kami sempat memanggil PMK dan dua mobil pemadam kebakaran datang menjinakkan api. Tapi apa mau dikata. Api yang memang sangat besar itu sudah sempat memangsa pipa air dan sebagian pipa jebol sudah.

Belakangan, saya mendengar, kejadian itu ternyata tidak hanya sekali dua kali, tetapi berkali-kali, dan bahkan sudah seperti langganan tiap tahun. Kabarnya, memang ada pihak-pihak yang sengaja membakar ilalang itu, untuk kemudian menanami tanah bekas tempat ilalang terbakar. Saya nyaris tidak percata dengan kabar itu,  sampai akhirnya saya melihat sendiri buktinya.

Suatu ketika, ada acara di lantai sembilan, dan kami melihat halaman PPPG yang berada di bawah sana, dan terkaget-kaget. Tanah yang beberapa waktu yang lalu terbakar, sekarang sudah ditumbuhi dengan tanaman jagung dan polowijo. Tumbuhnya rapi, subur, dan pasti sengaja ditanam oleh orang yang sudah berpengalaman. Ya, bisa jadi, kebakaran yang dulu itu memang dilakukan secara sengaja, agar tanah itu bisa dimanfaatkan saat musim hujan. 

Tentu saja kami semua prihatin dengan kenyataan itu. Ini masalah yang tidak boleh dianggap ringan. Tapi hal ini ternyata, kata banyak sumber, sudah terjadi bertahun-tahun dan berkali-kali. Bagaimana mungkin kita semua bisa membiarkan pihak-pihak luar mengacak-acak kedaulatan kita seperti ini?

Saya mengajak Pak Budiman dan Pak Somat berjalan mendekati tempat yang rawan kebakaran itu. Saya katakan, saya ingin bertemu dengan petani yang memanfaatkan tanah di seberang itu. Saya ingin mengajak mereka untuk bersama-sama menjaga lingkungan kampus. Kalau mereja ingin menanami tanah di dalam kampus dan untuk itu harus lebih dulu membakar ilalang, saya ingin mereka lebih berhati-hati dengan aksinya itu, supaya api yang dibuatnya tidak membesar dan membawa korban apa pun. Termasuk melalap pagar bambu yang kami tanam. Saya ingin Pak Somat dan Pak Budiman meminta orang untuk membuat parit di seputar gedung PPPG dan memastikan parit itu menampung air, sehingga bila ada kebakaran, api tidak sampai menyentuh pagar bambu. Kami harus melakukan itu, karena mungkin hanya itu yang masih  bisa kami lakukan dengan upaya PPPG sendiri. Sambil menunggu respon nyata dari Unesa untuk melakukan sesuatu demi menjaga kedaulatannya. Setidaknya, di beberapa kesempatan, baik dalam forum rapat resmi maupun secara informal, saya sudah menyampaikan kepada para petinggi Unesa bahwa kita harus melakukan sesuatu untuk mencegah terjadinya kebakaran buatan yang sudah terjadi berulang kali. Karena tidak memungkinkan bagi saya dan teman-teman PPPG untuk mengambil kebijakan menyangkut hal itu, maka kami memilih berdamai saja dengan pihak yang memicu munculnya masalah. Yang penting damai dululah, supaya rumput-rumput dan pohon-pohon tetap hijau.....

Surabaya, 8 Februari 2015

Wassalam,
LN

Senin, 05 Januari 2015

Jawa Timur untuk Pendidikan Daerah Tertinggal

Siang itu, saya sedang berada di ruang kerja, di Kantor Program Pengembangan Profesi Guru (PPPG) Universitas Negeri Surabaya (Unesa), saat ponsel saya berdering. Sebuah suara yang cukup saya kenal menyapa dari seberang. Saya langsung teringat pada laki-laki jangkung pemilik suara yang ramah itu. Saya mengenalnya lewat sahabat saya, Ibu Sirikit Syah. Waktu itu, kami, PPPG Unesa, membutuhkan satu narasumber untuk materi keterampilan berkomunikasi dan sosio-kultural. Kami biasanya menggandeng Mas Rukin Firda, wartawan senior Jawa Pos, yang sahabat saya dan Bu Sirikit juga, dan telah banyak mendampingi kami melakukan pengiriman, penjemputan, dan pendampingan para peserta Program Jatim Mengajar (JM) dan Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM-3T). Namun karena pada awal Agustus 2014 yang lalu Mas Rukin berpulang akibat kecelakaan lalu lintas di kawasan Bungurasih, saya mencoba meminta bantuan Bu Sirikit untuk menggantikannya. Pengalaman dan wawasan Bu Sirikit sebagai mantan jurnalis, penulis, pelatih menulis, dosen, telah membawanya blusukan ke berbagai wilayah Tanah Air dan memberinya banyak kesempatan untuk berkunjung ke berbagai negara, ditambah dengan latar belakang pendidikannya yaitu Komunikasi, maka tepat sudah. Tetapi, meski pun Bu Sirikit sangat berminat dan ingin memenuhi permohonan kami, ternyata beliau sedang ada kegiatan lain yang tidak bisa beliau tinggalkan. 

Maka akhirnya jadilah kami diperkenalkan dengan sosok itu, Dr. Suparto Wijoyo. Bu Sirikit memastikan, beliau adalah orang yang sangat cocok untuk topik itu. Pak Parto orang yang sangat berpengalaman, kaya wawasan, atraktif, humble, pergaulannya luas dengan segala kalangan, dan senang berjejaring. 

Akhirnya kami mengundang Pak Parto untuk menjadi salah satu instruktur di kegiatan kami. Dan benar. Seperti itulah adanya. Semuanya cocok dengan yang dideskripsikan Bu Sirikit.      

Dan baru saja, orang itu menelepon. Meminta saya bergabung dengan para guru besar dan doktor dari perguruan tinggi lain serta para tokoh masyarakat dan budayawan, untuk membuat tulisan dengan tema "Jawa Timur Regional Champion, Berkompetisi dalam MEA 2015". Pada dasarnya, buku ini akan menjadi semacam antologi di mana salah satu penulisnya adalah Dr. H. Soekarwo, Gubernur Jawa Timur, yang lebih dikenal dengan nama Pakde Karwo itu.

Seketika saya heran, mengapa Pak Parto meminta saya untuk bergabung menulis dalam buku itu. Keheranan saya sangat beralasan. Saya tidak terlalu dekat dengan Pakde Karwo. Saya sekadar mengenalnya sebagai pejabat, sebagai Gubernur. Saya sekadar tahu bahwa beliau berkumis tebal dan kumis itu menambah kewibawaannya. Saya sekadar hafal wajahnya, bukan hanya karena beliau sering muncul di berbagai media, namun juga karena saya beberapa kali berkesempatan bersemuka dengan beliau. Seingat saya, saya pernah 'nggowes' bersama Pakde Karwo di Tuban saat reuni akbar SMA 2, almamater saya. Waktu itu saya berada dalam rombongan para petinggi panitia reuni dan berada dekat dengan Pakde Karwo dan rombongannya. Saya juga pernah cukup dekat--dalam arti jarak--dengan beliau saat Unesa mengadakan jalan sehat dalam rangka Dies Natalis. Saya, yang pasti, sangat mengenal wajah dan penampilan beliau, meski beliau--saya yakin--tidak mengenal saya sama sekali.

Alasan keheranan saya yang lain adalah, saya--maaf kalau harus saya katakan--tidak ada ketertarikan dengan dunia politik. Sekadar tahu informasi, cukuplah bagi saya. Sesekali berdebat dengan kawan dan nyambung, itu sudah. Saya selalu mengambil posisi menghindar bersentuhan dengan apa pun yang berbau politik, kecuali saat pemilu, saya tetap berusaha untuk menjadi warga negara yang baik dengan ikut voting. Meski beberapa kali ada saja orang yang mencoba menyeret saya dalam pusaran politik, saya tak bergeming. Saya tidak muak dengan politik, tapi saya merasa biarlah orang lain yang menggelutinya dan biarkan saya menggeluti urusan lain yang juga penting. Sesuai porsi masing-masing. 

Setidaknya dua alasan itulah yang menyebabkan keheranan saya ketika Pak Parto mengajak saya untuk menulis tentang Pakde Karwo. Dan seperti memahami pertanyaan saya, Pak Parto menjelaskan kenapa beliau mengajak saya bergabung. Pak Parto bilang, beliau sangat terkesan dengan buku saya "Berbagi di Ujung Negeri." Buku itu saya hadiahkan pada beliau sebagai salah satu tanda terima kasih kami saat Prakondisi SM-3T yang lalu, karena beliau telah membantu kegiatan kami. Sebuah buku yang mengisahkan perjalanan saya mengunjungi berbagai pelosok Tanah Air dalam rangka melakukan pendampingan Program SM-3T. Di buku itu, saya mengabarkan tentang betapa memprihatinkannya kondisi pendidikan di daerah Sumba Timur, Talaud, Aceh Singkil, Maluku Barat Daya, dan Mamberamo Raya. Betapa rendah etos kerja guru dan kepala sekolah, betapa minim daya dukung sekolah, orang tua dan masyarakat, dan betapa mereka sangat membutuhkan sentuhan pemerintah dan pihak-pihak yang mau peduli. Kondisi infrastruktur yang sangat mengenaskan, jalan yang tidak layak dan berbahaya, rumah-rumah dan sekolah yang berlantai tanah, air dan bahan makanan yang susah didapat, anak-anak ingusan yang lapar dan kurang gizi, akses layanan kesehatan yang nyaris mustahil, listrik dan sinyal yang tak jelas keberadaannya, dan kondisi lain yang sungguh membuat hati ini menangis dan bertanya-tanya: inikah Indonesiaku? 

Maka saya pun menerima tawaran Pak Parto dengan suka cita. Kenapa tidak? Menulis adalah hal yang menyenangkan bagi saya. Menulis sesuatu yang baru adalah tantangan. Apa lagi tentang seseorang yang menjadi public figure karena jabatan dan sepak terjangnya. Seseorang yang menjadi orang nomor wahid di Jawa Timur ini. Sebuah provinsi yang menjadi barometer nasional tentang kinerja pembangunan di segala bidang. 


Tulisan selanjutnya, nantikan di Buku Antologi bersama Pakde Karwo yak?

Surabaya, 5 Januari 2015
Wassalam,
LN

Minggu, 04 Januari 2015

Catatan Natal

Akhirnya, saya berada di sini. Di ruang besar ini, di Auditorium Wiyata Mandala, Gedung PPPG lantai 9. Dalam acara merayakan Natal bersama mahasiswa PPG dan PPGT Unesa.

Tentu saja saya tidak sendiri. Ada puluhan mahasiswa, yang hampir semuanya mengenakan busana bernuansa merah. Merekalah mahasiswa PPG dan PPGT Unesa. Juga ada Mas Yoyok dan Dik Ucik, dua teman tim ahli PPPG yang nonmuslim. Ada juga Mbak Ully, kasubag PPPG, yang datang bersama putrinya yang cantik. Mbak Ully dan putrinya Muslim, dan nampaknya hanya kami bertiga yang akan menjadi kelompok minoritas dalam ruangan ini.

Beberapa hari yang lalu, Mbak Ully bertanya ke saya. "Ibu, mohon ibu buat teks sambutan nggih, Bu, untuk acara Natal, biar nanti saya yang membacakan sambutan Ibu. Insyaallah saya bisa datang." 

Sebelum saya menjawab, tiba-tiba Dik Ucik muncul. 
"Dik Ucik natalan besok bisa datang?" Tanya saya.
"Bisa, Mbak. Saya usahakan bisa datang."
"Kalau begitu biar bu Ucik saja, Bu, yang membacakan sambutan Ibu." Tukas Mbak Ully.
"Dibuatkan ya, Mbak, sambutannya..." Tambah Dik Ucik.
"Oke." Saya mengangguk. "Insyaallah."

Setelah percakapan sore itu, saya termenung-menung. Kenapa Mbak Ully men-judge saya tidak akan datang pada acara natalan nanti? Padahal dia sebelumnya bertanya pun tidak. Biasanya dia akan memastikan dulu apakah saya akan hadir atau tidak pada suatu kegiatan mahasiswa atau pada acara apa saja, termasuk rapat. Baru kemudian dia akan mencatat apa-apa yang saya perlukan atau yang harus dipersiapkan untuk keperluan kegiatan atau rapat tersebut. Tapi ini, tiba-tiba saja dia meminta saya membuat konsep sambutan pada acara Natal supaya dia bisa membacakannya nanti bila harus mewakili saya memberi sambutan dan membuka acara.

Besoknya, Mbak Ully datang ke ruangan saya dan menanyakan konsep sambutan itu.  
"Saya belum memutuskan apakah saya bisa datang atau tidak, Mbak Ully." Kata saya.
"Oh iya, Ibu... Maaf. Baik, saya tunggu saja nggih kalau gitu kepastian dari Ibu."

Besoknya, Mbak Ully mengirim SMS. "Ibu, dresscode untuk acara natal besok, warna merah atau hijau."

Saya kembali termenung-menung. Merah atau hijau, itu warna khas Natal. Pohon cemara dengan pita-pita, lampu-lampu, topi, hiasan-hiasan, dan ornamen-ornamen khas yang lain. Dan saya mungkin akan berada di sana. Di antara lilin-lilin kecil. Juga lagu-lagu rohani yang mereka lantunkan. 

Tapi tentu saja saya tidak akan turut serta dalam ritual misa atau kebaktian mereka. Saya mungkin akan duduk di ruangan lain. Atau sekadar menjauh dari kelompok mereka. Menunggu sampai mereka selesai melakukan peribadatannya. Baru bergabung lagi di acara selanjutnya. Atau bahkan saya hanya akan sekadar memberi sambutan, menyampaikan ucapan selamat merayakan Natal, untuk kemudian pamit undur diri dan membiarkan mereka melakukan peribadatannya dengan khidmat.

Saya pun meminta pertimbangan pada Mas Ayik, suami saya. "Mas, apakah sebaiknya aku datang atau tidak?"
"Menurutmu bagaimana?" Mas Ayik balik bertanya.
"Menurutku, sepertinya aku harus datang."
"Ya. Kamu datang saja. Kamu mengayomi semua agama di PPPG itu. Muslim maupun nonmuslim. Sekadar mengucapkan selamat merayakan natal, insyaallah tidak akan merusak aqidah. Niatkan demi kerukunan dan saling menghormati."

Saya masih termenung-menung setelah pembicaraan dengan Mas Ayik itu. Memang benar. Mahasiswa PPG, apa lagi PPGT, sangat heterogen. Tidak sedikit dari mereka yang berasal dari wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani. NTT, Papua, Sulawesi, Maluku, semua ada di PPPG ini. Dan di sini, saya adalah ibu mereka.  

Sejak kecil, saya didoktrin oleh keluarga, juga oleh lingkungan saya, bahwa mengucapkan selamat Natal hukumnya haram. Saya menerima saja waktu itu. Namun semakin ke sini, saya mulai membaca, berpikir, mempertimbangkan, mengamati, dan pada akhirnya, keputusan saya jatuh pada pernyataan, bahwa sekadar mengucapkan selamat  Natal, hanya sekadar demi kerukunan dan toleransi, tidak akan merusak aqidah. Sebagai orang yang ingin lebih memahami, saya juga membaca berbagai tulisan tentang pro-kontra hukum Muslim mengucapkan selamat Natal pada nonmuslim. Dalam proses itu, juga dari hasil diskusi, saya akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa "ucapan selamat Natal boleh dilakukan oleh para muslim, semata-mata dalam konteks sosial kemanusiaan dan pergaulan kemasyarakatan, bukan keagamaan".

Sebuah tulisan Gus Dur yang saya simpan, juga menguatkan keputusan saya. "Menjadi kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama."

Gus Dur juga menulis, jika seorang muslim duduk bersama-sama dengan orang lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut dalam ritual kebaktian. 

Pada sebuah kesempatan,  Cendekiawan Muslim Salahuddin Wahid (Gus Sholah)juga mengatakan, umat Islam sah-sah saja mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Pasalnya, tidak ada dasar yang melarang Muslim mengucapkan selama Natal. "Mengucapkan selamat Natal adalah bentuk ungkapan saling menghormati antarpemeluk agama."

Menurut Gus Shollah lagi: "Ada yang mengatakan tidak boleh tapi banyak juga yang mengatakan boleh. Biarkan masing-masing mengikuti pendapatnya, intinya ada kebebasan menyikapi sesuatu dan enggak boleh dipaksa." Sebuah pernyataan yang menyejukkan dari seorang Gus Shollah, adik kandung Gus Dur itu. 

Tentu saja tuntunan saya adalah Al-Qur'an dan Hadist, dan panutan saya adalah Rasulullah SAW. Tentu saja, Gus Dur dan Gus Shollah, hanyalah sebagian dari panutan saya yang lain. Bagaimana pun, mereka berdua bukan orang sembarangan, meski sebagaimana manusia biasa, mereka tidaklah selalu sempurna. Namun dalam hal ini, saya sangat sepaham dengan sikap dan perkataan mereka tentang Natal. Sikap dan perkataan yang mustinya sudah mereka kaji secara mendalam dan mendasarkan diri pada tuntunan Al-Quran dan Hadist. Sikap dan perkataan yang memberikan kesejukan bagi kehidupan masyarakat  kita yang sangat plural ini. Sikap dan perkataan yang mengekspresikan kesantunan dan kelembutan hati Muslim yang taat pada ajaran agamanya, Islam, sebagai agama yang rahmatan lil alamin.
  
Dan akhirnya, saya berada di sini. Di ruang besar ini, di Auditorium Wiyata Mandala, Gedung PPPG lantai 9. Dalam acara merayakan natal bersama mahasiswa PPG dan PPGT Unesa.

Saya pikir, hanya akan ada saya, Mbak Ully dan putrinya, di ruang ini. Saya pikir, tidak akan ada yang lain, khususnya mahasiswa PPG atau PPGT yang muslim, hadir di sini. Ternyata saya salah. Tak berapa lama, datang dua mahasiswa, Taman Walid Romadhon dan Suryadi. Saya agak surprised. Tamam, mahasiswa berjenggot itu, adalah seksi kerohanian di kepengurusan PPG angkatan kedua ini. Dia jebolan UKKI. Aktif sebagai takmir masjid. Sering 'kedapuk' jadi imam pada saat salat berjamaah, dan sering menjadi pemimpin doa dalam berbagai acara.

Dan saat ini, dia ada di sini. Menyalami teman-teman nonmuslimnya. Memberi sambutan, mewakili pengurus mahasiswa PPG, dan mengucapakan: "selamat merayakan Natal, semoga damai dan sejahtera selalu untuk kita semua." 

Dalam sambutan saya, saya berbagi cerita. Ketika suatu ketika, saya dan tim terdampar di pelosok Sumba Timur,  Maluku Barat Daya, dan Papua. Tidak bisa dihindari, saya tidur di rumah bapak camat yang nonmuslim, saya makan malam di rumah bapak pendeta, saya harus berdialog dengan para kepala suku yang entah beragama apa. Begitu banyak kendala di lapangan, transportasi, logistik, bahkan komunikasi, dan para pemuka adat dan gereja itu berada di baris terdepan membantu mengatasi semuanya. "Bagaimana mungkin kita bisa saling melukai, tidakkah kita bisa merasakan, betapa indah sebuah persaudaraan?" Begitu selalu yang saya pikirkan. Menghayati ketulusan mereka, kepedulian mereka, saya seringkali seperti tidak percaya, bagaimana kita bisa bersitegang bahkan saling menumpahkan darah di antara kita, hanya karena hasutan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab? "Jadi, mari kita lebih merekatkan tali persaudaraan, dengan tetap memegang teguh setiap keyakinan dan agama kita masing-masing, namun senantiasa saling menghargai, saling menghormati. Agama apa pun mengajarkan kasih sayang, dan sudah seharusnya kita saling mengasihi dan menyayangi. Selamat merayakan Natal, damai dan sejahtera selalu untuk kita semua." Begitu kata-kata saya menutup sambutan.

Ketika mengucapkan hal itu, saya teringat Gus Ipul (Syaifullah Yusuf, Wakil Gubernur Provinsi Jawa Timur)yang mengucapkan hal yang sama di sebuah stasiun radio. Saya juga teringat pada laporan liputan natal di berbagai stasiun TV dan surat kabar, di mana para Banser NU (Barisan Ansor Serbaguna Nahdhatul Ulama) yang secara sukarela menjaga gereja-gereja untuk memastikan para pemeluk Nasrani aman dan tenang menjalankan ibadah mereka. Bahkan diberitakan, Banser NU adalah organisasi yang paling sibuk saat Natal tiba. Mereka bergerak merapatkan barisan untuk menjaga gereja-gereja dan tempat-tempat di mana pun para umat Kristiani itu melakukan misa. Di Bandung, Surakarta, Bali, NTT, di mana-mana di seluruh Indonesia. Bagi saya pribadi, betapa indahnya menghayati kebersamaan dan kepedulian itu, meski sejatinya ada perbedaan di antara kita. 

Sayang sekali, kami yang Muslim tidak bisa berlama-lama untuk berada di ruangan auditorium ini. Waktu salat maghrib tiba, oleh sebab itu kami harus mohon izin sebelum acara usai. Kami menyalami bapak pendeta, para dosen, dan para panitia, sambil meminta maaf karena tidak bisa bergabung dalam acara selanjutnya.

Begitu keluar dari pintu lift di lantai 1, saya dikejutkan oleh serombongan mahasiswa PPG yang semuanya berpenampilan rapi. Mereka, para muslimin dan muslimat itu, datang untuk menghadiri perayaan Natal bersama teman-temannya di lantai 9. Wajah mereka semua cerah, dan senyum manis tersungging di wajah-wajah itu.

"Kok baru datang?" Sapa saya.
"Ya, Ibu. Kami sekalian menunggu salat maghrib dulu. Supaya lebih leluasa waktu kami untuk bersama teman-teman merayakan Natal."

Subhanallah. Pengalaman hidup di antara kaum nonmuslim dan bahkan kaum tak beragama selama setahun di daerah penugasan saat mengikuti Program SM-3T, ditambah dengan pengalaman bergaul dengan teman-teman mereka dari berbagai suku dan agama di asrama PPG, menjadikan mereka semua lebih terbuka dalam menyikapi perbedaan. Meningkatkan kemampuan untuk menerima dan menghormati keberagaman. Mengembangkan kepedulian dan kesetiakawanan. 

Tidak salahlah apa yang dikatakan ketua panitia dan pembawa acara tadi. Bahwa meski pada saat Natal kali ini mereka jauh dari keluarga, namun mereka merasakan betapa Natal bagi mereka tidak kalah bermakna dan berkesannya. Karena mereka tetap bisa merayakannya bersama 'orang tua' mereka di sini, serta bersama 'saudara-saudara' mereka di sini pula. Dalam kebersamaan itu, mereka belajar untuk saling menghargai, saling menghormati, saling peduli.

Sungguh indah. Mata saya sampai berkaca-kaca menikmati keindahan ini. Dalam balutan senja dan alunan adzan maghrib, saya bertiga, bersama Tamam dan Suryadi, melangkah menuju musala yang terletak di sebuah sudut di lantai 1. Berjamaah menunaikan salat, tentu saja, dengan Tamam sebagai imamnya. Di atas kami, suara mereka riuh rendah, namun tak mampu mengacaukan kekhusukan kami di sini. 

"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS 16: 18).


Surabaya, 27 Desember 2014

Wassalam,
LN