Akhirnya, saya berada di sini. Di ruang besar ini, di Auditorium Wiyata Mandala, Gedung PPPG lantai 9. Dalam acara merayakan Natal bersama mahasiswa PPG dan PPGT Unesa.
Tentu saja saya tidak sendiri. Ada puluhan mahasiswa, yang hampir semuanya mengenakan busana bernuansa merah. Merekalah mahasiswa PPG dan PPGT Unesa. Juga ada Mas Yoyok dan Dik Ucik, dua teman tim ahli PPPG yang nonmuslim. Ada juga Mbak Ully, kasubag PPPG, yang datang bersama putrinya yang cantik. Mbak Ully dan putrinya Muslim, dan nampaknya hanya kami bertiga yang akan menjadi kelompok minoritas dalam ruangan ini.
Beberapa hari yang lalu, Mbak Ully bertanya ke saya. "Ibu, mohon ibu buat teks sambutan nggih, Bu, untuk acara Natal, biar nanti saya yang membacakan sambutan Ibu. Insyaallah saya bisa datang."
Sebelum saya menjawab, tiba-tiba Dik Ucik muncul.
"Dik Ucik natalan besok bisa datang?" Tanya saya.
"Bisa, Mbak. Saya usahakan bisa datang."
"Kalau begitu biar bu Ucik saja, Bu, yang membacakan sambutan Ibu." Tukas Mbak Ully.
"Dibuatkan ya, Mbak, sambutannya..." Tambah Dik Ucik.
"Oke." Saya mengangguk. "Insyaallah."
Setelah percakapan sore itu, saya termenung-menung. Kenapa Mbak Ully men-judge saya tidak akan datang pada acara natalan nanti? Padahal dia sebelumnya bertanya pun tidak. Biasanya dia akan memastikan dulu apakah saya akan hadir atau tidak pada suatu kegiatan mahasiswa atau pada acara apa saja, termasuk rapat. Baru kemudian dia akan mencatat apa-apa yang saya perlukan atau yang harus dipersiapkan untuk keperluan kegiatan atau rapat tersebut. Tapi ini, tiba-tiba saja dia meminta saya membuat konsep sambutan pada acara Natal supaya dia bisa membacakannya nanti bila harus mewakili saya memberi sambutan dan membuka acara.
Besoknya, Mbak Ully datang ke ruangan saya dan menanyakan konsep sambutan itu.
"Saya belum memutuskan apakah saya bisa datang atau tidak, Mbak Ully." Kata saya.
"Oh iya, Ibu... Maaf. Baik, saya tunggu saja nggih kalau gitu kepastian dari Ibu."
Besoknya, Mbak Ully mengirim SMS. "Ibu, dresscode untuk acara natal besok, warna merah atau hijau."
Saya kembali termenung-menung. Merah atau hijau, itu warna khas Natal. Pohon cemara dengan pita-pita, lampu-lampu, topi, hiasan-hiasan, dan ornamen-ornamen khas yang lain. Dan saya mungkin akan berada di sana. Di antara lilin-lilin kecil. Juga lagu-lagu rohani yang mereka lantunkan.
Tapi tentu saja saya tidak akan turut serta dalam ritual misa atau kebaktian mereka. Saya mungkin akan duduk di ruangan lain. Atau sekadar menjauh dari kelompok mereka. Menunggu sampai mereka selesai melakukan peribadatannya. Baru bergabung lagi di acara selanjutnya. Atau bahkan saya hanya akan sekadar memberi sambutan, menyampaikan ucapan selamat merayakan Natal, untuk kemudian pamit undur diri dan membiarkan mereka melakukan peribadatannya dengan khidmat.
Saya pun meminta pertimbangan pada Mas Ayik, suami saya. "Mas, apakah sebaiknya aku datang atau tidak?"
"Menurutmu bagaimana?" Mas Ayik balik bertanya.
"Menurutku, sepertinya aku harus datang."
"Ya. Kamu datang saja. Kamu mengayomi semua agama di PPPG itu. Muslim maupun nonmuslim. Sekadar mengucapkan selamat merayakan natal, insyaallah tidak akan merusak aqidah. Niatkan demi kerukunan dan saling menghormati."
Saya masih termenung-menung setelah pembicaraan dengan Mas Ayik itu. Memang benar. Mahasiswa PPG, apa lagi PPGT, sangat heterogen. Tidak sedikit dari mereka yang berasal dari wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani. NTT, Papua, Sulawesi, Maluku, semua ada di PPPG ini. Dan di sini, saya adalah ibu mereka.
Sejak kecil, saya didoktrin oleh keluarga, juga oleh lingkungan saya, bahwa mengucapkan selamat Natal hukumnya haram. Saya menerima saja waktu itu. Namun semakin ke sini, saya mulai membaca, berpikir, mempertimbangkan, mengamati, dan pada akhirnya, keputusan saya jatuh pada pernyataan, bahwa sekadar mengucapkan selamat Natal, hanya sekadar demi kerukunan dan toleransi, tidak akan merusak aqidah. Sebagai orang yang ingin lebih memahami, saya juga membaca berbagai tulisan tentang pro-kontra hukum Muslim mengucapkan selamat Natal pada nonmuslim. Dalam proses itu, juga dari hasil diskusi, saya akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa "ucapan selamat Natal boleh dilakukan oleh para muslim, semata-mata dalam konteks sosial kemanusiaan dan pergaulan kemasyarakatan, bukan keagamaan".
Sebuah tulisan Gus Dur yang saya simpan, juga menguatkan keputusan saya. "Menjadi kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama."
Gus Dur juga menulis, jika seorang muslim duduk bersama-sama dengan orang lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut dalam ritual kebaktian.
Pada sebuah kesempatan, Cendekiawan Muslim Salahuddin Wahid (Gus Sholah)juga mengatakan, umat Islam sah-sah saja mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Pasalnya, tidak ada dasar yang melarang Muslim mengucapkan selama Natal. "Mengucapkan selamat Natal adalah bentuk ungkapan saling menghormati antarpemeluk agama."
Menurut Gus Shollah lagi: "Ada yang mengatakan tidak boleh tapi banyak juga yang mengatakan boleh. Biarkan masing-masing mengikuti pendapatnya, intinya ada kebebasan menyikapi sesuatu dan enggak boleh dipaksa." Sebuah pernyataan yang menyejukkan dari seorang Gus Shollah, adik kandung Gus Dur itu.
Tentu saja tuntunan saya adalah Al-Qur'an dan Hadist, dan panutan saya adalah Rasulullah SAW. Tentu saja, Gus Dur dan Gus Shollah, hanyalah sebagian dari panutan saya yang lain. Bagaimana pun, mereka berdua bukan orang sembarangan, meski sebagaimana manusia biasa, mereka tidaklah selalu sempurna. Namun dalam hal ini, saya sangat sepaham dengan sikap dan perkataan mereka tentang Natal. Sikap dan perkataan yang mustinya sudah mereka kaji secara mendalam dan mendasarkan diri pada tuntunan Al-Quran dan Hadist. Sikap dan perkataan yang memberikan kesejukan bagi kehidupan masyarakat kita yang sangat plural ini. Sikap dan perkataan yang mengekspresikan kesantunan dan kelembutan hati Muslim yang taat pada ajaran agamanya, Islam, sebagai agama yang rahmatan lil alamin.
Dan akhirnya, saya berada di sini. Di ruang besar ini, di Auditorium Wiyata Mandala, Gedung PPPG lantai 9. Dalam acara merayakan natal bersama mahasiswa PPG dan PPGT Unesa.
Saya pikir, hanya akan ada saya, Mbak Ully dan putrinya, di ruang ini. Saya pikir, tidak akan ada yang lain, khususnya mahasiswa PPG atau PPGT yang muslim, hadir di sini. Ternyata saya salah. Tak berapa lama, datang dua mahasiswa, Taman Walid Romadhon dan Suryadi. Saya agak surprised. Tamam, mahasiswa berjenggot itu, adalah seksi kerohanian di kepengurusan PPG angkatan kedua ini. Dia jebolan UKKI. Aktif sebagai takmir masjid. Sering 'kedapuk' jadi imam pada saat salat berjamaah, dan sering menjadi pemimpin doa dalam berbagai acara.
Dan saat ini, dia ada di sini. Menyalami teman-teman nonmuslimnya. Memberi sambutan, mewakili pengurus mahasiswa PPG, dan mengucapakan: "selamat merayakan Natal, semoga damai dan sejahtera selalu untuk kita semua."
Dalam sambutan saya, saya berbagi cerita. Ketika suatu ketika, saya dan tim terdampar di pelosok Sumba Timur, Maluku Barat Daya, dan Papua. Tidak bisa dihindari, saya tidur di rumah bapak camat yang nonmuslim, saya makan malam di rumah bapak pendeta, saya harus berdialog dengan para kepala suku yang entah beragama apa. Begitu banyak kendala di lapangan, transportasi, logistik, bahkan komunikasi, dan para pemuka adat dan gereja itu berada di baris terdepan membantu mengatasi semuanya. "Bagaimana mungkin kita bisa saling melukai, tidakkah kita bisa merasakan, betapa indah sebuah persaudaraan?" Begitu selalu yang saya pikirkan. Menghayati ketulusan mereka, kepedulian mereka, saya seringkali seperti tidak percaya, bagaimana kita bisa bersitegang bahkan saling menumpahkan darah di antara kita, hanya karena hasutan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab? "Jadi, mari kita lebih merekatkan tali persaudaraan, dengan tetap memegang teguh setiap keyakinan dan agama kita masing-masing, namun senantiasa saling menghargai, saling menghormati. Agama apa pun mengajarkan kasih sayang, dan sudah seharusnya kita saling mengasihi dan menyayangi. Selamat merayakan Natal, damai dan sejahtera selalu untuk kita semua." Begitu kata-kata saya menutup sambutan.
Ketika mengucapkan hal itu, saya teringat Gus Ipul (Syaifullah Yusuf, Wakil Gubernur Provinsi Jawa Timur)yang mengucapkan hal yang sama di sebuah stasiun radio. Saya juga teringat pada laporan liputan natal di berbagai stasiun TV dan surat kabar, di mana para Banser NU (Barisan Ansor Serbaguna Nahdhatul Ulama) yang secara sukarela menjaga gereja-gereja untuk memastikan para pemeluk Nasrani aman dan tenang menjalankan ibadah mereka. Bahkan diberitakan, Banser NU adalah organisasi yang paling sibuk saat Natal tiba. Mereka bergerak merapatkan barisan untuk menjaga gereja-gereja dan tempat-tempat di mana pun para umat Kristiani itu melakukan misa. Di Bandung, Surakarta, Bali, NTT, di mana-mana di seluruh Indonesia. Bagi saya pribadi, betapa indahnya menghayati kebersamaan dan kepedulian itu, meski sejatinya ada perbedaan di antara kita.
Sayang sekali, kami yang Muslim tidak bisa berlama-lama untuk berada di ruangan auditorium ini. Waktu salat maghrib tiba, oleh sebab itu kami harus mohon izin sebelum acara usai. Kami menyalami bapak pendeta, para dosen, dan para panitia, sambil meminta maaf karena tidak bisa bergabung dalam acara selanjutnya.
Begitu keluar dari pintu lift di lantai 1, saya dikejutkan oleh serombongan mahasiswa PPG yang semuanya berpenampilan rapi. Mereka, para muslimin dan muslimat itu, datang untuk menghadiri perayaan Natal bersama teman-temannya di lantai 9. Wajah mereka semua cerah, dan senyum manis tersungging di wajah-wajah itu.
"Kok baru datang?" Sapa saya.
"Ya, Ibu. Kami sekalian menunggu salat maghrib dulu. Supaya lebih leluasa waktu kami untuk bersama teman-teman merayakan Natal."
Subhanallah. Pengalaman hidup di antara kaum nonmuslim dan bahkan kaum tak beragama selama setahun di daerah penugasan saat mengikuti Program SM-3T, ditambah dengan pengalaman bergaul dengan teman-teman mereka dari berbagai suku dan agama di asrama PPG, menjadikan mereka semua lebih terbuka dalam menyikapi perbedaan. Meningkatkan kemampuan untuk menerima dan menghormati keberagaman. Mengembangkan kepedulian dan kesetiakawanan.
Tidak salahlah apa yang dikatakan ketua panitia dan pembawa acara tadi. Bahwa meski pada saat Natal kali ini mereka jauh dari keluarga, namun mereka merasakan betapa Natal bagi mereka tidak kalah bermakna dan berkesannya. Karena mereka tetap bisa merayakannya bersama 'orang tua' mereka di sini, serta bersama 'saudara-saudara' mereka di sini pula. Dalam kebersamaan itu, mereka belajar untuk saling menghargai, saling menghormati, saling peduli.
Sungguh indah. Mata saya sampai berkaca-kaca menikmati keindahan ini. Dalam balutan senja dan alunan adzan maghrib, saya bertiga, bersama Tamam dan Suryadi, melangkah menuju musala yang terletak di sebuah sudut di lantai 1. Berjamaah menunaikan salat, tentu saja, dengan Tamam sebagai imamnya. Di atas kami, suara mereka riuh rendah, namun tak mampu mengacaukan kekhusukan kami di sini.
"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS 16: 18).
Surabaya, 27 Desember 2014
Wassalam,
LN
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...