Ramadhan memang penuh berkah. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik, selalu diliputi berkah. Nafas kita, detak jantung kita, udara yang kita hirup, bahkan debu dan berbagai macam polusi yang memapar kita setiap detiknya, semua adalah berkah. Tentu saja bila kita mampu memaknai semua itu sebagai berkah. Hanya orang-orang yang pandai bersyukur sajalah yang bisa menerima semua yang datang dan pergi, semua yang baik dan buruk, sehat dan sakit, suka dan duka, sebagai berkah. Insyaallah kita semua termasuk golongan orang-orang yang pandai bersyukur.
Dalam Ramadhan ini, saya dan keluarga tidak melakukan persiapan khusus. Cukup persiapan sekadarnya saja. Baik lahir maupun batin.
Untuk persiapan lahir, kami melengkapu logistik bulanan kami dengan kurma. Kurma memang menjadi menu wajib dalam buka puasa kami. Bapak saya selalu mengawali buka puasa dengan sebutir kurma, dan itu menjadi kebiasaan kami sampai saat ini. Bedanya, kalau bapak saya hanya makan sebutir kurma, kami makan berbutir-butir.
Kurma ada yang kami beli dalam bentuk kemasan kecil-kecil, ada yang kami beli dalam bentuk kemasan satu dos besar. Kemasan kecil-kecil sudah kami bagikan pada ibu bapak dan saudara-saudara sebelum Ramadhan tiba. Plus beberapa item yang lain, seperti susu, cereal, nata de coco, sirup, roti dan macam-macam selai serta makanan instan. Mengingat ibu bapak hanya berdua, dan hanya ibu yang puasa, maka semua item itu sangat penting keberadaannya. Jaga-jaga kalau ibu malas dahar nasi saat sahur, setidaknya ada cereal dan susu. Begitu juga dengan bapak, yang baru tahun ini terpaksa tidak puasa karena stroke sejak setahun ini, setidaknya ada susu, cereal dan roti untuk persediaan dahar pagi atau saat malas dahar nasi.
Kurma yang kami beli adalah kurma yang masih lengkap dengan tangkainya. Teksturnya padat, 'keset', tidak lembek, dan tidak terlalu manis. Kami membeli satu dos besar tentu saja bukan untuk konsumsi kami sendiri. Kami membagi-bagikan kurma itu untuk siapa saja yang kami ingin membaginya. Biasanya kami mengisi beberapa kotak plastik dengan kurma-kurma bertangkai itu, dan memberikannya pada sahabat dan saudara. Kami berharap, setidaknya dalam setiap butir kurma yang dinikmati sahabat dan saudara kami saat berbuka puasa, ada rasa syukur karena mereka telah menjalani sehari puasa dengan baik.
Untuk persiapan batin, saya dan keluarga meniatkan diri untuk tidak absen shalat tarawih dan shalat malam yang lain, juga mengaji setiap hari. Ya, untuk melakukan ibadah itu, niat mesti ditata dan dikuatkan. Dalam kondisi yang begitu padat aktivitas di siang hari, seringkali malam sudah terasa lelah dan malas untuk melakukan yang lain. Maka niat dan komitmen harus dibangun lagi agar dua hal itu bisa rutin kita lakukan, dan terus kita lakukan meskipun Ramadhan sudah meninggalkan kita nanti.
Khusus untuk anak kami, Arga, berkali-kali kami tekankan, sesibuk apa pun, tarawih dan mengaji tidak boleh dikalahkan. Prioritas. Begitu juga shalat malam saat bangun sahur, 'ra ketang' dua-empat rakaat, harus dilakukan. Artinya, tuntutan itu tentu saja tidak hanya berlaku untuk anak kami. Kami juga sedang menuntut diri sendiri.
Seperti pada hari-hari biasa, aktivitas kami di tempat kerja juga tidak ada berkurangnya dalam Ramadhan ini. Dalam beberapa hal malah lebih sibuk. Minggu kemarin kami melaksanakan tes online untuk dua ratus lebih calon peserta SM-3T angkatan ketiga. Tes itu dihelat selama tiga hari, dan bertempat di Lab Komputer Teknik Elektro FT Unesa. Untunglah kami semua telah sangat terbiasa bekerja maraton, dengan tanpa memperdulikan 'saya dapat berapa', sehingga pekerjaan yang musti 'direwangi lembur-lembur' itu kami lakukan dengan sungguh-sungguh, dalam suasana penuh keikhlasan dan rasa kebersamaan yang menyenangkan.
Beberapa hari ini pun kami juga menyiapkan Program Jatim Mengajar, sebuah program pengiriman guru-guru di pelosok Jawa Timur. Merupakan program kerja sama antara Unesa dan YDSF (Yayasan Dana Sosial Al-Falah). Siang sampai sore tadi, tes TPA, tes bidang studi, dan tes wawancara, sedang berlangsung di lantai 3 Gedung PPPG. Ada banyak teman yang terlibat, termasuk teman-teman kami yang nonmuslim. Pak Yoyok dan bu Lusi membantu menjadi pengawas di tes bidang studi. Ya, meski program ini mengandung muatan dakwah Islam, tapi teman-teman kami yang nonmuslim pun siap sedia membantu di bagian-bagian yang mereka bisa membantu. Dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Sebuah kebersamaan yang indah.
Entah karena juga berkah Ramadhan, mahasiswa banyak yang minta ujian pada minggu-minggu di bulan ini. Mahasiswa S1 maupun mahasiswa S2. Ujian proposal, komprehensif, maupun tesis. Hampir tiap hari selalu ada jadwal menguji. Kadang-kadang sampai 'numpuk' empat kali nguji dalam sehari. Luar biasa.
Yang luar biasa lagi adalah mengalirnya makanan di rumah kami. Bagaimana tidak. Setiap kali menguji, kami yang biasanya mendapatkan sekotak makan siang, sekotak kue, kadang-kadang dilengkapi sepiring buah; dalam bulan puasa ini, kami mendapatkan kotak-kotak besar berisi makanan kering, semacam parcel mini. Biskuit, sirup, minuman instan, roti, bandeng asap, bandeng presto, krupuk, macam-macam makanan yang lain, termasuk......kurma.
Ya, kurma. Sebenarnya bukan sesuatu yang 'ajaib' bila kita selalu mendapatkan kembali 'barang' kita setelah kita memberikannya pada seseorang. Mungkin kita sering mengalamai kejadian, baru saja kita mengeluarkan sejumlah uang untuk masjid, menyantuni anak yatim, membelanjakan untuk orang miskin, dan sebagainya; tiba-tiba kita mendapatkan rezeki yang tak disangka-sangka datangnya, seolah-olah itu adalah rezeki dari Allah untuk mengganti uang yang sudah kita sedekahkan tadi. Seringkali 'sak kal'. Tidak usah besok-besok atau 'mbesok-mbesok'. Saya sering istilahkan, Allah menggantinya dengan kontan.
Nah, seperti itulah yang terjadi pada kurma-kurma kami. Suatu ketika, saya membawakan sekotak kurma untuk sahabat kami, mas Rukin Firda, untuk bekal dia berbuka puasa di Jawa Pos, tempat kerjanya. Besoknya, ketika saya menguji tesis, di antara beberapa jenis makanan bingkisan mahasiswa, ada sekotak kurma.
Beberapa hari kemudian, sahabat saya yang lain, mas Abdur Rohman, main ke rumah dengan putra-putrinya, Alif dan Olif. Malam-malam selepas tarawih, kami 'jagongan' sambil membahas rencana penerbitan buku saya. Ternyata kedua anak manis itu suka kurma. Maka saya bawakan sekotak kurma untuk mereka bawa pulang. Esoknya, setelah menguji, di antara makanan-makanan bingkisan mahasiswa, ternyata ada sekotak kurma juga. Lagi.
Tentu saja itu hanya contoh kecil dari berkah Ramadhan. Kecil sekali. Berkah lain yang luar biasa, masih banyak, tak terhitung.
Berkah lain yang luar biasa itu, salah satunya adalah tentang buku kuliner saya. Buku itu sudah sejak setahun yang lalu saya persiapkan dengan seorang teman dosen, dibantu, seperti biasa, mas Rohman. Saya juga mengerahkan beberapa mahasiswa dan teman-teman laboran untuk memasak dan menata. Mas Rohman yang memotret, menghimpun, dan me-layout.
Mas Rohman, wartawan kuliner itu, entah bagaimana saya musti berterima kasih padanya. Entah apa jadinya hidup saya tanpa dia (haha....lebay poll). Tapi benar, tanpa bantuanya, motivasinya, mungkin buku kuliner itu tak pernah jadi.
Ternyata cukup melelahkan dan menguras energi juga membuat buku yang berjudul 'Khasanah Kuliner Tradisional Jawa Timur' itu. Tiga kali mencetaknya dalam bentuk dummy, selalu saja ada yang perlu dilengkapi atau direvisi. Tapi begitu jadi, saya cukup puas. Buku itu begitu cantik luar dalam.
Tapi ketika menghitung ongkos cetaknya, wow, saya agak 'lemes'. Empat puluh juta lebih. Itu sudah harga yang termurah untuk seribu eksemplar. Wah, 'mikir-mikir' juga ya.
Tapi saya tetap optimis buku itu bisa dicetak. Beberapa teman seperti mas Eko Prasetyo dan mas Rohman sudah mencarikan berbagai alternatif supaya buku itu bisa dicetak tanpa harus saya tanggung sepenuhnya. Saya sendiri mencoba mencari percetakan yang lain, untuk mendapatkan harga termurah. Kebetulan jurusan kami, PKK, punya langganan percetakan, karena setiap tahun kami mengadakan seminar nasional secara rutin, dan prosiding seminar selalu dicetak di tempat itu. Percetakan itulah yang saya minta untuk menghitung biaya cetak buku saya, sebagai perbandingan.
Suatu siang, minggu yang lalu, saat saya sedang rapat di lantai dua Rektorat, saya 'nyambi-nyambi' rundingan sama orang percetakan. Pak Rektor kebetulan tahu, terus bertanya, 'mau nyetak buku apa, Luth?' 'Buku kuliner itu, Bapak', jawab saya. 'Lho, biar kita bantu saja nyetaknya. Itu kan aku yang minta kamu nulis.'
Hah? Saya nyaris 'mlongo'. Kaget dengan kata-kata pak Rektor. 'Benarkah, Bapak?' Beliau mengangguk memastikan. 'Biar nanti saya rundingkan dengan PR 1', kata beliau.
Benar. Tidak pakai lama. Besoknya saya menemui ibu Kisyani, PR 1, dan saya menyerahkan contoh buku kepada beliau, sekaligus daftar harga dari percetakan. Besoknya lagi, saya ditelepon pak Purwohandoko, PR 2, bahwa beliau menyetujui untuk mengalokasikan dana biaya cetak buku itu. Besok, dana sudah siap, dan buku bisa segera dicetak.
Ya, buku itu akan dicetak. Seribu eksemplar. Nampaknya pak Rektor, Ibu PR 1, dan pak PR 2, terkesan dengan buku cantik itu. Buku setebal 286 halaman, full color, lengkap dengan logo Unesa dan kata pengantar dari pak Rektor dan ibu PR 1, insyaallah akan menjadi satu di antara buku-buku lain yang telah dihasilkan oleh Unesa. Buku-buku yang akan menjadi souveneer bagi tamu dan para mitra Unesa.
Tentu saja saya senang sekali buku itu akhirnya bisa dicetak dan dibaca orang secara luas. Sebuah bentuk apresiasi yang sangat membanggakan. Benar-benar berkah Ramadhan. Semoga berkah ini menjadi berkah untuk semua.
Surabaya, 25 Juli 2013
(Otw, usai acara bukber bersama IKA-Unesa, di rumah pak Rektor)
Wassalam,
LN
Dalam Ramadhan ini, saya dan keluarga tidak melakukan persiapan khusus. Cukup persiapan sekadarnya saja. Baik lahir maupun batin.
Untuk persiapan lahir, kami melengkapu logistik bulanan kami dengan kurma. Kurma memang menjadi menu wajib dalam buka puasa kami. Bapak saya selalu mengawali buka puasa dengan sebutir kurma, dan itu menjadi kebiasaan kami sampai saat ini. Bedanya, kalau bapak saya hanya makan sebutir kurma, kami makan berbutir-butir.
Kurma ada yang kami beli dalam bentuk kemasan kecil-kecil, ada yang kami beli dalam bentuk kemasan satu dos besar. Kemasan kecil-kecil sudah kami bagikan pada ibu bapak dan saudara-saudara sebelum Ramadhan tiba. Plus beberapa item yang lain, seperti susu, cereal, nata de coco, sirup, roti dan macam-macam selai serta makanan instan. Mengingat ibu bapak hanya berdua, dan hanya ibu yang puasa, maka semua item itu sangat penting keberadaannya. Jaga-jaga kalau ibu malas dahar nasi saat sahur, setidaknya ada cereal dan susu. Begitu juga dengan bapak, yang baru tahun ini terpaksa tidak puasa karena stroke sejak setahun ini, setidaknya ada susu, cereal dan roti untuk persediaan dahar pagi atau saat malas dahar nasi.
Kurma yang kami beli adalah kurma yang masih lengkap dengan tangkainya. Teksturnya padat, 'keset', tidak lembek, dan tidak terlalu manis. Kami membeli satu dos besar tentu saja bukan untuk konsumsi kami sendiri. Kami membagi-bagikan kurma itu untuk siapa saja yang kami ingin membaginya. Biasanya kami mengisi beberapa kotak plastik dengan kurma-kurma bertangkai itu, dan memberikannya pada sahabat dan saudara. Kami berharap, setidaknya dalam setiap butir kurma yang dinikmati sahabat dan saudara kami saat berbuka puasa, ada rasa syukur karena mereka telah menjalani sehari puasa dengan baik.
Untuk persiapan batin, saya dan keluarga meniatkan diri untuk tidak absen shalat tarawih dan shalat malam yang lain, juga mengaji setiap hari. Ya, untuk melakukan ibadah itu, niat mesti ditata dan dikuatkan. Dalam kondisi yang begitu padat aktivitas di siang hari, seringkali malam sudah terasa lelah dan malas untuk melakukan yang lain. Maka niat dan komitmen harus dibangun lagi agar dua hal itu bisa rutin kita lakukan, dan terus kita lakukan meskipun Ramadhan sudah meninggalkan kita nanti.
Khusus untuk anak kami, Arga, berkali-kali kami tekankan, sesibuk apa pun, tarawih dan mengaji tidak boleh dikalahkan. Prioritas. Begitu juga shalat malam saat bangun sahur, 'ra ketang' dua-empat rakaat, harus dilakukan. Artinya, tuntutan itu tentu saja tidak hanya berlaku untuk anak kami. Kami juga sedang menuntut diri sendiri.
Seperti pada hari-hari biasa, aktivitas kami di tempat kerja juga tidak ada berkurangnya dalam Ramadhan ini. Dalam beberapa hal malah lebih sibuk. Minggu kemarin kami melaksanakan tes online untuk dua ratus lebih calon peserta SM-3T angkatan ketiga. Tes itu dihelat selama tiga hari, dan bertempat di Lab Komputer Teknik Elektro FT Unesa. Untunglah kami semua telah sangat terbiasa bekerja maraton, dengan tanpa memperdulikan 'saya dapat berapa', sehingga pekerjaan yang musti 'direwangi lembur-lembur' itu kami lakukan dengan sungguh-sungguh, dalam suasana penuh keikhlasan dan rasa kebersamaan yang menyenangkan.
Beberapa hari ini pun kami juga menyiapkan Program Jatim Mengajar, sebuah program pengiriman guru-guru di pelosok Jawa Timur. Merupakan program kerja sama antara Unesa dan YDSF (Yayasan Dana Sosial Al-Falah). Siang sampai sore tadi, tes TPA, tes bidang studi, dan tes wawancara, sedang berlangsung di lantai 3 Gedung PPPG. Ada banyak teman yang terlibat, termasuk teman-teman kami yang nonmuslim. Pak Yoyok dan bu Lusi membantu menjadi pengawas di tes bidang studi. Ya, meski program ini mengandung muatan dakwah Islam, tapi teman-teman kami yang nonmuslim pun siap sedia membantu di bagian-bagian yang mereka bisa membantu. Dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Sebuah kebersamaan yang indah.
Entah karena juga berkah Ramadhan, mahasiswa banyak yang minta ujian pada minggu-minggu di bulan ini. Mahasiswa S1 maupun mahasiswa S2. Ujian proposal, komprehensif, maupun tesis. Hampir tiap hari selalu ada jadwal menguji. Kadang-kadang sampai 'numpuk' empat kali nguji dalam sehari. Luar biasa.
Yang luar biasa lagi adalah mengalirnya makanan di rumah kami. Bagaimana tidak. Setiap kali menguji, kami yang biasanya mendapatkan sekotak makan siang, sekotak kue, kadang-kadang dilengkapi sepiring buah; dalam bulan puasa ini, kami mendapatkan kotak-kotak besar berisi makanan kering, semacam parcel mini. Biskuit, sirup, minuman instan, roti, bandeng asap, bandeng presto, krupuk, macam-macam makanan yang lain, termasuk......kurma.
Ya, kurma. Sebenarnya bukan sesuatu yang 'ajaib' bila kita selalu mendapatkan kembali 'barang' kita setelah kita memberikannya pada seseorang. Mungkin kita sering mengalamai kejadian, baru saja kita mengeluarkan sejumlah uang untuk masjid, menyantuni anak yatim, membelanjakan untuk orang miskin, dan sebagainya; tiba-tiba kita mendapatkan rezeki yang tak disangka-sangka datangnya, seolah-olah itu adalah rezeki dari Allah untuk mengganti uang yang sudah kita sedekahkan tadi. Seringkali 'sak kal'. Tidak usah besok-besok atau 'mbesok-mbesok'. Saya sering istilahkan, Allah menggantinya dengan kontan.
Nah, seperti itulah yang terjadi pada kurma-kurma kami. Suatu ketika, saya membawakan sekotak kurma untuk sahabat kami, mas Rukin Firda, untuk bekal dia berbuka puasa di Jawa Pos, tempat kerjanya. Besoknya, ketika saya menguji tesis, di antara beberapa jenis makanan bingkisan mahasiswa, ada sekotak kurma.
Beberapa hari kemudian, sahabat saya yang lain, mas Abdur Rohman, main ke rumah dengan putra-putrinya, Alif dan Olif. Malam-malam selepas tarawih, kami 'jagongan' sambil membahas rencana penerbitan buku saya. Ternyata kedua anak manis itu suka kurma. Maka saya bawakan sekotak kurma untuk mereka bawa pulang. Esoknya, setelah menguji, di antara makanan-makanan bingkisan mahasiswa, ternyata ada sekotak kurma juga. Lagi.
Tentu saja itu hanya contoh kecil dari berkah Ramadhan. Kecil sekali. Berkah lain yang luar biasa, masih banyak, tak terhitung.
Berkah lain yang luar biasa itu, salah satunya adalah tentang buku kuliner saya. Buku itu sudah sejak setahun yang lalu saya persiapkan dengan seorang teman dosen, dibantu, seperti biasa, mas Rohman. Saya juga mengerahkan beberapa mahasiswa dan teman-teman laboran untuk memasak dan menata. Mas Rohman yang memotret, menghimpun, dan me-layout.
Mas Rohman, wartawan kuliner itu, entah bagaimana saya musti berterima kasih padanya. Entah apa jadinya hidup saya tanpa dia (haha....lebay poll). Tapi benar, tanpa bantuanya, motivasinya, mungkin buku kuliner itu tak pernah jadi.
Ternyata cukup melelahkan dan menguras energi juga membuat buku yang berjudul 'Khasanah Kuliner Tradisional Jawa Timur' itu. Tiga kali mencetaknya dalam bentuk dummy, selalu saja ada yang perlu dilengkapi atau direvisi. Tapi begitu jadi, saya cukup puas. Buku itu begitu cantik luar dalam.
Tapi ketika menghitung ongkos cetaknya, wow, saya agak 'lemes'. Empat puluh juta lebih. Itu sudah harga yang termurah untuk seribu eksemplar. Wah, 'mikir-mikir' juga ya.
Tapi saya tetap optimis buku itu bisa dicetak. Beberapa teman seperti mas Eko Prasetyo dan mas Rohman sudah mencarikan berbagai alternatif supaya buku itu bisa dicetak tanpa harus saya tanggung sepenuhnya. Saya sendiri mencoba mencari percetakan yang lain, untuk mendapatkan harga termurah. Kebetulan jurusan kami, PKK, punya langganan percetakan, karena setiap tahun kami mengadakan seminar nasional secara rutin, dan prosiding seminar selalu dicetak di tempat itu. Percetakan itulah yang saya minta untuk menghitung biaya cetak buku saya, sebagai perbandingan.
Suatu siang, minggu yang lalu, saat saya sedang rapat di lantai dua Rektorat, saya 'nyambi-nyambi' rundingan sama orang percetakan. Pak Rektor kebetulan tahu, terus bertanya, 'mau nyetak buku apa, Luth?' 'Buku kuliner itu, Bapak', jawab saya. 'Lho, biar kita bantu saja nyetaknya. Itu kan aku yang minta kamu nulis.'
Hah? Saya nyaris 'mlongo'. Kaget dengan kata-kata pak Rektor. 'Benarkah, Bapak?' Beliau mengangguk memastikan. 'Biar nanti saya rundingkan dengan PR 1', kata beliau.
Benar. Tidak pakai lama. Besoknya saya menemui ibu Kisyani, PR 1, dan saya menyerahkan contoh buku kepada beliau, sekaligus daftar harga dari percetakan. Besoknya lagi, saya ditelepon pak Purwohandoko, PR 2, bahwa beliau menyetujui untuk mengalokasikan dana biaya cetak buku itu. Besok, dana sudah siap, dan buku bisa segera dicetak.
Ya, buku itu akan dicetak. Seribu eksemplar. Nampaknya pak Rektor, Ibu PR 1, dan pak PR 2, terkesan dengan buku cantik itu. Buku setebal 286 halaman, full color, lengkap dengan logo Unesa dan kata pengantar dari pak Rektor dan ibu PR 1, insyaallah akan menjadi satu di antara buku-buku lain yang telah dihasilkan oleh Unesa. Buku-buku yang akan menjadi souveneer bagi tamu dan para mitra Unesa.
Tentu saja saya senang sekali buku itu akhirnya bisa dicetak dan dibaca orang secara luas. Sebuah bentuk apresiasi yang sangat membanggakan. Benar-benar berkah Ramadhan. Semoga berkah ini menjadi berkah untuk semua.
Surabaya, 25 Juli 2013
(Otw, usai acara bukber bersama IKA-Unesa, di rumah pak Rektor)
Wassalam,
LN