Sekitar pukul 10.00, bus kami memasuki Tanah Haram, tanah yang dimulyakan Allah SWT. Muthawif memimpin kami membaca doa memasuki kota Madinah. Selanjutnya kami bersholawat, mengucap salam kepada Nabiyullah Muhammad SAW.
Waktu yang tersedia bagi kami, ber-16 orang, yang mengambil program 9 hari, hanya pendek di sini, hanya sampai hari Senin. Selebihnya kami habiskan di Makkah, dan kembali lagi ke Jeddah sehari menjelang pulang ke Tanah Air. Karena begitu singkatnya waktu kami untuk berada di Madinah, muthawif memastikan kami akan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk beribadah, melakukan sholat wajib dan sunnat, membaca Al Quran, berdzikir, di Nabawi. Muthawif juga mengingatkan pahala sholat berjamaah di masjidil Nabawi, yakni 1000 kali dari sholat biasa. Bagi kami, bukan itung-itungan pahala itu yang terpenting, melainkan memperoleh keridhaan Allah karena keihlasan kami menjalaninya.
Begitu keluar dari bus, udara panas langsung menerpa kami. Menyengat. Kami menghambur memasuki lobi hotel yang berplavon rendah dan berudara sejuk karena AC. Tak berapa lama, kami mendapatkan kunci kamar. Kamar kami ada di lantai 1 nomer 12.
Hotel kami berjarak sekitar 150 m dari masjid Nabawi, di depan pintu utama, yang ada monumen jamnya. Dibanding ketika kami berhaji dua tahun yang lalu, jaraknya lebih jauh. Dulu jarak hotel kami dengan masjid Nabawi hanya 50 meter, dekat dengan sisi kiri belakang, pas dengan makam Nabi dan berseberangan dengan makam baqi.
Setelah membongkar bagasi, kami mandi, bersiap menuju Masjid Nabawi. Waktu seperti begitu cepat berjalan. Kami keluar dari kamar hotel pada pukul 11.30-an, tapi hotel sudah sepi. Hanya ada beberapa orang yang lagi minum. Ketika kami mau keluar dari lobi, kami berpapasan dengan ustadz Agung, ketua rombongan kami, pemilik KBIH Al Qudus. Beliau menunjukkan ke mana arah masjid Nabawi, dan mengatakan bahwa semua teman dari rombongan jamaah sudah berangkat ke Nabawi.
Keluar dari hotel, panas yang luar biasa langsung terasa. Wajahku sampai sakit karenanya. Panasnya lebih tinggi dibanding ketika kami datang tadi. Spontan kututup mukaku dengan jilbab. Kacamata hitam kupakai untuk mengurangi silau dari panas yang seolah memantul di sepanjang jalan. Membayangkan puasa dalam keadaan sepanas ini.... wow, pasti luar biasa.... nikmatnya.
Begitu memasuki pintu utama masjid Nabawi, aku dan suami spontan berujar. Subhanallaah, alhamdulilah, kami sampai di sini lagi.... Perasaan terharu melingkupi kami. Masjid Nabawi yang megah dan agung membentang di hadapan kami. Pilar-pilar besarnya seolah menyambut kedatangan kami. Atapnya yang tinggi dan indah menyapa kami dengan anggunnya. Jamaah yang tumpah ruah seolah saling berlomba untuk masuk dalam rengkuhannya, berebut berkah dan kemuliaannya. Kami bertiga
mematung, memandang sekeliling, menikmati sejenak suasana syahdu yang luar biasa itu, sebelum berpisah untuk menuju tempat sholat.
Karena kami tidak mungkin sholat di tempat yang sama, maka kami bersepakat untuk bertemu di pintu 22, pintu tempat kami masuk tadi, selepas sholat dhuhur. Aku langsung mengikuti arus jamaah perempuan, ke arah salah satu pintu masuk masjid. Begitu kulihat ada asykar-asykar yang menjaga tiap pintu masuk, aku langsung lesu. Ada hape di dalam tas passportku. Pasti aku tidak akan diizinkan masuk. Tapi tetap saja kucoba. Dan benar, begitu askar berkulit hitam menyentuh hape dalam tasku, dia langsung mempersilahkan aku untuk balik kanan sambil berujar "amanat, ibu, amanat...".
Aku tidak mau kehilangan kesempatan. Aku memang bisa saja menggelar sajadah di halaman masjid, seperti banyak orang yang juga memilih sholat di luar masjid. Tapi aku ingin solat di dalam masjid. Aku menelepon Arga, supaya dia kembali ke tempat di mana kami berpisah tadi. Untung jaraknya tidak terlalu jauh. "Hape ibu kamu bawa aja, ibu nggak bisa masuk ke dalam masjid kalau bawa hape", kataku di telepon. Maka bertemulah kami di pintu 22, dan hape kuserahkan pada Arga untuk dibawanya.
Dulu ketika berhaji, aku mengakali para askar perempuan itu dengan menyimpan hapeku di kantong baju, atau di bagian belakang jilbabku. Tapi kali ini, aku tidak mau melakukan hal itu lagi. Aku ingin ibadahku di Nabawi kali ini dengan cara yang bersih, tidak dengan cara mengibuli petugas. Toh aku juga tidak terlalu memerlukan hape itu ketika berada di dalam masjid.
Aku kembali menuju tempat khusus jamaah perempuan, melewati askar yang tadi memeriksa tasku. Tentu saja kali ini aku bisa melenggang masuk. Ruangan di dalam masjid masih cukup longgar, masih leluasa memilih tempat. Aku memilih di dekat orang-orang berwajah Asia, karena kupikir lebih familiar, serta dekat dengan pilar-pilar yang di sekelilingnya dipenuhi Al Quran. Dengan begitu aku tidak terlalu jauh bila memerlukannya.
Sebelum duduk, kutunaikan sholat takhiyatul masjid. Dhuhur masih 30 menit lagi, aku masih bisa melakukan sholat sunat mutlak, membaca Al Quran, dan berdzikir, sebelum sholat berjamaah. Terbayang bapak ibu, sanak-saudara, teman-temanku.... yang menitip doa untuk aku munajatkan di Tanah Haram. Mungkin di tempat di mana aku sedang sujud ini bukanlah tempat yang mustajabah untuk memanjatkan doa. Tapi begitulah. Jangankan di roudhoh, di multazam, di hijir ismail, atau di belakang
maqom ibrahim, bahkan di tempat-tempat yang mungkin tidak mustajabah sekali pun, aku selalu mengingat mereka semua. Menangis untuk mereka yang merindukan panggilan-Nya agar bisa datang di Tanah Suci, untuk kebaikan dan keselamatan mereka, keluarga mereka, anak cucu keturunan mereka. Ya Allah yang Maha Mengetahui, Yang Maha Mengabukan, Engkau mengetahui apa yang menjadi keinginan bapak ibu kami, saudara-saudara kami, sahabat-sahabat kami, maka kabulkanlah. Mudahkanlah mereka untuk menjadi tamu-Mu di Madinaturrasul, di Makkah Almukarromah, memasuki roudhoh-Mu, menyentuh ka'bah-Mu, bersholat di Hijir Ismailmu, dan bermunajat di multazam-Mu, serta bersujud di sudut mana pun di Arofah-Mu. Allah Yang Maha Memudahkan apa-apa yang sulit, Yang Maha Menjadikan apa-apa yang tidak mungkin, mudahkanlah, jadikanlah...
Aku tersungkur dalam sujudku. Berurai air mata. Menistakan diriku yang memang nista ini di hadapan-Nya. Begitu tak berartinya aku, ya Allah....di hadapan-Mu Yang Maha Agung. Allahu Akbar, Allah Yang Maha Besar....
Dan adzan dhuhur itu berkumandang. Begitu merdu di telingaku. Inilah suara yang kurindukan itu. Syahdu mendayu-dayu, menggetarkan segenap relung hati dan jiwa. Seperti ada ribuan malaikat berjajar di sela-sela shaf kami yang rapat, ikut mengamini setiap doa kami, dan bahkan mendoakan kami semua. Allah Yang Maha Memberi Keindahan, dan Rasul yang begitu dekat dalam jangkauan, bagilah
keindahan ini untuk setiap muslim di dunia ini, khusunya untuk bapak ibu kami, sanak saudara kami, sahabat-sahabat kami, semuanya, semuanya yang telah menitipkan doa-doanya pada kami....amin ya mujiibassaailiin....
Wassalam,
LN
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...