Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Laporan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Laporan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Juli 2014

Pesawat kok Batik

Jadwal penerbangan hari ini cukup membuat saya pusing. Sejak kemarin, saya sudah pesan tiket Garuda jurusan Surabaya-Jakarta PP. Tapi sampai tadi malam, Mas Nardi, petugas tiket langganan, belum berhasil. Dia hanya bisa memastikan jadwal penerbangan dengan Lion. Katanya, Garuda mengurangi empat jadwal penerbangannya hari ini, sedangkan Lion dua kali penerbangan. Saya disarankan untuk waiting list di Garuda saja. Dia pastikan, besok pagi saya bisa berangkat menumpang Garuda. Kalau pulangnya, Mas Nardi tidak menjamin saya bisa dapat Garuda.

Jadilah pagi selepas sahur dan salat subuh, saya bersiap. Meskipun sebenarnya rapat di Dikti dilaksanakan pada pukul 12.00, saya tidak terlalu persoalan kalau saya datang terlalu pagi. Ada banyak hal yang bisa saya lakukan. Di laptop saya tersedia banyak tugas yang harus segera saya selesaikan. Saya juga membawa sebuah buku untuk saya baca dan saya tulis resensinya.

Saya menuju bandara Juanda Terminal 2 diantar Mas Ayik. Tapi baru sampai di depan Makro, Mas Nardi bertanya melalui SMS, "Ibu posisi di mana?" Saya balas kalau saya di depan Makro.

Menjelang Bandara Juanda 2, Mas Nardi SMS lagi. "Ibu, tidak bisa. Ibu langsung ke T1 saja."

Walah. Ya sudah. Mas Ayik langsung putar haluan menuju Terminal 1.

Begitu sampai di Terminal 1, saya langsung disuguhi pemandangan yang ruwet. Orang pating blesah di mana-mana. Ruwame. Kursi-kursi penuh, bukan hanya karena memang saking banyaknya orang, tapi orang-orang itu pada tidur di kursi. Barang-barang mereka juga ditumpuk-tumpuk di kursi. Benar-benar tidak sopan ya? Sementara puluhan orang yang lain, ngleset di lantai-lantai. Tua muda laki perempuan. Berserak seperti ikan pindang yang hidup kembali.

"Ibu nanti bisa pakai Lion jam 7-an." Kata Mas Nardi. "Ibu cari tempat duduk dulu, nanti saya beri tahu."

Saya pun celingak-celinguk cari tempat duduk. Itu dia, ada kursi di sebelah seorang gadis berjilbab, di barisan tengah. 

"Mbak, kosongkah?" Tanya saya pada gadis yang lagi sibuk memainkan ponselnya.
"Ya, bu." Jawabnya, sambil menggeser tas yang didudukkannya di kursi itu.

Saya pun duduk. Membuka 'Finnish Lessons'. Saya berjanji pada pengirimnya, Ahmad Muchlis, dosen ITB yang menerjemahkan buku bagus itu, untuk membuat resensinya.

Sekitar pukul 07.00, Mas Nardi muncul. "Bu, Lion juga penuh. Bagaimana kalau ibu waiting list Garuda yang jam delapan-an?"
"Hah? Apa Mas? Saya balik lagi ke Terminal 2? Nggaklah, Mas. Wis, sak nemunya saja, pesawat apa saja." Jawab saya. Toh apa pun pesawatnya, capresnya tetap Prabowo dan Jokowi.

"Lion bisanya jam 11-an, Bu."
"Lhah, aku lak yo telat rapat, Mas."
"Atau coba pakai Citi Link saja ya, Bu?"
"Yo wis, Citi Link."
Mas Nardi menelepon. Tak berapa lama dia bertanya lagi.
"Bu, pulangnya pakai Citi Link juga nggih? Tapi dari Bandara Halim."
"Emoh, adoh, Mas. Berangkatnya saja oke, pulangnya Mas Nardi cariin yang lain deh."
"Nggih, Bu."

Saya pun akhirnya terbang ke Jakarta menumpang Citi Link. Pesawat yang bersih dan cukup nyaman. Selama di pesawat, saya tidur pulas. Ngantuk yang saya tahan dari tadi menemukan muaranya.

Begitu turun di Cengkareng, saya menyalakan ketiga gadget saya. SMS ke Mas Ayik kalau saya sudah mendarat. Sebuah email masuk di BB dan tab saya, tiket untuk kepulangan saya sore nanti. Di tiket itu, tertera, saya akan pulang menumpang Batik. Dalam hati saya bergumam: "pesawat kok batik..."

Rapat di Lantai 3 Dikti dimulai agak molor, lewat setengah jam dari pukul 12.00. Saya dan kawan-kawan sesama koordinator menyempatkan salat dulu, jama' takdim dhuhur ashar. Sejak ketemu teman-teman Dikti, saya sudah lapor, kalau tiket pulang saya terjadwal pukul 18.00. Jadi saya harus meninggalkan ruang rapat maksimal pukul 16.00, tidak peduli rapat sudah rampung atau belum. Habis nggak ada tiket lagi? Semua full-booked. Begitu alasan saya. Bukan alasan yang dibuat-buat, tapi seperti itulah memang adanya.

Ternyata, seperti memahami situasi saya, rapat persiapan tes wawancara SM-3T itu diselesaikan tepat pukul 16.00. Saya bersama dua teman, Pak Ega dari Unimed, dan Pak Agung dari UM, langsung bergegas ke lift. Turun. Jadwal penerbangan kami bertiga kebetulan sama.

Alamakkkk..... Ternyata hujan sedang turun deras sekali. Padahal kami musti nyegat taksi di pinggir jalan. Pak Ega mengambil inisiatif, mengorbankan dirinya untuk diguyur hujan, berlari menuju pintu gerbang. Di situ ada pos satpam, dan tiba-tiba Pak Ega sudah membawa payung yang memungkinkannya untuk berdiri di pinggir jalan menunggu taksi.

Akhirnya, kami bertiga pun berhasil masuk mencapai taksi dengan berbasah-basah, meluncur ke Cengkareng, menembus hujan yang deras. Di taksi, saya tanya pak Ega dan Pak Agung.
"Pak, Batik itu di terminal apa?"
"Batik?" Pak Ega balik bertanya. "Ini saya pakai baju batik, Prof."
"Itu se-grup sama Lion, Prof. Mungkin sama dengan Lion." Kata Pak Agung.
"Betul tah, Pak?" Saya tanya pak supir.
"Mungkin, Bu...." Jawab supir, tidak meyakinkan. Dalam hati saya menggerutu: "supir opo iki...." Tapi cepat-cepat beristighfar. Poso-poso rek.

Akhirnya kami semua turun di Terminal 1 Soekarno Hatta. Persis di depan Lion. Kami berpisah di situ, melanjutkan perjuangan masing-masing.

Begitu sampai di pintu masuk, dan saya menyorongkan tiket saya ke petugas, petugasnya bilang: "Batik, Surabaya, di Terminal 3, Bu...."
"Walah, jauh dong, Mbak. Harus naksi lagi dong saya."
"Nggak harus pakai taksi, Bu.."
"Oya?"
"Bisa pakai shultle.."
"Walah, yo podho ae, mending saya naksi aja, Mbak. Iya kalau shuttlenya cepet.."

Saya pun akhirnya kembali ke tempat saya turun tadi, menyambar taksi sekenanya.
"Bang, anterin ke Terminal 3 ya."
"Ya, Bu."

Akhirnya, saya pun menumpang Batik malam itu. Pesawat Boeing yang bagian ekornya bercat motif batik, dengan pramugari-pramugari cantik berblus putih dipadu rok panjang batik yang pada bagian depan, belahannya sampai setinggi paha, memamerkan paha-paha mereka, yang untung saja, tidak batik. Pesawat yang nyaman, lebih longgar daripada Lion dan kawan-kawannya sekelasnya, dan dilengkapi monitor dengan layar sentuh seperti di Garuda. Bedanya, kalau di Garuda headset sudah disediakan, kalau di Batik, kita musti meminta ke pramugari dan mengganti biaya Rp.25.000,-.

Ya, selalu ada hikmah dalam setiap peristiwa. Kalau tidak begini, saya tidak tahu Terminal 3 Bandara Sokarno Hatta dan tidak naik pesawat Batik yang nyaman. Hari ini, saya juga sudah berhasil menyelesaikan resensi 'Finnish Lessons' dan bahkan sudah saya kirimkan ke sahabat baik saya siang tadi, saat menumpang taksi dari bandara menuju Dikti. Sahabat baik itu adalah seorang GM sebuah surat kabar. Komentar dia tentang resensi itu: "Wis sip, Prof, resensinya nggak perlu diedit. Nanti kalau saya edit malah salah. Langsung siap muat. Jreng....jreng...."

Surabaya, 7 Juli 2014

Wassalam,
LN

Selasa, 27 Agustus 2013

Banda Aceh (3): Selendang dan Tas Khas Aceh

Luar biasa orang-orang ini. Sudah rajin, cantik, ramah, dermawan lagi. Haha.

Setelah setengah hari bersama mereka, saatnya untuk penutupan. Seorang peserta, guru SMK, namanya bu Herti, mewakili kesan-pesan selama pelatihan. Semua yang disampaikannya bagus, dia katakan apa yang diperoleh sejak kemarin, benar-benar hal baru. Benar-benar bermanfaat untuk acuan pengembangan kurikulum dan perangkat pembelajaran. Selama ini, mereka belum pernah menerima materi itu. Hanya sayangnya, menurut Bu Herti, waktunya terlalu singkat. Dan, ini yang terpenting, setelah mengikuti pelatihan sejak kemarin, semakin dirasakan betapa masih begitu banyaknya hal-hal yang belum dipahami. Sebuah kesadaran yang membangkitkan motivasi untuk terus belajar dan belajar.
Saat ini juga, saya mendapatkan hadiah sebuah selendang dengan bordir khas Aceh. Ibu Aminah, dosen paling senior, memasangkannya di kepala saya. Saya senang sekali. Beliau berbisik di telinga saya, 'sudah seperti orang Aceh...'. Saya tertawa lepas, dan terkejut lagi karena ternyata masih ada hadiah lain. Sebuah tas besar, maunya untuk isi oleh-oleh mungkin, tas khas Aceh juga. Wow, keren.....

Siang yang terik, dan kami berkendara menuju pusat oleh-oleh khas Aceh, yaitu arah ke Lhoknga, kemudian ke arah Aceh Besar. Di kejauhan, nampak Gunung Lhoknga, tempat ketinggian yang menjadi tumpuan para pengungsi saat tsunami dulu. Ke sanalah ribuan orang yang sedang dilanda kepanikan luar biasa itu terbirit-birit untuk menyelamatkan diri dari terjangan tsunami. 

Kami berkonvoi, empat mobil. Ya, empat mobil itu semua dikemudikan oleh para perempuan cantik, berbusana muslimah cantik,  dan, insyaallah, berakhlak cantik juga. Saya kali ini duduk di sebelah ibu Aya yang memegang kemudi, ditemani bu Fitri dan bu Kartini yang duduk di jok tengah. Di tiga mobil yang lain, adalah ibu Asmah beserta rombongan, ibu Suryati beserta rombongan, dan ibu...(Haduh, lupa..) beserta rombongannya juga.
 
Di sepanjang perjalanan, bu Kartini, bu Fitri dan bu Aya, bahu-membahu menjadi pemandu untuk saya. Kami melewati Masjid yang kubahnya berbentuk seperti kupiyah meuketuk, sebutan untuk kopiah yang digunakan saat perang oleh Teuku Umar. Sekarang, bentuk kopiah seperti itu digunakan sebagai kopiah pengantin pria Aceh.

Kami juga melewati Taman Ratu Safiatudin, sebuah taman yang di dalamnya menghampar berbagai rumah adat etnik Aceh. Ratu yang merupakan putri Sultan Iskandar Muda ini pernah memerintah kerajaan Aceh pada waktu itu, selama 35 tahun. Dia membentuk barisan perempuan yang ikut berperang melawan penjajah pada saat perang Malaka. Sri Ratu yang cerdas dan cakap ini konon suka menulis sajak dan cerita. Maka tidak heran pada masanya, hukum, pemerintahan dan sastra, berkembang dengan sangat baik. Ratu Safiatudin dianggap sebagai lambang kemegahan perempuan Aceh.

Sultan Iskandar Muda sendiri merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Aceh mencapai kejayaannya pada waktu itu, di mana daerah kekuasannya semakin besar dan memiliki reputasi internasional sebagai pusat perdagangan dan pendidikan Islam.

Sebagai wilayah yang menerapkan syariat Islam, Aceh dipenuhi dengan simbol-simbol Islami. Banyak bangunan kantor yang  berkubah. Jembatan juga berkubah. Bagus. Namun sayang, kata teman-teman saya ini, ornamen-ornamen itu cenderung menenggelamkan hasil-hasil kerajinan Aceh sendiri, misalnya ukiran, lukisan, kain-kain dan lain-lain khas Aceh.

Siang ini, selain untuk membeli oleh-oleh khas Aceh, kami juga akan menyempatkan diri mengunjungi Unsyiah. Ya, tentu saja saya tidak akan membuang kesempatan untuk sekaligus melakukan semacam studi banding kilat ke jurusan PKK Unsyiah. Prodi yang bernaung di bawah FKIP itu (bukan FT sebagaimana di universitas eks-IKIP), sudah sangat akrab dengan PKK FT Unesa. Waktu yang tidak banyak ini musti harus digunakan sedemikian rupa supaya semua dapat. Oleh-oleh dapat, kunjungan ke Unsyiah dapat.

Untuk mencapai Unsyiah, kami melewati Tugu Pena, tugu yang  melambangkan kawasan pelajar/mahasiswa. Di kawasan Darussalam itu, setidaknya ada dua kampus besar, yaitu Usyiah dan IAIN.

Tugu Syah Kuala, berada di dalam kawasan Unsyiah, merupakan tugu untuk menandai berdirinya Unsyiah. Ada juga Gedung Dayan Dawood, sebuah nama yang dimaksudkan untuk mengabadikan salah satu mantan Rektor Unsyiah yang wafat karena penembakan.  Beliau, merupakan salah satu calon kuat Gubernur Aceh, menjadi korban penembakan pada masa konflik tahun 2001, saat Aceh masih menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). Konon, penembaknya adalah dari kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dayan Dawood dibunuh antara lain dengan alasan karena beliau tidak mau membantu perjuangan GAM. 

Alhamdulilah, menjelang pukul 14.30, konvoi sudah memasuki halaman Bandara Sultan Iskandar Muda. Tepat waktu. Garuda akan membawa saya pada 15.25. Meski tiket sudah di-check in-kan, tapi saya musti membagasikan oleh-oleh. Oleh-oleh itu, termasuk kopi Aceh. Pesanan khusus ibu mertua. Harus saya penuhi, atau anak laki-lakinya akan diminta lagi...haha.

Kami berpelukan di ujung pintu masuk. Serombongan perempuan cantik itu mengucapkan selamat jalan dan doa untuk kelancaran perjalanan saya ke Surabaya. Juga harapan semoga bisa bertemu lagi pada kesempatan lain, dengan waktu yang lebih leluasa. Semoga.....

Banda Aceh, 27 Agustus 2013

Wassalam,
LN

Senin, 26 Agustus 2013

Banda Aceh (2): Luka Duka Tsunami

Sore yang cerah. Ya, meski sudah pukul 17.30, Banda Aceh masih terang benderang. Matahari nampaknya bahkan masih memerlukan lebih dari satu jam untuk benar-benar tenggelam di peraduannya. 

Kami mengakhiri workshop sore ini. Setelah kelompok tata busana tampil dengan hasil diskusi perangkat pembelajarannya, presentasi akan dilanjutkan besok, mulai pukul 08.00, oleh kelompok tata boga. Selain karena waktu sudah sore, listrik juga tiba-tiba mati, pet. Menurut ibu Asmah, listrik tiba-tiba mati seperti itu sudah biasa terjadi di Banda Aceh. Tapi bukan hanya karena listrik mati, sore ini, saya akan dibawa jalan-jalan menikmati Banda Aceh oleh ibu-ibu cantik ini. Memanfaatkan sedikit waktu sebelum malam jatuh.

Kami berkendara dengan dua mobil. Saya sempat terkejut. Ibu Asmah menyetirnya sendiri. Juga bu Yuli, di mobil yang satunya. Bukan apa-apa. Ibu Asmah sudah cukup senior, dan ini beliau yang akan membawa saya dan teman-teman jalan-jalan. 

Di Surabaya, saya pun biasa membawa mobil sendiri. Tapi kalau untuk membawa tamu jalan-jalan, saya suka meminta driver atau teman untuk menyetirnya. Sekedar untuk menghemat energi. Dengan kondisi Surabaya dan sekitarnya yang rawan macet, dan adanya kemungkinan salah jalan karena saya seringkali tidak hafal jalan, maka membawa driver akan memastikan perjalanan jauh lebih nyaman. Bahkan belakangan ini, saya nyaris tidak pernah membawa mobil sendiri. Aktivitas yang begitu padat, bertarung dengan kemacetan di jalan bisa memicu stres. Maka ke mana-mana saya lebih senang meminta Anang, driver PPPG, untuk mengantar saya.

Kami keluar dari halaman SMK 3 Banda Aceh. Mungkin kami tidak akan singgah di banyak tempat, karena waktu kami memang tidak terlalu leluasa. Saya duduk di sebelah ibu Asmah, yang begitu anggun memegang setir (perempuan Aceh, bahkan saat menyetir mobil pun, terihat begitu anggun). Ibu Kartini dan ibu...(Aduh, saya lupa namanya), duduk di jok tengah. Bu Yuli, bu Zahara, dan ibu....(siapa ya, lupa lagi namanya), ada di mobil yang lain.

Obyek wisata yang pertama kali kami lihat adalah Museum Tsunani. Sebuah bangunan yang bentuknya mirip kapal besar sekali. Di dalam bangunan itulah tersimpan dan terekam berbagai hal terkait dengan musibah tsunami yang telah memporakporandakan Aceh pada akhir tahun 2004. Meluluhlantakkan segalanya menjadi puing-puing dalam waktu sekejap. Tak kurang 250 ribu orang menjadi korban. 

Duka itu begitu saja menggelayut di wajah ibu Asmah. "Ibu, kita tidak usah mampir ke museum ya...." Bu Asmah menghela nafas. Panjang dan berat. Lantas bibirnya mengucap Nama Allah. Suaranya bergetar. Saya langsung saja menjawab, "Baik, ibu, tidak masalah. Monggo, saya ikut saja apa kata driver..." Saya tertawa menggoda beliau.

"Ibu Asmah kehilangan banyak keluarga saat tsunami itu, bu Luthfi...." Jelas ibu Kartini. "Ada berapa, bu Asmah?" 

Bu Asmah menghela nafas berat lagi. Saya yang di sebelahnya, tiba-tiba merasakan dada saya sesak. "Ya...kalau diurut dari keluarga nenek, ada sekitar dua ratusan...". Jawab beliau, dengan suara sedih. "Sampai saat ini pun....saya tidak ingin memasuki museum itu...".

Tenggorokan saya terasa sakit. Tsunami telah menyisakan duka berkepanjangan bagi orang-orang yang telah menyaksikan dan kehilangan keluarganya. Betapa pun mereka menyadari semua kita adalah milik Allah dan betapa kita akan kembali kepada-Nya, namun bayangan kengerian itu ternyata masih lekat dalam ingatan mereka. Saya akhirnya harus memahami, mengapa justeru orang-orang Banda Aceh, seperti bu Asmah dan kawan-kawan yang lain, tidak ingin melihat seperti apa bagian dalam Musium Tsunami itu. Melihatnya, hanya akan membangkitkan luka duka dan kesedihan yang bertahun-tahun telah berusaha ditimbunnya dalam-dalam.

Ibu Kartini, meski beliau sekeluarga selamat, rumahnya terbakar, karena ada kapal terbakar yang menabrak rumahnya. Tapi ada sejumlah kerabatnya yang menjadi korban. Begitu juga ibu Suryati. Ibunya, ya, ibu kandungnya, dan beberapa saudaranya menjadi korban, meski beliau baru beberapa menit bertelepon setelah terjadi gempa. Ya, begitu cepat semuanya terjadi. Hanya dalam waktu sekitar lima menit, ketika air itu tiba-tiba datang dari bibir pantai, menyapu semuanya, termasuk membawa sanak keluarga mereka yang telah menjadi mayat.

Kami meneruskan perjalanan dengan keheningan yang tiba-tiba menyelimuti. Saya sendiri berdoa dalam hati, semoga semua korban tsunami diberikan tempat yang layak di sisi-Nya, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan tambahan kekuatan lahir dan batin. 

Kami akhirnya sampai di Kapal Apung. Meski sebenarnya obyek wisata itu sudah tutup, tapi petugasnya berbaik hati untuk menyilakan kami, begitu tahu kami (maksudnya saya) dari Surabaya. Bahkan dia mengantar kami ke banyak sudut kapal besi yang besar itu, menceritakan peristiwa yang mengikutinya. Juga menyediakan diri untuk menjadi fotografer supaya kami bisa narsis. Hehe....

Kapal itu, sesuai nama yang tertera di badannya, adalah PLTD Apung I. Tulisan di tugu yang ada di bagian depan halaman obyek wisata itu, berbunyi: 'PLTD Apung I adalah pembangkit listrik tenaga diesel lepas pantai dengan bobot 2600 ton yang didorong sejauh 5 km ke daratan oleh kedasyatan tsunami. Sekarang berlokasi di Gampong Punge Blang Cut, Kota Banda Aceh'. Di bagian sisi yang lain, tulisan bermakna yang sama, namun dalam Bahasa Inggris. 

Kemudian di tugu prasasti, di dekatnya, tercatat nama-nama korban. Ditulis memenuhi kelima sisi prasati. Tulisan itu meliputi: Dusun Krueng Doy 68 jiwa; Dusun Lampoh Lubhok 276 jiwa; Dusun Tuan Dikandang 350 jiwa; Dusun Tuan Dipakeh 212 jiwa; Dusun Tuan Balik Ayei 171 jiwa. Di bawah masing-masing tulisan itu, dicantumkan nama para korban dan usianya. 

Kapal besi yang besar itu adalah kapal pembangkit listrik yang awalnya berada di tengah laut. Tsunami telah menyeretnya sampai sejauh sekitar lima kilometer, menggerus rumah, manusia, dan apa saja uang dilaluinya. Dan dia baru berhenti, di tempat ini, ketika air mulai surut. Allahu Akbar. Saya bergidik membayangkannya. Tidak mungkin kapal itu akan berada di tempat ini tanpa ada campur tangan kekuatan dari Yang Maha Perkasa. Kapal sebesar itu... Dibuat dari besi lagi... Terapung-apung dari laut. Betapa dahsyatnya tsunami itu...

Bu Asmah juga membawa kami melewati makam Sultan Iskandar Muda, tempat mandi istri Sultan Iskandar Muda, juga tempat bermainnya. Lapangan Blang Padang yang di situ bertengger pesawat Seulawah, kapal bantuan rakyat Aceh kepada RI. Beliau dan teman-teman yang lain adalah pemandu yang andal. Hampir semua detil diceritakannya terkait dengan situs-situs itu.

Kami akhirnya sampai di sini. Di Pantai Olee Leu. Pantai yang berada di ujung barat Pulau Sumatra. Di ujung sana, adalah Masjid Baiturrahim, masjid yang tetap berdiri kokoh meski semua yang ada di sekitarnya porak-poranda saat tsunami dulu. Di seberang sana, adalah Pulau Sabang. Sebenarnya hanya memerlukan waktu sekitar 45 menit dengan kapal cepat untuk mencapainya. Di sana banyak obyek yang menarik. Namun saat ini tidaklah memungkinkan. Disimpan untuk kunjungan yang akan datang. Insyaallah....

Senja telah benar-benar jatuh. Kami duduk di pinggir pantai, menikmati matahari jingga, yang sinarnya memantul di permukaan laut. Membiaskan warna-warna merah dan kelabu yang berpadu. Menyajikan pantai Olee Leu ibarat lukisan yang luar biasa indah. Ditemani sebuah jagung bakar dan sebutir kelapa muda, kami mengagumi semua yang tersaji di depan mata. Menunggu adzan maghrib. Untuk menuju ke tempat sujud, di mana kami bisa melabuhkan seluruh hati dan jiwa kami. Melantunkan rasa syukur dan permohonan atas kekuatan lahir dan batin dari-Nya untuk menemani setiap langkah kami......

Banda Aceh, 26 Agustus 2013

LN

Banda Aceh (1): Di sinilah saya....

Minggu, 25 Agustus 2013. Pukul 23.40. Di sinilah saya saat ini, di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda. Akhirnya kaki saya menginjak Bumi Serambi Mekah. Di Tanah Rencong. Wilayah paling barat Indonesia. Setelah sejak pukul 13.40 terbang dari Bandara Juanda. Ya, sepuluh jam lebih di perjalanan. Diwarnai dengan delay sejak di Bandara Soekarno Hatta dan di Kualanamu Medan. Diwarnai juga dengan kegaduhan di Kualanamu karena beberapa penumpang mengamuk dan membentak-bentak petugas, akibat delay yang 'hanya' sekitar satu setengah jam. Teriakan mereka menggelegar memenuhi hampir setiap ruang di Kualanamu yang besar itu. Para penumpang yang lain berkerumun, mereka seperti mendapat tontonan dadakan yang menegangkan.

Begitu mencapai pintu luar bandara, saya sudah melihat wajah itu. Ibu Fitriana, dosen jurusan PKK Universitas Syah Kuala (Unsyiah), yang selama ini menjadi contact person saya untuk kegiatan di Banda Aceh. Wajahnya yang putih bersih, begitu cantik di bawah temaram lampu teras bandara yang hiruk pikuk. Kami berpelukan. Suaminya, bapak Rusman, dosen Kimia di Unsyiah juga, tersenyum ramah mengulurkan tangannya. Mencoba meraih koper saya, tapi saya menolaknya halus.

Di bawah langit Banda Aceh yang gelap, mobil kami menyusuri jalan meninggalkan bandara, menuju kota. Bu Fitri memaksa saya harus makan dulu, dan kami berhenti di sebuah rumah makan. Kami memesan mie goreng, dan pak Rusman memesan martabak telur. Mie gorengnya berasa tajam, khas mie Aceh, dan martabak telurnya lebih mirip omelette, berbentuk persegi. Saya menghabiskan separo porsi, bukan karena mie-nya tidak enak. Namun kelelahan di tubuh saya membuat selera makan tidak terlalu bagus. Separo porsi itu cukuplah untuk memastikan perut saya terisi setelah sejak terbang dari Surabaya tadi tidak sempat menikmati makan siang dan malam. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 00.50 saat kami memasuki pintu hotel Madinah.  Bu Fitri bilang, sebetulnya dia sudah berusaha memesankan kamar di beberapa hotel terbaik di Banda Aceh, tapi semua full-booked. Ada event  Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) yang akan dihelat pada September nanti, tapi panitia dari berbagai daerah di Aceh sudah memenuhi Banda Aceh untuk mempersiapkan kegiatan besar itu. Jadilah saya diinapkan di Hotel Madinah, sebuah hotel melati yang bagi saya tidak terlalu masalah, tapi bu Fitri berkali-kali meminta maaf karenanya. Nama hotel yang Islami, membuat saya merasa nyaman-nyaman saja. Apa lagi, hotelnya juga cukup besar, bersih, dan kamarnya juga luas.

Saya merebahkan kelelahan saya di tempat tidur yang bersih dan nyaman, membiarkan tas koper dan sepatu saya berserak di lantai. Mengirim kabar pada keluarga dan sahabat yang terus memantau perjalanan saya, kalau saya sudah mencapai hotel. 

Besok, saya harus mengisi acara pelatihan pengembangan perangkat pembelajaran di SMK 3 Banda Aceh. Acara yang sudah dipesan sejak lama oleh teman-teman jurusan PKK Unsyiah, namun baru bisa saya penuhi. Di antara berbagai kesibukan yang padat dan menyita waktu, saya sudah tidak mungkin mengulur-ngulur lagi. Semakin ke sini, kegiatan semakin padat. Prakondisi SM-3T, pemberangkatan angkatan ke-3, penarikan angkatan ke-2, ngajar, PLPG....

***

Senin, 26 Agustus 2013. Pukul 05.15. Saya bangun dengan sisa kelelahan semalam. Mengintip keluar melalui jendela. Gelap. Ya, meski tidak ada perbedaan waktu dengan Surabaya, namun jam segini di Aceh masih gelap seperti saat subuh di Surabaya.

Pagi ini saya musti bergegas. Pukul 8.15, bu Fitri dan pak Wildan, PD 3 FKIP, akan menjemput saya. Pak Wildan, sudah saya kenal dengan sangat baik. Beliau adalah koordinator SM-3T Unsyiah. Seperti layaknya satu tim, kami sering bertemu di berbagai kegiatan, bersama para koordinator SM-3T dari LPTK lain. Program SM-3T ini menyatukan kami semua, dan mengakrabkan pertemanan kami sebagai teman-teman seperjuangan.

Sebenarnya saya ingin segera bersiap setelah salat subuh dan mandi, namun SMS dan telepon dari peserta SM-3T dan para calon peserta, menyibukkan saya. Nama saya dipasang sebagai contact person di Dikti sebagai koordinator SM-3T Unesa, dan belasan bahkan puluhan SMS dan telepon membanjiri saya sejak perekrutan dan pengumuman kelulusan SM-3T beberapa pekan yang lalu, tak peduli pagi, siang, malam, bahkan tengah malam. Juga pagi buta seperti ini. Saya, pada posisi seperti ini, benar-benar dilatih untuk menjadi pelayan yang baik, sabar, tawakkal, dan menerima segala sesuatu sebagai berkah, bukan cobaan, dari Allah SWT. Haha...

Kami bertiga sampai di SMK 3 Banda Aceh, tempat pelatihan, pada menjelang pukul 9.00. Sekolah yang bersih, luas dan hijau. Wajah-wajah yang subhanallah...cantik-cantiknya. Ya, yang saya temui adalah dosen dan guru-guru yang 99,9 persen perempuan. Hanya ada satu, satu-satunya laki-laki. Dan para perempuan itu semuanya menarik, busana mereka bagus-bagus, perhiasan gemerlap, dan wangi. Cara mereka berbusana, begitu menawan, dengan blus panjang dan rok yang di beberapa bagiannya ada aksen bordir atau hiasan dari benang yang mengkilat. Untuk ukuran kita di Surabaya, cara mereka berbusana dan mengenakan aksesoris, sudah seperti busana pesta. Jadi nampaknya sayalah orang yang busananya paling kasual di antara para dosen itu. Kecuali para guru, yang saat ini mengenakan seragam mengajar yang berwarna hijau.

Tua maupun muda, semua orang di ruangan ini cakep. Hidup mancung, kulit bersih, mata indah. Dilengkapi dengan keramahan yang tulus, saya merasakan kehangatan berada di tengah-tengah mereka.

Di antara para dosen itu, saya sudah mengenal beberapa di antaranya dengan sangat akrab. Ibu Kartini, ibu Suryati, Ibu Asnah, dan bu Fitriani. Keempatnya juga sudah pernah beberapa kali berkunjung ke Unesa untuk menghadiri seminar Bosaris, yang kami helat setahun sekali. Selain itu, kami juga bertemu di beberapa kali di kegiatan dikti. Di situlah mereka mengenal saya, sebagai narasumber, moderator, dan fasilitator. Saat ini, mereka mengundang saya, untuk sekedar berbagi pengetahuan dan pengalaman.

Betapa beruntungnya saya. Mendapatkan kesempatan mengunjungi Banda Aceh, bertemu dengan banyak teman, dan berbagi pengalaman. Dan yang tak kalah pentingnya, nilai silaturahim itu....tak bisa dinilai hanya dari sekedar uang atau materi.

Pelatihan ini diikuti oleh 35 orang, terdiri dari 5 orang guru SMK, 1 orang guru SMIK, 2 orang dari dunia usaha/dunia industri, 25 orang dosen, dan  2 orang mahasiswa. Didanai dari Badan Operasional Perguruan Tinggi (BOPT).

Di sini, saya menemukan semangat belajar yang dibalut dengan religiusitas yang kental. Semua peserta duduk manis dan mengikuti acara demi acara dengan penuh perhatian. Pembukaan dimulai dengan membaca ummul qur'an bersama-sama, dan kegiatan pelatihan dibuka dengan membaca wal'ashri. 

Pukul 16.00, dan mereka tetap di tempatnya. Setelah saya presentasi sejak pagi sampai pukul 12.30, memahamkan pada mereka tentang SKL, KI, KD dan Keterampilan Berpikir, juga memberikan contoh-contoh menuangkannya dalam silabus dan RPP, mereka bertekad untuk bisa menghasilkan satu silabus dan RPP yang musti dipresentasikan sore ini. Sesuai kelompok masing-masing, yaitu tata boga, tata busana, tata kecantikan, tekstil, kerajinan dan kewirausahaan. 

Saya menikmati keseriusan para ibu cantik itu. Membiarkan diskusi mengalir di antara mereka. Sesekali saya menghampiri kelompok-kelompok itu, melibatkan diri dalam diskusi, atau sekedar mengecek pekerjaan mereka. 

Sore semakin beranjak. Namun meski waktu sudah menapak pada pukul 17.30, matahari masih bersinar cerah. Maghrib di sini jatuh pada sekitar pukul 19.00. 

Kantuk dan lelah sisa perjalanan panjang semalam mulai menghampiri, namun tidak saya hiraukan. Sore di Banda Aceh, sungguh sangat sayang kalau dilewatkan begitu saja....

Bersambung....

Banda Aceh, 26 Agustus 2013

Sabtu, 29 Juni 2013

Kampanye Literasi

Prof Budi Darma tandatangani buku peserta.
Sabtu, 29 Juni 2013. Bertempat di Auditorium PPPG, lantai 9 Gedung Wiyata Mandala Unesa (ini nama Gedung PPPG, sesuai dengan hasil rapim Unesa dan yang tertulis di prasasti yang ditandatangani Mendikbud pada saat peresmian 22 Juni yang lalu), telah berlangsung Kampanye Literasi yang bertajuk: "Membangun Budaya Baca di Kelas, Resep Jitu Menarik Minat Siswa dalam Literasi."  

Kegiatan tersebut merupakan kegiatan kerja sama antara PPPG Unesa dan Ikatan Guru Indonesia (IGI). Selain untuk menularkan virus-virus literasi, kegiatan ini juga dibarengkan dengan peluncuran buku SM-3T kedua yang berjudul 'Jangan Tinggalkan Kami' dan buku kumpulan cerpen pendidikan yang diterbitkan oleh IGI yang berjudul 'Adam Panjalu'.

Acara ini dihadiri oleh sekitar 350 peserta, terdiri dari mahasiswa PPG SM-3T dan para guru dari Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan sekitarnya. Di antara para peserta, hadir juga Ibu Thea (mantan dosen Pendidikan Bahasa Inggris Unesa yang saat ini sedang menyusun buku biografinya), Prof. Dr. Lies Amin Lestari (dosen Pendidikan Bahasa Inggris, juga sedang menulis sebuah buku), Wahju Chairat (Ketua Indonesia Menulis), Djoko Pitono (penulis, editor, mantan wartawan), dan beberapa ketua program studi serta para dosen Unesa.

Dalam 'welcome speech'-nya, Direktur PPPG, Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M. Pd., menyampaikan, tujuan kegiatan ini merupakan upaya pengembangan budaya literasi baik di kalangan guru dan para mahasiswa PPG Unesa, yang notabene adalah calon guru. Sebagaimana diketahui, budaya literasi sangat penting dalam meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Guru dan para calon guru memegang peran sentral dalam pengembangan budaya literasi ini. 

Selain untuk tujuan tersebut, kegiatan kampanye literasi juga dimaksudkan untuk lebih mendekatkan para calon guru, yaitu mahasiswa PPG SM-3T Unesa, kepada komunitasnya, salah satunya adalah IGI. Juga untuk mengenalkan keberadaan PPPG Unesa kepada masyarakat, khususnya para guru. 

PPPG selain menyelenggarakan Program PPG bagi 279 mahasiswa alumni Program SM-3T, saat ini juga melayani sekitar 200 peserta Program S1 KKT (Kependidikan dengan Kewenangan Tambahan). PPPG  juga menyelenggarakan program Jatim Mengajar, kerja sama antara Unesa dengan Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF). Program ini mirip dengan program SM-3T, namun lingkup sasarannya adalah wilayah pelosok Jawa Timur. 

Prof. Dr. Budi Darma, yang diundang sebagai 'keynote speaker' menyampaikan berbagai ilustrasi tentang pentingnya literasi. Seorang yang 'literate', menurut bagawan sastra dari Unesa tersebut, berarti bisa membaca. Kebalikan dari 'iliterate', tidak bisa membaca. Membaca dalam pengertian ini tentu saja dalam arti luas, termasuk membaca lingkungan, membaca momentun, membaca kesempatan, harus kritis, mampu memecahkan masalah, dan kemampuan yang lain.

Literasi juga sangat berkaitan dengan bagaimana mengekspresikan pikiran, yaitu menulis. Pikiran seseorang akan lebih tertata bila diekspresikan dalam bentuk tulisan. Orang yang pandai menulis biasanya lebih kritis, karena dia harus banyak membaca untuk bisa menulis dengan baik. 

Budi Darma, yang pekan ini mendapatkan penghargaan sebagai cendekiawan berdedikasi dari harian Kompas, seperti membius para peserta dengan paparannya yang tidak lebih dari tiga puluh menit. Suaranya yang datar, nyaris tanpa intonasi, namun padat berisi, begitu memukau. Penulis novel Olenka yang memperoleh berbagai penghargaan skala nasional maupun internasional itu, memberikan motivasinya kepada para peserta dengan memastikan betapa sebuah tulisan mampu menentukan sebuah peradaban. Beliau menyebut naskah karangan Diponegoro dan Nagara Kertagama yang diakui Unesco sebagai Memory of The World. Bayangkan jika Diponegoro tidak pernah menulis. Sejarah kita mungkin berbeda. Begitu juga dengan apa yang sudah dilakukan oleh Plato, Aristoteles, Socrates, Napoleon Bonaparte, dan banyak tokoh yang lain. Pikiran-pikiran mereka tetap hidup sampai berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun kemudian, dipelajari, dikembangkan, diuji, dan sebagainya, karena mereka menuliskannya.

Para narasumber dan moderator. Dari kiri: Ali As'ari, Moch Khoiri, Satria Dharma, dan Eko Prasetyo.
Selain peluncuran buku yang secara simbolis dilakukan dengan penyerahan buku oleh Prof. Budi Darma, Direktur PPPG, para editor, kepada para penulis, acara juga diselingi dengan prakata dari para editor. Rukin Firda, wartawan senior Jawa Pos, menyampaikan prakatanya untuk dua buah buku SM3T: 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca' dan 'Jangan Tinggalkan Kami'. Sedangkan Eko Prasetyo, memberikan prakatanya untuk buku 'Adam Panjalu'. Kedua editor tersebut menceritakan suka dukanya menyunting naskah para penulis. Seberat apa pun, pekerjaan mengedit tulisan, bagi mereka tetaplah menyenangkan, semua kendala bisa diatasi dengan baik. Rukin Firda bahkan harus ikut 'blusukan' ke pelosok Sumba Timur untuk menggali data yang diperlukan serta untuk lebih menghayati latar tulisan-tulisan para peserta SM-3T. 

Tiga narasumber, Satria Darma (Ketua Umum IGI, penulis), M. Khoiri (Dosen FBS Unesa, penulis, penggiat literasi), dan Ali Asy'ari (mahasiswa PPG SM3T Unesa, penulis), saling melengkapi dalam memberikan dorongan dan kiat untuk mengembangkan budaya membaca dan menulis, baik di dalam keluarga, di kelas, dan di masyarakat. Dipandu moderator Eko Prasetyo (penulis, editor, penggiat literasi), diskusi itu begitu hangat karena kemasannya yang sama sekali jauh dari formal, diselingi tanya jawab dengan pemberian hadiah buku bagi para penanya, membuat diskusi seperti tak ada habisnya sampai pada batas waktu yang telah dijadwalkan.  

Sekitar pukul 12.15, talkshow ditutup oleh moderator dengan beberapa catatan. Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Lebih jauh, seseorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya. Generasi literat mutlak dibutuhkan agar bangsa kita bisa bangkit dari keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain.

Surabaya, 29 Juni 2013

Wassalam,
LN

Kamis, 23 Mei 2013

Tentang Keamanan Pangan Lagi

Pagi ini, di Hotel Pelangi Malang, saya diminta untuk menjadi narasumber oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Jawa Timur. Nama kegiatannya adalah Sosialisasi Peningkatan Mutu dan Keamanan Pangan Olahan Skala Industri Rumah Tangga dan Makanan Jajanan Anak Sekolah.

Saya ditandemkan dengan Kepala Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) di Surabaya, Ibu Endang Pudjiwati. Saya bertugas menyampaikan berbagai hal terkait dengan keamanan pangan olahan skala industri rumah tangga dan makanan jajanan anak sekolah, sedangkan Bu Endang bertugas menginformasikan hasil pengujian BBPOM terhadap pangan olahan.

Peserta sosialisasi adalah pendamping dari BKP kabupaten/kota di Jawa Timur, pelaku usaha, dan pengelola kantin sekolah. Beberapa wajah, terutama para pendamping dari BKP kabupaten/kota, sudah sangat saya kenal saking seringnya bertemu. 

Saya memulai presentasi  dengan deskripsi aspek mutu pangan menurut UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan dan PP Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Mutu pangan dalam kedua produk kebijakan ini dipahami sebagai nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan. 

Keamanan pangan (food safety) memang merupakan aspek terpenting dalam makanan. Selezat apa pun suatu makanan, sebagus apa pun penampilannya, tapi kalau makanan tersebut tidak aman, dia tidak bermanfaat bagi kesehatan manusia, malah justeru akan menjadi sumber munculnya berbagai masalah kesehatan.

Keamanan makanan sendiri didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Cemaran bilogis contohnya mikroba (bakteri, virus, jamur, kapang, khamir); cemaran kimia misalnya bahan tambahan makanan (pewarna, pemanis, pengenyal, pemutih, penstabil, dan lain-lain); sedangkan cemaran benda lain misalnya kerikil, rambut, karet, dan benda-benda lain. 

Kenapa keamanan makanan penting? Yang pertama tentu untuk melindungi kesehatan manusia. Tanggung jawab ini terutama merupakan tanggung jawab pemerintah, selain juga masyarakat dan para produsen. Goverments are responsible for maintaining health of their nation. Karena itulah, BKP, sebagai bagian dari pemerintah, harus terus-menerus melakukan program sosialisasi keamanan pangan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. 

Keamanan pangan ternyata juga berperan menjaga reputasi bangsa. Banyak kasus penolakan ekspor bahan pangan atau pangan olahan dari Indonesia ke negara lain  karena bahan makanan atau pangan olahan tersebut tidak memenuhi syarat. Ekspor buah, sayur, serealia, dan berbagai makanan jadi ditengarai tertolak karena adanya kandungan residu pestisida atau aflatoksin atau bahan pencemar yang lain, termasuk mikroba, melebihi batas ambang yang diperbolehkan. 

Bila hal ini terus-menerus terjadi, itu tidak hanya berarti kerugian secara materiil, namun menjurus pada pertaruhan reputasi bangsa. Indonesia dipandang oleh negara-negara importir sebagai negara yang lemah dalam hal regulasinya tentang keamanan pangan. Maka tidak heran kalau kemudian Indonesia dibombardir dengan berbagai produk pangan import, yang dari segi mutu dan keamanan pangannya, seringkali tidak terjamin. Buah dan sayuran import mengandung begitu banyak residu pestisida, daging impor mengandung dioksin melebihi batas, jeli dan gula-gula lain yang mengandung kolagen babi, dan sebagainya. Ini menunjukkan betapa longgarnya pengendalian dan pengawasan keamanan makanan di negara kita. Padahal, a country cannot trade internationally without having a reputation for good regulation.

Keamanan makanan penting karena memperoleh makanan yang cukup, bergizi dan aman adalah hak setiap manusia. Begitulah bunyi salah satu butir Declaration on Nutrition pada FAO/WHO International Conference tahun 1992. Keamanan makanan merupakan suatu 'non-negotiable issue' dan kritikal karena menyangkut hak asasi manusia yang paling dasar.

Bagaimana tentang makanan jajanan (street food)? FAO mendefinisikannya sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan dan/atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-tempat keramaian umum yang langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut. Agak berbeda dengan definisi di Kepmenkes Nomor 942 Tahun 2003, makanan jajanan didefinisikan sebagai makanan dan minuman yang diolah oleh penyaji makanan di tempat penjualan dan/atau disajikan sebagai makanan siap saji untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan dan restoran. Ini berarti, makanan jajanan itu menyangkut semua makanan, apakah itu makanan pokok, makanan kudapan, atau minuman. Apakah itu makanan yang dijual di kaki lima, di warung-warung, depot dan restoran. Apakah itu nasi pecel, gado-gado, fried chicken, beefsteak, pisang goreng, es cendol dan es sirup. 
Makanan jajanan, khususnya makanan jajanan anak sekolah, harus memenuhi syarat aman, bersih dan murah. untuk kriteria pertama dan kedua, yang dimaksud aman dan bersih berarti bebas dari bahan pencemar baik yang terlihat secara visual (kasat mata) maupun yang tidak terlihat. Debu, rambut, kerikil, adalah bahan pencemar yang nampak secara visual. Sedangkan mikroba tentu saja tidak nampak secara kasat mata, hanya bisa dilihat secara laboratoris, atau bisa juga dilihat secara organoleptik (dengan panca indera) bila makanan yang tercemar tersebut sudah menunjukkan perubahan warna, aroma dan penampakan tidak normal yang lain. 

Sedangkan untuk kriteria murah, hal ini tentu saja sangat relatif. Yang perlu diperhatikan adalah, jangan hanya sekedar supaya murah, maka keamanan makanannya dikorbankan. Krupuk yang menggunakan bahan pewarna tekstil atau pemutih, sirup yang menggunakan pemanis sakarin berlebihan, bakso yang mengandung boraks, dan sebagainya, tentu tidak diperbolehkan. Apalagi bila melakukan tindak pemalsuan, misalnya mencantumkan tulisan 'dijamin halal' atau 'bebas bahan pengawet' atau 'dibuat dari sari buah asli' dan sebagainya, padahal faktanya tidaklah seperti itu. 

Beberapa temuan penelitian menunjukkan betapa makanan jajanan sangat berperan dalam membantu pemenuhan kebutuhan gizi anak. Nurlaela dkk (2009) menemukan bahwa zat gizi dari makanan jajanan yang disukai anak menyumbangkan energi sebesar 21,81 persen dan protein sebesar 33,11 persen. Sedangkan temuan dari Tim Peneliti Unibraw mengemukakan bahwa makanan jajanan kaki lima ternyata dapat menyumbang asupan energi bagi anak sekolah sebanyak 36 persen, protein sebanyak 29 persen dan zat besi sebanyak 52 persen. Peran ini tentu saja sangat menentukan dalam kualitas pertumbuhan fisik dan mental serta prestasi belajar anak sekolah. Meski harus diakui, keamanan makanan jajanan dari segi mikrobiologis maupun kimiawi masih cukup memprihatinkan.

Berbagai kendala dalam pengolahan pangan dihadapi baik pada tahap produksi, distribusi maupun konsumsi. Intinya, from farm to table. Maka pengawasan pangan juga harus dilakukan dengan pendekatan seperti itu. Food safety begins on the farm. Mulai dari prapanen sampai ke penyajian. Kita harus yakini bahwa 'garbage in garbage out'. Jadi tidak hanya hasil akhir saja yang penting, tapi juga prosesnya.

Tidak hanya hasil akhir saja yang penting, tapi juga prosesnya. Seperti itu jugalah kita dalam berbisnis. Ada beban moral yang harus kita sadari, bahwa berbisnis dengan jujur, konsisten menjaga mutu, tekun dan sabar, adalah jauh lebih penting daripada sekedar mengejar keuntungan dengan melakukan berbagai jalan pintas untuk bisa cepat kaya. Rezeki yang diperoleh dengan proses yang tidak jujur, berarti rezeki yang diragukan kehalalannya, dan rezeki seperti itu tidak barokah. Maka marilah kita berbisnis dengan jujur, tetap berorientasi pada kepuasan pelanggan, dan konsisten menjaga mutu produk dan layanan. Bekerja adalah ibadah, tentu kalau kita niatkan untuk ibadah dan menggunakan cara-cara yang halal. Inilah pesan moral yang saya selipkan untuk mengakhiri presentasi saya.

Malang, 23 Mei 2013

Wassalam,
LN