Oleh: Luthfiyah Nurlaela
Diriku masih berdiri mematung. Menatap nanar pusara itu.
Seperti tak percaya diri ini. Benarkah itu dirimu, yang berbaring di bawah
taburan kembang merah berseling hijau, yang harumnya semerbak mewangi? Berbaur
dengan wewangian yang menebar dari bunga-bunga kamboja? Aroma wangi yang lain,
entah wangi apa, wangi sekali, itukah wewangian dari surga yang dibawa malaikat
yang menjemputmu untuk diantarkan ke haribaan-Nya?
Semalam, diriku dan dirimu masih berbincang, meski hanya
lewat SMS.
"Liburan telah usai.....kerja....kerja...kerja...."
Katamu.
Lantas kubalas: "Jadi hari ini dirimu sudah di kantor?
Selamat bekerja ya."
Diriku juga bertanya, apakah besok pagi, dirimu akan hadir
di acara halal bi halal. Dirimu bilang ya, namun paginya, dirimu akan
menghadiri pernikahan seorang teman dulu, baru meluncur ke acara halal bi halal
di kampus.
Diriku juga mengingatkan acara halal bi halal besoknya lagi,
di rumahsenior kita, yang dirimu diminta untuk menjadi seksi dokumentasi.
"Nah, ya itu yang aku masih ada ganjalan," katamu.
"Kenapa?"
"Minggu itu, aku harus ke Jember, ngantar adiknya Dik
Yuni."
"Walah, ya deh."
"Aku tidak punya hari libur lagi selain hari itu."
"Ya deh."
"Kok ya deh, ya deh. Coba kalau dirimu di
posisiku."
"Ya deh, paham."
Karena malam sudah larut, diriku pamit berangkat tidur.
Namun tiba-tiba, SMS-mu masuk lagi. "Nemu foto..." Tulismu. Sebuah
gambar, diriku dan Arga kecil di gendonganku, membuatku keheranan.
"Dari mana dirimu dapat foto itu?" Tanyaku.
"Lha dirimu gimana lho, naruh foto sembarangan. Untung
yang nemu wartawan baik-baik. Kalau yang nemu wartawan yang suka bikin sensasi,
gimana?"
Aku tak mempedulikan pertanyaanmu. Kalau yang menemukan foto
itu wartawan yang suka bikin sensasi pun, tidak masalah. Tidak ada yang aneh
dalam foto itu. Adakah yang aneh dari foto seorang ibu yang menggendong
anaknya?
"Dari mana dirimu dapat foto itu?" Aku mengulang
pertanyaan. Itu foto zaman baheula, puluhan tahun silam. Tidak tersimpan dalam
bentuk file. Kok bisa-bisanya dirimu memperolehnya. Diriku punya file-nya saja
tidak.
Tapi dirimu tidak menjawab pertanyaanku.
"Jawab dong." Pintaku. "Kalau dirimu tidak
menjawab, tak siwak."
"Wakakak....ancaman lama muncul lagi."
"Hayo, jawab. Siwak lho."
"Wakakakak...see you tomorrow?"
See you tomorrow. Itu kata-kata terakhirmu malam itu. Tapi,
seperti hari-hari sebelumnya, aku tidak terlalu berharap dirimu muncul pada
siang itu, saat acara halal bi halal digelar. Dirimu sering mblenjani janji.
Meski ingkar janjimu selalu karena sesuatu hal yang memang tidak terduga,
termasuk karena dirimu bangun kesiangan. Seingatku, beberapa kali dirimu
meminta maaf karena tidak bisa hadir di suatu acara, atau tidak bisa tepat
waktu untuk suatu pertemuan, hanya karena terlambat bangun. Alamak....dasar wartawan.
Sore ini, baru kusadari, 'see you tomorrow', adalah
kata-katamu yang benar-benar terakhir. Tidak akan ada kata-kata lain lagi
setelah itu. Benar-benar kata-kata terakhir.
***
Hatiku kosong memandangi namamu yang tertulis di pusara.
Senja yang jatuh, meski dihiasi matahari jingga yang tersangkut di pepohonan,
begitu sendu. Para pelayat mengerubungi kuburmu yang tanahnya masih basah,
membacakan tahlil dan doa-doa. Suaranya seperti menggema menuju langit. Di
sana, aku bayangkan, ribuan bidadari telah siap menyambut arwahmu. Mereka semua
tersenyum, aromanya semerbak mewangi, dan wajahnya berseri-seri.
Meski di sini, semua orang menunduk layu. Yuni, istri
tercintamu, menyandarkan kepalanya pada anak lelakimu. Lunglai. Dua anakmu yang
lain ada di sisi kanan kirinya, terisak pilu. Betapa teriris hati ini
menyaksikan semua itu.
Adzan maghrib berkumandang, mengiringi langkah para pelayat
menjauh dari kuburmu. Istri dan ketiga anakmu melangkah dengan berat, juga
menjauh dari kuburmu. Mata mereka sembab. Wajah mereka kehilangan sinarnya.
Namun bibir mereka tetap mencoba tersenyum saat menyampaikan ucapan terima
kasih pada para pelayat, serta memintakan maaf untuk dirimu. Senyum yang pahit.
Teramat pahit.
Yuni, siang tadi, meneleponku saat aku dan Mas Ayik,
suamiku, serta teman-teman kita semua, sedang berada di sekretariat Himapala.
Aku baru saja selesai memberikan kata sambutan untuk acara halal bi halal itu.
"Mbak, apa Mas Rukin di situ?" Tanya Yuni.
"Tidak, Yun, belum datang"
"Aku kira Mas
Rukin di situ, Mbak. Dia pergi dari pagi."
"Aku dari jam sembilan-an ada di sini, Yun, Mas Rukin
belum datang sampai sekarang."
"Mbak, aku dengar dia kecelakaan...."
"Hah, kecelakaan gimana? Kamu dengar dari siapa?"
"Dari Radar, Mbak... Tapi hapenya aku telepon nggak
nyambung-nyambung...."
"Yun, coba hubungi terus, aku juga akan coba hubungi.
Semoga Mas Rukin baik-baik saja."
Lantas aku mencoba meneleponmu. Tersambung. Tapi bukan
dirimu yang mengangkat. Suara seorang perempuan, menjelaskan semuanya dengan
terbata-bata. Dirimu mengalami kecelakaan, dan meninggal. Jasadmu ada di RS Siti Khatijah.
Oh Tuhan. Tubuhku terasa berguncang hebat. Dadaku berdegup
keras. Bibirku bergetar. Tangisku pun pecah. Dengan hati hancur aku menghambur
ke arah Mas Ayik, berbisik di telinganya.
"Mas..... Mas Rukin kecelakaan, dan meninggal...."
"Apa? Innalillahi wa inna ilaihi rojiun."
"Sekarang jenazahnya di RS Siti Khatijah, Mas...."
"Ayo kita langsung ke sana."
Sebelum bangkit dari duduknya, Mas Ayik berbisik di telinga
Mas Joko, senior kita.
"Rukin kecelakaan, Mas... Meninggal."
"Apa? Innalillahi wa inna ilaihi rojiun." Wajah
Mas Joko langsung merah padam, matanya berkaca-kaca.
Kami pun pamit dari acara yang sedang ramai-ramainya itu.
Tak mempedulikan pertanyaan teman-teman kenapa kami pamit lebih dulu, dengan
wajah yang diliputi kepanikan sekaligus kesedihan. Biarlah Mas Joko yang
menjelaskan kabar itu pada mereka. Aku sudah tidak sanggup berkata-kata. Aku
hanya ingin segera sampai di tempat di mana dirimu berada.
Begitu sampai di depan ruang jenazah RS Siti Khadijah, Mbak
Yani, rekan kerjamu, yang menerima teleponku tadi, menyambut kami. Mas Arif,
rekan sekantormu juga, bertanya, apakah aku dan Mas Ayik ingin melihat
jenazahmu. Kami berdua mengangguk. Tapi Mas Ayik melarangku.
"Biar aku dulu yang lihat, Sayang. Kamu nanti
saja..."
Mas Ayik tahu aku tidak akan tegar melihatmu sudah tiada.
Mas Ayik tahu aku tak akan kuat melihatmu dengan tubuh penuh luka. Maka aku pun
menurut. Terpekur di sudut. Menghayati kedukaanku. Membiarkan air mata
mengaburkan pandanganku.
Tak berapa lama, adzan dhuhur berkumandang. Kami, aku dan
belasan teman Himapala yang sudah mulai berdatangan, menunaikan salat di
mushala. Air mataku tumpah di atas sajadah. Tak kuasa aku menahan kesedihan
ini. Kutanyakan pada Tuhan, mengapa harus dirimu? Yang begitu setia dan berarti
dalam menemaniku dan kawan-kawan seperjuangan?
****
Tak akan pernah kulupa betapa berartinya jejak-jejak yang
telah dirimu ukir di setiap perjuangan kita. Pedalaman Sumba Timur telah dirimu
jelajahi, bahkan melebihi dari yang pernah kami semua singgahi. Waingapu,
Katala Hamulingu, Tabundung, Pinupahar, lanjut ke Ramuk, tempat guru perempuan
muda yang tinggal sendirian di tengah hutan itu. Juga SD Umandudu, sekolah yang
dikelilingi bukit dan lembah menakjubkan. Sebagian rute Tawui-Okatana bahkan
dirimu tempuh dengan berjalan kaki. Menembus hutan belantara, menaiki dan
menuruni bukit, melanggar sungai-sungai. Tak ada keluhan sedikit pun dari
mulutmu. Wajah basahmu yang penuh keringat tetap tersenyum. Sekali-sekalinya
dirimu mengeluh hanya ketika, tanpa dirimu sadari, kertas-kertas catatan
perjalanan yang dirimu simpan di kantung celana, basah terendam air saat dirimu
melanggar sungai yang arusnya sangat deras. Dengan rapi dirimu menjemur
kertas-kertas itu, di teras SD Okatana, sambil menunggu singkong rebus yang
disiapkan para guru muda itu.
Beberapa hari setelahnya, tulisan hasil liputanmu muncul di
koran nasional. Tidak tanggung-tanggung. Tiga hari berturut-turut. Tulisan yang
mengabarkan betapa mengenaskan kondisi pendidikan di daerah Sumba Timur. Betapa
miskin masyarakatnya. Betapa memprihatinkan etos kerja kepala sekolah dan
guru-guru asli putra daerah. Namun betapa menakjubkan alamnya yang masih murni.
Padang savana, kuda-kuda Sumba, dan pantai-pantai yang permai. Juga, betapa
mengagumkan semangat belajar anak-anak negeri. Meski harus menembus hutan belantara,
naik-turun bukit, menempuh jarak berkilo-kilo meter, mereka datang ke sekolah,
dengan kaki telanjang yang penuh luka karena tergores bebatuan dan duri-duri
yang tajam.
"Ibu Guru, Saya Ingin Membaca," adalah buku
pertama hasil kompilasimu atas tulisan ratusan guru pengabdi di Sumba Timur.
Buku yang mengabarkan tentang betapa memprihatinkan kondisi pendidikan,
sarana-prasarana, etos kerja guru dan kepala sekolah, daya dukung orang tua dan
masyarakat. Juga betapa besar arti perjuangan para guru muda itu untuk
membangunkan cita-cita dan mimpi-mimpi anak bangsa. Mereka tak kenal lelah
berbagi, menyapa anak-anak di titik-titik terjauh. Benar-benar pengabdian yang
tak kenal batas wilayah. Mereka tidak hanya mengajar membaca dan menulis.
Mereka datang sebagai guru-guru berjubah kasih-sayang.
Dirimu bekerja keras untuk mewujudkan buku itu, juga
buku-buku tentang Sumba Timur lainnya. Bahkan dirimu merasa harus kembali ke
Sumba Timur untuk melengkapi data agar tulisan itu lebih sempurna. Dirimu pergi
berlayar ke Pulau Nusa, berbaur dengan masyarakat setempat dan para guru
pengabdi. Menyelami kehidupan mereka, mendengarkan cerita dan keluh-kesah,
menyemangati. Dua buku yang lain, yang terasa sekali betapa dirimu mengemasnya
dengan sepenuh jiwa, adalah 'Jangan Tinggalkan Kami', dan 'Mimpiku, Mimpimu,
Mimpi Kita'.
Masih ingat jugakah dirimu, saat kita bertiga berlayar dari
Saumlaki menuju Pulau Babar? Kita terayun-ayun di atas Laut Banda selama
sembilan jam. Ketika tiba di Pelabuhan Tepa, malam telah merangkak, dan kita
begitu lelah. Namun sambutan Bapak Pendeta dan orang-orang di sana begitu
ramah. Sepiring ubi rebus, lengkap dengan sayur bunga pepaya dan ikan laut,
dibalut dengan keramahan dan kehangatan mereka, mengusir rasa lelah seketika.
Diriku, dirimu dan Mas Heru, adalah tiga orang yang terdampar
di pulau yang begitu asing. Menyapa setiap jengkalnya dengan ketulusan berbalut
kenekadan. Ya. Apa yang membawa kita sampai di pulau kecil di bagian Maluku
Barat Daya itu, kecuali dorongan untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri
kondisi pendidikan dan masyarakatnya, serta sekedar berbagi sapa dan senyuman?
Selama tiga hari itu, kita menyusuri Pulau Babar, mulai dari
Tepa, Nakarhamto, Letwurung dan Ahanari. Kita saksikan betapa memprihatinkannya
kondisi pendidikan di sana. Sekolah berlantai tanah, berdinding papan, beratap
kayu-kayu lapuk. Sekolah tanpa buku, bahkan tanpa guru. Kalau pun ada guru,
kaki para guru itu pada baminyak. Seng betah di tempat. Begitulah kebanyakan
guru-guru di daerah-daerah terpencil itu, suka mangkir dari tugas.
Di pulau asing itu, salib ada di mana-mana. Tidak hanya di
gereja-gereja, namun juga di dinding-dinding rumah, di pohon-pohon kelapa.
Orang-orang selalu menyapa 'selamat pagi, Bapak' atau 'selamat malam, Ibu',
begitu ramah, meski segelas sopi hampir selalu setia mendampingi. Di tanah itu,
kita belajar tentang toleransi yang sebenarnya. Kita menghayati makna harmoni
dalam perbedaan dengan nyata. Menepiskan rasa saling curiga, meski baru pertama
berjumpa.
Begitu banyak pengalaman menakjubkan. Suatu sore, ketika kita
bertiga terayun-ayun di Kapal Marsela, bertolak dari Pelabuhan Tepa menuju
Pelabuhan Galala, Ambon, kita mendapatkan pengalaman yang bagi diriku, begitu
traumatis. Seekor kura-kura ditangkap para ABK. Kura-kura itu tubuhnya penuh
tali. Dia ditarik kuat-kuat dari laut, dan tubuhnya yang penuh luka itu
terhempas keras di dalam kapal. Semua orang mengerubunginya. Dirimu dan Mas
Heru sibuk memotret. Aku ikut mendekat, dan hatiku teriris-iris. Pedih. Dirimu
pasti masih ingat, mata kura-kura itu berair. Dia menangis. Dia kesakitan. Mata
itu, adalah mata yang memohon belas kasihan. Tapi tak ada satu pun dari kita
yang peduli. Aku beringsut masuk kamar, dengan kepala dipenuhi bayangan tentang
kura-kura yang kesakitan itu. Aku hanya bisa menuliskan kesedihanku. Aku terus
menulis dan menulis sampai larut malam. Sampai akhirnya tertidur dan
bayang-bayang kura-kura yang menangis itu terbawa dalam mimpi.
Selama dua malam di kapal Marsela itu, kita melihat
kerumunan orang di mana-mana. Mereka bermain kartu, sebotol sopi dan
gelas-gelas plastik ada di tengah-tengah mereka. Mushala mereka penuhi dengan
baju-baju, kasur, dan tikar untuk bermain kartu. Namun begitu mereka melihat
kita mengambil air wudhu, mereka semua semburat membuyarkan diri. Menggulung
tikar mereka, menghimpun kartu-kartu, gelas-gelas plastik dan botol sopi.
Dengan ramah dan sopan, mereka menyilakan kita menggunakan mushala untuk
shalat.
Kita, mungkin hanya kita, tiga orang yang berbeda di antara
mereka. Kita seperti tengah terdampar di dunia lain. Namun betapa mereka
menghargai keberadaan kita, dengan cara mereka. Mereka tahu kita perlu
ketenangan ketika kita bersujud di mushala yang menjadi ruang multifungsi itu,
namun mereka sedikit pun tidak mengusik. Mereka begitu indah dalam balutan
kulit hitamnya, mata bulat yang kadang bersemu merah. Bahkan dalam diam pun,
mereka begitu indah.
Lebih dari sepekan kita habiskan waktu untuk menelusuri
Pulau-Pulau Babar itu. Sinyal antara ada dan tidak. Begitu unik perilaku sinyal
di sana. Dia ada di pohon-pohon, ada di bukit-bukit terjal, ada di pantai.
Kadang ada di jendela-jendela. Seringkali dia seperti memenuhi ponsel kita,
tapi tak ada sesuatu pun yang kita bisa lakukan dengannya. Tidak bisa menelepon
dan mengirim SMS, namun SMS bisa masuk. Begitulah. Tidak salah jika mereka,
guru-guru muda yang kita kunjungi itu, menyebut sinyal di MBD adalah sinyal
parlente.
***
Pertengahan September tahun lalu kita kembali berpetualang.
Mendampingi sembilan belas guru muda yang akan mengabdikan diri di Kabupaten
Mamberamo Raya. Sebuah kabupaten baru di pelosok Papua.
Bersama kita, adalah dua orang kru sebuah stasiun televisi
swasta. Dirimulah yang akhirnya harus memandu mereka. Meski mereka cukup
berpengalaman, namun pengalaman dirimu sebagai jurnalis senior membuat mereka memerlukan
ide-ide yang berbeda dan cermerlang dari orang seperti dirimu.
Kita terbang dari Surabaya menuju Jayapura saat pagi masih
gelap. Sebuah perjalanan yang menyenangkan. Dengan anak-anak muda, yang
semuanya laki-laki, yang sangat bersemangat. Ya, tak ada seorang pun guru
perempuan yang kita bawa. Kondisi medan dan keamanan di Mamberamo Raya yang
belum terlalu menjanjikan membuat kita belum berani mengambil risiko dengan
menugaskan guru perempuan di sana.
Esoknya, dari Jayapura, kita menumpang bus menuju Kabupaten
Sarmi. Bus Damri milik pemerintah daerah. Selama sepuluh jam kita menempuh
perjalanan dengan kondisi jalan yang sangat bergelombang, dan melintasi ratusan
jembatan. Ya, ratusan jembatan. Hampir setiap kilometer kita melintasi jembatan
rusak atau jembatan yang setengah jadi sepanjang perjalanan sejauh dua ratus
kilometer lebih itu. Kalau ada laut bergelombang, di sinilah kita menemukan
daratan yang bergelombang. Beberapa dari anak-anak mabuk karenanya. Mereka
muntah-muntah, muka mereka pucat pasi, dan tubuh mereka nampak lemas.
Perjalanan yang begitu panjang dan melelahkan.
Ternyata itu baru awalnya saja. Esoknya, kita harus
menumpang speedboat, mengarungi Samudra Pasifik, menuju muara Sungai Mamberamo.
Tiga speedboat melaju di atas laut yang bergelombang, terhentak-hentak dengan
sangat keras. Selama tiga jam itu, sekali lagi, beberapa anak kita mengalami
mabuk laut. Kasihan mereka. Perjalanan dari Surabaya menuju Jayapura, ditambah
dengan perjalanan darat yang panjang dari Jayapura menuju Sarmi, telah membuat
mereka mengalami kelelahan yang cukup parah. Namun, meski wajah mereka
kelelahan, semangat mereka tidaklah padam. Semangat untuk mengabdi, mengambil
bagian dalam pembangunan pendidikan di ujung-ujung negeri.
Setelah tiga jam berspeedboat melintasi Samudera Pasifik,
tibalah kita di muara Sungai Mamberamo. Di sebuah rumah singgah di Warembori.
Kita sempat menyapa kampung nelayan yang ramah itu. Memasuki sebuah sekolah
dasar dan bercengkerama bersama para siswa dan guru yang hanya satu-satunya.
Bangunan sekolah itu terbuat dari kayu dan papan-papan. Beberapa kelas
disekat-sekat karena kelas tidak cukup untuk semua jenjang. Oya, meski
anak-anak itu sudah akan lulus SD, beberapa dari mereka masij belum bisa membaca
dengan lancar.
Tapi kita tentu saja tidak heran dengan kondisi itu. Kita
sudah mengunjungi berbagai pelosok negeri ini. Kemampuan baca tulis dan hitung
anak-anak di tempat-tempat yang nyaris tak terjangkau itu memang sangatlah
rendah. Pernah suatu ketika, di pelosok Sumba Timur, kita melihat seorang siswa
yang menghitung 24 + 16 = 13. Ya, dia mengitungnya dengan cara 2 + 4 + 1 + 6.
Lucu? Tentu saja tidak. Kita merasa begitu prihatin. Bodohkah dia? Juga tidak.
Dia hanya tidak mendapatkan pembelajaran yang benar. Dia hanya belum menemukan
seseorang yang tepat untuk mengajarinya berhitung dengan baik. Dia hanya perlu
waktu untuk membuktikan bahwa dia pun memiliki kemampuan yang cemerlang, sama
cemerlangnya dengan teman-temannya di kota. Dia hanya perlu tangan-tangan
lembut yang menyentuhnya dengan penuh kasih-sayang. Dia perlu sosok panutan.
Dia perlu guru-guru yang mampu membangkitkan kecintaannya pada belajar dan ilmu
pengetahuan.
Suatu ketika, di sebuah sekolah, diriku bertanya pada
seorang siswa. Dia ada di antara belasan temannya yang mengerumuniku. Baju
mereka semua lusuh, sebagian ada yang koyak-koyak. Bau badan mereka, maaf,
begitu tak sedap, sepertinya jarang sekali mandi. Mereka anak-anak ingusan,
dalam arti yang sebenarnya. Ya, hidung mereka hampir semuanya beringus.
"Selamat pagi..." Sapa diriku.
"Selamat pagi.." Jawab mereka malu-malu.
"Siapa namamu?" Tanyaku, pada seorang anak,
sembari memasang senyum termanisku.
Tapi anak itu diam saja. Aku bertanya pada seorang anak di
sebelahnya. Sama. Anak perempuan mungil yang manis tapi dekil itu hanya diam.
"Ibu jangan begitu bertanyanya." Kata seorang
guru, yang ada di antara mereka, dan sejak tadi memperhatikanku.
"Maksudnya?"
Guru itu mendekat pada seorang anak.
"Siapa kamu punya nama?" Tanyanya, dengan logat
yang sangat khas.
"Melki." Jawab anak itu.
Diriku tercengang. Serta merta aku menyadari, betapa tidak
kontekstualnya caraku bertanya. Mereka sama sekali tidak mengenal struktur
kalimat pertanyaanku, meski itu benar dari kaidah bahasa. Mereka, lebih-lebih,
sama sekali tidak mengenal logatku.
Kembali ke perjalanan kita menuju Mamberamo Raya. Dari rumah
singgah di Warembori, kita melanjutkan perjalanan menuju Kasonaweja. Tentu saja
setelah menyantap makan siang yang disiapkan oleh ibu kepala sekolah. Menu
makan siang yang sangat spesial. Nasi putih, mie instan rebus, dan ikan kering.
Perjalanan ke Kasonaweja begitu menegangkan. Selama empat
jam kita terhentak-hentak dalam speedboat yang sedang melaju di atas sungai
Mamberamo. Ya, sebenarnya hanya sungai, namun arus deras di bawahnya membuat
perjalanan tidak terlalu aman. Tetapi ketegangan kita semua terhibur dengan
pemandangan di sepanjang perjalanan yang begitu indah, meski sejauh mata
memandang hanyalah bentangan air dan air. Juga tertutup dengan niat kuat dan
pikiran positif. Tuhan akan melindungi kita, melindungi orang-orang yang sedang
berjuang di jalan-Nya. Menggapai tempat-tempat terjauh demi sebuah pengabdian
mencerdaskan anak-anak negeri, bukankah itu bisa dikatakan berjuang di
jalan-Nya? Kalau pun terjadi sesuatu pada kita semua, Tuhan telah memilihkan
jalan terbaik untuk menemui-Nya. Jalan jihad. Jalan orang-orang yang dijanjikan
tempat terindah di surga-Nya. Namun, syukurlah, Tuhan begitu mengasihi kita,
mengasihi anak-anak di pelosok-pelosok itu, sehingga memberi kita kesempatan
dan kesempatan lagi untuk mengunjungi mereka, berbagi ketulusan dan kepedulian.
Kasonaweja tercapai saat hari sudah menjelang sore namun
cuaca begitu panas. Benar apa yang dikatakan kepala dinas pendidikan Mamberamo
Raya. Tentang cuaca, orang mengatakan, "hujan sungguh mati, panas sungguh
mati." Menandakan hujan yang tak pernah absen, dan bahkan hampir selalu
menyebabkan banjir tahunan. Sekaligus, karena Mamberamo Raya menghampar di atas
batubara, maka panasnya juga luar biasa.
Sumba Timur, Maluku Barat Daya, dan Mamberamo Raya, adalah
tiga tempat yang begitu berarti bagi kita. Beberapa karya buku telah terlahir
untuk mengabadikan keindahannya dan juga suka duka perjuangan para guru muda
itu. "Jangan Tinggalkan Kami," "Berbagi di Ujung Negeri",
dan "Memeluk Pelangi Negeri Kalwedo", telah menjadi saksi semua
keindahan dan perjuangan itu. Namun, sedihnya, meski dirimu sudah menuntaskan
"Memeluk Pelangi Negeri Kalwedo", dirimu ternyata tidak sempat
melihat wujud akhirnya. Dirimu pergi saat buku itu belum selesai dicetak. Cover
di buku itu adalah karyamu, tata letaknya juga, baris-baris setiap kalimat di
dalamnya, begitu kental oleh sentuhanmu.
Setidaknya, telah dirimu tinggalkan semuanya itu untuk kami
semua sebagai warisanmu.
***
Siang ini, kuterima SMS dari sahabat kita, Sirikit Syah.
"Bu, aku dan teman-teman siap mengajar di kelas
literasi besok siang. Bu, jadi ingat Mas Rukin. Pingin nangis rasanya...."
Diriku sebenarnya sudah tidak mau lagi membiarkan kesedihan
terus-menerus memberati hatiku. Sudah dua minggu berlalu, sejak kami mengantar
dirimu ke peristirahatan terakhirmu. Sejak saat itu, hari-hariku dipenuhi
dengan bayang-bayangmu. Meratapi terus kepergianmu. Menangis setiap kali
mengingatmu. Mempertanyakan pada Tuhan, kenapa harus dirimu, yang begitu kami
butuhkan? Setiap saat kuhadirkan doa, berharap Tuhan mengampuni semua dosamu,
dan merengkuhmu dalam dekapan hangat-Nya. Memberikan surga terindah-Nya.
Seperti keindahan yang telah dirimu taburkan di mana-mana.
"Kukenang dirimu dengan begitu indah." Begitu
sebuah bunyi status di akun facebook seorang mahasiswa. Dia, dan juga
teman-temannya, begitu merasa kehilangan. Gambar-gambarmu terpasang di status
akun mereka. Saat dirimu ada di pelosok-pelosok wilayah tempat penugasan
bersama mereka. Juga saat dirimu ada di kelas, ada di ruang seminar, di
lorong-lorong gedung, mengajari mereka
tentang literasi.
"Dirimu tidak hanya mengajari kami bagaimana menulis
dengan baik, namun juga mengajari kami bagaimana menjalani kehidupan dengan
berguna." Begitu kata seorang mahasiswa. Dirimu telah membuatnya yakin
bahwa dia bisa dan mampu menulis, dan tulisan-tulisannya itu akan menjadikan
hidupnya lebih berarti.
Terlalu banyak yang sudah dirimu lakukan untuk kami. Terlalu
banyak goresan tinta yang telah dirimu tuliskan tentang anak-anak negeri.
Terlalu banyak kesedihan dan keprihatinan dari tempat-tempat terjauh itu, yang
telah dirimu kabarkan kepada setiap orang. Berharap itu semua akan mengetuk
hati para penguasa negeri, para guru, para orang tua, para pejabat, siapa pun
juga, untuk lebih peduli mengurus pendidikan. Memastikan mereka di titik-titik
terjauh dari NKRI ini tersentuh dan tak terabaikan.
Sore ini, diriku berkendara dari bandara Juanda sepulang
dari tugas luar kota, menuju rumah. Saat melintasi tempat di mana kecelakaan
itu terjadi, kecelakaan yang merenggut nyawamu, dadaku bedegup kencang. Hatiku
menangis pilu. Pagar oranye yang berjajar di sepanjang jalan yang menjadi
pembatas untuk kendaraan umum itu, yang dipasang sejak kecelakaan itu terjadi,
semakin merobek-robek hati. Kenapa baru sekarang pagar pembatas itu dipajang?
Kenapa harus menunggu korban jatuh dulu? Kenapa harus dirimu yang jadi tumbal?
Beberapa hari yang lalu, saat diriku melintas di jalan ini,
kulihat ada karangan bunga di tempat di mana dirimu tergilas bus gila itu.
Beberapa hari yang lalu, selama beberapa hari, orang-orang melakukan tabur
bunga di tempat itu. Media massa menulis tentang kecelakaan yang menimpa
dirimu, membeberkan betapa bobroknya pengaturan lalu-lintas di tempat itu,
betapa tak berdayanya para petugas untuk melakukan penertiban, betapa tak
beradabnya para supir kendaraan umum. Meski di sana sudah terpasang rambu-rambu
jalan, semuanya itu tak ada gunanya.
Negeri ini mungkin ditakdirkann untuk menjadi negeri yang
haus tumbal. Sekolah diperbaiki setelah ada
siswa yang terluka atau meninggal karena tertimpa langit-langit yang
runtuh. Bendungan dibuat setelah sungai meluap dan menelan puluhan bahkan
ratusan korban banjir. Pelajaran tanggap bencana diajarkan di sekolah-sekolah
setelah terjadi tsunami dan gunung meletus yang meluluh-lantakkan sebagian
negeri. Penyuluhan anti narkoba dan penyakit kelamin dilakukan di mana-mana setelah
ribuan bahkan jutaan orang terpapar dan terjangkiti. Dan kini, di tempat itu,
pagar pembatas dipasang setelah terjadi kecelakaan yang meminta korban. Dan
korban itu adalah dirimu.
Bagaimana pun, meski harus mempertaruhkan nyawa, dirimu
telah berhasil membuka mata semua orang untuk menyadari betapa lemahnya
penegakan hukum dan peraturan berlalu-lintas. Ya, bahkan setelah dirimu
berpulang pun, dirimu masih meninggalkan hikmah untuk kita semua. Masih
memberikan kemanfaatan bagi sesama. Setidaknya, setelah kejadian kecelakaan
yang menimpa dirimu itu, lalu lintas di tempat itu menjadi lebih teratur, dan
memberikan kenyamanan bagi setiap pengguna jalan.
Dirimu memang sudah tiada. Namun dirimu akan selalu
menyemangati siapa pun yang pernah mengenalmu. Lihatlah, di kelas-kelas itu,
sahabat-sahabat kita tetap bertahan mengajarkan literasi pada para calon
pendidik yang datang dari segala penjuru Tanah Air itu. Sirikit Syah, Much.
Khoiri, Eko Prasetyo, Anwar Djaelani, mereka semua mengisi kelas-kelas di mana
anak-anak muda itu belajar tentang menulis dan tentang kehidupan. Ya,
seharusnya dirimu ada di sana, ada di antara mereka. Bukankah dirimu yang telah
memulai semuanya ini? Tapi, baiklah, apa boleh buat, Tuhan berkehendak lain.
Dia memanggilmu begitu cepat karena Dia begitu mencintaimu. Tapi, seperti kata
sahabat kita, Sirikit Syah, semangatmu terus hadir bersama kami semua.
"You may have died, dear friend
But the memory of you will stay forever
I promise to continue our journey, even without you...
With you, in spirit...."
Dan orang baik itu, dirimu, sekarang sudah pergi, pergi
untuk selamanya
Namun kenangan-kenangan itu tak mungkin sirna
Hal-hal baik yang telah kau wariskan
Juga ribuan cita-cita yang masih kau gantungkan
Semangat yang tak pernah padam untuk mengabdi pada kehidupan
Sahabat,
Kulantunkan Al Fatihah dan doa-doa,
Untuk mewakili kesedihanku, menggantikan cucuran air mataku,
menyiratkan rasa kehilanganku
Di sini, aku, sahabatmu
Dan ratusan rekan baikmu, ratusan pendidik muda generasi
setelahmu
Hanya mampu mengucap
Selamat jalan, sahabat kami, bapak kami, guru kami
Allah telah memanggilmu ke pangkuan abadi-Nya
Dalam rengkuhan kasih sayang-Nya
Semoga kau damai selalu di sisi-Nya
Surabaya, 15 September 2014
(Mengenang 40 hari berpulangnya sahabat Rukin Firda, 10
September 2014).