Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Anjangsana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Anjangsana. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Maret 2023

Ke Bogor

 


Kalau kemarin saya silaturahim ke rumah Mbak Nani Sujarwo untuk mengisi akhir pekan saya, hari ini saya menjadwalkan diri mlipir ke Bogor.

Berangkat pukul 08.00 dari apartemen, langsung Bogor. Kali ini bersama Mbak Tika dan Mas Ardi, tentu saja dengan Mang Atek, driver andalan.

Kunjungan pertama di rumah kakak di Kompleks IPB Sindangbarang, Mbak Prof Dindien dan Bang Palla. Lantas kami bareng-bareng ke perumahan Budi Agung, sowan Mbak Tatik dan Mas Prof Bowo. Kami sudah puluhan tahun tidak ketemu. Begitu ketemu, tahu-tahu sudah sama-sama tua. He he. Mbak Tatik sudah purna sejak 2020 yang lalu, dan Mas Bowo purna tahun ini. Keduanya dosen IPB, sama halnya Mbak Dindien dan Bang Palla.

Dari rumah Mbak Tatik, masih dengan Mbak Dindien dan Bang Palla, kami menuju RS Mulia, bezuk Mas Bambang yang sedang dirawat di ICU, semoga Allah SWT memberikan yang terbaik. Amiin. Di sini bertemu dengan Mbak Dien, isteri Mas Bambang. Bertemu juga dengan Mbak Jeane dan Mbak Wiwik. Mereka semua adalah kakak sepupu Mas Ayik Baskoro Adjie .


Dari RS, kami mampir makan siang di Rahayu, restoran yang tidak terlalu jauh dari RS. Dari sana, balik lagi ke rumah Mbak Dindien dan Bang Palla, numpang shalat, ngobrol-ngobrol sambil menikmati sukun kukus, pisang goreng, dan es kopyor.

Lantas kami pamit, dan menuju rumah Dik Farijah Nur Chayati , adikku yang manis dan imut. Rumahnya di Jalan Sholeh Iskandar. Ngobrol ngalor ngidul ngetan ngulon. Sekitar pukul 16.00, kami pamit.

Meluncur balik Jakarta. Semakin malam, kalau hari Minggu begini, macet yang semakin parah ada di mana-mana. Jadi sebelum terjebak macet berkepanjangan, kami ngibritlah.....

Alhamdulilah, menjelang maghrib sudah sampai apartemen lagi.

Saatnya anak kost ini untuk umbah-umbah dan setriko. Hehe.

Nana dan Nani


Akhir pekan ini, saya tidak pulang ke Surabaya. Stay di Jakarta saja. Setelah beberapa minggu mondar-mandir menyesuaikan dengan agenda dinas keluar kota yang berkejaran susul-menyusul, saya ingin minggu ini ada waktu untuk agak rileks. Ya, tentu saja sambil ngempet rasa kangen pada keluarga, terutama para cucu. Kalau kangen sama mbah-e cucu sih, sudah terlatih sejak dulu. Jadi tidak terlalu menyiksa. Hehe

Saya memanfaatkan waktu untuk bersilaturahim. Begitulah bila pada akhir pekan saya  berada di Jakarta. Sowan-sowan saja. Banyak saudara dan teman di Jakarta dan sekitarnya yang saya ingin kunjungi.

Hari ini saya berkunjung ke rumah Mbak Nani Sujarwo , ditemani Mbak Tika, staf Kemendes PDTT, dan Mang Atek, driver.  Mbak Nani adalah teman sekolah saya di SMP Filial Tuban dulu.

Mbak Nani mempunyai saudara kembar, namanya Mbak Nana Sundjojo . Sebetulnya nama mereka berdua adalah Susriratna (Nana) dan Susriratni (Nani). Nama di belakang nama mereka, untuk Mbak Nani adalah nama suami, sedangkan untuk Mbak Nana, adalah nama ayah.

Mbak Nani dan Mbak Nana, keduanya adalah teman SMP saya. Saya sendiri tidak pernah sekelas dengan mereka. Tapi hampir semua siswa di sekolah kami saat itu, mengenal mereka berdua.

Anak kembar memang selalu menarik perhatian dimana pun. Apa lagi mereka berdua, yang selain cantik, anggun, ramah, juga baik hati. Tidak sombong. Malah terkesan sangat rendah hati. Kesan itulah yang ada di benak saya tentang mereka berdua dulu. Dan kesan itu tidak berubah, sampai sekarang.

Dulu, saya tidak pernah bisa membedakan, yang mana Mbak Nani dan mana Mbak Nana, kalau mereka sedang sendiri-sendiri. Postur dan tinggi badan sama, model rambut sama, sama-sama berlesung pipit. Tetapi kalau mereka sedang berdua, saya bisa menyebut namanya dengan benar. Saya lupa, apa ciri khas keduanya, tapi itulah, saya hanya bisa mengidentifikasi dengan benar kalau mereka sedang berdua.

Nah, ternyata hal itu berlanjut sampai sekarang. Saya masih saja melihat mereka berdua sama persis. Bahkan karena saat ini kami jarang bertemu, saya semakin tidak bisa membedakannya. Tetapi karena Mbak Nana tinggal di Tuban, dan Mbak Nani tinggal di Jakarta, saya yakin, yang saya kunjungi pagi ini adalah Mbak Nani. Heheh.

Uniknya, Mbak Nani dan Mbak Nana sama-sama mempunyai hobi memasak, khususnya bikin kue. Saya pernah berkunjung ke rumah Mbak Nana di Tuban, saya disuguhi kue bikinannya sendiri. Sering juga kalau ada acara pertemuan dengan teman-teman, Mbak Nana membawa kue bikinannya. Kue yang enak-enak dan cantik-cantik kayak yang bikin.

Hari ini, di rumah Mbak Nani, saya disuguhi crepe mille dan pizza bikinan Mbak Nani sendiri. Lezatnya mantap. Sambil ngobrol, kami menikmati gurihnya pizza dan legitnya crepe mille. Ditemani segelas teh manis.

Pulangnya, kami masih dibawain sekotak pizza dan sepotong besar crepe mille. Wow. Benar-benar program penggendutan ini. Hehe. Cocok untuk anak kost kayak saya.

Alhamdulilah. Terima kasih ya, Mbak Nani. Berkah, berkah.

Jakarta, 11 Maret 2023

Minggu, 07 Agustus 2022

Kang Zainal


Namanya Zainal Muttaqin. Kami memanggilnya Kang Zainal. Panggilan khas untuk semua santri laki-laki di pondok kakek kami, Kyai Chusain.

 

Kang Zainal, meskipun tidak mondok di pondok kakek saya-- waktu dia mondok, kakek saya sudah meninggal-- kami tetap memanggilnya Kang. Bapak kami menempatkannya di rumah, bukan di pondok. Dia disediakan kamar depan, makan sehari-harinya Ibu kami yang mengurusnya.

 

Ya, Kang Zainal yang asli Brebes ini diistimewakan oleh keluarga kami. Dia tuna netra. Makanya dia ditempatkan di rumah. Bapak dan Ibu tidak sampai hati menempatkannya di pondok, pasti dengan pertimbangan tertentu. Bapak saya setiap hari mengajarinya membaca Al Quran huruf braille, setelah mengajar para santri di pondok.

 

Itulah kenangan yang tersisa di memori saya tentang Kang Zainal. Saya masih SMP saat dia mondok di rumah. Setiap habis mengaji dan sarapan, dia berdiri mematung di halaman rumah, sambil bibirnya bergerak-gerak menghafal ayat-ayat yang baru saja dibacanya bersama Bapak.

 

Tiba-tiba, beberapa hari yang lalu, ada pesan masuk di ponsel saya. "Assalamualaikum wr wb. Saya Zainal Muttaqin."

 

Sejenak saya bertanya-tanya, siapa Zainal Muttaqin? Begitu saya lihat profilnya, masyaallah, saya seperti tak percaya, dialah Kang Zainal. Waktu puluhan tahun pasti sudah mengubahnya sedemikian rupa, namun saya masih bisa melihat dengan utuh sosoknya.

 

Kang Zainal bercerita, dia sekeluarga baru saja bersilaturahim ke rumah kami di Jenu-Tuban pertengahan Juli, sekitar sebulan yang lalu. Dia memperoleh nomor saya dari kakak saya, Mas Zen Zainal Makarim Azach .

 

Hari ini saya bersilaturahim ke rumahnya di Purwakarta. Bersama beberapa kolega dari Kemendes PDTT, karena semalam kami berkegiatan bersama para TPP Kabupaten Purwakarta.

 

Kami menemuinya saat dia sedang duduk di halaman belakang rumahnya yang terbuka dan menghadap perbukitan dan hutan. Ya, tempat tinggalnya memang dekat sekali dengan hutan, hanya sekitar satu kilometer dari tempat yang dinamakan Ujung Aspal. Benar-benar ujung aspal, karena setelah itu, tidak ada jalan lagi. Mentok hutan pinus. Kami berkesempatan healing juga ke hutan pinus itu, yang sudah disulap menjadi tempat wisata yang sangat menarik.

 

Wajahnya yang tenang dan teduh tak berubah meski garis-garis usia nampak begitu jelas. Jenggot panjang yang telah memutih melengkapi penampilannya. Dengan balutan baju gamis putih, kulitnya yang putih nampak semakin bersih. Tentu itu karena cahaya yang memancar dari kemurnian hatinya juga. Dari ketawadhu'annya. Dari keshalehannya.

 

Kami mengobrol, saling bercerita, bersama isterinya. Anaknya enam, semua mondok. Setiap bulan keluarganya mengadakan mauludan, setiap tahun mengadakan haul. Dia meng-haul-kan orang tua dan guru-gurunya, termasuk bapak saya, Abah Zawawi, begitu dia menyebutnya. Sesekali dia mengumpulkan anak-anak di lingkungannya, di antaranya adalah anak yatim. Dia juga hobi bersilaturahim ke sanak-saudara dan handai taulan, juga membiarkan pintu rumahnya terbuka untuk siapa pun orang yang ingin bertamu dengannya.

 

Kang Zainal, sampai pada usianya yang menjelang enam puluh tahun ini, hidup dengan sederhana tapi sangat layak. Dia tinggal di rumah yang besar dan nyaman meski sederhana, isterinya yang pintar memasak bisa berbelanja saban hari, dia juga memiliki kendaraan roda empat yang  juga nyaman.

 

Jangan ditanya berapa banyak pemasukannya per bulan. Dia tidak pernah bisa menjawab. Tapi dia mungkin masih bisa menjawab saat ditanya berapa pengeluarannya per bulan. Untuk membiayai keenam anaknya di pondok, mengumpulkan para kerabat untuk acara mauludan, menjamu tamu-tamu yang nyaris tak pernah jeda, membiayai perjalanannya dalam rangka silaturahim dan ziarah, pastilah belasan atau bahkan puluhan juta dia keluarkan. Dia bilang, rezekinya dikirim Allah, semata berkah dari para gurunya.

 

Keikhlasannya, keistiqomahannya, ketaatannya, kesyukurannya, membuat dia sekeluarga menjalani hidup dengan bahagia dan apa adanya. Kecintaannya pada Allah dan Rasul, kecintaannya pad Al Quran, benar -benar telah membuat hidupnya selalu berkecukupan.

 

"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan melaksanakan shalat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak merugi, agar Allah menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karunianya" (QS Fathir: 29-30).

 

Purwakarta, 6 Agustus 2022

Sabtu, 05 Juni 2021

Benteng Van de Bosch

Hari ini kami bersilaturahim ke Ngawi. Ke rumah salah satu anggota paguyuban haji Hidayah Mabrur 2009. Ya, sejak bersama-sama beribadah haji pada 2009, alhamdulilah rombongan haji kelompok kami sampai sekarang masih solid. Pertemuan setiap tiga bulan sekali. Kadang di rumah salah satu anggota di Surabaya, kadang di rumah asalnya, seperti pertemuan yang lalu di Tuban, dan sekarang di Ngawi. Kadang ke tempat wisata seperti di Batu, Tretes, Sarangan. Kadang ziarah wali, kadang berkunjung ke panti-panti. Pokoknya setiap pertemuan, selalu diisi dengan kegiatan yang menyenangkan dan insyaallah bermanfaat, selain--tentu saja--yasin dan tahlil sebagai agenda wajib. Termasuk mengirim doa pada teman-teman yang sudah mendahului, yang sampai saat ini sudah 13 orang, dari 54 anggota.

Anggota paguyuban, tentu saja, sudah pada berumur. Saya saja sudah kepala lima, meskipun pada saat berangkat dulu, termasuk masih muda.....ehm....sok muda, padahal juga sudah kepala empat. Namun semangat bersilaturahim mereka, sungguh mengagumkan. Begitu istiqomah. Juga kedisiplinan pada waktu. Kita-kita yang  lebih muda ini sampai sering malu pada diri sendiri karena kalah jauh dengan beliau-beliau untuk urusan itu.

Setiap kali ada kegiatan keluar kota, maka titik kumpulnya di rumah kami. Sarapan dulu dan menikmati kopi dan teh. Mobil dan sepeda motor bisa diparkir dengan aman, dan bus yang akan membawa kami juga bisa masuk leluasa sampai depan rumah.

Nah, hari ini, selain bersilaturahim, kami juga menyempatkan diri mengunjungi Benteng Van de Bosch. Lokasinya kebetulan tidak terlalu jauh dari rumah yang kami kunjungi. Tapi saya belum tahu banyak tentang kisah benteng ini ya. Sementara gambar-gambarnya dulu ya.

Begitulah yang hampir selalu kami lakukan. Bersilaturahim, diselingi dengan berwisata, termasuk wisata religi. Namun karena para anggota sudah banyak yang sepuh, tujuan wisatanya yang tidak terlalu sulit untuk dijangkau. Itu pun juga fleksibel, yang pingin berwisata bisa turun, yang tidak, tetap menunggu di bus atau di mobil. Kalau ini yang terjadi, maka kami berwisata dengan cepat, supaya yang di mobil tidak terlalu lama menunggu. Pokoknya yang penting semua happy....

Selasa, 16 Juni 2020

Haul Pakdhe di Boyolali


Kami bertiga, Mas Ayik Baskoro Adjie, saya, dan Cak Jum. Berangkat dari Surabaya pukul 14.30-an, masuk Boyolali pukul 18.00-an. Istirahat beberapa kali di rest area, masjid, dan Indomaret, total waktu sekitar 1 jam 15 menit. Surabaya-Boyolali kami tempuh dalam waktu tidak lebih dari 4 jam dengan kecepatan sekitar 100. Terasa begitu dekat.

Ya, karena kami hampir setiap tahun touring ke Solo dan Boyolali. Silaturahim ke tempat kelahiran ibu, sowan ke pakdhe budhe, paklik bulik, saudara dan kerabat. Perlu waktu sekitar 8 jam bahkan lebih.

Sekarang, hanya perlu waktu tidak lebih dari 4 jam. Menyenangkan sekali.

Haul Pakde Tamam, kakak ibu saya, meriah sekali malam ini. Tamu berdatangan dari berbagai tempat. Para kyai dan bu nyai, para santri dan mantan santri sejak Mbah Kakung kami, Kyai Shoimuri, juga memenuhi ruangan. Para keponakan dari Surabaya, Tuban, Rembang, Solo, Sragen, Yogya, berkumpul. Masyaallah, mereka semua hadir untuk membaca tahlil, manaqib, mendengarkan mauidhoh dari beberapa kyai, khususnya Kyai Yahya Cholil Staquf.

Karena kyai yang saya sebut terakhir ini adalah saudara sepupu kami semua, maka kami pun memasang pagar betis untuk mengevakuasinya. Mendudukkannya di tikar dan berfoto serta bersenda gurau sebelum akhirnya beberapa Banser menjemputnya dan membersilakannya duduk di panggung.

Dik Yahya, begitu kami memanggilnya, sangat humble. Dekat sekali dengan kami semua dan juga dengan siapa saja. Pernah menjadi juru bicara Presiden Gus Dur. Saat ini masih menjadi salah satu anggota Watimpres Jokowi. Beberapa waktu yang lalu sempat menjadi sangat fenomenal sekaligus kontroversial karena kunjungannya ke Israel.

Ceramahnya malam ini begitu bernas, lugas, lucu, mencerahkan.

Momen haul seperti ini bagi kami tidak hanya momen untuk memperingati 'pendak tahun' wafatnya pakde, mbah kakung, paklik, atau bapak kami. Namun juga sekaligus ajang silaturahim.

Semoga Allah SWT senantiasa menghimpun kami semua di dunia dan akhirat, bersama Rasulullah SWT dan semua pengikutnya.
Amiin YRA.

Boyolali, 16 Juni 2019

Minggu, 09 Februari 2014

Trayek Baru

Pukul 10.30. Saya kembali menginjakkan kaki di Bandara Ahmad Yani, Semarang. Berangkat dari Surabaya sekitar empat puluh menit yang lalu, menumpang Garuda tipe Bombardir. Pesawat langsing itu tadi mendarat dengan mulus di landasan pacu yang basah. Mendung gelap menyambut saya.

Dengan menumpang taksi, saya menuju Ngaliyan, ke jalan Taman Karonsih. Ke rumah mbak Ning, sahabat saya, dosen Unnes. Tadi sewaktu masih di Bandara Juanda, sebelum masuk pesawat, kami sudah bertelepon. Saya bilang kalau akan singgah di rumah mbak Ning, karena acara rapat di Hotel Patra Jasa masih akan dimulai nanti sore. Ada cukup banyak waktu untuk melakukan hal lain, dari pada bengong di hotel. Inilah kalau jadwal penerbangan terbatas. Meski rapatnya sore, siang sudah sampai di tempat tujuan. Tidak ada penerbangan sore hari dari Surabaya ke Semarang.

Sampai di rumah mbak Ning. Tidak banyak yang berubah. Masih sama keadaanya saat saya datang sekitar setahun yang lalu. Mbak Ning sedang berdua saja dengan anak ragilnya. Somiya, anak perempuan mbak Ning itu, baru kelas 5 SD. Hitam manis dan mahal senyum. Entah kenapa siang ini suasana hatinya seperti sedang buruk. Bicaranya judes dan uring-uriangan. Ibunya hanya senyum-senyum saja menghadapi ulahnya.

"Ya begitu itu...." Kata mbak Ning kepada saya. "Bawaannya uring-uringan melulu."

Mbak Ning bilang, sejak mas Joko, suaminya, meninggal tiga tahun yang lalu, sifat Somiya yang aslinya ceria berubah jadi suka uring-uringan. Kadang-kadang tak jelas apa sebabnya. Seperti tidak siap kehilangan bapaknya.

Listrik sedang padam siang ini. Mbak Ning belum masak nasi. 
"Listrik mati, dik....belum masak, piye iki?"
"Makan di luar aja, mbak..." 
"Ngono yo..."
"Iyo. Ke KFC aja."
"Wah, lha sing seneng yo anakku..." Mbak Ning melirik Somiya. "Iyo to, Som?"
Anak perempuan itu spontan tersenyum. Matanya berbinar-binar. 
"Ayo, ganti baju sana..." Kata ibunya.

Saat mbak Ning dan Somiya sedang bersiap-siap, Gala, anak kedua mbak Ning, pulang dari sekolah. Anak laki-laki kelas 2 SMP itu langsung menyalami saya, dengan senyum terpaksa. Memang seperti itulah anak-anak mbak Ning. Semuanya mahal senyum. Tapi kalau sudah bergaul beberapa saat, mereka akan cair. 

"Ayo, ikutan sekalian ke KFC, mas Gala." Ajak saya.

Kami bertiga pun turun. Garasi ada di bawah. Rumah mbak Ning ini memang seperti di atas bukit. Juga rumah-rumah yang lain di Jalan Taman Karonsih ini. Kalau kita berdiri di teras dan melihat jauh ke depan, rumah-rumah dan jalan-jalan ada di bawah kita. Sebelum ada rumah-rumah itu, di depan itu dulunya adalah hamparan lembah dan pepohonan. 

Karena Indra, anak pertama mbak Ning belum datang, saya terpaksa harus pegang setir. 
"Tante Luthfi yang nyetir ya..." Kata mbak Ning. Dia belum bisa bawa mobil. "Wah, maaf ya, dik...tamu adoh-adoh, malah dikongkon dadi supir ki piye..."
"Wis ra popo, mbak. Sing penting jelas itungane." 
"Lha yo kuwi, kuat ra yo bayare? Supir profesor ki....larang...."
"Profesore ora larang mbak, tiket pesawate sing larang..."

Kami berempat melaju. Keluar dari kompleks perumahan yang mirip perbukitan itu. Mobil mbak Ning masih baru, Ertega 2013. Warnanya merah burgundy. Saya langsung lanyah pada pijakan pertama. Tidak perlu waktu untuk beradaptasi.    

Saya sendiri sudah terbiasa nyetir. Trayeknya lumayan. Antar kota antar provinsi. Pernah kami sekeluarga berlibur ke Bali, pulangnya mas Ayik kelelahan. Saya menggantikan dia nyetir mulai Banyuwangi sampai Surabaya, nonstop. Pernah juga dari Madiun sampai Surabaya, dari Sragen sampai Ponorogo. Trayek Surabaya-Tuban PP malah sudah langganan. Waktu menempuh S3 di Malang, saya juga biasa nyetir sendiri ke Malang. Senin pagi berangkat, kuliah dua hari di sana, nginap di rumah budhe di Sengkaling, Rabu balik ke Surabaya. 

Meski sekarang ke mana-mana lebih suka jadi juragan, duduk manis di mobil, tapi sesekali saya kangen nyetir sendiri. Kadang-kadang saya sengaja yang pegang setir kalau pergi ke Tanggulangin, menengok bapak ibu. Sesekali juga saya yang minta mas Ayik dan Arga jadi penumpang saja, sementara saya yang nyetir putar-putar Surabaya. 

Saat ini, saat saya pegang setir menyusuri kota Semarang, seperti memenuhi rasa kangen saja. Tentu saja ini trayek baru. Ya, hitung-hitung memperluas daerah kekuasaan...

Semarang padat. Berkali-kali mobil kami terjebak macet. Di KFC jalan Pandanaran pun, susah cari tempat parkir. Tapi karena supirnya lihai (ehm...), tempat parkir pun akhirnya berhasil kami dapatkan.

Kami menikmati makan siang tepat waktu, tepat pada saat perut lagi lapar-laparnya. Wajah Gala dan Somiya cerah, tidak lagi galau seperti tadi. 

"Tante Luthfi yang traktir."
"Lho, jangan, Te...." Cegah mbak Ning. "Aku wae....wis teko adoh-adoh disuruh nyupir, masih mau nraktir juga..."
"Lek gak mau ditraktir, mobile supirono dewe..."
Tawa kami pecah. 
"Si Endut aja biar nyurung mobile nanti..." Kata Gala menggoda adiknya. Somiya nggak peduli. Asyik menikmati makanannya. Tidak rugi mentraktir gadis kecil itu. Dia melahap makanannya dengan porsi yang jauh melebih porsi kami bertiga. Ibunya geleng-geleng kepala. Saya dan Gala tertawa ngakak melihat ketidak peduliannya.

Setelah memesan satu porsi untuk dibawa pulang, untuk oleh-oleh bagi Indra, kami masuk mobil lagi. Menyusuri jalan-jalan kota Semarang yang padat. Melintasi Lawang Sewu, Tugu Muda, dan tempat-tempat bersejarah lainnya. 

Saya senang bisa menyempatkan singgah di rumah mbak Ning dan bertemu dengan anak-anaknya. Bisa sedikit berbagi kebahagiaan. Kepergian mas Joko, meski sudah tiga tahun yang lalu, sepertinya masih menyisakan kepedihan. Tapi, seperti kata mbak Ning...."Mosok aku arepe nangis terus dik....lak yo mesakne anak-anakku..".  

Saya pamit selepas ashar. Setelah menyelipkan beberapa lembar uang untuk Somiya dan kakak-kakaknya. Jumlahnya tidak seberapa. Namun saya tahu, kehadiran saya lebih besar artinya daripada rupiah itu....

Semarang, 8 Februari 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 26 Januari 2014

Kencan Sore Ini

Selepas mengecek dan menunggui kegiatan Ujian Tulis Nasional (UTN) PPG SM-3T sore ini, saya ditelepon seorang teman. Tri Widyaningrum, teman saya itu, bilang kalau beberapa menit lagi dia akan tiba di Kampus Ketintang, dan akan menjemput saya untuk bertemu dengan teman-teman yang lain. 

Ida, nama panggilan teman saya itu, memang sejak beberapa hari yang lalu sudah menghubungi saya dan minta bertemu.
"Prof, apa kabar?" Tanyanya di BB waktu itu.
"Hallloooo, Ida membleee...." Teriak saya di BB. Kaget campur senang. Kawan saya itu memang julukannya Ida Memble. Itu karena dia punya bibir memble (baca: sensual). 

Dia langsung tertawa ngakak. Terlihat dari emoticon tertawa lebar di BB saya. "Maluuuu akyuuu...." Katanya. "Kangen rekkkk.... Ketemuan yuk, diluuutt aja. Tak jemput"
"Ayo, kapan?"
"Kapan prof ada waktu, aku nyesuaikan saja. Ntar kuhubungi Yanti, Ridha, dan yang lain.

Yanti, Ridha, Ida dan saya, adalah teman seangkatan waktu kuliah. Meski berbeda jurusan, ketiganya jurusan Administrasi Perkantoran,  kami cukup akrab. Ya, karena kami sama-sama anggota Himapala.

Anggota Himapala di angkatan kami saat itu, seingat saya, jumlahnya hampir seratus orang, kalau tidak malah lebih. Ceweknya lebih banyak dari cowoknya. Seingat saya juga, ceweknya cantik-cantik (maksudnya bukan termasuk saya lho....saya sih manis, hehe). Ida, terhitung yang cantik. Yang lain, banyak sih... Tapi pada umumnya memang cewek-cewek Himapala cantik-cantik kok....(narsis.com).

Ida adalah pramugari Garuda. Tahun ini dia cuti terbang. Dua anaknya, nomor satu kelas 3 SMA, yang satu lagi kelas 3 SMP, keduanya sedang bersiap menempuh UNAS. Itulah alasan Ida untuk mengambil cuti. Selain itu, Ida berencana tahun iki akan menunaikan ibadah haji bersama suami dan ibunya, jadi dia sudah niat cuti terbang untuk mempersiapkan kedua urusan penting itu. 

Ida bercerita, saat menyampaikan maksudnya untuk cuti, suaminya yang PNS di Dinas Perhubungan, menyambut dengan suka cita. "Alhamdulilah lek mama insyaf..." Kata suaminya.
"Lho, lha opo selama ini mama tersesat?" Seloroh Ida.

Kami berkendara menuju Royal Plaza. Ida sudah memesan tempat untuk lima orang di Quali. Lima orang itu, yang satu adalah mbak Lies, dia teman sejurusan Ida dan kawan-kawan, yang sekarang mengajar di SMK 4. Mbak Lies sendiri tetangga saya di Bibis Karah. Kami juga sudah lama sekali tidak saling bertemu. Klop sudah. Kencan sore ini pasti menyenangkan.

Ida masih seperti yang dulu, ceria, spontan dan tulus. Bicaranya ceplas-ceplos, nyetirnya srodak-srodok, rodo kosro. Sepertinya dia raja jalanan juga. Tidak hanya jam terbangnya saja yang sudah teruji, tapi jam berkendaranya juga. Saya berkali-kali cekakakan melihat cara dia nyetir, termasuk berebut tempat parkir di Royal Plaza yang padat. 

Di Quali, telah menunggu Ridha dan Mbak Lies. Begitu bertemu, tak ayal, kami seperti lupa daratan, saling peluk, saling berkabar dengan gaduh, seperti tidak peduli kami sedang berada di tempat umum. Sebentar kemudian, Yanti menyusul. Dia sudah sempat mau balik kucing tadi, pulang, putus asa karena tidak dapat tempat parkir. Tapi lewat telepon, Ida memintanya untuk tidak menyerah, sampai akhirnya dia berhasil menghentikan mobilnya di tempat parkir paling atas.

Teman kami yang satu ini, penampilannya seperti Yuni Sara. Posturnya juga kecil mengil seperti Yuni Sara, tapi lebih bohay (pinjam istilahnya Must Prast) Yuni Sara. Dandanannya tidak kalah dengan selebriti sekelas Yuni Sara juga. Cara berpakaiannya, cara berjalannya, pede abissss. Sepertinya dia juga punya gaya hidup yang agak berbeda dengan kami-kami ini. Makanya ketika dia menunjukkan foto-fotonya yang membuat kami semua terkagum-kagum dan terperangah, saya sempat nyeletuk..."Beda dunia...", yang kemudian dibenarkan oleh Ida dengan cara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tawa kami pecah berantakan dengan istilah beda dunia itu.

Sore ini kami menghabiskan waktu sampai senja menjelang. Sambil makan dan minum. Ngobrol ngalor-ngidul. Cekakakan dan merencanakan bertemu lagi. Berfoto-foto dengan gaya yang narsis pollll. Saling bertukar foto. Lantas berpisah setelah saling peluk dan titip salam hangat untuk keluarga kami masing-masing. 

Saya berjalan ke tempat parkir bersama Ida. Dia harus mengembalikan saya ke tempat di mana dia tadi menculik saya, yaitu di sekretariat Himapala. Mobil saya ada di sana. Sengaja saya tidak mau bawa mobil sendiri karena malas cari tempat parkirnya. Apa lagi Ida menawarkan diri untuk menjemput saya di kampus.

Senang sekali bisa bertemu kawan-kawan lama dalam keadaan yang sehat dan ceria seperti ini. Seperti habis minum suplemen, energi saya menjadi berlipat-lipat. Saya menyibak keremangan senja yang mendung dengan hati berbunga-bunga, merasakan indahnya kencan di sore ini....  
Surabaya, 26 Januari 2014

Wassalam,
LN
(27 Januari 2014, 02.50. Waktunya bermunajat)

Selasa, 14 Januari 2014

Bersepeda dan Belajar Mlijo...

Pagi ini, selepas subuh, saya dan mas Ayik sudah di jalanan. Di bawah sinar lampu yang temaram, menyibak kegelapan dan kesejukan dini hari. Mengayuh seli (sepeda lipat), menuju Merakurak.

Ya, itu nama sebuah desa di Kabupaten Tuban. Jaraknya sekitar lima kilometer dari rumah kami, di Desa Jenu. Tempat yang hampir selalu kami kunjungi setiap kali kami pulang kampung.

Pulang kampung. Agenda ini seperti menjadi hutang yang tak pernah lunas terbayarkan bagi kami. Setiap kali ada kesempatan, kami selalu berusaha untuk bisa pulang kampung. Menengok ibu tercinta, mengunjungi saudara-saudara tersayang, menyapa para teman dan sahabat terkasih. 

Liburan hari Minggu kemarin, kami menghabiskan waktu di Tanggulangin sampai sore. Di Rumah bapak dan ibu. Sekedar berkunjung dan membantu ibu benah-benah rumah setelah hujan lebat yang membuat dapur dan ruang makan basah. Juga mendengarkan cerita ibu dan bapak tentang apa saja. Menjadi pendengar yang baik bagi ibu yang suka sekali bercerita. Untuk soal bercerita, ibu memang sangat berbakat. Sejak kami datang sampai menjelang pulang, cerita ibu mengalir terus seperti tak ada habisnya. 

Kembali ke cerita tentang Tuban. Tadi malam, kami berangkat dari Surabaya selepas isya. Setelah seharian berkutat di kampus, nguji empat kali, rapat dua kali, dan 'ngreviu' proposal penelitian dosen-dosen sampai menjelang maghrib. Pada saat menjelang maghrib itulah, mas Ayik pulang kantor. Hujan di sore itu membuat jalan macet, dan mas Ayik terjebak di Jagir Wonokromo. Makanya selepas isya, kami baru bisa berangkat ke Tuban.

Kami hanya berdua. Arga tidak ikut serta, dia ada acara motret ke Cangar bersama teman-temannya. Anak itu, memang luar biasa. Kuliahnya yang sudah tiga semester kacau (hanya bayar SPP saja tapi tidak memprogram), semester ini semakin kacau setelah mengenal fotografi dan bergabung dengan komunitas fotrografer. Dia multi-talented. Sampai bingung mau ngapain. Semua dicoba. Bermusik (mulai dari nge-band, orkestra, bikin aransemen, sampai jualan alat musik), jualan hape dan kaus, dan sekarang motret. Diarahkan untuk fokus kuliah, susah. Malah cenderung melawan. Dinasehati, 'mberik-mberik'. Ya sudah, biarkan saja dulu. Yang penting dia merasa nyaman di rumah, merasa nyaman dengan bapak ibunya. Sekolah diurus sambil jalan. Sampai dia 'menemukan jalannya'. Kami selalu mengembangkan pikiran positif, Arga sedang mencari jalannya. Dan insyaallah, Tuhan Yang Maha Mengatur akan menunjukkan jalan itu dan menata hidupnya dengan baik. Amin.

Lho, kok jadi cerita tentang Arga? Yak, sekarang kembali ke soal bersepeda, supaya gayut dengan judulnya.

Sekitar dua puluh lima menit sejak keluar dari rumah, kami sudah mencapai batas Desa Merakurak. Tidak jauh dari tempat itulah, serabi dan nasi uduk biasanya digelar. Tapi ternyata, pagi ini, nasi uduk tidak ada. Hanya ada nasi pecel. Menurut penjual langganan kami itu, tadi malam, orang-orang sudah 'bancakan' nasi uduk dalam rangka memperingati Maulud Nabi. Makanya pagi ini nasi uduk tidak dijual.

Tak berapa lama, belasan bungkus nasi pecel dan serabi kesukaan kami sudah kami dapatkan. Belum banyak orang yang antri. Kami termasuk pembeli di ring satu. Antriannya hanya bersama empat-lima orang. Selama kami menunggu pesanan kami, para pembeli yang masuk golongan ring kedua dan seterusnya berdatangan.

Kami tidak langsung pulang, singgah dulu di rumah teman SMP-SMA saya yang rumahnya hanya berjarak beberapa ratus meter. Nama teman saya itu sangat singkat, yaitu Ramto (jadi ingat nama sahabat saya yang namanya Rukin tok dan mahasiswa S3 bimbingan saya yang namanya Ana saja).

Tujuan kami singgah ke rumah mas Ramto adalah untuk mengantarkan serabi dan nasi pecel, sebagai 'tanda ingat'. Sekedar singgah, terus pamit pulang. Tapi olala....mas Ramto mengeluarkan sekarung beras, dan dipaksanya kami  membawa beras itu. Kami jelas-jelas menolak. Pertama karena kami membawa seli, tentu tidak layak untuk mengangkut sekarung beras. Kedua, rumah kami masih lumayan jauh, sekitar enam kilometer. Ketiga, kami sungkaannnn sekali. Ya, benar-benar sungkan (bukan singkatan dari 'sungguh-sungguh mengharapkan' lho).

Pasalnya, sekitar sebulan yang lalu, kami pernah singgah di rumah mas Ramto. Waktu itu isterinya baru saja melahirkan anak kedua mereka. Dengan ketulusan khas orang dusun, dia memaksa kami membawa beras sekarung dan seekor ayam. Ya, ayam. Ayam hidup, sodara-sodara. Ayam jago yang besar dan gagah. Sambil memaksa dia bilang, 'mbak, aku waktu ning Suroboyo kapan iko, njenengan tukokne soto ayam. Jan enak tenan kae. Opo maneh aku pas lesu-lesune. Iki....aku gak iso masak dewe. Tak gawani beras sak lawuhe. Njenengan masak dewe yo?"

Luar biasa. Soto semangkuk ditukar sekarung beras dan seekor ayam. Tentu ini sangat berlebihan. Tapi tidak. Ini bukan soal harga soto serta harga beras dan ayam. Ini sebuah bukti persahabatan. Dia sekeluarga akan sangat terluka kalau kami menolak membawa 'properti' itu. Ya sudahlah, kami bawalah beras dan ayam itu dengan sangat terpaksa (baca: dengan sangat suka cita).

Ayam itu, saya serahkan ke ibu. Biar disembelih dan dimakan ramai-ramai dengan para cucu. Belakangan saya tahu, ibu tidak sampai hati menyembelih si jago yang rupawan itu. Ibu malah membuatkan kandang untuknya, dan membeli seekor ayam wanita, eh, betina, untuk menemani hari-hari si ayam jago. Keduanya pun berproduksi. Sampai hari ini, mereka sudah menghasilkan telur dua puluh dua butir. Ya, tentu saja telur ayam kampung. Asli.

Berhenti dulu cerita soal ayam. Kami pun pamit dari rumah mas Ramto dengan membawa sekarung beras itu. Terpaksa (sekali lagi, baca: suka cita). Itu pun, tadinya kami sebenarnya dipaksa-paksa untuk membawa seekor ayam juga. Oh, no. Kami menolak dengan keras. Bayangkan, bersepeda, lengkap dengan helm dan berbagai atributnya, tapi yang dibawa sekarung beras dan seekor ayam. Sungguh tidak keren blas kan?

Beras itu akhirnya diletakkan di boncengan seli mas Ayik yang mini, dan pasti akan menyulitkan mas Ayik mengayuh selinya nanti. Tidak apalah. Demi menyenangkan hati seorang sahabat. Mas Ramto sekeluarga nampak puas sekali karena kami bersedia membawa beras hasil panennya sendiri itu, meski agak kecewa karena kami menolak membawa ayamnya.

Kami mengayuh sepeda menuju arah pulang, kembali ke jalan yang benar. Namun karena ibu tadi bertelepon dan meminta kami membelikan kacang panjang dan kangkung, kami bermaksud singgah dulu di pasar. Tapi belum mencapai pasar, di perjalanan itu, kami menemukan seorang ibu bersepeda yang membawa kacang panjang dan kangkung yang akan dijualnya di pasar. Wah, pucuk dicinta ulam tiba. Tidak perlu ke pasar, transaksi pun terjadi di jalan. Hanya dengan Rp.8.000,-, kami sudah dapatkan kacang panjang dan kangkung 'sak-umbruk'.

Kembali kami mengayuh seli yang tiba-tiba terasa agak berat, menuju jalan pulang, benar-benar jalan pulang. Dengan membawa sekarung beras, sekantung kangkung, 'sebagkelan' kacang panjang, dan tentu saja belasan bungkus nasi pecel dan serabi. Seli kami penuh dengan barang komoditi. Mirip dengan tukang sayur langganan kami. 

Sebuah pelajaran yang bisa kita petik dari peristiwa ini adalah, betapa menyenangkannya bersepeda. Membakar lemak, menyehatkan jantung, menguatkan otot-otot,  menikmati pemandangan, bersilaturahim, sekaligus belajar 'mlijo' (jualan sayur). Menyehatkan jasmasi dan rohani, jiwa dan raga, materiil spirituil.... 

"Selamat memperingati Maulud Nabi. Mari perbanyak membaca shalawat demi mendapatkan syafaat Rasulullah SAW. Amin YRA".

Tuban, 13 Januari 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 05 Januari 2014

Olah Raga Itu Menyehatkan

Kalau membaca judul itu, pasti orang akan berkomentar: 
"sopo sing gak weruh lek olah raga itu menyehatkan?" Ya, semua juga tahu itu. Mulai anak usia play-group sampai para manula. Laki perempuan, kaya miskin.

Sebenarnya judul itu hanya untuk meyakinkan diri saya sendiri. Pasalnya, beberapa waktu belakangan ini, saya sangat tidak mementingkan olah raga. Bukannya tidak mementingkan dalam arti menganggap olah raga itu tidak penting, bukan itu. Saya kurang atau bahkan tidak menganggapnya prioritas sehingga olah raga sak-kobere. Kalau pekerjaan menumpuk atau agenda kegiatan padat, saya nyaris tidak pernah berolah raga. Apalagi kalau sudah koreksian segunung dan naskah-naskah skripsi, tesis atau disertasi memenuhi meja saya. Boro-boro berolah raga. Lihat tumpukan kertas itu saja rasanya sudah eneg...hehe. Makanya daripada eneg, mending segera diberesi. Olah raga ntar saja....

Tapi setelah saya pikir-pikir, saya seperti merusak hidup saya sendiri kalau saya meninggalkan olah raga. Buktinya, sejak saya tidak bisa, atau lebih tepatnya tidak mau menyempatkan diri berolah raga, tubuh saya jadi gampang loyo, terasa kaku-kaku, kurang bersemangat. Juga gampang sakit, terutama flu dan gebres-gebres. Saya pikir-pikir lagi, kalau saya terus-teruskan kemalasan saya berolah raga ini, saya sedang mendholimi diri saya sendiri, karena tidak memberinya kesempatan untuk menghirup segarnya udara pagi, mengisi penuh paru-paru dengan hawa yang bersih, dan memacu jantung untuk berlatih agar tetap kuat. 

Nah, setelah saya pikir-pikir lagi, nuruti gawean nggak ada habisnya. Nuruti gawean nggak akan sempat berolah raga. Saya harus merubah pola pikir. Olah raga harus menjadi salah satu prioritas. Apa pun yang terjadi, harus bisa menyempatkan diri berolah raga. Setiap hari. Harus. Urusan koreksian, masak, bersih-bersih rumah, baca naskah, menulis....atur belakangan.

Sebenarnya olah raga macam apa sih yang saya inginkan? Ya, bersepeda. Cuma bersepeda. Bukan olah raga yang aneh-aneh. Panjat tebing atau menyelam misalnya. Wong sepedaan ae kok cik uwangele nyempatne.....

Syukurlah, dalam waktu sekitar dua mingguan ini, saya sudah mulai rutin bersepeda. Setiap pagi. Tiga puluh menit sampai satu jam. Berangkat selepas salat subuh, sama mas Ayik. Ke mana lagi kalau bukan ke Masjid Agung. Itu memang tempat favorit kami. Cukuplah tiga sampai lima putaran mengelilingi masjid megah itu, terus pulang.

Pulang. Tapi, nanti dulu. 
Acara sarapan harus aman sentausa lahir dan batin. Ada banyak pilihan di Masjid Agung dan sekitarnya. Siomay, semanggi, nasi pecel, nasi soto, nasi campur, bubur ayam... Demi stabilitas nasional, maka ketika pulang, kami harus sudah bawa makanan. Tidak ada waktu untuk memasak. Saatnya berbenah untuk berangkat kerja. Ya, memang hidup adalah pilihan. Kalau mau punya waktu untuk bersepeda, maka masak untuk makan pagi terpaksa seringkali dikorbankan. No problem. Akeh bakul...hehe.

Ternyata eh ternyata, olah raga itu benar-benar menyehatkan. Saya merasa lebih bersemangat setiap bangun tidur, lebih bersemangat beraktivitas seharian. Jarang kena flu, jarang pegal-pegal. Gebres-gebresnya juga banyak berkurang.

Ternyata eh ternyata, menurut hasil penelitian, olah raga pagi itu bisa mengurangi lelah. Seorang peneliti dari Universitas Georgia yang pada tahun 2008 melakukan studi, menemukan bahwa orang yang melakukan jogging sekitar 20 menit tiga kali dalam sehari mengalami peningkatan level energi sampai 65 persen. Nah, meski pun saya hanya berolah raga sekali sehari, efek positifnya sudah bisa saya rasakan. Ndahnea lek tiga kali sehari secara teratur. Wah....pasti semakin gak kober nyambut gawe haha....

Jogging juga dapat menyehatkan jantung karena akan meningkatkan detaknya dan mendorong paru-paru bekerja maksimal. Selain itu, jogging juga akan menguatkan seluruh otot tubuh, mengurangi risiko penyakit jantung, menurunkan tekanan darah dan kolesterol, bahkan mencegah diabetes. Konon, tubuh yang mengeluarkan keringat (dalam batas yang wajar) akan terjaga dari penyakit-penyakit yang disebabkan oleh lemak makanan dan semacamnya. 

Ternyata eh ternyata, olah raga juga ada hubungannya dengan kedisiplinan. Ya, untuk bisa rutin berolah raga, butuh kedisiplinan. Dengan berdisiplin berolah raga, maka kita akan terbiasa berdisiplin untuk hal lain. Begitu kira-kira.

Jadi, mari kita memasyarakatkan olah raga dan mengolah ragakan masyarakat. Men sana en corpore sano....


Tanggulangin, 5 Januari 2013

Wassalam,
LN

MAS yang Syahdu

Siapa yang tidak kenal Masjid Nasional Al Akbar Surabaya? Hampir semua orang Surabaya atau bahkan masyarakat Jawa Timur pasti mengenalnya. Masjid ini bahkan sudah terkenal di seantero Nusantara dan mungkin juga di seluruh dunia (pede aja lagee...hehe).
Masjid yang biasanya disebut sebagai Masjid Agung Surabaya (MAS) ini, konon terbesar kedua (setelah Masjid Istiqlal di Jakarta). 

MAS posisinya berada di samping Jalan Tol Surabaya-Porong. Kalau Anda lewat jalan tol tersebut, Anda akan melihat kemegahan MAS. Ciri yang mudah dilihat adalah kubahnya yang besar didampingi 4 kubah kecil yang berwarna biru, serta memiliki satu menara. Menara MAS tingginya 99 meter. Ya, seratus kurang satu. Nggak percaya? Ukur sendiri sono...

Menurut sejarahnya, MAS dibangun sejak tanggal 4 Agustus 1995, atas gagasan Walikota Surabaya saat itu, yaitu H. Soenarto Soemoprawiro. Pembangunan masjid ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Wakil Presiden RI Try Sutrisno. Namun karena setelah itu terjadi krisis moneter, pembangunan masjid sementara dihentikan. 

Pada tahun 1999, masjid ini dibangun lagi dan berhasil diselesaikan tahun 2001. Selanjutnya, MAS diresmikan oleh Presiden RI pada saat itu, yaitu KH. Abdurrahman Wahid, pada 10 November 2000. 

Menurut Wikipedia, secara fisik, luas bangunan dan fasilitas penunjang MAS adalah 22.300 meter persegi, dengan rincian panjang 147 meter dan lebar 128 meter. Bentuk atap MAS terdiri dari 1 kubah besar yang didukung 4 kubah kecil berbentuk limasan serta 1 menara. Keunikan bentuk kubah MAS ini terletak pada bentuk kubah yang hampir menyerupai setengah telur dengan 1,5 layer yang memiliki tinggi sekitar 27 meter. Untuk menutup kubah, dipergunakan sebuah produk yang juga digunakan di beberapa masjid raya seperti Masjid Raya Selangor di Syah Alam (Malaysia). Ciri lain dari masjid raksasa ini adalah pintu masuk ke dalam ruangan masjid tinggi dan besar, dan mihrabnya adalah mihrab masjid terbesar di Indonesia.

Nah, keren kan? Namun bukan hanya itu yang membuat MAS menarik. Datanglah di pagi hari, hari apa saja. Anda akan melihat ada banyak orang di sana. Kebanyakan berolah raga. Jalan-jalan, lari-lari, atau bersepeda mengitari MAS. Ada juga senam pagi yang secara teratur dilakukan di halaman MAS. Tapi jangan bayangkan senam yang neko-neko ya, misalnya dengan iringan musik ingar-bingar dan pelatih serta para peserta senam yang berpakaian ketat plus seksi. Oh, no way.... Ini masjid, sodara-sodara. Jadi pelatih senamnya berpakaian sopan meski berada di atas panggung, mereka adalah wanita berhijab. Para pesertanya, laki-perempuan, juga berbusana sopan (berarti busana ketat itu tidak sopan ya? Hehe....tahulah....). Sebagian besar peserta senam yang wanita juga berhijab. Dan, juga, yang perlu dicatat, kebanyakan dari mereka sudah mature....

Selain orang-orang yang sedang berolah raga, juga ada para penjual makanan. Yang selalu ada adalah penjual siomay, batagor, pentol, saridele dan semanggi. Ya, semanggi, makanan khas Surabaya itu. Jadi jangan pernah merasa kesulitan mendapatkan makanan yang berbahan dasar daun semanggi dan kecambah panjang itu ya. Makanan tradisional asli Surabaya yang pada waktu dulu sempat langka, serta hanya dijual oleh para ibu manula yang kesannya kurang higienis itu, sekarang dapat mudah ditemui di sekitar MAS. Setiap pagi, setiap hari. Yang jual tetap ibu-ibu, tapi ibu-ibu yang masih belum manula, bersih, dan cantik. Penyajiannya pun lebih higienis. Sepincuk semanggi, lengkap dengan dua buah krupuk pulinya yang lebar-lebar itu, cukuplah menjadi sarapan yang sehat. Kalau kurang kenyang, bisa minta pakai lontong. Penutupnya, sebungkus dua bungkus saridele hangat. Maknyusss.....

Bagaimana dengan hari Minggu pagi? Wow, tentu bukan rahasia lagi kalau MAS menjadi semakin menarik. Tidak hanya bagi para penyuka jalan sehat, jogging dan pesepeda. Anda akan melihat di banyak tempat, orang bermain bola dan badminton. Maka di angkasa (waduh, kayaknya tinggi banget gitu ya?), puluhan bola bulat dan bola berbulu beterbangan. Asyik banget gitu ngelihatnya.

Di sebuah lapangan yang khusus disediakan untuk para pedagang kaki lima, posisinya di seberang MAS, Anda juga bisa mendapatkan apa saja yang Anda cari. Mulai dari berbagai makanan siap santap, buah-buahan, bahan kebutuhan sehari-hari, baju, payung, mainan anak-anak, barang-barang kerajinan, sampai barang elektronik, apa saja ada. Komplit. Kerudung, daster, kaus, celana panjang, celana pendek, celana dalam, BH....hehe, ada semua. Kosmetik, sabun cuci, kapur barus, peniti, lem tikus, benang, jarum, gunting, sisir, seterika.... 

Anda juga akan dimanjakan dengan berbagai hiburan di sekeliling MAS. Mau kereta kelinci, ada. Mau naik kereta kuda atau andong, siap. Bahkan mau naik kuda, juga ada. Kuda beneran lho, bukan kuda-kudaan dari kayu atau kuda di komedi putar. Kuda beneran, tentu saja dengan dipandu pemiliknya. Ya, persis seperti kuda-kuda di Bromo itu. Oya, ada juga persewaan sepeda yang mirip skateboard tapi pakai kemudi itu (saya lupa namanya). Dan juga, tentu saja, makanan: siomay, batagor, soto ayam Lamongan, soto daging Madura, pentol, bakso, lumpia, semanggi, nasi krawu, pecel pincuk, bahkan sampai kerak telur. Ya, makanan khas Betawi itu, ada juga lho di sini...

Tidak heran kalau MAS menjadi tempat favorit banyak orang, tua-muda, laki-perempuan. Tempatnya yang jauh dari keramaian (maksudnya tidak di tengah kota), namun mudah untuk mengaksesnya (bisa dicapai dari berbagai penjuru mata angin), dengan berbagai fasilitas dan makanan yang terjangkau kantong kebanyakan orang,  
MAS bisa menjadi alternatif pilihan bagi Anda yang suka berolah raga sambil memanjakan perut. 

Tapi suasana istimewa yang akan membuat MAS menjadi lain daripada yang lain adalah saat usai salat subuh. Anda bisa mendengarkan dengan jelas kuliah subuh atau alunan ayat-ayat suci Al Quran, yang bersumber dari dalam masjid megah itu, sementara Anda jogging. Di bawah temaram lampu dan pagi yang masih redup, yang kadang diselimuti kabut tipis. Syahdu.  

Bagi Anda yang belum pernah menikmati kesyahduan MAS pada dini hari, saya sarankan, jangan coba-coba. Bener, jangan coba-coba. Ya. Karena kalau Anda datang, apa lagi beramai-ramai, dini hari di MAS akan kehilangan kesyahduannya. Anda semua akan merusak suasana yang dirindukan banyak orang itu.  Sayang dong... 

Jadi, jangan datang ya, jangan datang ya....
Bener lho...


Surabaya, 5 Januari 2013

Wassalam,
LN

Selasa, 24 Desember 2013

Perjalanan Paling Lama

Akhirnya tiba di rumah ibu. Setelah menempuh perjalanan hampir enam jam. Ya, enam jam. Ini perjalanan paling lama Surabaya-Tuban yang pernah kami tempuh. Biasanya, kami hanya perlu waktu dua sampai dua setengah jam. 

Berangkat dari rumah selepas salat maghrib, kami memasuki tol Gunungsari. Tidak pakai lama, langsung dihadang kepadatan yang luar biasa. Begitu sampai tol Romokalisari, kepadatannya sudah meningkat menjadi kemacetan. Rencana keluar melalui pintu tol Bunder, kami urungkan. Macetnya nggilani. Kami terus menuju tol Manyar. Total waktu yang kami perlukan sejak masuk pintu tol Gunungsari sampai keluar pintu tol Manyar, hampir dua jam. Cukup fantastis.

Manyar sampai Tuban lancar meski sesekali padat merambat. Sekitar lima kilometer keluar kota Tuban ke arah Jenu, di depan terminal, tiba-tiba kami dihadang kemacetan lagi. Mandeg jegrek. Truk dan mobil-mobil pribadi berderet-deret. Padahal rumah kami hanya sekitar tiga kilometer di depan. Tapi mobil kami sama-sekali tidak bisa bergerak.

Waktu saya tanya pada seorang bapak, penduduk setempat, yang sedang berdiri di pinggir jalan, kemacetan itu katanya akibat adanya kecelakaan. Entah kecelakaan apa. 

Ketika situasinya memungkinkan, mobil pun kami arahkan ke bahu jalan sebelah kiri. Mlipir-mlipir di sisi barisan truk besar. Lantas memutuskan belok ke kiri, mencari jalan-jalan alternatif masuk ke kampung-kampung. Ada tiga mobil yang mengikuti jejak kami, 'ngintil' di belakang. Untunglah Tuban tidak punya jalan jelek. Di kampung-kampung sepelosok apa pun, semua jalannya beraspal. Jadi meski sempat sekali salah jalan, dengan bertanya pada penduduk setempat, kami bisa segera kembali ke jalan yang benar,

Tiga mobil yang ngintili kami meneruskan perjalanan mereka ke Rembang dan Semarang setelah mas Ayik memberikan petunjuk arah yang mereka harus tempuh. Di ujung jalan, kami berpisah. Tiga mobil itu mengambil arah belok kiri, sedang kami belok kanan. Rumah kami hanya sekitar seratus meter dari titik persimpangan jalan itu.

Alhamdulilah. Setelah membuka pintu gerbang yang pintunya sengaja dibiarkan terbuka sebelah, mobil kami meluncur memasuki halaman, langsung serong kanan, melintasi jalan di samping rumah ibu yang besar, dan parkir di belakang rumah. Lega nian. Apa lagi setelah bertemu ibu, mbak-mas dan keponakan-keponakan. Beberapa dari mereka, meski sudah hampir tengah malam, ternyata belum tidur. Menikmati malam natal sambil menunggu 'Lik-Luk' dan abah Ayik yang cakep-cakep ini....

Tuban, 24 Desember 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 07 Juli 2013

Akhir Pekan Ini....

Akhir pekan ini menjadi hari-hari yang lumayan sibuk bagi saya. Sabtu pagi kemarin, setelah mengajar di pasca sampai pukul 10.00, saya meluncur ke Kampus PPPG di Lidah Wetan. Ada petugas dari Dikti yang akan membagikan uang transpor bagi para mahasiswa PPPG. Kami semua, direktur, pembantu direktur, staf PUMK, dan beberapa staf yang lain, musti mengawal kegiatan itu. Kalau sudah menyangkut 'perduitan', ada banyak hal yang musti diantisipasi dan diperjelas, supaya tidak sampai terjadi salah hitung dan salah paham.

Belum selesai acara yang digelar di lantai 9 PPPG itu, saya sudah ditelepon seorang teman. Teman saya itu, Anik namanya, adalah teman sekamar saya waktu kost di Semut Baru, di awal-awal saya kuliah di IKIP Surabaya dulu. Saya sempat satu semester merasakan kuliah di Kampus Pecindilan yang hiruk dan nge-kost di jalan Semut Baru yang pikuk, sebelum berpindah ke kampus Ketintang.

Anik datang bersama anak keduanya, Afif. Afif akan menempuh tes masuk di ATKP (Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan), dan perlu tempat untuk menumpang selama tes. Anik, yang guru di sebuah SMP negeri di Kediri, akan menemani anaknya selama sehari dua hari. 

Saya pun beranjak dari PPPG sekitar pukul 13.00, meluncur pulang, setelah memastikan segala sesuatunya running well (keminggris...), dan memastikan pak Sulaiman (Pembantu Direktur I PPPG) serta staf yang lain akan mengawal kegiatan itu sampai selesai. Sebelum melajukan mobil, saya sempatkan untuk telepon Iyah, penunggu rumah kami, agar menyiapkan makan siang untuk tamu-tamu saya.

Sepanjang siang sampai malam kemarin saya habiskan waktu untuk berkangen-kangenan dengan Anik. Alumnus Bimbingan Konseling IKIP Surabaya angkatan 85 itu, di mata saya, tidak banyak berubah. Tubuhnya yang kecil mungil, sama, ya seperti itulah dulu dia. Wajahnya, meski sudah seusia saya, tetap imut, dengan tahi lalat di atas bibirnya, melengkapi kecantikannya. 

Setelah puas bernostalgia dan saling mengejek karena kekonyolan-kekonyolan kami di masa lalu, kami berjalan-jalan ke Royal. Makan malam sekaligus (window) shopping. Mas Ayik menjadi driver sekaligus bos yang mentraktir makan malam kami. Kebetulan di Royal juga sedang ada pagelaran rancangan busana pengantin, maka acara itu pun menjadi acara selingan kami. Afif juga sempat ditemani mas Ayik untuk belanja keperluan ujiannya, sementara saya dan Anik ngobrol berlama-lama di Quali.

Minggu pagi ini, Afif menempuh tes kesehatan di ATKP (Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan). Jam 06.30 dia sudah rapi, sudah siap sarapan. 

Oya, mereka berdua tidur di rumah lama kami, rumah yang memang kami sediakan untuk siapa saja yang perlu singgah atau transit. Sehari sebelumnya, paklik saya dan temannya juga baru pulang kembali ke Rembang, setelah selama tiga hari menginap di rumah kami. Iyah sekeluarga, penunggu rumah lama itu, berperan sebagai nyonya rumah sekaligus seksi konsumsi dan seksi kebersihan.

Setelah melepas Afif berangkat ke tempat tesnya, kami bertiga bersiap nggowes ke car freeday di Taman Bungkul. Anik, yang dulu adalah anggota Pramuka ketika kuliah, sangat menikmati bersepeda. Meski dia gobyos, dia nampak gembira. 

Sampai sekitar pukul 08.00 kami berada di Taman Bungkul. Kalau ingin melihat 'tandak bedes' datanglah ke Taman Bungkul pada Minggu pagi seperti ini. Tontonan itu ada di beberapa titik, setidaknya pagi ini ada di tiga titik. Dengan atraksi dan kostum yang berbeda. Berbusana seperti badut, lengkap dengan topeng dan rambut palsunya; berbusana seperti laki-laki perlente yang sedang bersepeda motor dan memegang handphone; atau yang berbusana minimalis dengan membawa tabung plastik mondar-mandir untuk menerima rupiah dari para penonton. 

Anda akan terpingkal-pingkal sampai perut Anda sakit melihat atraksinya. Kecuali kalau Anda menyadari, bahwa dalam tontonan itu kental dengan unsur 'tidak berperi kebinatangan', memaksa para monyet tak berdaya itu untuk melawan kodratnya demi mendapatkan sesuap nasi (atau sepotong pisang dan segenggam kacang?) dari majikannya; tontonan itu akan membuat hati Anda teriris-iris. Pedih. Seperti itulah yang saya rasakan.

Di Taman Bungkul, kita juga bisa memilih mengikuti senam pagi dengan berbagai irama. Ndangdut ada. Reggae juga ada. Rock-ndut juga tersedia. Mulai dari gerakan dan goyangan yang super keras sampai yang sangat kalem, khusus untuk para manula. Tinggal pilih. Termasuk memilih instruktur yang macho, yang bahenol, atau yang singset langsing tapi belahan dadanya nampak dan, kelihatannya, sengaja dinampakkan....hehe.

Mau menikmati live music juga tersedia di beberapa titik. Dimainkan oleh sekelompok anak muda atau sekelompok laki-laki yang sudah mature. Dari musik yang keras sampai yang lembut. Semua tinggal pilih sesuai selera.

Kami bertiga menikmati semuanya sambil lalu. Kerumunan di mana-mana. Anak-anak bermain bola, badminton, skateboard. Penjual macam-macam makanan, mainan, perlengkapan bersepeda, koran, juga baju dan aksesoris, bertebaran di mana-mana. Namun, seperti biasa, kebiasaan saya sekeluarga bila nggowes di Taman Bungkul, selalu mengakirinya dengan satu dua buah lumpia Semarang sebelum beranjak pulang meninggalkan kegaduhan di tempat itu.

Pukul 10.00, saya meninggalkan Anik di rumah. Kebetulan karena dia suka membaca, dia melahap banyak buku di perpustakaan pribadi saya. Saya juga menghadiahinya tiga buah buku saya, dan dia sangat senang sekali menerimanya. Apalagi saya membubuhkan tanda tangan saya di buku-buku itu, dengan tulisan: buat sahabatku Anik. Semoga suka, semoga bermanfaat.

Saya pamit ke Anik kalau kami akan memenuhi undangan sunatan dari senior Himapala, mas Ahli Budi (biasanya dipanggil mas Dukun). Saya pesankan ke dia, jangan lupa makan siang, karena makanan sudah disiapkan di atas meja.

Akhirnya siang ini, saya dan mas Ayik berada di antara para senior Himapala. Benar-benar para senior, karena di Aula SMK 3, tempat acara itu dilaksankan, kami bertemu dengan mas Mulyono (biasa dipanggil mas Ambon), mas Zainal Arifin, dan mas Rudi (biasa dipanggil mas Embun). Beliau bertiga itulah beberapa di antara para pendiri Himapala, orang-orang pertama yang menancapkan bendera Himapala di puncak gunung Welirang puluhan tahun yang lalu. Bertemu mereka, bahagianya bukan kepalang. Dalam usianya yang pasti sudah tidak muda lagi, kehangatan, kebersamaan, dan semangat berjuang ternyata tak juga lekang.

Tentu saja juga ada para senior yang lain. Mbak Ninis (istri mas Ambon), mas Philip dan Mbak Ida (yang ini suami istri, anaknya saat ini menjadi mahasiswa saya di Tata Boga), dan banyak lagi yang saya tidak mungkin sebut semua namanya. Dasar himapala, kalau sudah ngumpul, yang ada adalah ger-geran, saling gojlok, foto-foto, menyedot perhatian banyak tamu yang lain.

Dari tempat sunatan, kami langsung menuju Tanggulangin, menengok bapak dan ibu. Kami sudah niatkan sehari ini akan menemani bapak ibu, dan baru nanti malam pulang. Arga akan menyusul sore nanti karena dia sangat tahu, eyang uti dan akungnya pasti menunggu-nunggu dia. 

Akhir pekan yang sibuk dan menyenangkan. Saatnya nge-charge rohani dengan melupakan semua beban rutinitas. 

Mohon maaf lahir dan batin.
Selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga Allah SWT memudahkan ibadah kita demi meraih ridho-Nya. Amin YRA.

Tanggulangin, 7 Juli 2013

Wassalam,
LN