Pages

Minggu, 09 Februari 2014

Trayek Baru

Pukul 10.30. Saya kembali menginjakkan kaki di Bandara Ahmad Yani, Semarang. Berangkat dari Surabaya sekitar empat puluh menit yang lalu, menumpang Garuda tipe Bombardir. Pesawat langsing itu tadi mendarat dengan mulus di landasan pacu yang basah. Mendung gelap menyambut saya.

Dengan menumpang taksi, saya menuju Ngaliyan, ke jalan Taman Karonsih. Ke rumah mbak Ning, sahabat saya, dosen Unnes. Tadi sewaktu masih di Bandara Juanda, sebelum masuk pesawat, kami sudah bertelepon. Saya bilang kalau akan singgah di rumah mbak Ning, karena acara rapat di Hotel Patra Jasa masih akan dimulai nanti sore. Ada cukup banyak waktu untuk melakukan hal lain, dari pada bengong di hotel. Inilah kalau jadwal penerbangan terbatas. Meski rapatnya sore, siang sudah sampai di tempat tujuan. Tidak ada penerbangan sore hari dari Surabaya ke Semarang.

Sampai di rumah mbak Ning. Tidak banyak yang berubah. Masih sama keadaanya saat saya datang sekitar setahun yang lalu. Mbak Ning sedang berdua saja dengan anak ragilnya. Somiya, anak perempuan mbak Ning itu, baru kelas 5 SD. Hitam manis dan mahal senyum. Entah kenapa siang ini suasana hatinya seperti sedang buruk. Bicaranya judes dan uring-uriangan. Ibunya hanya senyum-senyum saja menghadapi ulahnya.

"Ya begitu itu...." Kata mbak Ning kepada saya. "Bawaannya uring-uringan melulu."

Mbak Ning bilang, sejak mas Joko, suaminya, meninggal tiga tahun yang lalu, sifat Somiya yang aslinya ceria berubah jadi suka uring-uringan. Kadang-kadang tak jelas apa sebabnya. Seperti tidak siap kehilangan bapaknya.

Listrik sedang padam siang ini. Mbak Ning belum masak nasi. 
"Listrik mati, dik....belum masak, piye iki?"
"Makan di luar aja, mbak..." 
"Ngono yo..."
"Iyo. Ke KFC aja."
"Wah, lha sing seneng yo anakku..." Mbak Ning melirik Somiya. "Iyo to, Som?"
Anak perempuan itu spontan tersenyum. Matanya berbinar-binar. 
"Ayo, ganti baju sana..." Kata ibunya.

Saat mbak Ning dan Somiya sedang bersiap-siap, Gala, anak kedua mbak Ning, pulang dari sekolah. Anak laki-laki kelas 2 SMP itu langsung menyalami saya, dengan senyum terpaksa. Memang seperti itulah anak-anak mbak Ning. Semuanya mahal senyum. Tapi kalau sudah bergaul beberapa saat, mereka akan cair. 

"Ayo, ikutan sekalian ke KFC, mas Gala." Ajak saya.

Kami bertiga pun turun. Garasi ada di bawah. Rumah mbak Ning ini memang seperti di atas bukit. Juga rumah-rumah yang lain di Jalan Taman Karonsih ini. Kalau kita berdiri di teras dan melihat jauh ke depan, rumah-rumah dan jalan-jalan ada di bawah kita. Sebelum ada rumah-rumah itu, di depan itu dulunya adalah hamparan lembah dan pepohonan. 

Karena Indra, anak pertama mbak Ning belum datang, saya terpaksa harus pegang setir. 
"Tante Luthfi yang nyetir ya..." Kata mbak Ning. Dia belum bisa bawa mobil. "Wah, maaf ya, dik...tamu adoh-adoh, malah dikongkon dadi supir ki piye..."
"Wis ra popo, mbak. Sing penting jelas itungane." 
"Lha yo kuwi, kuat ra yo bayare? Supir profesor ki....larang...."
"Profesore ora larang mbak, tiket pesawate sing larang..."

Kami berempat melaju. Keluar dari kompleks perumahan yang mirip perbukitan itu. Mobil mbak Ning masih baru, Ertega 2013. Warnanya merah burgundy. Saya langsung lanyah pada pijakan pertama. Tidak perlu waktu untuk beradaptasi.    

Saya sendiri sudah terbiasa nyetir. Trayeknya lumayan. Antar kota antar provinsi. Pernah kami sekeluarga berlibur ke Bali, pulangnya mas Ayik kelelahan. Saya menggantikan dia nyetir mulai Banyuwangi sampai Surabaya, nonstop. Pernah juga dari Madiun sampai Surabaya, dari Sragen sampai Ponorogo. Trayek Surabaya-Tuban PP malah sudah langganan. Waktu menempuh S3 di Malang, saya juga biasa nyetir sendiri ke Malang. Senin pagi berangkat, kuliah dua hari di sana, nginap di rumah budhe di Sengkaling, Rabu balik ke Surabaya. 

Meski sekarang ke mana-mana lebih suka jadi juragan, duduk manis di mobil, tapi sesekali saya kangen nyetir sendiri. Kadang-kadang saya sengaja yang pegang setir kalau pergi ke Tanggulangin, menengok bapak ibu. Sesekali juga saya yang minta mas Ayik dan Arga jadi penumpang saja, sementara saya yang nyetir putar-putar Surabaya. 

Saat ini, saat saya pegang setir menyusuri kota Semarang, seperti memenuhi rasa kangen saja. Tentu saja ini trayek baru. Ya, hitung-hitung memperluas daerah kekuasaan...

Semarang padat. Berkali-kali mobil kami terjebak macet. Di KFC jalan Pandanaran pun, susah cari tempat parkir. Tapi karena supirnya lihai (ehm...), tempat parkir pun akhirnya berhasil kami dapatkan.

Kami menikmati makan siang tepat waktu, tepat pada saat perut lagi lapar-laparnya. Wajah Gala dan Somiya cerah, tidak lagi galau seperti tadi. 

"Tante Luthfi yang traktir."
"Lho, jangan, Te...." Cegah mbak Ning. "Aku wae....wis teko adoh-adoh disuruh nyupir, masih mau nraktir juga..."
"Lek gak mau ditraktir, mobile supirono dewe..."
Tawa kami pecah. 
"Si Endut aja biar nyurung mobile nanti..." Kata Gala menggoda adiknya. Somiya nggak peduli. Asyik menikmati makanannya. Tidak rugi mentraktir gadis kecil itu. Dia melahap makanannya dengan porsi yang jauh melebih porsi kami bertiga. Ibunya geleng-geleng kepala. Saya dan Gala tertawa ngakak melihat ketidak peduliannya.

Setelah memesan satu porsi untuk dibawa pulang, untuk oleh-oleh bagi Indra, kami masuk mobil lagi. Menyusuri jalan-jalan kota Semarang yang padat. Melintasi Lawang Sewu, Tugu Muda, dan tempat-tempat bersejarah lainnya. 

Saya senang bisa menyempatkan singgah di rumah mbak Ning dan bertemu dengan anak-anaknya. Bisa sedikit berbagi kebahagiaan. Kepergian mas Joko, meski sudah tiga tahun yang lalu, sepertinya masih menyisakan kepedihan. Tapi, seperti kata mbak Ning...."Mosok aku arepe nangis terus dik....lak yo mesakne anak-anakku..".  

Saya pamit selepas ashar. Setelah menyelipkan beberapa lembar uang untuk Somiya dan kakak-kakaknya. Jumlahnya tidak seberapa. Namun saya tahu, kehadiran saya lebih besar artinya daripada rupiah itu....

Semarang, 8 Februari 2014

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...