Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 28 April 2013

Purnama (2)

Lihatlah di ufuk timur
Sekarang juga

Rembulan,
Meski tak bulat penuh
Kiilaunya membuat hati luluh
Keelokannya membiaskan rasa teduh
Meski tak satupun tangan mampu menyentuh

Segumpal awan tipis 
Seperti kabut 
Berpendar berbaris
Membuatmu bagai berselimut
Namun indahmu
Murni tetap memagut

Langit bersih
Satu dua bintang
Pepohonan bagai bayang-bayang
Alam yang beku dalam diam

Purnama
Malam ini akan kutemani kau
Menuju titik tertinggimu
Sampai esok pagi 
Saat kau temukan ufuk baratmu....

OTW dari Tuban ke Surabaya
28 April 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 26 April 2013

Larut Malam

Larut malam
Hanya detak jam dinding
Dan suara alam
Sepenuhnya hening

Masih kubuka lembar demi lembar
Torehan kisah-kisahmu
Tentang sebuah negeri bernama Sumba
Ketika kau 'antar jenazah ke liang kubur'
Atau saat 'menunggu berita di bukit penantian'
Juga waktu kau harus menjadi 'multi tasking teacher'

Begitu berwarna kisah-kisahmu
'Ujian sekolah di ruang isolasi'
'Bertahan dengan kuncup daun singkong'
Bahkan sampai 'melawan sapi berebut sabun cuci'.

Aku bayangkan
Ketika 'laskar gunung itu menggapai mimpi'
Dengan 'memanfaatkan waktu yang tersisa'
'Saat-saat terakhir itu datang juga'

Namun begitu
Terasa 'berat melepas'
Pada 'malam-malam terakhir'
Karena meski harus 'kau ucap selamat tinggal'
Betapapun 
Di hatimu telah terpatri
'Tubuhku di Jawa, jiwaku di Sumba'

Larut malam
Hanya detak jam dinding
Dan suara alam
Sepenuhnya hening


Palm Residence,  tengah malam, 26 April 2013

Wassalam,
LN

Purnama


Purnama di senja ini
Redup sinarnya meski bulatnya penuh
Berebut cahaya 
Menunggu matahari beranjak pergi 

Lelah tubuh 
Berbaur dengan lampu-lampu kota
Kelap-kelip menyilaukan
Bergerak berdesak-desakan
Apa gerangan yang telah kujalani dalam hidup sehari ini
Juga kemarin-kemarin
Dan yang akan menjelang

Tubuh lelah serasa kian lelah
Senja yang gelap semakin gelap
Gerak-gerak lampu seperti terhenti
Diam, beringsut, diam lagi

Benarkah kita sedang berada pada jejak-Nya?

Purnama di senja ini
Tersenyum mengiris hati...

Surabaya, 25 April 2013
(Perjalanan menuju pulang dari Lidah ke Karah)

Minggu, 21 April 2013

MBD (12): Di Atas Kapal Marsela

Baru saja 
Laut dan ombak menggelora
Warnanya hitam pekat seperti tembaga
Menggoyang-goyang keras tubuh Marsela

Tiba-tiba hujan datang
Mendung hitam telah tumpah
Kabut tebal menutup batas cakrawala

Saat ini
Ketika matahari bersinar
Meski tak terlalu garang
Cukuplah untuk mengusir kabut
Agar batas cakrawala kembali nampak garisnya

Dan laut pun tenang
Tenang sekali
Ke mana pun mata memandang
Adalah samudra
Menghampar 
Bak batu pualam....

Selat Banda, 21 April 2013
13.45 WIT


Wassalam,
LN

MBD (11): Semalam di Marsela

Bersama Marcela...
Setelah menunggu berjam-jam, dan jenuh mulai menyiksa kami, pada sekitar pukul 15.00 WIT, akhirnya Marsela berlayar. Raungannya memompa semangat kami untuk menikmati perjalanan membelah samudra.

Kami menikmati laut yang hitam pekat, mendung tebal dan gelap yang menggantung di langit, dan kabut yang menutupi batas cakrawala. Kami berkeliling dari satu dek ke dek yang lain, makan mie instan di kafe, dan mengobrol dengan sesama penumpang dan awak kapal. Ombak, meski nampak lebih beriak dibanding saat kami berlayar dengan Pangrango tempo hari, masih cukup memberikan kenyamanan karena kapal hanya sedikit saja bergoyang. 

Kami juga menunaikan solat dhuhur, ashar, maghrib dan isya berjamaah. Imamnya bergantian antara mas Rukin dan mas Heru. Saya memilih selalu jadi makmum hehe, tentu saja. Kalau goyangan Marsela cukup terasa, sholat kami sesekali harus pada posisi pasang kuda-kuda supaya tidak jatuh terjerembab.

Hanya kami saja nampaknya yang muslim di kapal ini. Setiap waktu sholat tiba, kami tidak melihat ada orang lain yang mengambil air wudhu dan menunaikan sholat. Hanya kami bertiga. Mungkin kami yang tidak melihatnya, atau mereka sholat di tempat lain. Entahlah. Tapi memang mayoritas penumpang kapal ini adalah orang Maluku, nampak jelas dari wajah dan kulit mereka. Tentu saja mayoritas mereka adalah nonmuslim. 

Setiap waktu sholat tiba, kami naik ke dek dua bagian belakang, karena mushola ada di sana. Melewati kerumunan orang-orang yang sedang duduk melingkar, pada umumnya laki-laki dewasa, yang sedang bermain kartu dan minum sopi, minuman beralkohol khas Maluku. Minuman itu warnanya seperti teh, umumnya diwadahi dalam botol air mineral, dan mereka meneguknya sedikit demi sedikit dari gelas air mineral juga. Seringkali ada beberapa lembar uang di tengah-tengah kerumunan itu.  

Tidak seperti mushola di Pangrango yang begitu terjaga kebersihan dan keharumannya, mushola di Marsela ini menjadi ruang multifungsi. Ada beberapa kasur dan tikar yang digelar menutupi karpet sajadah. Tali-tali panjang terpasang di sisi-sisi dinding ruangan, dan handuk-handuk diangin-anginkan di sana. Barisan jemuran handuk itu menutupi hiasan kaligrafi Allah dan Muhammad. Tidak ada Alquran, tidak ada tumpukan sajadah atau mukena. Selalu ada orang yang sedang tidur setiap kali kami mau sholat, bahkan kerumunan orang bermain kartu. 

Namun begitu, setiap kali kami datang, orang-orang itu segera menyisih, mengemas kartu-kartu, rokok, minuman, dan uang, menyilakan kami untuk sholat. Pernah waktu mau sholat isya, mushola dipenuhi oleh orang-orang yang sedang bermain kartu. Kami sudah bersiap menggelar tikar di luar untuk sholat, tapi seseorang yang melihat kami, langsung memberi tahu teman-temannya yang sedang bermain kartu itu untuk pindah tempat. Lantas mereka dengan ramah menyilakan kami menggunakan mushola.

Ya, di antara kami memang ada perbedaan agama, perbedaan budaya. Batasan-batasan nilai dan norma juga berbeda jauh, jauh sekali. Namun begitu, di Marsela ini, kami bisa merasakan, mereka tetap berusaha menghormati kami, menghargai hak-hak kami. 

Tapi malam ini saya mendapatkan pengalaman yang agak traumatis. Sebuah penyu besar, panjangnya sekitar satu meter, ditangkap. Orang-orang, pada umumnya ABK, bergotong royong menarik penyu itu masuk kapal. Di beberapa bagian tubuh hewan itu penuh tali. Pada kondisi telentang, dia ditarik-tarik. Badannya hanya mampu bergerak-gerak kecil tak berdaya. Kepalanya terkulai, dan matanya....menangis. Ya, penyu itu mengeluarkan air mata. Hati saya teriris-iris melihatnya. Tak terbayangkan betapa kesakitannya dia. Saya beringsut menjauh darinya, tidak tega melihat matanya yang seperti memohon. Saya masuk kamar, meninggalkan mas Rukin dan mas Heru yang sibuk memotret. Termangu-mangu dengan bayangan penyu besar itu memenuhi kepala saya.

Entah nanti, entah besok, penyu itu akan disembelih. Konon, dalam keadaan batok sudah dilepas, bahkan ususnya pun sudah diangkat, penyu itu masih hidup. Dagingnya terus berdenyut sampai akhirnya denyutannya hilang setelah dagingnya dipotong kecil-kecil. Daging itu akan diolah menjadi bahan makanan mereka. Ususnya akan diisi dengan dagingnya yang sudah dipotong kecil-kecil dan dicampur garam, kemudian dijemur sampai kering. Bahan makanan semacam sosis itu namanya pepeta. Dia tahan lama, dan bisa menjadi persediaan makanan sampai bertahun-tahun.

Saya, mas Heru dan mas Rukin, ada di satu kamar. Bed saya paling ujung, lalu disambung bed mas Heru, dan di ujung yang sana lagi, ada mas Rukin. Di atas bed mas Rukin ditempati seorang ibu dan anak perempuannya yang masih berusia sekitar empat tahun, mungkin keluarga ABK. Di atas bed saya dan mas Heru, berganti-ganti orangnya. Mereka adalah ABK yang memerlukan waktu istirahat, menggunakan dua bed itu secara bergantian. 

Di luar kamar kami, adalah tempat parkir mobil-mobil. Tidak seperti fery yang di Madura atau di Gilimanuk, dek bawah pada fery Marsela ini tidak dipenuhi dengan mobil, truk, bus, dan sepeda motor. Hanya ada tiga mobil yang parkir. Jadi ada banyak ruang kosong di dek, dan di situ banyak kerumunan orang. Begitu juga dengan dek di bagian atas, kerumunan orang yang sedang bermain kartu dan minum sopi itu ada di mana-mana.

Di bagian sisi kanan dan kiri dek, di situlah kamar mandi tersedia. Setiap saya perlu ke kamar mandi, mas Rukin dan mas Heru bergiliran piket. Agak tidak pede juga keluar sendiri meski hanya sekedar ke toilet. Sopi yang saya lihat tersebar di mana-mana, menciptakan sedikit kekhawatiran di hati. Khawatir minuman keras itu bisa menyebabkan perilaku yang aneh-aneh bagi orang-orang yang meminumnya. Mungkin itu hanya kekhawatiran saya yang terlalu berlebihan, bisa jadi.

Kebetulan kami sekapal dengan Dr. Kalvin Karuna, dosen Unpatti yang pulang dari bertugas di Letwurung sebagai tim independen UN SMA. Kami juga di penginapan yang sama saat di Letwurung kemarin. Lelaki lima puluh satu tahun itu (hari ini adalah tepat hari ulang tahunnya, 'HBD, pak Kalvin) adalah putra daerah MBD, asalnya dari Luang, Mdona Hyera. Kisah hidupnya yang mendobrak kungkungan adat dan kebiasaan di keluarganya begitu inspiratif. Perjuangannya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak, tidak hanya sebagai pencari ikan di laut dan penunggu kebun, telah membawanya memperoleh kesempatan beasiswa dari Goethe Institute dan DAAD ke Jerman. Program S2 dan S3-nya ditempuhnya di UNJ, namun sejak S1 dia selalu ada kesempatan untuk menempuh pendidikan singkat di Jerman. Meski sudah menjadi 'orang', Dr. Kalvin, seperti orang-orang MBD pada umumnya, tetap rendah hati dan ramah. 

Di kamar, kami melakukan aktivitas kami masing-masing. Mas Rukin melanjutkan tulisan liputannya. Mas Heru mengecek hasil monev. Saya sibuk dengan BB saya. Kadang-kadang kami berkumpul bersama, menikmati foto-foto dan video para peserta SM-3T. Ketika melihat wajah-wajah mereka yang bertugas di Sermata dan Luang, tak pelak, kerinduan kami menyeruak. Sambil mengingat-ngingat wajah-wajah manis itu: Eko, Rico, Dian, Adlin, Romlah, Imaniar, Rio, semuanya. 

Marsela ternyata hanya tenang sampai sekitar menjelang tengah malam saja. Goyangannya semakin lama semakin terasa hebat. Menjelang pukul 01.00, saat saya tidak juga bisa tidur, saya melihat-lihat sekeliling. Semua sudah tidur. Juga mas Rukin. Padahal baru beberapa menit yang lalu dia mengeluarkan instruksinya, 'Tiduro, La', wis bengi. Jok nulis ae, ngalah-ngalahi wartawan ae...'. 

Entah pukul berapa saya tertidur. Tapi goyangan Marsela membangunkan saya pada pukul 03.00. Mungkin saat ini kapal sedang mengarungi Laut Banda yang terkenal keras anginnya itu. Goyangannya begitu terasa. Tubuh terayun ke kanan dan ke kiri, naik turun. Kamar sepi karena semua lagi tidur. Saya berusaha memicingkan mata lagi, tak juga berhasil. Ingatan saya melayang pada orang-orang yang ada di dek di atas kami. Betapa lebih terasa gocangannya. Benar ternyata kata Bapen, tempat ternyaman adalah di kamar ABK di bawah ini. Bapen, sekali lagi, terimakasih untuk perhatiannya.... 

Saya bangun pada pukul 05.00. Kamar masih sepi. Lalu mas Heru bangun, dan langsung ke kamar mandi. Begitu masuk kamar lagi, mas Heru bilang kalau dia 'muneg-muneg'. Saya juga merasakan hal yang sama. Beberapa kali 'atop' atau 'glegeken' karena perut terasa seperti dikocok. 

Marsela terus melaju. Goyangannya tetap terasa keras. Kami memilih sholat di kamar. Tidak bisa membayangkan sholat di mushola di dek atas, dengan goyangan yang seperti ini. Setelah sholat, kami memilih tidur kembali. Dalam kondisi terguncang-guncang seperti ini, hal terbaik untuk dilakukan adalah tidur.....

Selamat Hari Kartini....

Selat Banda, 21 April 2013 

Wassalam,
LN

MBD (10): Berlayar bersama Marsela

Di buritan kapal.
Malam ini, setelah menikmati makan malam di rumah bapak Ampi (atau biasa dipanggil bapen, bapak pendeta), tiba-tiba kami menerima kabar kalau jam 01.00 dini hari nanti,  kapal Marsela akan merapat ke dermaga Tepa. Iseng-iseng saya menawarkan ke mas Rukin dan mas Heru, apakah kita naik kapal itu saja menuju Ambon. Tentu saja tidak. Terlalu lama di kapal. Dua hari satu malam. Sekitar 26 jam. Ditambah singgah sekitar dua jam di Pulau Damer, 28 jam. 

Noval dan Risna juga tidak merekomendasikan. Alasan mereka, kapal fery itu sangat terasa goyangannya, terlalu tidak nyaman untuk kami bertiga. Pengalaman mereka ketika berlayar dari Ambon menuju Tepa saat pemberangkatan dulu, goyangan itu membuat banyak peserta SM-3T 'mabuk kepayang'.  

Tapi saat itu juga kami menerima kabar dari mas Nardi, petugas tiket kami, kalau penerbangan dari Saumlaki menuju Ambon untuk hari Senin sudah full-booked. Mas Nardi sudah mengusahakan sejak sehari sebelumnya, setelah menerima kabar dari kami kalau kami akan berlayar dari Tepa menuju Saumlaki pada hari Minggu, dengan menumpang kapal Pangrango. Dengan begitu kami harapkan Senin bisa terbang dari Saumlaki menuju Ambon dengan menumpang Express Air. 

Kabar dari mas Nardi itu membuat kami spontan memikirkan plan B. Ide iseng untuk menumpang kapal Marsela tadi kami pertimbangkan lagi. Kalau memang besok pagi Marsela berangkat dari Tepa, maka kapal akan merapat di Ambon pada Minggu siang. Sangat menghemat waktu dibandingkan bila menunggu Pangrango hari Minggu untuk menuju Saumlaki, dan baru bisa terbang dari Saumlaki ke Ambon pada hari Selasa.

Malam itu waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 WIT. Kami langsung menghubungi Noval untuk memastikan jadwal kapal dan mengkonfirmasi segala sesuatunya. Meski sinyal ponsel penuh, ternyata kami tidak bisa menelepon dan sms. Error in connection. Memang seperti itulah di Tepa dan Pulau Babar pada umumnya. Meskipun ada indikator sinyal di ponsel, belum tentu bisa menelepon atau mengirim sms. Kata Nanda dan kawan-kawannya, itu sinyal 'parlente'. 
Maka kami pun kembali menuju rumah Bapen karena Noval dan Risna ada di situ. Kami menyampaikan pada mereka, juga kepada ibu Hilda Rahanserang (istri Bapen), kalau kami bermaksud menumpang Marsela malam ini. Di luar dugaan kami, ibu Hilda secepat kilat merespon supaya kami menunggu sementara beliau akan menyampaikan rencana kami itu pada Bapen. Bapen yang sedang kerja lembur di kantor klasis dijemputnya.

Akhirnya keputusan untuk menumpang Marsela sudah bulat. Bapen menyarankan kami untuk beristirahat saja sementara beliau dan Noval yang akan memastikan jadwal kapal dan pemesanan kamar. Kami tentu saja sangat berterima kasih kepada beliau.  Entah kenapa, saya mengagumi kepribadian bapak pendeta itu sejak pertama kali bertemu beberapa hari yang lalu. Usianya mungkin jauh di bawah kami, tapi jiwa kepemimpinan dan sikapnya yang selalu siap melayani itu membuat siapa pun 'jatuh hati'. Pantaslah kalau beliau terpilih sebagai ketua klasis di Pulau Babar ini. 

Kami pulang ke penginapan diantar Noval dan Risna. Bapen meminta Noval untuk membawa HT supaya komunikasi mudah. Malam ini Noval dan Bapen akan stand by terus untuk memantau kedatangan kapal.
  
Kami bertiga mengemasi bagasi kami. Kalau pukul 01.00 nanti kapal benar-benar merapat, kami bermaksud secepatnya saja berpindah tempat ke kapal. Tapi ternyata sampai pukul 01.00 kabar tentang kedatangan kapal tidak juga kami terima. Kami yang duduk-duduk di ruang tamu penginapan mulai gelisah. Noval dan Risna menyarankan kami untuk tidur saja di kamar, dan mereka berdua akan berjaga-jaga untuk memastikan kapal. Mas Heru dan mas Rukin keluar masuk kamar, duduk dan berdiri, tertidur di ruang tamu.
Melihat saya duduk mematung saja, mas Rukin mengeluarkan instruksinya: 'tiduro sana, La'.'

Malam ini kami tidak nyenyak tidur. Kami hanya perlu kepastian bahwa kapal Marsela akan benar-benar singgah, dan kami bisa menumpang menuju Ambon secepatnya. 

Noval dan Risna dengan setia menunggui kami. Dua anak manis itu sangat peduli, setiap saat siap sedia untuk kami. Di Tepa ini, hampir semua keperluan kami diurusnya, koordinasi dengan sekolah, penginapan, makan, transportasi, tiket, dan lain-lain, bahkan juga 'mijitin'. 

Pukul 05.00 WIT, ketika adzan shubuh berkumandang, saya keluar kamar. Noval dan Risna tertidur di ruang tamu. Mas Rukin di ruang keluarga. Mas Heru di kamar, tapi kamarnya terbuka. Mendengar langkah saya, mereka semua terbangun karena saya memang sengaja memanggil-manggil nama mereka.

Menurut Risna, Marsela sudah sandar sejak pukul 04.00 dini hari tadi. Sekitar pukul 08.00, kapal itu akan berlayar. 

Risna menyampaikan kalau kami pagi ini diundang makan di rumah Bapen. Ibu Hilda  sudah menyiapkan bubur. Ini undangan makan ketiga yang kami terima dari Bapen. Entah harus bagaimana kami membalas kebaikannya. 

Selesai makan pagi dengan menu bubur, ayam goreng dan telur rebus, kami masih sempat ngobrol sejenak. Kami bertiga diminta Bapen untuk minum madu, supaya stamina kami terjaga. Saya sudah mulai batuk-batuk, dan Bapen memastikan kalau minum madu akan membantu menyembuhkan batuk saya.

Akhirnya sampailah kami di dermaga. Memasuki fery Marsela. Bapen memandu kami sampai di tempat yang sudah dipesannya untuk kami. Kamar di ruang ABK. Lantai paling bawah. Menurut Bapen, di situlah tempat paling nyaman, tidak terlalu terganggu dengan goyangan kapal karena ombak. Di atas ada ruang VIP, tapi hanya berupa kursi, tanpa tempat tidur. Di atas juga ada kamar-kamar, termasuk kamar nakhoda, yang bisa disewa. Tapi kalau kita di atas, goyangan kapal akan sangat terasa. 

Kamar ABK itu berisi empat tempat tidur susun, untuk delapan orang. Telah dikosongkan tiga bed untuk kami,  semuanya di bawah. Ber-AC. Ada empat meja di sisi-sisinya. Meski ada tulisan 'no smoking', ada asbak penuh puntung rokok di salah satu mejanya. Tapi overall, ruangan ini cukup nyaman. Tidak jauh juga dengan toilet. 

Kami mengucapkan terimakasih lagi, dan lagi, pada Bapen. Pria baik itu begitu istimewa di mata saya. Entah kenapa kerendah hatian dan ketulusannya begitu meruntuhkan hati kami. Saya membayangkan, betapa indahnya dunia bila kita hidup dalam semangat seperti ini, saling menghargai, saling melayani. Meski berbeda budaya, berbeda agama. Meski baru saling mengenal, tangan selalu terbuka siap menerima, tanpa curiga, tanpa prasangka. Indah nian.... 

Pukul 08.00. Kapal belum ada tanda-tanda mau bertolak. Loudspeaker justru mengabarkan kalau kapal akan berangkat pukul 12.00. Wuss. Kami sontak loyo. Mas Rukin bahkan sempat nyeletuk: 'mati karena menunggu'. Tapi hanya sebentar saja kami loyo. Semangat dibangun kembali. Setidaknya, Senin sudah sampai Ambon, dan bisa terbang ke Surabaya hari itu juga. Amin.

Kami berusaha menikmati waktu tunggu ini dengan sebaik mungkin. Mas Heru membuka laptop, mengecek laporan, foto, video, hasil monev kami selama beberapa hari ini. Mas Rukin ambil posisi di bed, tidur. Saya menulis. Juga mencoba menghubungi keluarga. Meski sinyal on-off, saya bisa kontak mas Ayik dan ibu. Ibu bahkan sempat mengingatkan saya untuk membaca doanya Nabi Nuh ketika naik perahu: bismillaahi majreeha wamur saaha inna robbi laghofuu rurrohiim. 

Semoga kapal ini segera berangkat, lancar, aman, tidak ada halangan apa pun sampai di tempat tujuan. Amin YRA.

Tepa, Babar Barat, MBD, 20 April 2013

Wassalam,
LN

MBD (9): Melepas Nanda dkk.

Melepas kepergian kami...
Pukul 19.00 WIT. Kami ada di Pelabuhan Tepa. Sore ini, Nanda, Puri dan Junaidi, akan menumpang Kapal Maloli, sebuah kapal perintis, berlayar menuju Sermata dan Luang. Nanda dan Junaidi bertugas di Sermata, Puri bertugas di Luang. Sermata dan Luang ada di kecamatan Mdona Hyera, tapi beda pulau.

Sejak sore, sepulang dari Letwurung, kami tidak beristirahat. Nanda meminta saya memberikan semacam pernyataan untuk teman-temannya di Sermata dan Luang. Dia akan merekam apa yang saya sampaikan itu dengan camera videonya. 

Di Kecamatan Mdona Hyera, ada sebanyak 19 peserta. Empat belas orang di Sermata dan lima orang di Luang. 

Untuk mencapai Mdona Hyera, kita harus menumpang kapal-kapal perintis. Sore ini ada kapal perintis Maloli singgah di Tepa. Kalau mau, kami bisa saja monev ke sana. Berangkat bersama Nanda dan kawan-kawan. Tapi entah kapan pulangnya, karena kapan ada kapal singgah lagi ke Mdona Hyera belum bisa dipastikan jadwalnya.

Hal itulah yang menyebabkan kami tidak berani melanjutkan perjalanan monev ke Mdona Hyera, karena jadwal kapal yang tidak pasti. Memang saat ini laut sedang teduh (istilah yang digunakan untuk menggambarkan laut sedang tenang, tidak sedang dalam cuaca angin barat atau angin timur). Namun cuaca bisa saja tiba-tiba berubah. Bila itu yang terjadi, maka kita bisa tertahan di Mdona Hyera berhari-hari atau berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan.

Tentu saja kami tidak berani mengambil risiko itu. Bapen juga tidak merekomendasikan kami berlayar ke Mdona Hyera. Begitu juga kepala UPTD dan beberapa kepala sekolah.

Ada banyak tugas lain yang sudah menunggu. Bu Suryanti, Pembantu Direktur 2 Program Pendidikan Profesi Guru (P3G), sedang sendirian, hanya dibantu staf P3G dan dua orang teman adhoc, pak Yoyok dan bu Lucia. Pak Sulaeman, Pembantu Direktur 1, sedang umroh. Pak Rahman, tim adhoc juga, sedang ada kegiatan di Bali. Pak Heru sedang bersama saya di sini. Begitu banyak hal yang harus diurus mengingat P3G ini baru memulai. Saya tidak sanggup lagi membayangkan bu Yanti harus mengurus semuanya sendirian. Biasanya selalu bersama saya dan pak Sulaeman.

Belum lagi tugas mengajar, baik di program S1 maupun di S2. Hampir dua minggu berturut-turut saya tidak mengajar. Minggu yang lalu, mendampingi pak Rektor monev SM-3T di Talaud. Minggu ini di MBD. Bagaimana pun, mengajar adalah prioritas. Tugas-tugas yang lain harus diatur sedemikian rupa supaya tidak terlalu sering meninggalkan tugas mengajar, meski itu bisa diganti di hari lain.

Selama di Pulau Babar, begitu ada sinyal, sms-sms masuk. Mahasiswa bimbingan yang menanyakan kapan bisa konsultasi, kapan bisa seminar, kapan bisa ujian skripsi dan tesis. Sms undangan penilaian proposal PMW, undangan penilaian presentasi proposal penelitian dari LPPM.... 

Tentu saja, lepas dari semua itu, saya mempunyai tugas penting melebihi tugas-tugas yang lain. Mengurus keluarga. Bagaimana pun saya seorang ibu, seorang istri, dan tugas utama saya adalah mengurus anak, mengurus suami.

Dan sore ini, saya diminta Nanda untuk menyampaikan beberapa hal di depan kamera videonya. Sebuah pernyataan. Sebagai pengganti ketidakhadiran saya di Mdona Hyera. 

Dari hari pertama kami menginjakkan kaki di Tepa, dia dan kawan-kawannya mendampingi kami terus. Hampir semua aktivitas kami diabadikannya. Untuk oleh-oleh teman-teman di Mdona Hyera.

Saya mempersiapkan diri. Memunguti beberapa lembar kertas di tas saya. Surat-surat dari Mdona Hyera. Titipan kawan-kawan Nanda untuk saya. Saat tangan saya menyentuh surat-surat itu, hati saya mulai meleleh. Tapi saya menguatkan diri. Menghela nafas panjang. Saya tahu saya sangat sedih dan saya bisa saja menangis di depan kamera. Tapi itu tidak boleh terjadi. Saya matikan perasaan saya.

Di depan kamera, saya membuka satu per satu surat-surat itu. Dengan ketegaran yang terus terjaga, saya menanggapi surat dari Rico Ady, Dian Widayanti, Leni Ariyanti,  Purwaningsih, dan juga dari Eko Tirto. Mereka mewakili teman-temannya yang bertugas di Mdona Hyera. Mereka meminta maaf tidak bisa bergabung dengan kami tim monev, pada umumnya karena alasan tidak mungkin meninggalkan sekolah. Juga harapan mereka supaya kami menjenguk mereka di Mdona Hyera.

Tempo hari, menjelang keberangkatan kami ke MBD, Eko Tirto sempat telepon dan menyampaikan keinginannya dan teman-temannya supaya tim monev sampai ke Mdona Hyera. Dia sangat, sangat mengharapkan itu. Tidak cukup berkomunikasi di telepon, dia menulis di FB Grup SM-3T 2012. Menyarankan dengan keras kepada tim monev supaya mengunjungi Mdona Hyera. Saya tentu saja sangat memahaminya. 

Oleh karena kapal tidak pasti jadwalnya, saya memintanya untuk mencoba kemungkinan sewa speedboat. Waktu monev di Aceh Singkil dulu, kami menggunakan speedboat Polair sebagai sarana untuk mengunjungi wilayah pulau-pulau. Pasti ongkosnya sangat mahal. Tapi ya sudahlah, demi mereka semua...

Ternyata tidak ada satu pun speedboat yang bersedia disewa ke Mdona Hyera karena cuaca mulai menunjukkan gejala awal angin timur. Itu artinya, kami tidak bisa ke sana.  

Cukup lama juga saya berbicara di depan kamera. Selain menanggapi surat-surat mereka, saya juga meminta maaf kepada mereka semua untuk ketidakhadiran kami di Mdona Hyera. Saya pastikan bahwa hal ini tidak akan membuat semangat mereka surut. Hadir atau tidak hadir, mereka sudah bertekad bulat jauh-jauh datang ke Mdona Hyera adalah untuk mengemban tugas pengabdian. Saya juga mendoakan mereka semua agar selalu diberikan kesehatan, kemudahan dan kelancaran dalam menjalankan tugas. Saya pesankan pada mereka supaya selalu jaga diri, jaga kesehatan dan jaga kehormatan. 

Selesai 'testimoni' itu, saya menghela nafas lega. Saya sudah melaluinya dengan baik. Tidak perlu ada pertumpahan air mata di depan kamera.

Tapi tidak begitu dengan mas Heru. Saat Nanda sudah siap merekam pernyataannya, mas Heru tidak kunjung berkata-kata. Yang terjadi adalah, dia menangis. Wajahnya merah padam dan air matanya berderai-derai. Situasinya sangat tidak memungkinkan untuknya meski hanya sekedar menyampaikan sepatah dua patah kata. Setelah ditunggu beberapa saat, dia menyerah. Dia justru meminta selembar kertas dan memilih menumpahkan perasaannya dengan menulis.

Dan sore ini, kami semua sudah di dermaga. Siap melepas Nanda, Puri dan Junaidi. Setelah sekitar seminggu bersama, rasanya berat untuk berpisah. Perasaan itu membuat kami tidak mau melewatkan waktu sedetik pun tanpa bersama mereka sejak sore tadi. Kami habiskan waktu dengan bersenda gurau di 'para-para' depan rumah tempat tinggal Noval dan Risna. Menikmati detik-detik terakhir kebersamaan.

Begitu peluit kapal berbunyi tanda kapal akan segera berangkat, kami saling berpelukan. Puri matanya merah, dia memang sudah sejak sore tadi menangis setelah bertelepon dengan ibunya. Dan sekarang mata itu basah lagi. Nanda, anak itu memang selalu tegar. Tapi wajahnya tidak mampu menyembunyikan kesedihannya. Sedangkan Junaidi, tetap dengan senyum manisnya, kupeluk dia dan kukatakan supaya dia jaga Nanda dan Puri. 

Kapal beringsut meninggalkan dermaga. Ketiga anak manis itu melambai. Meski agak gelap, saya bisa dengan jelas melihat lambaian tangan mereka. Ada yang terasa sakit di tenggorokan saya. Raungan kapal seperti mengiris-iris ulu hati. Saya menatap mereka dan kami terus saling melambai sampai kapal semakin menjauh dan gelap benar-benar menelan pandangan. 

Di tengah perjalanan pulang ke penginapan, sms Puri masuk: 'Ibu, doakan saya bu spy jd pribadi yg lbh kuat ya bu. Ibu, pak heru, pak rukin sdh sy agp orgtua sndiri, trmksh byk sdh menjenguk kami bu....' 

Begitu juga sms Nanda: 'Ibu hati2 kalau pulang...terimakasih untuk satu minggu yang sangat berkesan...doakan kita bisa menjalankan sisa masa tugas sebaik mungkin....sampai jumpa beberapa bulan lagi... Kita sayang sama bu luthfi....

Rupanya anak-anak manis itu sedang memanfaatkan detik-detik terakhir di mana mereka masih bisa ber-sms. Sebab hanya beberapa meter saja setelah itu, sinyal tidak akan pernah mereka dapatkan lagi, sepanjang perjalanan sampai di Sermata, sampai di Luang, bahkan untuk sekitar enam bulan ke depan, selama mereka menyelesaikan masa pengabdiannya di tempat itu.  

Meski saya tidak yakin sms balasan saya akan dibacanya, saya tetap mengirimkannya. Gagal, tidak terkirim. Saya coba, gagal lagi, berkali-kali, dan akhirnya, sepertinya terkirim. Sepertinya. Semoga benar-benar terkirim. 

'Puri, saya terharu melepas kalian. Setelah beberapa hari bersama, rasanya tidak ingin melepas kalian. Tp semua demi tugas. Kami menyayangi kalian, bangga pada kalian. Semoga perjalanan kalian menyenangkan, selamat sampai tujuan, selalu sehat dan lancar dalam mengemban tugas. Salam sayangku untuk kalian semua.'

'Ya, Nanda, kamu luar biasa. Kuat, tegar. Aku belajar banyak dari kamu. Meski rasanya sudah mau nangis melepas kalian tadi, tp melihat ketegaran kalian, saya berusaha bertahan. Selamat bertugas, sayang. Salam sayangku untuk kalian semua. Semoga kalian selalu sehat, lancar, dan kita bisa bertemu lagi dalam keadan baik-baik. Amin.'

Sekali lagi saya tidak yakin sms saya tersebut benar-benar telah terkirim. Meski begitu, saya lega telah membalas sms mereka...

Tepa, Pulau Babar, MBD, 19 April 2013

Wassalam,
LN

MDB (8): Nyanyi Yuk...

Disambut di-'seka'.
Saatnya kembali ke Tepa, setelah dua hari menginap di Letwurung. Dua hari yang luar biasa. Berkumpul bersama anak-anak muda yang penuh semangat dan selalu ceria. Saling memberi, saling menginspirasi.....(Nembak tagline-nya web ikaunesa).

Kami berangkat dari penginapan pada pukul 09.00 WIT. Menumpang mobil yang sama saat kami datang tempo hari. Dengan pengemudi yang sama juga, bapak Hau. 

Tetapi kami tidak langsung ke Tepa. Ada satu sekolah yang harus kami kunjungi lagi. SMP Negeri Satap Nakarhamto. Di situ ada Daniel, Didin dan Tika, yang tempo hari ketika berangkat ke Letwurung, tempat tinggalnya sudah kami singgahi. 

Sekolah yang sangat sederhana ini  memiliki empat orang guru, termasuk kepala sekolah. Satu orang, yaitu kepala sekolah, berlatar belakang Pendidikan Bahasa Indonesia, seorang PAK, dan dua orang Ekonomi. Keempatnya berkualifikasi S1. Ada empat guru honorer yang masing-masing mengajar Penjaskes, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Mulok dan SBK. Di antara guru honorer ini, hanya satu yang berkualifikasi S1, dan sisanya D1 dan D2.
    
Tahun lalu, sekolah sempat tidak memiliki guru Biologi dan Fisika karena guru yang bersangkutan mutasi di sekolah lain. Untung saja segera tiba para peserta SM-3T, sehingga siswa segera memiliki guru Biologi dan Fisika lagi. Mereka sudah sempat selama tiga bulan tidak menerima mata pelajaran tersebut.

Begitu juga dengan Geografi. Mata pelajaran ini dipegang oleh kasek sebelumnya. Ketika pada April 2012 yang lalu kasek mutasi, maka siswa juga tidak menerima mata pelajaran Geografi, sampai kedatangan para guru SM-3T. Jadwal ada, tapi tidak ada mata pelajaran. Tapi nilai raport tetap ada.....

Kami tidak hanya berdialog dengan kepala sekolah dan guru-guru serta komite saja, tapi juga dengan sekretaris desa dan ketua gereja. Kami juga masuk kelas dan berdialog serta bernyanyi bersama dengan para siswa. Lagunya, selalu, 'Kami Peduli'.

"Holeleo holeleo
Rererie orerio

Holeleo holeleo
Rererie orerio

Langkah-langkah kecil
Mengayun pasti
Menyusuri bukit dan lembah
Semangat kian pasti 
Setiap hari
Menghiasi wajah mereka

Meski hidup sederhana
Namun sinar mata menyala

Biar peluh mendera
Dan airmata
Berbekal buku lusuh 
Kau tetap menuntut ilmu
Ciptakanlah semangat
Di setiap langkahmu
Sambut dunia dengan tertawa
Gapailah citamu

Tegar meraih asa
Putra pelosok negeri
Jangan kau ragu
Karna kami peduli...."

Mereka menyanyikannya dengan sangat merdu meski artikulasinya sedikit aneh di telinga kami, karena semua vokal e menjadi e (dalam Bahasa Jawa, e-nya tanpa dipepet).  

Selain lagu 'Kami Peduli', kami juga minta anak-anak  menyanyikan lagu-lagu milik mereka. Lagu asli Babar. Seorang siswa, namanya Jefri, bercita-cita ingin menjadi tentara, kami silahkan untuk memimpin teman-temannya. Dua lagu mereka nyanyikan dengan iringan tepuk tangan yang keras dan rancak. Kami juga ikut bertepuk tangan meskipun tidak bisa menyanyikan lagunya.

Lagu pertama judulnya 'Babar'.

"Babar-e, Babar-e, tanah airku
Tanah tumpah darahku
Marilah, marilah kita bersatu
Mempertahankan Pulau Babar

Pulau Babar di timur dan laut
Orang seng tahu apa Babar punya mau
Beta balayar di tanah orang
Menanggung susah dan sengsara
Pulau Babar manise
Makan minum rame-rame
Rasa hidup orang saudara"

Lagu kedua, seperti juga lagu pertama, dinyanyikan dengan tepuk tangan riuh-rendah. Judulnya: 'Mars Babar Timur'

"Di sebelah timur Kepulauan Babar
Terbitlah fajar
Fajar Babar Timur Raya 
Di Indonesia Jaya
Tingkatkan semangat membaja
Kembangkan moral Pancasila
Marilah kita membulat tekat
Waktu tlah dekat tinggal landas

Pulau Marsela, 
Dawelor dan Dawera
Banyak hewan ternaknya
Berjenis-jenis hasil lautnya
Dari Ilwyara berderetan desa bersaudara
Hingga di Emplawas batimbra daerah luas dan banyak hasil tambang
Proyek irigasi tingkatkan produksi
Nasib rakyat petani Indonesia makmur abadi..."

Nakarhamto, Pulau Babar Timur, MBD, 19 April 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 19 April 2013

MBD (7): Sirih Pinang dan Bukit Sinyal

Bersampan ria...
Siang ini, sekitar pukul 10.30 WIT, setelah menyelesaikan dialog dengan guru-guru dan kepala sekolah di SMP Negeri 2 Letwurung, kami melanjutkan perjalanan menuju SMP Negeri 6 Ahanari. Meskipun namanya SMP 6, tapi tidak berarti di Babar Timur ini ada banyak SMP. Dari sejarahnya, Pulau Babar dulu hanya terdiri dari satu kecamatan, tersebar dari Babar Barat dan Babar Timur. Meskipun sekarang sudah terpisah, sekolah-sekolah yang ada tetap dinamai sesuai dengan namanya dulu.

Perjalanan dari penginapan ke sekolah-sekolah kami tempuh dengan bersepeda motor, begitu juga perjalanan ke SMP Negeri 6 Ahanari. Sepeda motor kami pinjam dari guru, kasek, kepala UPTD, dan dari penduduk setempat. Maka jadilah kami berkonvoi masuk desa keluar desa, dari satu sekolah ke sekolah lain. Mas Heru denga Mudho, Noval dengan Risna, Ratri dengan Ika, Nanda dengan Puri, Daniel, Sampurno, Melkianus, Junaidi, Fani, semuanya berboncengan. Saya sendiri membonceng mas Rukin. Paket lengkap. Bawa wartawan untuk meliput 'sak ngojek-e'. Hehe...

Jarak tempuh menuju SMP 6 Ahanari sejauh sekitar 30 menit. Melintasi beberapa desa, sehingga konvoi kami menarik perhatian para penduduk untuk keluar rumah menyaksikan konvoi. Mungkin di perkampungan seperti ini jarang ada orang bersepeda motor sebanyak itu. Juga melintasi perkebunan kelapa yang menghampar persis di sisi pantai, mirip sekali dengan di Talaud. Bedanya dengan Talaud, jalan-jalan di kebun kelapa harus beberapa kali melintasi jembatan-jembatan yang melintang di atas sungai-sungai kecil.

Menjelang pintu gerbang desa Ahanari, kami semua turun. Ternyata ada upacara penyambutan khusus. Suasananya ramai sekali tapi penuh khidmat. Saya didampingi mas Heru dan mas Rukin disilakan jalan di depan, dan para peserta yang lain di belakang kami. Selembar kain tenun dikalungkan ke leher kami bertiga oleh ibu Kepala Sekolah. Kemudian seorang bapak, mungkin tetua desa, menyalami tangan saya, memegangnya terus, sambil mengalunkan sebuah 'lagu'. Di bawah terik matahari, suaranya mendayu-dayu merdu, disaksikan oleh para sesepuh desa yang lain, guru-guru, puluhan siswa dan masyarakat. Sederetan siswa laki dan perempuan berseragam putih dan biru, saling bergandeng tangan, membentuk barisan setengah lingkaran, ada di depan kami. Di sebelah sana, di halaman sekolah, puluhan siswa berseragam putih biru juga, berbaris rapi dan tenang. Semuanya seperti menghayati alunan senandung bapak tetua tersebut.

Oriae lurik  
Mliona lekiau 
Mole koralel 
Piyoliwul namreia ulin 
Morelino wawan 

Terjemahannya kurang lebih seperti ini:

Orang besar dan berpendidikan,
Datang dari rantauan
Sampai di Ahanari
Katong (kita) berdoa kepada Tuhan
Katong hidup bersenang-senang

Bait ini diulang-ulang sampai beberapa kali, sampai akhirnya berhenti, berganti dengan hentakan alat musik tifa yang dipukul-pukul oleh dua siswa. Empat siswa perempuan menari di sekitar tifa itu, mengenakan pakaian adat. Puluhan siswa yang bergandeng tangan bergerak rancak mengikuti irama. Mereka membawakan tarian adat 'seka', menari dengan gerakan-gerakan sederhana, ke kiri dan ke kanan sambil 'menyanyi' juga. 

Tidak tahan menikmati saja tarian mereka, saya bertanya kepada seorang ibu pembawa payung yang sejak tadi berdiri di belakang saya. 'Bolehkah kami ikut menari?' Tanya saya. 'Boleh, ibu, semua akan lebih senang.' Tanpa pikir panjang saya bergerak di barisan penari, menyambungkan lengan saya, diikuti mas Heru, juga beberapa peserta SM-3T. Mereka bertepuk tangan melihat kami ikut menari bersama. Siang itu, matahari begitu teriknya, keringat bercucuran di wajah dan tubuh kami, namun keramahan dan ketulusan orang-orang bersahaja ini menyejukkan hati kami semua.

Lantas tibalah acara itu. Makan sirih pinang. Sejauh ini saya belum berhasil memaksa diri saya untuk mencoba mencicipi suguhan yang melambangkan penghormatan itu. Di Sumba dan di Talaud saya masih bisa menolak halus, meski pak rektor saja mengunyahnya. Tapi untuk kali ini tidak bisa tidak, saya harus menerima uluran sirih pinang dari ibu Kepala Sekolah, begitu juga mas Heru dan mas Rukin. Saatnya sudah tiba di mana saya akhirnya harus menyerah: menikmati rasa sirih pinang yang sepat dan pahit itu, di hadapan khalayak ramai. Haha....

Selesai dengan sirih pinang, kami dipandu memasuki halaman sekolah, dengan puluhan murid yang berbaris rapi. Mereka menyanyikan sebuah lagu. Liriknya tentang penghormatan pada guru, rasa bangga dan terimakasih mereka pada kami dan Unesa. Ya, Unesa disebut dalam lagu itu. Usut punya usut, ternyata pencipta lagu itu adalah Andi, seorang guru SM-3T yang bertugas di sekolah tersebut. Sebuah lagu yang sangat manis dan menyentuh, dilagukan dengan sangat merdu.

Di mana pun tempatnya di Maluku ini, semua orang seperti bersuara merdu. Mereka memiliki bakat alam yang luar biasa dalam urusan tarik suara. Kehidupan gereja yang lekat dengan lagu-lagu sangat membentuk keahlian ini. Juga petuah-petuah nenek moyang yang disarikan dalam bentuk nyanyian-nyanyian. Andaikata pita suara itu bisa dikloning dan diperjualbelikan, mungkin pita suara orang Ambon akan menjadi oleh-oleh favorit. Hehe.... 

Berfoto bersama di SMP Satap Nakarhamto.
Di SMP 6 Ahanari yang memiliki 99 siswa yang terbagi dalam empat rombel itu, ada empat guru yang semuanya PNS, ditambah tiga guru dari SM-3T. Yang sudah memiliki sertifikat pendidik profesional baru satu, dari prodi PAK, dan juga satu-satunya yang sudah S1. Selain mengajarkan agama Kristen, guru lulusan STAKPEN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan) Ambon ini juga mengajar PKn.

Peserta SM-3T yang bertugas di sekolah yang sangat sederhana ini adalah Melkianus, Andi dan Fani. Melkianus dari prodi Pendidikan Biologi, tapi dia juga harus mengajar Fisika dan Tikom (Teknik Informasi dan Komunikasi). Andi dari prodi Pendidikan Matematika, juga memiliki tugas tambahan mengajarkan Tikom. Begitu juga dengan Fani, meskipun dari prodi Pendidikan Sejarah, dia mengajar Bahasa Inggris sebagai tugas tambahannya. 
Seperti itulah mereka, menjadi apa saja untuk memenuhi kebutuhan akan guru.

Kami menyantap hidangan kue-kue dan teh panas yang disediakan di sebuah ruang kelas. Sambil mengobrol dengan kepala sekolah, komite, pendeta, dan juga guru-guru. Saya juga meminta pak tetua menyampaikan syair lagu yang dinyanyikannya tadi, dan menjelaskan maknanya. Seperti yang saya tuliskan di atas itulah hasilnya. 

Selesai menikmati kue, kami bermaksud pergi ke bukit sinyal. Ingin melihat di mana tempat para peserta SM-3T dan masyarakat setempat melakukan komunikasi dengan menggunakan ponsel mereka. Didampingi seorang bapak guru dan murid-murid, kami semua beramai-ramai menuju bukit sinyal. Tempat itu ada di bukit yang cukup tinggi dan terjal, sekitar lima ratus meter dari sekolah. Saking terjalnya, kami sampai harus terengah-engah untuk mencapainya dan musti sebentar-sebentar beristirahat di beberapa titik yang landai. Ratri, salah satu peserta SM-3T, bahkan sudah mengibarkan bendera putih sebelum mencapai puncak bukit. 'Nyerah'. 

Tapi jerih payah itu terbayar. Di atas bukit, kami tidak hanya mendapatkan sinyal. Tapi juga mendapatkan pemandangan yang wow. Luar biasa indahnya. Nun jauh di bawah sana adalah pantai dan laut yang biru berkilau-kilau. Dilengkapi dengan bukit berbatu dan pepohonan yang rapat. Atap-atap rumah seperti kotak-kotak korek api yang tersusun begitu indahnya. Kami semua takjub terpukau dengan hamparan lukisan alam yang dahsyat itu.

Turun dari bukit sinyal, kami melanjutkan perjalanan ke SMP Satap Tutuwawang. Sekolah ini letaknya persis di dekat pantai. Kami hanya sekedar mampir saja di sekolah ini, dan bermaksud melanjutkan perjalanan ke sebuah desa terpencil yang bernama Ampelas. Namun rute yang harus kami lalui begitu beratnya. Melintasi jalan kecil di sela-sela bebatuan pantai, sepeda motor harus 'dijeal-jejalkan' sedemikian rupa supaya bisa lolos menyelinap di antara batu-batu besar itu. Meski gua dan batu-batu pantai yang indah begitu mengobati kelelahan kami, namun karena tidak semua sepeda motor bisa lolos dan mencari speedboat sewaan juga tidak berhasil, maka kami memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan. 

Sembari menuju jalan pulang, kami sempatkan mampir ke pantai. Bermain sampan. Saya sempat 'nyemplung' karena sampan kemasukan air. Tapi rasanya puas bisa bermain sampan meski di bawah sinar matahari yang terik sampai menyakiti kulit muka. Beberapa waktu yang lalu, Nanda pernah mengirimkan foto-foto dan videonya ketika dia sedang bermain sampan dengan anak-anak di desanya,di  desa Mahaleta di Pulau Sermata, Mdona Hyera. Saat melihatnya, saya menyimpan keinginan suatu saat ingin bermain sampan seperti itu. Hari ini 'keturutan.' 

Kami pun kembali berkonvoi menuju penginapan di sore yang mulai turun. Hari ini begitu luar biasa. Ada banyak pengalaman baru yang sangat menakjubkan. Ada banyak pelajaran hidup baru yang begitu berharga. Setiap detik terasa begitu penuh arti....

Aharani, Pulau Babar Timur, MBD, 18 April 2013.

Wassalam,
LN