Pages

Kamis, 18 April 2013

MBD (6): Dan UN...?

Saya di halaman SMAN Letwurung bersama Ratri dan Tika.
Meski hanya sarapan sepotong donat, kami memulai kunjungan ke SMA Negeri Letwurung dengan penuh semangat. Waktu menunjukkan pukul 07.30 WIT. Seharusnya kami 'kulonuwun' ke kantor UPTD dulu, namun karena Kepala UPTD sedang melakukan supervisi ke sekolah-sekolah untuk memastikan UN SMA hari terakhir ini baik-baik saja, maka kami memutuskan untuk langsung ke sekolah dulu. Memanfaatkan waktu. 

SMA Negeri Letwurung  sebelumnya adalah SMA PGRI Letwurung. Baru pada Maret 2013 yang lalu diresmikan sebagai SMA Negeri. Bangunannya terlalu sederhana untuk sebuah SMA. Bangunan sederhana itu pun merupakan bangunan baru. Ratri dan Tika, dua peserta SM-3T, yang bertugas di sekolah itu masih sempat merasakan mengajar di bangunan lama yang berada di halaman sekolah itu juga, yang kondisinya jauh lebih memprihatinkan. Mungkin karena masih baru, bahkan papan nama sekolah pun tidak ada, sehingga saya menamakannya sekolah tanpa  nama.

Di sekolah ini, jumlah guru PNS ada tujuah orang (termasuk kasek). Guru kontrak provinsi ada empat orang. Dari sekian guru, seorang guru berlatar belakang pendidikan Matematika (murni, bukan kependidikan), seorang berlatar belakang pendidikan Sosiologi (dari Sospol, bukan kependidikan). Selebihnya adalah guru Agama Kristen, guru Sejarah, BK, dan  Matematika (lulusan PGSLP); masing-masing satu orang. Kepala sekolah sendiri, Viktor Hemata, S.Pd, adalah lulusan Pendidikan Geografi, FKIP Universitas Pattimura. Namun kasek tidak mengajar, lebih banyak melaksanakan tugas-tugas lain sebagai kasek, sehingga sekolah ini praktis tidak memiliki guru Geografi.
Koleksi buku SMAN Letwurung yang terbatas.
Mesin Tik Manual.

SMAN Letwurung di tengah alam MBD.

Dengan komposisi seperti itu, maka sekolah tidak memiliki guru Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Kimia, Biologi,  Geografi dan Ekonomi. Selama ini, mata pelajaran tersebut diajar oleh guru-guru yang bukan bidangnya. Maka kehadiran Ratri yang berlatar belakang Pendidikan Ekonomi dan Ika yang dari Pendidikan Geografi, sangatlah membantu kekurangan tersebut. Selain mengajar sesuai bidang mereka, keduanya juga mengajar Bahasa Indonesia.

Tidak hanya Ratri dan Ika yang tiba-tiba harus menjadi 'superwoman' atau 'superman'. Sebagian besar peserta SM-3T harus mengajar mata pelajaran tambahan di luar bidangnya. Seringkali bahkan bukan bidang yang serumpun dengan latar belakang pendidikannya. Kondisi sekolah menuntut mereka untuk menjadi apa saja supaya siswa bisa tetap belajar dan tidak terlalu banyak jam pelajaran yang kosong

Sekolah ini tidak memiliki genset sehingga listrik praktis tidak tersedia. Ada perpustakaan namun koleksi bukunya sangat minim, hanya buku-buku paket saja yang dibeli dari dana BOS. Itu pun jumlahnya sangat terbatas, tidak cukup untuk memenuhi rak buku yang hanya. berukuran 3x4 meter. Tidak ada komputer, tidak ada laboratorium, tidak ada fasilitas olah raga dan kesenian. Tapi masih ada satu mesin tik manual yang diletakkan di ruang perpustakaan, entah untuk apa.

Jumlah siswa sebanyak 113 orang yang terbagi dalam 6 rombel. Saat ini, siswa yang mengikuti UN sebanyak 19 orang, dari jurusan IPA 7 orang dan IPS 12 orang. Entah bagaimana mereka harus mengerjakan soal-soal UN itu, sementara bekal mereka begitu terbatas. Tapi, setidaknya, ada 40 persen nilai raport yang akan membantu kelulusan mereka....

Setelah selesai di SMA Negeri Letwurung, kami melanjutkan perjalanan menuju UPTD Dikpora Kecamatan Babar Timur. Kepala UPTD,  Lakburawal, A.M.Pd, adalah pria yang ramah. Meski 'hanya' lulusan Sarjana Muda, di sini seseorang bisa menjabat sebagai Kepala Sekolah bahkan Kepala UPTD. Kepala UPTD sangat mengharapkan adanya bantuan tenaga guru melalui program SM-3T ini bisa terus berlanjut, terutama untuk memenuhi kebutuhan guru dari latar belakang pendidikan yang diujikan di UN. 

Dari kantor UPTD, kami melanjutkan perjalanan ke SMP Negeri 2 Pulau-Pulau Babar. 
Kaseknya, sudah lebih dari 20 tahun bertugas di sekolah tersebut. Beliau merupakan bapak piara Mudho dan Sampurno, dua peserta SM-3T yang ditugaskan di sekolah itu. Istilah bapak piara atau ibu piara merupakan istilah yang lazim untuk menyebut orang tua di mana seseorang menumpang di rumah mereka.

Di sekolah ini, jumlah siswa sebanyak 179 orang yang terbagi dalam enam rombel. Jumlah guru tiga belas orang plus dua peserta SM-3T. Tidak ada guru Bahasa Indonesia dan Matematika. Dari jumlah guru tersebut, dua orang lulusan S1 PAK, selebihnya adalah lulusan diploma, termasuk kasek. Guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik profesional baru dua orang. Tahun kemarin sebenarnya kasek masuk kuota dan sudah sempat mengikuti Ujian Kompetensi Awal (UKA), namun ketika harus berangkat mengikuti PLPG, laut sedang bergelora, dan kendala cuaca ini telah menutup kesempatannya untuk mengikuti PLPG pada tahun tersebut.

Dalam perbincangan kami dengan para guru yang pada umumnya sudah sangat senior dan mungkin beberapa dari mereka sebentar lagi pensiun, Ibu Heni Kastera, seorang guru PAK mengemukakan, selama dalam kebersamaan, kehadiran SM-3T sangat menyentuh kehidupan anak-anak Indonesia, terutama di SMP Negeri 2 Pulau-Pulau Babar. Para siswa, guru dan masyarakat  sangat bersukacita, bahwa ada guru-guru muda dari Indonesia yang mau datang untuk berbagi dengan mereka. Mereka tidak hanya membagikan ilmu, namun juga  membagikan kepedulian. Nuansa kebersamaan dalam Bhinneka Tunggal Ika tidak hanya sebagai wacana, namun  benar-benar nyata melalui program SM-3T ini. Seorang guru yang lain, bapak Benoni, menyampaikan rasa bangganya ketika sekolah menerima bantuan dua orang tenaga guru. Mereka sangat berarti dalam membangkitkan semangat belajar siswa, serta memberikan dampak positif baik dalam pembelajaran di kelas maupun dalam peningkatan manajemen sekolah. 

Masih ada satu sekolah lagi yang harus kami kunjungi siang ini, yaitu SMP Negeri Ahanari. Meski baru dua sekolah yang sudah kami lihat, kondisi kedua sekolah tersebut membuat saya seperti 'blangkemen'. Dalam nuansa UN seperti ini, baik yang saat ini sedang atau sudah berjalan (tingkat SMA), maupun yang saat ini sedang melakukan persiapan (tingkat SMP dan SD), kondisi sekolah-sekolah di Kecamatan Babar Timur ini, juga sekolah-sekolah di wilayah terpencil yang lain yang sudah pernah saya lihat, membuat saya seperti kehilangan kata-kata. Saya mencoba mencari makna UN bagi guru, bagi siswa, bagi masyarakat. Otak saya tumpul. Mereka ada di lapisan bumi paling bawah sementara UN adalah sesuatu yang entah apa itu, berada di langit ketujuh. Saya tidak yakin mereka benar-benar belajar untuk mempersiapkan UN karena sesungguhnya mereka tidak paham apa yang harus mereka pelajari. Mereka hanyalah robot yang harus datang dengan seragam putih abu-abu, duduk di kursi yang sudah disediakan, menerima LJK, menerima soal, dan mulailah membuat bulatan-bulatan. Saya tidak yakin mereka benar-benar mengerahkan pikiran ketika memutuskan untuk membuat bulatan-bulatan itu. Pengalaman sudah mengajarkan pada mereka, seperti apa pun mereka, semuanya akan lulus. UN hanyalah formalitas saja demi memperoleh selembar ijazah. Sementara tanpa itu pun, mereka telah mendapatkan banyak pelajaran dan pengalaman di laboratorium kehidupan mereka. Di sebuah sekolah bernama alam semesta.

Siswa SMAN Letwurung tengah mengikuti UN.
Sampai di sini, saya menjadi tidak terlalu yakin, apakah sekolah itu penting? Seperti apakah mutu manusia-manusia yang dihasilkan dari proses pendidikan yang mengabaikan nilai-nilai hakiki sebagai manusia? Bukankah pendidikan itu seharusnya memanusiakan manusia? Bukankah sekolah itu seharusnya mendidik manusia untuk menjadi cerdas (fathonah), jujur (siddiq), peduli(tabligh) dan tanggung jawab (amanah)? 

Dan UN.....?

Entahlah, sampai di sini otak saya benar-benar tumpul...

Letwurung, Pulau Babar Timur, MBD, 18 April 2013.

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...