Pages

Jumat, 05 April 2013

Tentang Kemampuan Membaca


Luthfiyah Nurlaela

Kemampuan membaca menjadi dasar utama tidak saja bagi pembelajaran bahasa, tapi juga bagi semua mata pelajaran. Dengan membaca, siswa dapat memperoleh pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan daya nalar, sosial, dan emosionalnya.
Tentang membaca, beberapa ahli mendefinisikan dengan cara yang agak berbeda, namun pada dasarnya terdapat satu persepsi tentang membaca, yaitu merupakan suatu proses. Allen dan Vallete (1977) mengemukakan bahwa membaca adalah sebuah proses yang berkembang (a developmental process). Pada tahap awal, membaca sebagai suatu pengenalan simbol-simbol huruf cetak (word recognition) yang terdapat dalam sebuah wacana. Dari membaca huruf per huruf, kata per kata, kalimat per kalimat, kemudian berlanjut membaca paragraf per paragraf dan esei pendek (Sugiarto, 2001). Relevan dengan pendapat tersebut adalah sebagaimana dikemukakan Calfee dan Drum (1986), yang menyatakan bahwa komponen proses membaca meliputi pengkodean (decoding), kosa kata (vocabulary), pemahaman kalimat (sentence comprehension), pemahaman paragraf (paragraph comprehension), dan pemahaman bacaan (text comprehension).
Dengan demikian membaca merupakan suatu kombinasi dari pengenalan huruf, intelektual, emosi, yang dihubungkan dengan pengetahuan si pembaca  (knowledge background) untuk memahami suatu pesan yang tertulis (Kustaryo, 1988). Bagi seorang pemula seperti anak-anak, membaca berarti mengenali simbol dari sebuah bahasa. Pemahaman bacaan secara bertahap akan dimiliki setelah tahap word recognition ini dikuasai. Membaca juga diartikan sebagai suatu proses mental atau proses kognitif, yang dalam proses tersebut seorang pembaca diharapkan bisa mengikuti dan merespon pesan penulis (Davies, 1997).
Bagaimana seorang anak belajar membaca? Setidaknya ada empat jawaban untuk pertanyaan tersebut (Calfee & Drum, 1986): (1) membaca sebagai proses alamiah, seperti halnya belajar berbicara; (2)  membaca melalui serangkaian tahap; (3) membaca merupakan penguasaan  keterampilan-keterampilan khusus; dan (4) membaca merupakan aktivitas formal.
Sebagai proses alamiah, penyediaan bahan bacaan dan aktivitas yang telah dikenali siswa adalah penting, karena anak-anak harus berurusan dengan konsep dan struktur yang telah sedikit mereka mengerti. Applebee dan Langer (1983, dalam Calfee & Drum, 1986) memfokuskan pada tugas-tugas bahasa yang dihadapi siswa, dan mengusulkan supaya guru menyediakan kerangka konseptual atau scaffolding untuk memberi bantuan pada siswa. Tingkat bantuan tersebut adalah penting. Soal-soal ”isilah titik-titik” dengan soal-soal esei memberikan bantuan yang berbeda; yang pertama menyediakan bantuan terlalu banyak dan yang kedua terlalu sedikit. Applebee dan Langer menyarankan tingkat bantuan yang cukup atau sedang, yang memberi siswa bimbingan hanya sebanyak yang mereka perlukan, misalnya diskusi tentang suatu bacaan atau definisi suatu kata.
Teori bertahap (stage theory) menurut Chall (1983, dalam Calfee & Drum, 1986), mengajukan model enam-tahap penguasaan membaca. Tahap-tahap tersebut meliputi: (1) tahap 0, prereading, usia lahir - 6 tahun; (2) tahap 1, initial reading atau decoding, usia 6-7 tahun; (3) tahap 2, fluency, usia 7-8 tahun; (4) tahap 3, reading to learn; (5) tahap 4, multiple viewpoints, usia sekolah menengah; (6) tahap 5, reconstruction, pendidikan tinggi. Sesuai dengan tahap-tahap tersebut, maka anak yang baru mulai belajar membaca memasuki tahap initial reading dan fluency. Pada tahap ini, yang perlu ditekankan adalah bagaimana anak mengenali dan membaca huruf, untuk kemudian memahami konten dari bacaan yang berkaitan dengan pengetahuan-pengetahuan yang telah sebelumnya mereka ketahui dan alami.
Membaca dikatakan sebagai penguasaan keterampilan-keterampilan khusus karena membaca merupakan sekumpulan tujuan atau keterampilan yang ditentukan secara tepat. Masalah pengkodean, kosa kata, pemahaman bacaan, merupakan tujuan dan keterampilan membaca. Aktivitas biasanya dimulai dengan kajian beberapa kata dari bacaan, membaca sebuah cerita, diselingi pertanyaan-pertanyaan tentang detil dan kesimpulan dari bacaan, dan makna kata berdasarkan konteks.
Membaca sebagai aktivitas formal memadukan psikologi kognitif dan teori kurikulum. Model ini bermula dari asumsi bahwa arsitektur pikiran (minds) adalah sangat sederhana. Apa yang kemudian membuat pikiran menjadi menarik dan kompleks adalah kandungannya, struktur mental yang mendasari kinerja dan pengetahuan. Sebagian struktur tersebut—contohnya adalah apa yang diketahui seseorang tentang restoran—terjadi melalui pembelajaran alamiah. Lainnya, misalnya apa yang diketahui seseorang tentang diagram kalimat, dihasilkan dari pengajaran formal. Pada ujung kedua kontinum tersebut, hasil akhirnya adalah representasi mental, tubuh pengetahuan, dibentuk oleh pikiran dengan lebih banyak atau lebih sedikit struktur yang saling bertalian (Calfee & Drum, 1986). 
            Tujuan utama pengajaran membaca adalah untuk membantu anak memahami apa yang mereka baca sehingga mereka dapat bergerak dari “belajar untuk membaca” ke “membaca untuk belajar” (Mautone, dkk., 2003; Torgesen, 1998). Kemampuan membaca permulaan (early literacy) pada anak sangat dipengaruhi oleh keterlibatan keluarga (de Jong dan Leseman, 2001; Senechal dan LeFevre, 2002; Sheldon, 2002).  Kesempatan dan kualitas pengajaran membaca di rumah, sekaligus kesempatan dan kualitas interaksi sosial-emosional selama aktivitas non-literacy secara signifikan berkorelasi dengan pengkodean  (decoding). Kebiasaan memberikan tugas untuk membaca buku cerita di rumah dengan melibatkan orang tua juga secara signifikan mampu mengembangkan keterampilan membaca dan berbahasa siswa.
Kemampuan membaca siswa juga dipengaruhi oleh pendidikan sebelumnya. Beberapa temuan penelitian tentang kemampuan membaca anak SD kelas 1 menunjukkan bahwa pada umumnya siswa yang pernah bersekolah di TK kemampuan membacanya lebih baik dibandingkan dengan siswa yang tidak bersekolah TK. Hal tersebut antara lain disebabkan karena kesiapan belajar membaca mereka yang meliputi pengenalan huruf dan sosialisasi dengan teman sebaya, lebih baik daripada mereka yang tidak pernah bersekolah di TK (Sammons, dkk., 2004; Leppanen, dkk., 2004).
MacGilchrist (1997) mengemukakan terdapat satu temuan penting tentang peranan membaca, di mana tingkat kemampuan siswa pada usia 7 tahun merupakan prediktor yang baik atas tingkat pencapaiannya di masa yang akan datang.  Sebuah hubungan  diperoleh antara kemampuan membaca pada usia 7 tahun dan tingkat prestasi ujian pada usia 16 tahun.  
            Kemampuan membaca bahkan didinilai mempengaruhi sikap agresif siswa sekolah dasar. Sebuah penelitian yang dilakukan selama enam tahun (1996-2002) oleh Sarah Miles dan Deborah Stipek dari Stanford University School of Education, menemukan bahwa anak kelas 1 SD yang kemampuan membacanya relatif rendah, saat di kelas 3 cenderung memiliki tingkat agresivitas tinggi (Witdarmono, 2006). Siswa kelas 3 yang memiliki kemampuan membaca rendah, juga cenderung memiliki sikap agresif tinggi saat kelas 5. Sifat agresif dalam hal ini meliputi suka berkelahi, tidak sabar, suka mengganggu, dan kebiasaan menekan anak lain (bullying).  Menurut kedua peneliti tersebut, bersamaan dengan tingkat pergaulan, anak-anak yang berkemampuan membaca rendah mengalami tingkat frustrasi yang menumpuk, dan hal itulah yang menyebabkan mereka menjadi agresif.
Sebaliknya, ada keterkaitan antara sikap sosial dan kemampuan membaca. Sikap sosial dalam hal ini meliputi sikap suka menolong, mengerti perasaan orang lain, memiliki empati, memiliki perhatian pada orang yang sedang kesusahan, dan suka menolong/menghibur teman yang kecewa. Anak-anak yang memiliki sikap sosial yang baik saat kelas 1 SD biasanya lebih mampu mengembangkan kemampuan membacanya di kelas 3 dan 5.
Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan betapa pentingnya pendidikan dan pengajaran yang efektif dalam kemampuan membaca pada jenjang-jenjang awal SD. Tepatlah jika dikatakan oleh Farr (1984, dalam Harjasujana, 2006) yang menekankan pentingnya membaca dalam sebuah kalimat “reading is the heart of education”.
            Bila penelitian di atas dilakukan bagi anak usia SD (5-9 tahun), bagaimana dengan kemampuan membaca pada anak usia 9-14 tahun? Programme for International Student Assesment (PISA) yang bertujuan untuk mengukur tingkat pengetahuan dan keterampilan anak usia 14-15 tahun (usia akhir wajib belajar), meneliti anak-anak dari 29 negara maju dan berkembang. Penelitian PISA dilakukan tiga tahun dengan fokus yang berbeda-beda, tetapi saling bersinambungan. Fokus tahun 2000 (32 negara) adalah reading literacy. Fokus tahun 2003 (40 negara) adalah mathematical literacy dan problem solving. Selanjutnya fokus tahun 2006 (57 negara)  adalah scientific literacy. Hasil penelitian tahun 2003, Indonesia berada pada peringkat terbawah dalam kemampuan membaca. Tiga besar teratas diduduki Finlandia, Korea dan Kanada. Bagi Indonesia, ini berarti dari lima tingkat kemampuan membaca model PISA, kemampuan anak-anak Indonesia berada pada tingkat satu. Artinya, hanya mampu memahami satu atau beberapa informasi pada teks yang tersedia. Kemampuan untuk menafsirkan, menilai, atau menghubungkan isi teks dengan situasi di luar terbatas pada pengalaman hidup umum. Akibatnya, anak-anak akan sulit memakai kemampuan membaca untuk memperluas pengetahuan dan keterampilan pada bidang lain. Keadaan ini mengakibatkan pada usia 19-20 tahun, mereka mungkin baru mampu menyelesaikan SMA-nya. Atau jika pada usia itu sudah bekerja, besar kemungkinan untuk tersisih dalam persaingan lapangan kerja. Situasi semacam ini tentu mudah menyebabkan harga diri mereka turun dan memicu untuk memusuhi masyarakat dan lingkungan sekitar (Rutter dan Giller, 1983, dalam Witdarmono, 2006).
Begitu pentingnya kemampuan membaca, sehingga perlu diupayakan ketersediaan lingkungan belajar yang kondusif, sehingga dapat menciptakan generasi yang literat. Sistem pendidikan perlu direformasi agar mampu mengembangkan kemampuan literasi anak sejak dini. Pembelajaran harus lebih diarahkan pada pengembangan kreativitas dan daya pikir siswa. Mulai SD, anak-anak harus sudah dibiasakan dengan tugas membaca. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pembelajaran konvensional yang kurang mendorong tumbuhnya minat dan kebiasaan membaca seharusnya diperbaiki. Model-model pembelajaran yang lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang literat, yang bisa meningkatkan kemampuan membaca siswa, harus diterapkan secara meluas.
Pembelajaran membaca seharusnya menjadi hal yang menyenangkan bagi anak. Banyak guru yang menuntut anak untuk secepatnya lancar membaca, sekalipun anak masih kelas 1 SD, bahkan masih duduk di TK. Belajar bagi anak akhirnya merupakan sesuatu yang menjemukan, menyebabkan anak malas ke sekolah, dan stres. Di sisi lain, membaca pada anak kelas 1 SD adalah membaca permulaan (initial reading) yang ditekankan pada mengenal dan membaca huruf (decoding). Dengan praktek, anak tidak lama berada pada tahap tersebut, mereka akan mulai memusatkan perhatian pada konten. Namun, sebagaimana yang dikatakan Calfee dan Drum (1986), membaca pada tahap tersebut bukanlah untuk memperoleh informasi baru, melainkan untuk mengkonfirmasi apa yang sudah diketahui anak. Ini berarti, pembelajaran harus kontekstual, sesuai dengan tahap perkembangan anak, dan tentu saja menyenangkan dan bermakna.  Namun sayangnya, guru seringkali “tidak sempat” lagi berpikir tentang bagaimana membawakan pembelajaran yang memenuhi ciri tersebut, karena mereka lebih berorientasi pada bagaimana menuntaskan materi yang telah ditargetkan oleh kurikulum. Hal ini adalah persoalan umum yang terjadi di dunia pendidikan kita, di semua jenjang, sehingga tidak salah bila dikatakan pendidikan lebih banyak menggarap sisi intelektual siswa, namun kurang menyentuh sisi emosional dan spiritualnya.
Salah satu faktor penentu minat baca adalah bentuk fisik buku. Ilustrasi, warna, format, dan jenis cetakan, merupakan ciri-ciri buku yang mempengaruhi pilihan anak (Winihasih, 1999). Pada umumnya, anak menyukai buku-buku yang memiliki banyak ilustrasi gambar berwarna-warni. Buku yang dicetak dengan format menarik dengan jenis cetakan yang serasi akan menjadi buku pilihan anak. Membaca buku pada anak dapat mengembangkan  konsep dan pengalaman (Winiasih, 1999). Dengan adanya konsep dan pengalaman yang luas dapat meningkatkan kemampuan membaca anak. Berkaitan dengan pembelajaran membaca, penyediaan lingkungan yang memungkinkan siswa untuk berproses secara alamiah, dengan memperhatikan apa yang seharusnya dilakukan pada setiap tahap penguasaan membaca, akan sangat membantu mengembangkan kemampuan membaca siswa sebagaimana yang diharapkan.

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...