Pages

Kamis, 18 April 2013

MBD (5): Kalwedo

Saya di depan mobil yang melayani internet.
Pagi di Tepa. Kami mengawali makan pagi di penginapan. Penginapan hanya menyediakan teh panas dan kue-kue: pisang goreng, nagasari dan kue lapis. Ibu Mirna, ibu guru yang baik hati itu, mengirim nasi goreng, telur ceplok dan krupuk. Lengkaplah makan pagi hari ini. Kami menikmatinya di ruang makan, bersama Noval dan Mudho.

Kunjungan pertama kami pagi ini adalah UPTD Dikpora kecamatan Pulau-Pulau Babar. Sebuah kantor yang memanfaatkan rumah tua. Kantor itu juga disebut rumah tua. Bukan karena dia menempati rumah tua, tapi karena rumah itu menjadi tempat menyelesaikan segala urusan. 

Kami juga bertemu dengan Kabid SMP Dinas PPO MBD, bapak Otis. Beliau menyampaikan ucapan terima kasihnya pada kami untuk program SM-3T ini. Harapannya, pada waktu-waktu yang akan datang, program ini terus berlanjut, bahkan kalau bisa ditambah jumlah gurunya. Kekurangan guru di daerah MBD merupakan persoalan terbesar, terutama di daerah-daerah pulau-pulau kecil. 

Menurut ibu Maria, kabid SMA Dinas PPO MBD, yang kami temui tadi malam di rumah bapak ketua klasis, sebanyak sekitar 80 persen guru di MBD belum memenuhi kualifikasi S1/D4. Mereka yang sudah memenuhi kualifikasi tersebut mayoritas lulusan Pendidikan Agama Kristen (PAK). Para guru ini mengajar apa saja yang bisa mereka ajarkan di sekolah, tidak hanya agama, namun mungkin juga PKn, Bahasa Indonesia, Sejarah, dan sebagainya, yang sama sekali tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka. Bila guru-guru benar-benar tidak memiliki kompetensi (baca: keberanian) mengajar mata pelajaran yang bukan bidangnya, mata pelajaran itu bisa-bisa tidak pernah diajarkan, meskipun itu mata pelajaran yang di-UN-kan. Ini benar-benar terjadi di suatu sekolah, di mana sejak kelas satu, siswa hanya diajar dua kali untuk mata pelajaran Biologi, itu pun oleh guru honorer yang kemudian berhenti mengajar. Mereka baru diajar lagi mata pelajaran Biologi setelah kedatangan para peserta SM-3T. Siswa-siswa tersebut saat ini adalah siswa yang sedang dan akan menempuh UN. Sedih. 

Setelah mengunjungi UPTD, kunjungan kami lanjutkan ke SMA Negeri Tepa, tempat Noval dan Risna bertugas. Kami berjalan kaki saja, karena di kampung kecil itu, jarak dari satu titik ke titik yang lain tidaklah terlalu jauh. Di SMA Negeri Tepa, sebagaimana di SMA seluruh Indonesia saat ini (kecuali di 11 provinsi yang tertunda UN-nya), UN hari ketiga sedang berlangsung. Kami datang sekitar pukul 09.15, dan seharusnya, lima belas menit lagi UN selesai. Tapi ternyata sekolah menambah waktu sepuluh menit lagi. Menurut kepala sekolah, waktunya ditambah karena siswa perlu mengecek apakah nama dan lain-lain sudah dituliskan dengan benar. Ada polisi, ada tim independen, ada panitia sekolah yang telah menyetujui penetapan 'injury time' tersebut.

Selesai kunjungan ke SMA Negeri Tepa, kami kembali ke penginapan, bersiap-siap check out untuk melanjutkan perjalanan menuju Kecamatan Babar Timur. Memang di Tepa ini hanya ada satu sekolah saja yang menjadi tempat tugas peserta SM-3T. Selebihnya ada di Babar Timur dan Mdona Hyera.

Waktu tempuh dari Tepa ke Babar Timur sekitar dua jam. Mobil yang membawa kami adalah mobil ranger double gardan, menyewa dari seorang pengusaha dari Letwurung. Sampurno, Puri dan Junaidi, tiga peserta yang bertugas di Letwurung dan Mdona Hyera, datang bersama mobil itu. Jadi pasukan kami menjadi bersepuluh. Ditambah drivernya, pak Hau, menjadi bersebelas.

Saya duduk di sebelah pak Hau yang sedang mengemudikan ranger. Laki-laki tinggi kurus itu berkulit hitam dan berambut keriting, khas Ambon. Beranting dan bergelang monel. Lengan kirinya bertato. Meski penampilannya berkesan 'sangar', dia ramah. Di sepanjang perjalanan, dia menjawab semua pertanyaan saya dan teman-teman dengan sangat terbuka.

Mas Heru dan mas Rukin duduk di jok tengah. Sedangkan para peserta SM-3T, sebanyak tujuh orang, semuanya ada di kabin belakang. Bagasi kami juga ada di kabin bersama mereka.

Perjalanan menuju Letwurung adalah perjalanan yang menyenangkan. Meski jalannya tidak rata dan beberapa kali menemui jembatan yang putus, namun kondisi jalan relatif rata, lurus, tidak terlalu berbelok-belok naik turun. Tidak seperti di Sumba, traveling di Letwurung ini masih memungkinkan kita untuk tidur pulas di dalam mobil, karena tubuh tidak perlu terbanting-banting ke kanan dan ke kiri. Laut yang indah ada di sebelah kiri kami, dan pohon-pohon kelapa yang sedang lebat buahnya adalah pepohonan yang dominan memenuhi pantai. 

Kami juga sempatkan mampir di Nakarhamto, tempat tugas Daniel, Didin dan Tika. Daniel menyambut kami dengan kerinduan yang tidak disembunyikannya, sampai matanya memerah basah. Anak muda yang waktu berangkat dulu gendut, sekarang langsing. Turun hampir tiga belas kilogram. Aktivitas mengajarnya yang padat telah membantunya menurunkan berat badan. Begitu juga pola makan masyarakat Nakarhamto yang tidak pernah makan pagi (kecuali minum kopi, teh dan kue atau ubi), serta mengonsumsi makanan pokok tidak selalu nasi (tetapi lebih sering jagung, ubi kayu, sukun dan pisang), sangat membantu Daniel memperoleh berat tubuh normal secara alamiah. Betul-betul diet yang murah-meriah dan sukses.

Kami sempat makan siang di tempat tinggal Daniel dan kawan-kawan, sebuah rumah sederhana milik seorang guru yang dipinjamkan pada mereka. Meski sebelumnya kami sudah makan siang di tengah perjalanan dengan menu bekal kami dari Tepa, kami semua makan lagi untuk tidak mengecewakan Daniel dan kawan-kawan yang sudah memasak buat kami. Orang-orang kampung juga membawakan kelapa muda untuk kami, sehingga kami siang itu benar-benar kekenyangan dan 'klempoken'.

Kami juga sempatkan bertamu ke rumah kepala desa yang rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari tempat tinggal Daniel dan kawan-kawan. Berbincang tentang berbagai hal ditemani segelas kopi. Kopi mereka adalah kopi bening, hanya ada sedikit sekali serbuk kopi di bagian dasar gelas, sedangkan warna airnya lebih mirip dengan teh. Kebetulan saya dan mas Rukin bukan penyuka kopi, maka kopi bening itu malah bisa kami nikmati. Mas Rukin bahkan menghabiskan dua gelas. Entah karena haus, entah karena doyan...hehe

Uniknya, meskipun Nakarhamto adalah desa terpencil, namun tidak ada satu pun orang yang buta huruf. Mereka adalah orang-orang yang religius, dan sejak kecil mereka sudah membaca Alkitab. Jadilah membaca menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. 

Namun ini tidak berarti pendidikan di sana sudah maju. Di SMP tempat Daniel dan kawan-kawan mengajar, hampir semua gurunya memiliki 'kaki baminyak'. Begitu kata kepala desa yang pensiunan marinir itu. Licin. 'Seng' betah di tempat. Pergi-pergi terus. Daniel dan kawan-kawan selain harus mengajar sesuai dengan bidangnya, mereka juga mengajar mata pelajaran lain karena gurunya tidak ada, atau kalau pun ada, kaki mereka pada 'baminyak'.

Melanjutkan perjalanan lagi ke arah Letwurung, dengan Daniel, Tika dan Didin bergabung bersama kami. Daniel dan Didien berboncengan sepeda motor, sedangkan Tika bergabung di mobil. Karena Tika masih dalam proses pemulihan setelah terkena malaria, maka Tika duduk di jok tengah, bersama mas Heru dan mas Rukin. Seekor ikan besar, entah apa namanya, yang diperoleh Daniel dari penduduk setempat, kami bawa juga untuk menu makan malam kami nanti.

Di hampir setiap pintu masuk desa, kami menemukan tulisan 'kalwedo' pada pintu gerbangnya yang sederhana. Kalwedo berarti selamat, ucapan selamat bagi siapa saja yang sedang memasuki desa tersebut. Kalwedo juga biasa diucapkan ketika minum bersama, atau 'cheers' dalam bahasa yang kita sudah kenal. Ucapan yang biasa diungkapkan saat acara minum bersama dengan mengangkat gelas dan saling menyentuhkan gelas-gelas tersebut. Minuman yang biasa mereka minum adalah sopi, minuman keras yang terbuat dari fermentasi bunga kelapa.

Desa mereka adalah desa-desa kecil saja. Tidak lebih dari sepanjang satu dua kilometer. Umumnya adalah perkampungan yang rapi, dengan banyak pepohonan dan bunga-bunga di pekarangan rumah, yang sekaligus juga sebagai pagarnya. Keluar masuk desa hampir selalu diawali dengan pintu gerbang masuk bertuliskan 'kalwedo' dan diakhiri dengan pintu gerbang keluar bertuliskan 'Amato' (selamat jalan).

Tibalah kami di Letwurung. Di depan sebuah penginapan tak bernama. Namun jangan mengira kalau penginapan ini adalah penginapan yang kurang representatif. Meski di pelosok, dengan jumlah KK tidak sampai ratusan, penginapan yang hanya satu lantai ini cukup luas dan menyenangkan. Dengan kamar yang luasnya sekitar 42 meter persegi, satu single bed atau twin yang nyaman, AC, TV flat besar, sofa dan meja, almari dan toilet, serta sebuah meja dan kursi kerja, juga kamar mandi yang besar dan cukup modern, penginapan ini terlalu mewah untuk ukuran Letwurung. Kami mengambil tiga kamar, satu untuk saya sendiri, satu untuk mas Heru dan mas Rukin, satu untuk Noval dan kawan-kawan.

Sore setelah mandi, kami beramai-ramai berjalan menuju pelabuhan. Wow, luar biasa indah pemandangannya. Beberapa orang sedang memancing, dan ikan-ikan yang didapat adalah ikan yang besar-besar. Beberapa remaja bermain gembira, lompat dari bibir jembatan, dan 'nyemplung' ke laut yang jaraknya sekitar tiga empat meter, berenang-renang ke tepian, dan bercengkerama ramai sekali. Anak-anak, di sisi yang lain, juga tidak kalah ramainya, 'ciblon' di laut dan berenang saling berkejaran. Mereka adalah perenang dan pemancing ulung yang ditempa oleh alam. Wajah-wajah mereka yang tampan dan cantik meski berkulit hitam, adalah wajah-wajah Portugis yang menegaskan bahwa mereka sangat mungkin memiliki garis keturunan itu. Sinar matahari  yang redup tak juga menyamarkan gerak ribuan ikan kecil-kecil yang bertumpuk-tumpuk di dasar laut, berenang-renang, bergerombol-gerombol. Sungguh indah suasan sore ini, dilengkapi dengan keceriaan anak-anak kami, para peserta SM-3T, yang begitu menikmati 'hari kebebasannya'.

Malam ini kami berkumpul di ruang tamu penginapan yang luas dan bersih. Dua ekor ikan bakar yang besar-besar, pemberian penduduk setempat, adalah menu santap malam kami. Melkianus, Andi dan Fani, ketiganya bertugas di SMP Negeri Ahanari, sekitar tiga puluh menit perjalanan dengan motor, bergabung juga. Kami berdiskusi banyak hal sampai larut malam. Berbagi pengalaman-pengalaman mereka di sekolah dan di masyarakat. Memastikan form monev, laporan tengah tahun, buku harian, tulisan tentang pengalaman berkesan, foto-foto, video-video, sudah dihimpun semua. Juga merencanakan perjalanan monev besok paginya. 

Malam yang larut di Letwurung
Suara alam indah mengalun
Wajah-wajah manis 
Mengulum senyum
Penuh dengan harapan yang menggunung
Esok, akan datang saat
Di mana segalanya akan semerbak harum...

Letwurung, Pulau Babar Timur, MBD, 18 April 2013

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...