Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Senin, 04 September 2017

Nunukan 4: SM-3T Berakhir dan Harapan pada GGD

Pagi ini tiba-tiba hujan. Padahal kami akan bertolak dari Nunukan menuju Tarakan. Dua speedboat sudah disiapkan untuk membawa kami dan semua bagasi kami. Meski hujan tak juga reda, setelah sarapan pagi dengan menu hotel yang hampir sama dengan menu kemarin, kami bergegas. Semua bagasi dinaikkan ke truk, bus, dan mobil pickup. Semua peserta diangkut dengan kendaraan yang sama. Saya dan Mas Febry menumpang mobil kijang hijau yang disediakan Disdik. Kami semua menuju Pelabuhan Tunon Taka.

Meski proses memasuki speedboat membutuhkan waktu yang cukup lama, karena begitu banyaknya bagasi para peserta, perjalanan kami menuju Tarakan lancar, dan hanya sesekali disuguhi hentakan-hentakan keras speedboat menghantam ombak. Saya sendiri sudah pernah ber-speedboat dengan kondisi laut dan sungai yang lebih ganas, dengan waktu yang jauh lebih lama, sehingga saya menikmati perjalanan ini dengan sangat nyaman. Meski begitu, saya sempat memastikan di mana letak pelampung dan ke arah mana kita harus keluar dari speedboat bila sesuatu yang buruk terjadi. Selebihnya adalah doa dan kepasrahan pada Yang Maha Memberi Keselamatan dan Kehidupan.

Menjelang dhuhur kami baru tiba di Pelabuhan Tarakan. Beberapa alumni S2 Pendidikan Teknologi Kejuruan (PTK) sudah menunggu saya. Bu Novi, Pak Asdar, dan Pak Kurnia. Bahkan sebelum speedboat merapat tadi, masih di tengah laut, pak Eko Dani sudah menelepon saya dan memastikan keberadaan saya.

Sebelum bergabung dengan para alumni yang sudah menunggu, saya dan Mas Febry harus memastikan semuanya ‘clear’ dan 84 peserta SM-3T ini sudah stay di hotel tempat transit mereka. Besok pagi, kami akan terbang menuju Surabaya.


Buah Elai yang mirip durien.
Dan seharian ini, waktu saya nyaris saya habiskan bersama para alumni. Belasan alumni berdatangan dan bergabung saat makan siang, makan sore, dan juga saat berkumpul di lobi hotel. Luar biasa mereka itu. Sebegitunya melayani mantan dosennya ini. Tak pelak, wisata kuliner pun terjadilah. Mulai dari ikan pallumara, kapah, sanggar, kepiting, buras, bahkan elai. Ya, buah eksotis itu. Setelah kemarin kenyang makan durian di Sebatik, maka hari ini kami kenyang makan elai di Tarakan. Besoknya, seperti belum puas, saya bahkan membawa pulang sekotak plastik penuh elai yang disiapkan oleh Bu Novi.

Begitulah hikmah silaturahim. Tentu bukan hanya wisata kulinernya. Namun juga kebahagiaan dan energi positif yang dihasilkannya.

Tahun ini adalah tahun terakhir Program SM-3T. Ya. Setidaknya, sampai saat ini, rekrutmen untuk peserta SM-3T Angkatan VII belum dilakukan. Bila program itu berlanjut, seharusnya pada saat ini sudah selesai proses rekrutmen dan bahkan telah  dilakukan pemberangkatan peserta ke kabupaten-kabupaten tempat pengabdian.

Banyak yang menyesalkan berakhirnya program yang diyakini sangat menyentuh kebutuhan masyarakat yang paling mendasar terkait dengan layanan pendidikan ini.  Namun inilah faktanya. Program ini berhenti, dengan berbagai rasional yang dikemukakan oleh para pemilik kebijakan dan pengambil keputusan.

Sebagai gantinya—setidaknya untuk mengatasi masalah kekurangan guru—sejak 2016, ada Program Guru Garis Depan (GGD), yaitu penugasan guru ke berbagai daerah tertinggal di seluruh Tanah Air. Ada sekitar 7000-an GGD yang telah diangkat sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara) dan mengisi kekurangan guru di berbagai pelosok Indonesia. Di pundak merekalah keberlangsungan pendidikan yang bermartabat di negeri ini kita titipkan. Sebagai alumni PPG SM-3T, GGD seharusnya adalah guru-guru yang ‘berbeda’, guru-guru yang benar-benar bisa menjadi ‘agent of change’, guru-guru yang akan menghasilkan anak didik menjadi sumber daya yang andal, yang memiliki keterampilan hidup sebagaimana tuntutan era abad 21, serta mampu menjamin terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dan negara di masa depan.

Tarakan, 22 Agustus 2017


SELESAI

Nunukan 3: Menjelajah Pulau Sebatik

Siang yang terik tak menghalangi saya dan Mas Febry untuk mewujudkan niat menjelajah Nunukan. Sejak kedatangan kami siang hari kemarin, Nunukan terlalu biasa, dan kami yakin, pasti ada sisi-sisinya yang menarik. Memang benar, begitulah kata Bu Rus. Tapi tempat-tempat itu ada di pulau-pulau seberang, dan kita perlu berjam-jam untuk menjangkaunya. Tapi ada pulau yang terdekat yang masih mungkin dijangkau, yaitu Pulau Sebatik.

Selesai acara di kabupaten, berkat fasilitasi dari Pak Ridwan, Kabid Ketenagaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nunukan, yang sejak kemarin memantau kehadiran kami, kami mengunjungi Pulau Sebatik. Namun sebelum menyeberang, kami mengunjungi Islamic Center yang megah dengan pemandangan alam laut dan Pulau Sebatik di depannya. Megah dan indah, meski untuk mencapainya, jalan yang dilalui bukan jalan beraspal. Di sinilah Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke-2 tingkat Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), tanggal 12-18 Mei 2017 yang lalu diselenggarakan. Kalau kita berdiri memandang sampai pada batas kaki langit di depan, di sisi kiri adalah wilayah Malaysia, dan di sini kanan adalah wilayah Indonesia.

Tidak berlama-lama di Islamic Center, mengingat hari sudah semakin siang, kami segera menuju Pelabuhan Penyeberangan Sei Jepun, Kecamatan Nunukan Selatan, menuju ke Dermaga Rakyat Desa Binalawan Kecamatan Sebatik Barat. Hanya memerlukan waktu tempuh sekitar 20 menit dengan kapal motor. Di sana, Camat Sebatik Barat, Bapak Akhmad, S. IP, M. Si, telah menunggu. Lengkap dengan staf yang akan menjadi driver dan mobil double cabin.

Saya dan Mas Febry duduk di jok tengah, di depan ada Pak Achmad dan stafnya yang memegang setir. Di belakang, di bak terbuka itu, ada tiga orang peserta SM-3T yang ikut mendampingi. Kami berkendara mengelilingi Pulau Sebatik. Bila terus berkendara, kami memerlukan waktu sekitar dua jam, dengan menempuh perjalanan sekitar 60 kilometer. Dimulai dari Sebatik Barat, Sebatik Induk, Sebatik Timur, Sebatik Utara, dan Sebatik Tengah. Di sepanjang perjalanan, kami menikmati deretan kebun kelapa, kakao, dan juga pisang. Pisang Sebatik sangat bagus mutunya dan umumnya dijual ke Brunei. Oleh karena berdekatan dengan Tawau, Malaysia, penduduk Sebatik juga banyak yang memilih melakukan aktivitas jual beli ke Tawau daripada ke Nunukan. Mata uang ringgit beredar juga di Nunukan karenanya.

Pulau Sebatik termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Sebatik, yaitu kecamatan paling timur di kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Pulau ini memang terbagi dua. Belahan utara merupakan wilayah Negara Bagian Sabah, Malaysia, sedangkan belahan selatan merupakan wilayah Indonesia. Dengan letak wilayah seperti ini, Sebatik bisa dikatakan sebagai daerah terdepan dan terluar, dan rentan dari sisi pertahanan dan keamanannya bila tidak diurus dengan baik. Kekalahan Indonesia dalam mempertahankan Sipadan dan Ligitan salah satunya adalah karena Malaysia bisa menunjukkan fakta pada Mahkamah Internasional bahwa dialah yang selama ini mengurus pulau tersebut dan masyarakatnya, sementara Indonesia hanya bisa memberikan fakta berdasarkan penetapan wilayah.

Jalan Perbatasan di Nunukan.
Kami juga sempat menikmati makan siang di Rumah Makan Cahaya Pare di Desa Sei Nyamuk. Saya pikir pemiliknya dari Jawa, karena menu yang disediakan adalah menu Jawa: rawon, penyet ayam, soto, dan sebagainya. Tapi ternyata pemiliknya adalah orang Sebatik, entah dari mana dia berasal. Oya, Pak Camat Sebatik adalah orang asli Bojonegoro, dan terdampar di Nunukan sejak tahun 1990. Karir awalnya adalah sebagai guru sekaligus staf tata usaha SMPN 1 Nunukan. Kemudian pernah menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Dinas Pendidikan (Kasubag Disdik) Nunukan. Beliau juga pernah menjabat di Dinas Perhubungan, Dinas Pertambangan, dan jabatan terakhir sebelum menjadi camat adalah Sekretaris Disdik Kabupaten Nunukan. Makan siang kami di sini adalah atas ‘traktiran’ Bapak Camat yang ramah dan baik hati ini.


Jembatan Perbatasan Desa Sei Pancang Kecamatan Sebatik Utara
Kami juga berhenti di Jembatan Perbatasan Desa Sei Pancang Kecamatan Sebatik Utara. Jembatan tersebut panjangnya 2000 meter. Beberapa waktu yang lalu, di tempat ini, diselenggarakan acara memecahkan rekor Muri dengan pengibaran bendera merah putih terbanyak. Kami bertemu dengan dua orang penjaga dari TNI AL. Salah seorang dari mereka dari Jawa juga, tapi saya lupa persisnya dari Jawa bagian mana. Di tempat jaga mereka, tertulis: POS TNI AL SEI PANCANG, TEGAR MENJAGA PERBATASAN. Di sisi dinding yang lain, terpampang poster Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Delapan Wajib TNI. Ada juga poster tentang Kekuatan Unsur Lawan. Di tengah laut yang begitu luas dan sepi, dua abdi negara itu berjaga siang dan malam, tentu saja bergantian dengan rekan-rekannya yang lain. Sedangkan sejauh mata memandang, adalah kaki langit, dengan wilayah Tawau, Malaysia di sebelah kiri, dan Wilayah Sebatik, Indonesia, di sebelah kanan. Benar-benar membuat saya takjub.

Ketakjuban kami tidak hanya sampai di situ. Saat kami berhenti di patok perbatasan 3 di Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Tengah, kami bisa menjadi orang sakti mandraguna. Betapa tidak. Pada detik yang sama, satu kaki kita bisa berada di Wilayah Indonesia, dan satu kaki yang lain berada di Wilayah Malaysia. Ya. Kami berdiri persis di bendera penanda patok perbatasan. Di dekat bendera merah putih kecil itu, berdiri tugu kecil dengan tulisan: Kokohkan MERAH PUTIH di Tapal Batas. Tugu itu diresmikan pada 17 Agustus 2009, dan ditandatangani oleh tokoh masyarakat Sebatik dan Danramil Sebatik. Begitulah masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut, bisa jadi ruang tamu rumah mereka ada di wilayah Indonesia, sementara ruang dapurnya ada di wilayah Malaysia. Bahkan jalan kecil yang ada di depan patok perbatasan itu pun namanya adalah Jalan Perbatasan.

Kekecewaan saya pada Nunukan sirnalah sudah. Meski tidak saya temukan barang-barang etnik di Kota Nunukan, saya menemukan tempat-tempat yang sangat bersejarah dan bermakna. Selain itu, kami juga menemukan durian Sebatik yang meskipun ukurannya tidak terlalu besar, tapi manis dan legitnya….wow.

Kami kembali ke Nunukan melewati Desa Sei Limau Kecamatan Sebatik tengah. Sei, artinya sungai. Di Nunukan, banyak tempat yang awal katanya Sei, karena di sana banyak sungai. Kami menyeberang lewat Dermaga Rakyat Desa Bambangan. Di sinilah keprihatinan saya kembali menyeruak. Wilayah yang katanya rutin mendapatkan kunjungan dari para pejabat daerah dan pusat ini, kondisi lingkungannya sungguh-sungguh memprihatinkan. Sampah yang memenuhi selokan-selokan dan perairan-perairan yang di atasnya padat dengan rumah-rumah penduduk. Aroma busuk air mampat bercampur dengan sampah sangat mengganggu indera penciuman. Entah bagaimana orang bisa betah hidup bertahun-tahun dalam kondisi kotor dan bau seperti ini. Perlu edukasi, perlu intervensi, perlu contoh nyata, dari para pemuka wilayah dan tokoh masyarakat.


Sebatik, 21 Agustus 2017

Nunukan 2: Kisah Pengabdian di Tau Lumbis dan Krayan Selatan

Pagi yang cerah menemani aktivitas kami di Hotel Laura. Makan pagi telah siap dan peserta SM-3T telah memenuhi ruang makan sejak pukul 06.30. Menunya sederhana, khas hotel kecil. Nasi putih, ca sayuran, ayam bumbu kecap, dan krupuk.

Hari ini pukul 09.00, akan dilaksanakan acara pelepasan peserta SM-3T di Kabupaten Nunukan. Yang melepas langsung bupati. Kepala Dinas sedang beribadah haji, dan yang mewakili pejabat dinas adalah Pak Ridwan, Kepala Bidang Ketenagaan. Pak Ridwan telah berkoordinasi dengan saya sejak beberapa minggu yang lalu terkait pelepasan dan penjemputan peserta SM-3T ini.

Kantor Kabupaten Nunukan cukup megah. Kami naik melalui lift ke lantai 7, tempat acara diselenggarakan. Ruangan cukup besar, tertata apik. Meski di luar sudah cukup panas, di dalam ruangan sejuk karena AC. Tak perlu menunggu lama, bupati hadir, dan acara pun segera dimulai. Bupati, saya, dan Pak Ridwan, duduk di depan. Ada para undangan di sebelah kiri kami, peserta SM-3T di depan kami, dan belasan fotografer-termasuk dari media - di beberapa titik.

Bupati Nunukan benar-benar cantik, secantik fotonya yang saya lihat di warung dekat Hotel Laura semalam. Posturnya tidak terlalu tinggi, tubuhnya langsing. Dandanannya tidak berlebihan, berkerudung dengan motif bunga-bunga, serasi sekali dengan baju coklat seragam pemda yang dikenakannya. Awalnya saya menangkap kesan ‘jaim’ memang, tetapi kesan itu menjadi agak cair ketika saya mengajaknya mengobrol.

Acara demi acara berjalan lancar. Yang paling berkesan adalah kesan-pesan dari dua wakil peserta. Salah satunya adalah Arham, peserta yang bertugas di Tau Lumbis. Dia bertugas di SMP 2 Lumbis Ogong. 

Saat menceritakan awal kedatangannya ke Nunukan, kemudian harus menempuh jarak berjam-jam menuju Tau Lumbis dengan perahu bermotor dan melawan riam-riam sungai yang sangat deras airnya,  sementara pelampung yang dibawanya sungguh bukan pelampung yang ‘aman’, membuatnya benar-benar seperti sedang berada di dunia lain. Namun demikian, dia mengisahkannya dengan gayanya yang khas dan sangat menarik, kocak, termasuk saat menyampaikan sindiran halus pada Bupati supaya beliau hadir menengok anak-anak sekolah di tempat tersebut. 

Arham juga bercerita, untuk mendapatkan sinyal, mereka harus menyeberang dan biaya untuk menyeberang itu tidaklah murah, yaitu sekitar Rp.1.000.000,-. “Jadi, hanya untuk mendengar suara orang tua, kami harus rela mengeluarkan biaya satu juta rupiah’’ begitu katanya.         

Arham juga sangat menyayangkan etos kerja guru yang sangat rendah termasuk guru-guru yang sudah bersertifikat sebagai guru profesional, dan berharap mereka akan meningkatkan kinerjanya, karena sesungguhnya, merekalah tulang punggung sekolah. Sebagai daerah perbatasan, Arham juga melihat, betapa jauh kondisi pendidikan di Nunukan dengan kondisi di tetangga sebelah, yaitu di Malaysia. Sangat jauh bedanya, baik kondisi sarana prasarana sekolah dan infrastruktur yang lain, juga kondisi kesejahteraan masyarakatnya. Namun Arham terus menanamkan rasa cinta Tanah Air pada para siswa, dan dengan tegas dia menyatakan: “di tanah ini kita dilahirkan, di tanah ini kita dibesarkan, dan tanah ini jugalah yang akan menutup jasad kita kelak”.

Wakil dari peserta yang lain, Ria Utami, ceritanya tak kalah seru. Gadis manis yang ditugaskan di Krayan Selatan itu tak pernah menyangka kalau untuk menuju tempat tugasnya, dari Nunukan dia harus menumpang pesawat kecil menuju bandara perintis Long Bawan. 

Nama Krayan sudah ada dalam kepalanya sebelum ada kepastian tempat tugas, lengkap dengan semua ‘cerita seram’ tentang tempat tersebut. Dia selalu berdoa semoga bukan Krayanlah tempat dia ditugaskan. Namun kenyataan berkata lain. 

Krayan adalah dunia baru yang akan dihuninya selama setahun. Tak ada pilihan. Dengan perasaan tak menentu, terbanglah dia bersama lima rekan lainnya menuju Krayan. Meski begitu, Ria dan kawan-kawannya tak perlu berlama-lama untuk bisa beradaptasi dengan segala keterbatasan yang ada. 

Mandi, mencuci, mengambil air di sungai menjadi keseharian yang dinikmatinya bersama anak-anak didik dan masyarakat setempat. Listrik dan sinyal yang langka menjadi lagu-lagu indah yang menepiskan kesedihan mereka. Lagi pula, kata Ria, Krayan menyediakan banyak kekayaan alam yang membuat mereka tak perlu takut kelaparan. Daun pakis, beragam jamur, ikan laut, kijang, landak, monyet, macan, musang, semua tersedia. Juga beras Krayan yang sangat enak itu. Putih, kenyal, seperti mengandung jeli, begitu cerita Ria. 

Kecamatan Krayan memang merupakan penghasil beras terbesar di Kabupaten Nunukan, yaitu beras adan, yang dihasilkan dari tanaman padi unggul organic. Beras ini banyak dipasarkan ke Malysia dan Brunei. Krayan juga memiliki garam gunung yang unik. Ya, garam gunung yang dihasilkan dari pengolahan sumur air bergaram, bukan garam laut seperti yang biasa kita konsumsi. Krayan sendiri terletak di bagian barat Kabupaten Nunukan dan berbatasan dengan Serawak, Malaysia. Jumlah penduduknya sekitar 1.150 ribuan jiwa yang sebagian besar adalah penduduk asli pedalaman Kalimantan yaitu Suku Dayak Lundayeh.

Saat giliran saya untuk memberi sambutan sebagai wakil dari Unesa, saya menyampaikan harapan saya pada para peserta SM-3T untuk terus menjaga passion sebagai guru yang tidak hanya menjadikan profesi tersebut sebagai ajang mengais rezeki. Guru yang mengispirasi adalah mereka yang mendedikasikan diri untuk anak didik dan pendidikan dengan sepenuh hati. 

Saya juga tegaskan pada bupati, bahwa adanya kekurangan guru di daerah 3T, termasuk Kabupaten Nunukan, baik dalam jumlah maupun kualifikasi, tak dipungkiri adanya. Namun berdasarkan pengamatan saya setelah bertahun-tahun melakukan kunjungan di berbagai kabupaten 3T, faktor penghambat terbesar dalam pembangunan pendidikan bukanlah karena kekurangan guru atau terbatasnya sarana-prasarana atau kendala geografis. 

Faktor penghambat terbesar adalah etos kerja guru yang rendah. Ya. Ditambah lagi dengan minimnya figur panutan. Kepala sekolah yang tidak segan-segan mangkir dari tugas. Guru PNS dan bahkan sudah bersertifikat pendidik yang tak merasa berdosa menelantarkan kelas dan anak didik. Artinya, kendala terberat itu ada pada kultur, pada budaya. Dengan demikian, sosok pemimpin yang ‘membumi’, yang bisa menjadi teladan, yang peduli pada peningkataan kompetensi guru dan kinerja semua pelaku pendidikan, mutlak diperlukan. Mengingat pendidikan merupakan investasi sumber daya manusia yang paling rasional untuk memangkas kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan peradaban, maka tidak ada pilihan, kepala daerah harus benar-benar memberi perhatian khusus pada percepatan pembangunan pendidikan di wilayahnya.

Pagi ini acara pelepasan Guru SM-3T Unesa oleh Bupati Kabupaten Nunukan ditutup dengan penyerahan cindera mata, baik dari bupati kepada Unesa dan GTK, maupun dari Unesa kepada bupati. Seperti biasa, Unesa menyerahkan buku-buku sebagai kenang-kenangan. Buku yang berisi kisah-kisah inspiratif pengalaman mengabdi selama mengemban tugas sebagai guru SM-3T, yang ditulis oleh para peserta SM-3T angkatan sebelumnya. Harapan saya, buku itu akan dibaca oleh bupati dan jajarannya, kepala dinas pendidikan dan jajarannya, kepala sekolah dan guru-guru, dan bisa menjadi inspirasi bagi mereka semua untuk lebih meningkatkan kinerjanya dalam mengemban tugas mengurus pendidikan.


Nunukan, 21 Agustus 2017

Nunukan 1: Tak Ada yang Istimewa

Panas menyengat menyambut kedatangan kami di Bandar Udara Nunukan. Waktu sekitar pukul 14.00. Hentakan Karlstar yang keras saat menyentuh landasan beberapa menit yang lalu seperti masih terasa. Pesawat berkapasitas 48 orang itulah yang membawa kami terbang dari Tarakan menuju Nunukan dengan waktu sekitar tiga puluh menit. Sebuah perjalanan udara yang singkat. Papan nama “Selamat Datang di Bumi Penekindi Debaya” menarik perhatian saya dan begitu saja menepiskan lelah dan gerah yang saya rasakan. Spontan hati saya bertanya, “apakah artinya penekindi debaya?” Lewat Wikipedia, saya temukan bahwa istilah tersebut berasal dari Bahasa Tidung, yang artinya: “Membangun Daerah”.

Saya bersama Mas Febry Irsiyanto, staf LP3M Unesa, segera memasuki gedung terminal yang kecil itu, mengingatkan saya pada gedung terminal di Waingapu, Melongwane, Wamena, Kasonaweja, Saumlaki, dan bandara perintis lainnya yang pernah saya singgahi. Tak berapa lama, kami keluar dari gedung bandara dengan membawa bagasi kami, dan menuju hotel dengan diantar mobil kijang hijau yang sudah disiapkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Nunukan.

Kedatangan saya dan Mas Febry di salah satu kabupaten di Kalimantan Utara ini adalah dalam rangka melaksanakan tugas menjemput Peserta SM-3T Unesa Angkatan VI. Ada sebanyak 84 peserta yang saat ini seluruhnya sudah berkumpul di Nunukan. Sebagian di Hotel Maspul dan sebagian lagi di Hotel Laura. Hotel Laura, kabarnya adalah hotel milik Ibu Bupati. Nama lengkap bupati adalah Hj. Asmin Laura Hafid, SE., MM. Masih muda, 32 tahun. Cantik jelita. Setidaknya begitulah kesan yang saya tangkap saat melihat fotonya bersama Wakil Bupati yang ada di pigura di dinding sebuah warung makan di sekitar Hotel Laura.

Hari ini tidak banyak yang saya lakukan. Saya bahkan menghabiskan sore saya dengan membuka laptop dan mengerjakan pekerjaan rumah saya yang menumpuk. Menjelang maghrib, saya keluar kamar untuk berkoordinasi dengan Mas Febri dan Korlap SM-3T Nunukan, Afif, tentang rancangan acara pelepasan besok pagi di Kabupaten. Tidak ada hal yang urgen. Semua acara sudah disiapkan oleh Dinas dan staf GTK. Transportasi diatur oleh biro perjalanan yang dikondisikan langsung dari Jakarta. Konsumsi peserta sehari-hari juga semua sudah dipesan oleh GTK. Tugas saya dan Mas Febri hanya menjemput dengan peran sesuai yang tertuang dalam SOP Penjemputan.

Selepas maghrib, kami berkoordinasi, atau lebih tepatnya, berbincang dengan dua staf Dinas. Satu orang staf sedang mempersiapkan kelengkapan administrasi dan meminta para peserta SM-3T untuk menandatangani berkas-berkas. Seorang lagi, menemani kami makan malam dengan menu yang saya sebenarnya tidak terlalu berselera.

Sepertinya saya belum menemukan sesuatu yang ‘wow’ sejak siang sampai malam ini. Kota Nunukan yang diresmikan pada 4 Oktober 1999 ini bagi saya sangat-sangat biasa. Setidaknya itulah yang saya lihat di sepanjang jalan dari Hotel Laura menuju alun-alun. 

Bersama Pak Fadli, staf Dinas, dan Mas Febry, kami memilih jalan-jalan malam itu sambil menikmati suasana Kota Nunukan. Toko-toko dan minimarket serta pedagang kaki lima memenuhi sepanjang jalan. Penjual makanan dengan menu-menu Jawa, ayam penyet, soto, seafood, nasi goreng, capcay, sangat biasa. Tidak ada taman-taman kota yang indah. Tidak ada kios-kios yang menjual pernak-pernik etnik. Tidak ada hasil bumi atau hasil laut khas Nunukan. Biasa-biasa saja. Nunukan di mata saya bahkan cenderung semrawut dan kurang bersih.

Beda sekali kesan pertama saya saat mengunjungi daerah 3T yang lain. Sumba Timur dengan kain tenun dan beragam aksesorisnya yang khas, serta tumpukan ikan dan hasil bumi di pasar-pasar tradisional. Sorong yang kaya dengan hasil bumi dan—yang sangat berkesan bagi saya—daun gatal. Wamena dan Mamberamo Tengah yang memiliki bunga plastik, buah merah, noken, dan koteka. Mamberamo Raya dengan papeda dan ulat sagunya. Talaud dengan lobster, umbi-umbian, dan sambal dabu-dabu. Menado dengan  bubur tinutuan dan nasi jaha. Kupang dengan dendeng sapi dan sei. Dan sebagainya.

Kesukaan saya setiap kali mengunjungi tempat baru, selalu yang saya cari adalah apa yang khas. Bisa berupa makanan, barang kerajinan, atau adat istiadat dan budaya. Saya hobi blusukan di pasar tradisional atau ke kampung-kampung untuk melihat kehidupan masyarakat. Namun di Nunukan ini, sepertinya saya belum beruntung karena saya belum menemukan apa yang saya cari. Mungkin juga karena saya belum cukup melakukan penjelajahan.

Saat saya bertanya pada Pak Fadli, di mana pasar tradisonal, jawabannya bukan seperti harapan saya. Dia menyebut sebuah tempat dan di situ dia bilang, kita bisa mudah menemukan baju-baju dan lain-lain yang diimport dari Malaysia, termasuk baju-baju bekas. Padahal maksud saya adalah pasar tradisional yang di situ kita bisa mendapatkan hasil bumi, hasil laut, dan barang-barang khas lainnya.

Hal ini mungkin dikarenakan Nunukan sudah banyak kehilangan penduduk aslinya. Penduduk Nunukan lebih banyak para pendatang dari Jawa, Makassar, Sulawesi. Penduduk asli, Suku Tingalan atau Dayak Agabag, menjadi kelompok minoritas dan tinggal di pedalaman-pedalaman. Suku ini kabarnya tidak hanya ada di Kabupaten Nunukan, namun juga di Kabupaten Tana Tidung dan Kabupaten Malinau, bahkan juga di negara tetangga, Malaysia, yaitu di Sabah dan Tawau.

Malam ini saya dan Mas Febry sempat berbincang dengan Ibu Rus, kepala sekolah SMK Sei Menggaris. Sei Menggaris bisa ditempuh dengan speedboat dalam waktu tempuh sekitar dua jam dari Nunukan kota. Ibu Rus datang ke Nunukan dalam rangka mengantar siswanya berobat, sekaligus ingin melepas tujuh guru SM-3T yang ditugaskan di sekolahnya. Berbagai cerita mengalir deras dari mulutnya. Kisah awal mula perempuan Bugis itu terdampar di Sei Menggaris. Juga cerita tentang perjuangannya memajukan SMK tempatnya bertugas. Tentang etos kerja sebagian besar guru lokal yang memprihatinkan dan etos kerja guru SM-3T yang strong, begitu dia menyebutnya. Kehadiran guru SM-3T telah sangat amat berarti dalam mempersiapkan akreditasi sekolah serta penyelenggaraan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Dia bilang, tanpa bantuan guru-guru yang luar biasa itu, tidak mungkin semuanya itu bisa dipersiapkan dan dilaksanakan dengan sangat baik. Yang membuatnya sedih, dia dan seluruh warga sekolah dan masyarakat Sei Menggaris harus kehilangan guru-guru SM-3T tersebut. Namun ada yang membuatnya agak lega, adalah kehadiran 6 Guru Garis Depan (GGD), yang akan ditugaskan di sekolahnya mulai minggu ini. Meski, dia menyayangkan, karena latar belakang pendidikan keenam guru tersebut dari mata pelajaran kelompok adaptif dan normatif. Padahal yang dia butuhkan adalah guru-guru dari kelompok produktif. Namun, dia menghibur diri, siapa pun yang menjadi guru di tempatnya dan juga di sekolah-sekolah lain di pedalaman Nunukan, harus bisa mengajar mata pelajaran apa pun, tak perduli latar belakang pendidikannya. Begitulah, cerita lama itu terus saja terulang, di mana guru-guru SM-3T menjelma menjadi ‘guru serba bisa’ di tempatnya bertugas. Saya katakan pada Bu Rus, semoga tidak terjadi malapraktek pendidikan. Karena bagaimana pun, guru-guru bidang adaptif dan normatif tentulah tidak memiliki bekal yang cukup untuk mengajar praktek mata pelajaran kelompok produktif.

Ya, tapi mereka bisa mengajar sambil belajar, dan belajar sambil mengajar. Begitulah saya dan Bu Rus bersepakat. Ya…ya, setidaknya mereka masih lebih baik karena mereka berada di sekolah dan memastikan siswa-siswa akan terlayani. Setidaknya mereka tidak membiarkan kelas-kelas menjadi kosong dan sepi dan siswa-siswa terlantar. Setidaknya mereka siap mendampingi siswa untuk belajar dan menjadi fasilitator yang baik serta bersama-sama mencari solusi atas masalah apa pun yang dihadapi dalam belajar.

Nunukan, 20 Agustus 2017