Pagi ini tiba-tiba hujan. Padahal kami akan
bertolak dari Nunukan menuju Tarakan. Dua speedboat sudah disiapkan untuk
membawa kami dan semua bagasi kami. Meski hujan tak juga reda, setelah sarapan
pagi dengan menu hotel yang hampir sama dengan menu kemarin, kami bergegas.
Semua bagasi dinaikkan ke truk, bus, dan mobil pickup. Semua peserta diangkut
dengan kendaraan yang sama. Saya dan Mas Febry menumpang mobil kijang hijau
yang disediakan Disdik. Kami semua menuju Pelabuhan Tunon Taka.
Meski proses memasuki speedboat membutuhkan
waktu yang cukup lama, karena begitu banyaknya bagasi para peserta, perjalanan
kami menuju Tarakan lancar, dan hanya sesekali disuguhi hentakan-hentakan keras
speedboat menghantam ombak. Saya sendiri sudah pernah ber-speedboat dengan
kondisi laut dan sungai yang lebih ganas, dengan waktu yang jauh lebih lama,
sehingga saya menikmati perjalanan ini dengan sangat nyaman. Meski begitu, saya
sempat memastikan di mana letak pelampung dan ke arah mana kita harus keluar
dari speedboat bila sesuatu yang buruk terjadi. Selebihnya adalah doa dan
kepasrahan pada Yang Maha Memberi Keselamatan dan Kehidupan.
Menjelang dhuhur kami baru tiba di
Pelabuhan Tarakan. Beberapa alumni S2 Pendidikan Teknologi Kejuruan (PTK) sudah
menunggu saya. Bu Novi, Pak Asdar, dan Pak Kurnia. Bahkan sebelum speedboat merapat
tadi, masih di tengah laut, pak Eko Dani sudah menelepon saya dan memastikan
keberadaan saya.
Sebelum bergabung dengan para alumni yang
sudah menunggu, saya dan Mas Febry harus memastikan semuanya ‘clear’ dan 84
peserta SM-3T ini sudah stay di hotel
tempat transit mereka. Besok pagi, kami akan terbang menuju Surabaya.
Buah Elai yang mirip durien. |
Dan seharian ini, waktu saya nyaris saya
habiskan bersama para alumni. Belasan alumni berdatangan dan bergabung saat
makan siang, makan sore, dan juga saat berkumpul di lobi hotel. Luar biasa
mereka itu. Sebegitunya melayani mantan dosennya ini. Tak pelak, wisata kuliner
pun terjadilah. Mulai dari ikan pallumara, kapah, sanggar, kepiting, buras, bahkan
elai. Ya, buah eksotis itu. Setelah kemarin kenyang makan durian di Sebatik, maka
hari ini kami kenyang makan elai di Tarakan. Besoknya, seperti belum puas, saya
bahkan membawa pulang sekotak plastik penuh elai yang disiapkan oleh Bu Novi.
Begitulah hikmah silaturahim. Tentu bukan
hanya wisata kulinernya. Namun juga kebahagiaan dan energi positif yang
dihasilkannya.
Tahun ini adalah tahun terakhir Program
SM-3T. Ya. Setidaknya, sampai saat ini, rekrutmen untuk peserta SM-3T Angkatan
VII belum dilakukan. Bila program itu berlanjut, seharusnya pada saat ini sudah
selesai proses rekrutmen dan bahkan telah
dilakukan pemberangkatan peserta ke kabupaten-kabupaten tempat
pengabdian.
Banyak yang menyesalkan berakhirnya program
yang diyakini sangat menyentuh kebutuhan masyarakat yang paling mendasar
terkait dengan layanan pendidikan ini. Namun
inilah faktanya. Program ini berhenti, dengan berbagai rasional yang
dikemukakan oleh para pemilik kebijakan dan pengambil keputusan.
Sebagai gantinya—setidaknya untuk mengatasi
masalah kekurangan guru—sejak 2016, ada Program Guru Garis Depan (GGD), yaitu
penugasan guru ke berbagai daerah tertinggal di seluruh Tanah Air. Ada sekitar
7000-an GGD yang telah diangkat sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara) dan mengisi
kekurangan guru di berbagai pelosok Indonesia. Di pundak merekalah
keberlangsungan pendidikan yang bermartabat di negeri ini kita titipkan.
Sebagai alumni PPG SM-3T, GGD seharusnya adalah guru-guru yang ‘berbeda’,
guru-guru yang benar-benar bisa menjadi ‘agent of change’, guru-guru yang akan
menghasilkan anak didik menjadi sumber daya yang andal, yang memiliki
keterampilan hidup sebagaimana tuntutan era abad 21, serta mampu menjamin
terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dan negara di masa depan.
Tarakan, 22 Agustus 2017
SELESAI
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...