Panas menyengat menyambut kedatangan kami
di Bandar Udara Nunukan. Waktu sekitar pukul 14.00. Hentakan Karlstar yang
keras saat menyentuh landasan beberapa menit yang lalu seperti masih terasa.
Pesawat berkapasitas 48 orang itulah yang membawa kami terbang dari Tarakan
menuju Nunukan dengan waktu sekitar tiga puluh menit. Sebuah perjalanan udara
yang singkat. Papan nama “Selamat Datang di Bumi Penekindi Debaya” menarik
perhatian saya dan begitu saja menepiskan lelah dan gerah yang saya rasakan.
Spontan hati saya bertanya, “apakah artinya penekindi debaya?” Lewat Wikipedia,
saya temukan bahwa istilah tersebut berasal dari Bahasa Tidung, yang artinya:
“Membangun Daerah”.
Saya bersama Mas Febry Irsiyanto, staf LP3M
Unesa, segera memasuki gedung terminal yang kecil itu, mengingatkan saya pada
gedung terminal di Waingapu, Melongwane, Wamena, Kasonaweja, Saumlaki, dan
bandara perintis lainnya yang pernah saya singgahi. Tak berapa lama, kami
keluar dari gedung bandara dengan membawa bagasi kami, dan menuju hotel dengan
diantar mobil kijang hijau yang sudah disiapkan oleh Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten Nunukan.
Kedatangan saya dan Mas Febry di salah satu
kabupaten di Kalimantan Utara ini adalah dalam rangka melaksanakan tugas menjemput
Peserta SM-3T Unesa Angkatan VI. Ada sebanyak 84 peserta yang saat ini
seluruhnya sudah berkumpul di Nunukan. Sebagian di Hotel Maspul dan sebagian
lagi di Hotel Laura. Hotel Laura, kabarnya adalah hotel milik Ibu Bupati. Nama
lengkap bupati adalah Hj. Asmin Laura Hafid, SE., MM. Masih muda, 32 tahun.
Cantik jelita. Setidaknya begitulah kesan yang saya tangkap saat melihat
fotonya bersama Wakil Bupati yang ada di pigura di dinding sebuah warung makan
di sekitar Hotel Laura.
Hari ini tidak banyak yang saya lakukan.
Saya bahkan menghabiskan sore saya dengan membuka laptop dan mengerjakan
pekerjaan rumah saya yang menumpuk. Menjelang maghrib, saya keluar kamar untuk
berkoordinasi dengan Mas Febri dan Korlap SM-3T Nunukan, Afif, tentang rancangan
acara pelepasan besok pagi di Kabupaten. Tidak ada hal yang urgen. Semua acara
sudah disiapkan oleh Dinas dan staf GTK. Transportasi diatur oleh biro
perjalanan yang dikondisikan langsung dari Jakarta. Konsumsi peserta
sehari-hari juga semua sudah dipesan oleh GTK. Tugas saya dan Mas Febri hanya
menjemput dengan peran sesuai yang tertuang dalam SOP Penjemputan.
Selepas maghrib, kami berkoordinasi, atau
lebih tepatnya, berbincang dengan dua staf Dinas. Satu orang staf sedang
mempersiapkan kelengkapan administrasi dan meminta para peserta SM-3T untuk
menandatangani berkas-berkas. Seorang lagi, menemani kami makan malam dengan
menu yang saya sebenarnya tidak terlalu berselera.
Sepertinya saya belum menemukan sesuatu yang ‘wow’ sejak siang sampai malam ini. Kota Nunukan yang diresmikan pada 4 Oktober 1999 ini bagi saya sangat-sangat biasa. Setidaknya itulah yang saya lihat di sepanjang jalan dari Hotel Laura menuju alun-alun.
Bersama Pak Fadli,
staf Dinas, dan Mas Febry, kami memilih jalan-jalan malam itu sambil menikmati
suasana Kota Nunukan. Toko-toko dan minimarket serta pedagang kaki lima
memenuhi sepanjang jalan. Penjual makanan dengan menu-menu Jawa, ayam penyet,
soto, seafood, nasi goreng, capcay, sangat biasa. Tidak ada taman-taman kota
yang indah. Tidak ada kios-kios yang menjual pernak-pernik etnik. Tidak ada
hasil bumi atau hasil laut khas Nunukan. Biasa-biasa saja. Nunukan di mata saya
bahkan cenderung semrawut dan kurang bersih.
Beda sekali kesan pertama saya saat
mengunjungi daerah 3T yang lain. Sumba Timur dengan kain tenun dan beragam aksesorisnya
yang khas, serta tumpukan ikan dan hasil bumi di pasar-pasar tradisional.
Sorong yang kaya dengan hasil bumi dan—yang sangat berkesan bagi saya—daun
gatal. Wamena dan Mamberamo Tengah yang memiliki bunga plastik, buah merah,
noken, dan koteka. Mamberamo Raya dengan papeda dan ulat sagunya. Talaud dengan
lobster, umbi-umbian, dan sambal dabu-dabu. Menado dengan bubur tinutuan dan nasi jaha. Kupang dengan
dendeng sapi dan sei. Dan sebagainya.
Kesukaan saya setiap kali mengunjungi
tempat baru, selalu yang saya cari adalah apa yang khas. Bisa berupa makanan,
barang kerajinan, atau adat istiadat dan budaya. Saya hobi blusukan di pasar
tradisional atau ke kampung-kampung untuk melihat kehidupan masyarakat. Namun
di Nunukan ini, sepertinya saya belum beruntung karena saya belum menemukan apa
yang saya cari. Mungkin juga karena saya belum cukup melakukan penjelajahan.
Saat saya bertanya pada Pak Fadli, di mana
pasar tradisonal, jawabannya bukan seperti harapan saya. Dia menyebut sebuah
tempat dan di situ dia bilang, kita bisa mudah menemukan baju-baju dan
lain-lain yang diimport dari Malaysia, termasuk baju-baju bekas. Padahal maksud
saya adalah pasar tradisional yang di situ kita bisa mendapatkan hasil bumi,
hasil laut, dan barang-barang khas lainnya.
Hal ini mungkin dikarenakan Nunukan sudah banyak
kehilangan penduduk aslinya. Penduduk Nunukan lebih banyak para pendatang dari
Jawa, Makassar, Sulawesi. Penduduk asli, Suku Tingalan atau Dayak Agabag,
menjadi kelompok minoritas dan tinggal di pedalaman-pedalaman. Suku ini
kabarnya tidak hanya ada di Kabupaten Nunukan, namun juga di Kabupaten Tana
Tidung dan Kabupaten Malinau, bahkan juga di negara tetangga, Malaysia, yaitu
di Sabah dan Tawau.
Malam ini saya dan Mas Febry sempat
berbincang dengan Ibu Rus, kepala sekolah SMK Sei Menggaris. Sei Menggaris bisa
ditempuh dengan speedboat dalam waktu tempuh sekitar dua jam dari Nunukan kota.
Ibu Rus datang ke Nunukan dalam rangka mengantar siswanya berobat, sekaligus ingin
melepas tujuh guru SM-3T yang ditugaskan di sekolahnya. Berbagai cerita
mengalir deras dari mulutnya. Kisah awal mula perempuan Bugis itu terdampar di
Sei Menggaris. Juga cerita tentang perjuangannya memajukan SMK tempatnya
bertugas. Tentang etos kerja sebagian besar guru lokal yang memprihatinkan dan
etos kerja guru SM-3T yang strong, begitu dia menyebutnya. Kehadiran guru SM-3T
telah sangat amat berarti dalam mempersiapkan akreditasi sekolah serta
penyelenggaraan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Dia bilang, tanpa bantuan
guru-guru yang luar biasa itu, tidak mungkin semuanya itu bisa dipersiapkan dan
dilaksanakan dengan sangat baik. Yang membuatnya sedih, dia dan seluruh warga
sekolah dan masyarakat Sei Menggaris harus kehilangan guru-guru SM-3T tersebut.
Namun ada yang membuatnya agak lega, adalah kehadiran 6 Guru Garis Depan (GGD),
yang akan ditugaskan di sekolahnya mulai minggu ini. Meski, dia menyayangkan, karena
latar belakang pendidikan keenam guru tersebut dari mata pelajaran kelompok adaptif
dan normatif. Padahal yang dia butuhkan adalah guru-guru dari kelompok
produktif. Namun, dia menghibur diri, siapa pun yang menjadi guru di tempatnya
dan juga di sekolah-sekolah lain di pedalaman Nunukan, harus bisa mengajar mata
pelajaran apa pun, tak perduli latar belakang pendidikannya. Begitulah, cerita
lama itu terus saja terulang, di mana guru-guru SM-3T menjelma menjadi ‘guru
serba bisa’ di tempatnya bertugas. Saya katakan pada Bu Rus, semoga tidak
terjadi malapraktek pendidikan. Karena bagaimana pun, guru-guru bidang adaptif
dan normatif tentulah tidak memiliki bekal yang cukup untuk mengajar praktek
mata pelajaran kelompok produktif.
Ya, tapi mereka bisa mengajar sambil
belajar, dan belajar sambil mengajar. Begitulah saya dan Bu Rus bersepakat.
Ya…ya, setidaknya mereka masih lebih baik karena mereka berada di sekolah dan
memastikan siswa-siswa akan terlayani. Setidaknya mereka tidak membiarkan
kelas-kelas menjadi kosong dan sepi dan siswa-siswa terlantar. Setidaknya
mereka siap mendampingi siswa untuk belajar dan menjadi fasilitator yang baik
serta bersama-sama mencari solusi atas masalah apa pun yang dihadapi dalam
belajar.
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...