Pages

Senin, 04 September 2017

Nunukan 2: Kisah Pengabdian di Tau Lumbis dan Krayan Selatan

Pagi yang cerah menemani aktivitas kami di Hotel Laura. Makan pagi telah siap dan peserta SM-3T telah memenuhi ruang makan sejak pukul 06.30. Menunya sederhana, khas hotel kecil. Nasi putih, ca sayuran, ayam bumbu kecap, dan krupuk.

Hari ini pukul 09.00, akan dilaksanakan acara pelepasan peserta SM-3T di Kabupaten Nunukan. Yang melepas langsung bupati. Kepala Dinas sedang beribadah haji, dan yang mewakili pejabat dinas adalah Pak Ridwan, Kepala Bidang Ketenagaan. Pak Ridwan telah berkoordinasi dengan saya sejak beberapa minggu yang lalu terkait pelepasan dan penjemputan peserta SM-3T ini.

Kantor Kabupaten Nunukan cukup megah. Kami naik melalui lift ke lantai 7, tempat acara diselenggarakan. Ruangan cukup besar, tertata apik. Meski di luar sudah cukup panas, di dalam ruangan sejuk karena AC. Tak perlu menunggu lama, bupati hadir, dan acara pun segera dimulai. Bupati, saya, dan Pak Ridwan, duduk di depan. Ada para undangan di sebelah kiri kami, peserta SM-3T di depan kami, dan belasan fotografer-termasuk dari media - di beberapa titik.

Bupati Nunukan benar-benar cantik, secantik fotonya yang saya lihat di warung dekat Hotel Laura semalam. Posturnya tidak terlalu tinggi, tubuhnya langsing. Dandanannya tidak berlebihan, berkerudung dengan motif bunga-bunga, serasi sekali dengan baju coklat seragam pemda yang dikenakannya. Awalnya saya menangkap kesan ‘jaim’ memang, tetapi kesan itu menjadi agak cair ketika saya mengajaknya mengobrol.

Acara demi acara berjalan lancar. Yang paling berkesan adalah kesan-pesan dari dua wakil peserta. Salah satunya adalah Arham, peserta yang bertugas di Tau Lumbis. Dia bertugas di SMP 2 Lumbis Ogong. 

Saat menceritakan awal kedatangannya ke Nunukan, kemudian harus menempuh jarak berjam-jam menuju Tau Lumbis dengan perahu bermotor dan melawan riam-riam sungai yang sangat deras airnya,  sementara pelampung yang dibawanya sungguh bukan pelampung yang ‘aman’, membuatnya benar-benar seperti sedang berada di dunia lain. Namun demikian, dia mengisahkannya dengan gayanya yang khas dan sangat menarik, kocak, termasuk saat menyampaikan sindiran halus pada Bupati supaya beliau hadir menengok anak-anak sekolah di tempat tersebut. 

Arham juga bercerita, untuk mendapatkan sinyal, mereka harus menyeberang dan biaya untuk menyeberang itu tidaklah murah, yaitu sekitar Rp.1.000.000,-. “Jadi, hanya untuk mendengar suara orang tua, kami harus rela mengeluarkan biaya satu juta rupiah’’ begitu katanya.         

Arham juga sangat menyayangkan etos kerja guru yang sangat rendah termasuk guru-guru yang sudah bersertifikat sebagai guru profesional, dan berharap mereka akan meningkatkan kinerjanya, karena sesungguhnya, merekalah tulang punggung sekolah. Sebagai daerah perbatasan, Arham juga melihat, betapa jauh kondisi pendidikan di Nunukan dengan kondisi di tetangga sebelah, yaitu di Malaysia. Sangat jauh bedanya, baik kondisi sarana prasarana sekolah dan infrastruktur yang lain, juga kondisi kesejahteraan masyarakatnya. Namun Arham terus menanamkan rasa cinta Tanah Air pada para siswa, dan dengan tegas dia menyatakan: “di tanah ini kita dilahirkan, di tanah ini kita dibesarkan, dan tanah ini jugalah yang akan menutup jasad kita kelak”.

Wakil dari peserta yang lain, Ria Utami, ceritanya tak kalah seru. Gadis manis yang ditugaskan di Krayan Selatan itu tak pernah menyangka kalau untuk menuju tempat tugasnya, dari Nunukan dia harus menumpang pesawat kecil menuju bandara perintis Long Bawan. 

Nama Krayan sudah ada dalam kepalanya sebelum ada kepastian tempat tugas, lengkap dengan semua ‘cerita seram’ tentang tempat tersebut. Dia selalu berdoa semoga bukan Krayanlah tempat dia ditugaskan. Namun kenyataan berkata lain. 

Krayan adalah dunia baru yang akan dihuninya selama setahun. Tak ada pilihan. Dengan perasaan tak menentu, terbanglah dia bersama lima rekan lainnya menuju Krayan. Meski begitu, Ria dan kawan-kawannya tak perlu berlama-lama untuk bisa beradaptasi dengan segala keterbatasan yang ada. 

Mandi, mencuci, mengambil air di sungai menjadi keseharian yang dinikmatinya bersama anak-anak didik dan masyarakat setempat. Listrik dan sinyal yang langka menjadi lagu-lagu indah yang menepiskan kesedihan mereka. Lagi pula, kata Ria, Krayan menyediakan banyak kekayaan alam yang membuat mereka tak perlu takut kelaparan. Daun pakis, beragam jamur, ikan laut, kijang, landak, monyet, macan, musang, semua tersedia. Juga beras Krayan yang sangat enak itu. Putih, kenyal, seperti mengandung jeli, begitu cerita Ria. 

Kecamatan Krayan memang merupakan penghasil beras terbesar di Kabupaten Nunukan, yaitu beras adan, yang dihasilkan dari tanaman padi unggul organic. Beras ini banyak dipasarkan ke Malysia dan Brunei. Krayan juga memiliki garam gunung yang unik. Ya, garam gunung yang dihasilkan dari pengolahan sumur air bergaram, bukan garam laut seperti yang biasa kita konsumsi. Krayan sendiri terletak di bagian barat Kabupaten Nunukan dan berbatasan dengan Serawak, Malaysia. Jumlah penduduknya sekitar 1.150 ribuan jiwa yang sebagian besar adalah penduduk asli pedalaman Kalimantan yaitu Suku Dayak Lundayeh.

Saat giliran saya untuk memberi sambutan sebagai wakil dari Unesa, saya menyampaikan harapan saya pada para peserta SM-3T untuk terus menjaga passion sebagai guru yang tidak hanya menjadikan profesi tersebut sebagai ajang mengais rezeki. Guru yang mengispirasi adalah mereka yang mendedikasikan diri untuk anak didik dan pendidikan dengan sepenuh hati. 

Saya juga tegaskan pada bupati, bahwa adanya kekurangan guru di daerah 3T, termasuk Kabupaten Nunukan, baik dalam jumlah maupun kualifikasi, tak dipungkiri adanya. Namun berdasarkan pengamatan saya setelah bertahun-tahun melakukan kunjungan di berbagai kabupaten 3T, faktor penghambat terbesar dalam pembangunan pendidikan bukanlah karena kekurangan guru atau terbatasnya sarana-prasarana atau kendala geografis. 

Faktor penghambat terbesar adalah etos kerja guru yang rendah. Ya. Ditambah lagi dengan minimnya figur panutan. Kepala sekolah yang tidak segan-segan mangkir dari tugas. Guru PNS dan bahkan sudah bersertifikat pendidik yang tak merasa berdosa menelantarkan kelas dan anak didik. Artinya, kendala terberat itu ada pada kultur, pada budaya. Dengan demikian, sosok pemimpin yang ‘membumi’, yang bisa menjadi teladan, yang peduli pada peningkataan kompetensi guru dan kinerja semua pelaku pendidikan, mutlak diperlukan. Mengingat pendidikan merupakan investasi sumber daya manusia yang paling rasional untuk memangkas kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan peradaban, maka tidak ada pilihan, kepala daerah harus benar-benar memberi perhatian khusus pada percepatan pembangunan pendidikan di wilayahnya.

Pagi ini acara pelepasan Guru SM-3T Unesa oleh Bupati Kabupaten Nunukan ditutup dengan penyerahan cindera mata, baik dari bupati kepada Unesa dan GTK, maupun dari Unesa kepada bupati. Seperti biasa, Unesa menyerahkan buku-buku sebagai kenang-kenangan. Buku yang berisi kisah-kisah inspiratif pengalaman mengabdi selama mengemban tugas sebagai guru SM-3T, yang ditulis oleh para peserta SM-3T angkatan sebelumnya. Harapan saya, buku itu akan dibaca oleh bupati dan jajarannya, kepala dinas pendidikan dan jajarannya, kepala sekolah dan guru-guru, dan bisa menjadi inspirasi bagi mereka semua untuk lebih meningkatkan kinerjanya dalam mengemban tugas mengurus pendidikan.


Nunukan, 21 Agustus 2017

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...