Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 31 Maret 2013

Mengabarkan Kebahagiaan

Suatu hari saya mengirim sebuah tulisan ke milis keluarga Unesa. Tulisan tentang pengalaman saya dalam acara reuni Himapala. Reuni yang menyenangkan. Perjalanan yang panjang, konsumsi dan akomodasi yang lezat dan nyaman, kunjungan-kunjungan ke tempat-tempat wisata yang mengagumkan dan persahabatan yang indah, sangat berarti dan mencerahkan.

Seorang teman berkomentar: Dilihat dari tulisannya, kisah Bu Ella kok bahagia terus padahal kata Mario Teguh "Life is never flat". Apa yang ditulis emang yg bahagia aja ya? 

Sebenarnya saya tidak selalu menulis cerita yang bahagia saja. Sama dengan hidup saya, hidup kita semua, duka dan bahagia selalu menyertai. Saya ingat pernah menulis 'Episode Baru bagi Bapak' dan 'Di Ujung Ramadhan'. Dua tulisan yang mengisahkan tentang kesedihan kami saat bapak jatuh sakit, dan kami harus bahu-membahu untuk saling mendukung bagi kesembuhan bapak. Saya juga menulis tentang 'Ibuku (1)' dan 'Ibuku (2), sebagian menceritakan bagaimana rasa kehilangan kami semua saat bapak berpulang. Ada juga tulisan tentang 'Anak Lanang', sebuah cerita suka dan duka menemani anak semata wayang kami dalam menjalani proses pendewasaannya. Tulisan-tulisan itu sebagian ada di website www.luthfiyah.com dan juga di buku 'Jejak-Jejak Penuh Kesan', buku yang saya tulis untuk menandai momen pernikahan emas bapak dan ibu. 

Tapi memang, harus saya akui, saya lebih suka menuliskan hal-hal yang membahagiakan daripada hal-hal yang menyedihkan. Berbagi kebahagiaan akan menularkan energi positif bagi orang yang mendengar atau membacanya. Membagikan cerita sedih hanya perlu saya lakukan ketika saya yakin kita bisa mengambil hikmah dari cerita itu. Hikmah untuk selalu bersabar, ikhlas dan bersyukur.  
Mario Teguh menulis: 
"Jika hatimu baik, pikiranmu baik, yang kau katakan baik, dan yang kau lakukan baik, maka baiklah nasibmu.

Mas Ayik panorama waduk Gajah Mungkur...
Maka ikhlaskanlah hati, pikiran, kata-kata, dan keseluruhan gerak tubuhmu kepada kebaikan.

Sesungguhnya, lebih mudah bagimu mendekatkan dirimu kepada kebaikan, daripada mengeluarkan dirimu dari kesulitan karena keburukan."

Saya sangat sepakat dengan kata-kata bijak Mario Teguh itu. Meski dia mengakui "Life is never flat", tapi dia juga meyakini mengabarkan kebaikan akan membawa kita kepada 'nasib baik'. 

Ada juga syair dari The Best of Opick yang sangat saya suka. Saya memang penggemar Opick. Lagu-lagunya hampir selalu menemani saya sepanjang perjalanan menuju atau pulang kerja. Begitu saya membaca basmallah dan doa bepergian serta bersholawat, saya kemudian menghidupkan tape.  Saya bersenandung, tapi yang saya senandungkan adalah kalimat-kalimat pujian. 

RAPUH
Lagu/Lirik: Opick

"Detik waktu terus berjalan
Berhias gelap dan terang
Suka dan duka, tangis dan tawa
Tergores bagai lukisan

Seribu mimpi, berjuta sepi
Hadir bagai teman sejati
Di antara lelahnya jiwa
Dalam resah dan air mata
Kupersembahkan kepada-Mu
Yang terindah dalam hidupku

Meskipun rapuh dalam langkah
Kadang tak setia kepada-Mu
Namun cinta dalam jiwa
Hanyalah pada-Mu

Maafkanlah bila hati
Tak sempurna mencintai-Mu
Dalam dada kuharap hanya
Diri-Mu yang bertahta

Detik waktu terus berlalu
Semua berakhir pada-Mu..."

Entah kenapa, meski lagu ini sudah puluhan kali saya dengar dan saya senandungkan, saya hampir selalu menangis setiap mendengarnya. Bagi saya, ini tidak sekedar lagu. Bagi saya, lagu ini maknanya begitu luar biasa, begitu menyentuh titik kesadaran saya yang paling dalam. Pernah suatu ketika saya dan mas Ayik melakukan perjalanan mudik ke Tuban, dan kami menyenandungkan lagu itu bersama-sama, tiba-tiba saya terdiam. Terisak. Ternyata mas Ayik juga. Dia diam dan mebiarkan lagu itu terus mengalun sementara kami meresapinya dengan sepenuh hati. 

TAKDIR
Lagu/Lirik: Opick

"Dihempas gelombang
Dilemparkan angin
Terkisah kubersedih, kubahagia
Di indah dunia yang berakhir sunyi
Langkah kaki di dalam rencana-Nya

Semua berjalan 
Di dalam kehendak-Nya
Nafas hidup, cinta dan segalanya...

Dan tertakdir menjalani
Segala kehendak-Mu ya Rabbi
Kuberserah, kuberpasrah
Hanya padamu ya Rabbi

Bila mungkin ada luka
Kau coba tersenyumlah
Bila mungkin tawa
Kau coba bersabarlah
Karena air mata tak abadi
Akan hilang dan berganti

Bila hidup hampa yang dirasa
Mungkinkah hati merindukan Dia
Karena hanya dengan-Nya
Hati tenang damai jiwa dalam dada..."

Surabaya, 31 Maret 2013

Wassalam,
LN

Reuni Himapala (3): Mbak Dien yang Baik Hati

Pagi, pukul 05.30. Saya dan mas Ayik sudah menyelesaikan rutinitas pagi. Dua sepeda lipat sudah disiapkan. Bagasi sudah diikat di bagian belakang sepeda. Segelas teh manis cukuplah untuk menghangatkan tubuh.

Kamar mas Badi masih tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Hehe. Mereka berempat pasti masih pulas. Menuntaskan sisa kelelahan setelah perjalanan kemarin dan karena kegiatan tadi malam. 

Kami keluar hotel, mengayuh sepeda kami. Tentu saja setelah pamitan pada resepsionis. Kami check out pagi ini. Menikmati pagi sambil bersepeda pelan-pelan. Tidak perlu ngoyo. Yang penting speed diatur, bertahan, konsisten. Tujuan kami tentu saja ke rumah angin. 

Tapi sepagi ini, banyak pemandangan yang sayang untuk dilewatkan, sehingga kami tidak langsung ke tempat tujuan. Beberapa kali berhenti di tempat-tempat yang indah. Juga singgah di Taman Rekreasi Gajah Mungkur. Matahari yang mengintip di kaki langit. Warnanya yang jingga bersinar berpendar-pendar. Para nelayan yang sedang menebar jaring. Gerombolan burung yang melintas di angkasa. Dan dermaga yang menunggu siapa saja untuk menyinggahinya. 

Sesi pemotretan pun tak terelakkan. Semua pemandangan indah nyaris tak terlewatkan. Termasuk macam-macam ikan goreng kering yang banyak dijual di pinggir jalan. Wader, mujair, udang, semua digoreng kering. Ada juga abon dari bermacam-macam ikan.  

Sehari ini ada beberapa kali sesi pemotretan. Di halaman rumah angin. Di Museum Karst Indonesia. Juga di Pantai Sembukan. Untuk dua tempat yang terakhir, kami kunjungi bersama rombongan. Mbak Dien menyediakan bus polisi, lengkap dengan driver, para pengawal, dan juga konsumsi yang berlimpah. Tentu saja tiket masuk juga bukan kami yang bayar.

Mas Ayik berpose di depan manusia purba Solo.

Potret rame-rame di depan pintu masuk Pantai Sembukan
Tentang Karst, menurut 'mbah google', Indonesia memiliki kawasan Karst yang sangat luas, mencapai lebih dari 15,4 juta hektar.  Kawasan Karst Indonesia umumnya memiliki keanekaragaman hayati dan non-hayati yang mempunyai nilai keindahan, keunikan, ilmiah, ekonomi, budaya, sejarah dan kemanusiaan. 

Memang benar. Kami bisa belajar banyak di Museum Karst yang berdiri sejak tahun 2007 ini. Mulai dari lokasi batuan karst di seluruh Indonesia bahkan di seluruh dunia, macam-macam batuan karst dan bagaimana terjadinya, kehidupan flora fauna, penemuan fosil-fosil di gua-gua batuan karst, potensi ekonomi, benda-benda purba, dan masih banyak lagi. Kami juga diputarkan film tentang gunung Merapi. Kalimat yang menyentuh kesadaran kita ada di ujung film dokumenter itu:  "Merapi telah memberikan waktu pada kita untuk menikmati keindahannya serta memanfaatkan hasil buminya, maka ada saatnya kita harus memberinya waktu untuk bererupsi." Kalimat ini mengandung makna yang dalam tentang bagaimana kita seharusnya hidup berdampingan dengan alam.  

Museum Karst Indonesia ini letaknya di Desa Gebangharjo Kecamatan Pracimantoro, 45 km di selatan kota Wonogiri. Museum ini juga menggambarkan khasanah karst dengan keunikan goa-goa di Pracimantoro. Di Desa Gebangharjo Kecamatan Pracimantoro - yang menjadi pusat penelitian kawasan karst - terdapat puluhan gua, antara lain Gua Tembus, Gua Mrica, Gua Sodong, Gua Potro, Gua Sapen, Gua Gilap, dan Gua Sonya Ruri. Sayang kami tidak memiliki cukup waktu untuk mengunjungi gua-gua itu, tapi harus cukup puas hanya dengan menikmati miniaturnya. 

Berada dalam goa museum manusia purba.

Potret diri berdua dengan Mas Ayik. 
Berdasarkan penelitian para ahli sejarah dan geologi, kawasan gua-gua di Pracimantoro Wonogiri ini layak dijadikan sebagai situs Kawasan Karst yang potensial di Indonesia. Kawasan ini bahkan dinilai terbaik oleh para ahli sejarah dan geologi karena telah memenuhi kriteria keberagaman gua, struktur lapisan tanah, dan panorama alam yang khas. Potensinya dinilai lebih baik daripada kawasan karst yang ada di Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Gunung Kidul. 

Setelah puas mengunjungi Museum Karst dan berpamitan dengan pemandunya yang cantik, ramah, sopan dan cerdas, kami kembali memasuki bus polisi. Oya, sebelum masuk bus, saya dan mas Ayik sempat berwisata kuliner sebentar. Menikmati tempe mlanding yang digoreng tepung, kripik tempe mlanding, dan tape gaplek. Bagi kami, itu jenis makanan yang langka dan rodo aneh, makanya perlu dicoba.
  
Keindahan tepian waduk Gajah Mungkur bertemaram mentari.

Bepose di atas karang.

Mas Ayik action di batuan cadas.
Pantai  Sembukan terletak di Kecamatan Paranggupito, kurang lebih 40 Km arah selatan Kota Wonogiri. Pantai yang dikelilingi perbukitan. Kita bisa turun ke pantai yang ada di bawah sana, melewati tangga. Atau bila ingin memandang laut lepas lengkap dengan batu-batu karangnya yang besar-besar, kita bisa naik ke bukit-bukit. Serasa di sorga. Begitu luar biasa indahnya. Laut biru yang luas. Ombak yang berkejaran memecah batu-batu karang, buih putihnya pecah berpendar-pendar tinggi sekali, sebelum akhirnya riak-riaknya mencapai pantai. Subhanallah...indahnya.

Selain terkenal dengan keindahan alamnya, pantai Sembukan juga terkenal sebagai pantai ritual yang ramai dikunjungi orang untuk bermeditasi dan ngalab berkah. Pantai yang jaraknya dari Kantor Kecamatan Paranggupito kurang lebih 3,5 km ini, pada waktu-waktu tertentu juga digunakan sebagai tempat acara larung,  yang biasanya dilanjutkan dengan acara wayangan. Selain itu juga ada tempat peribadatan yang ada di puncak bukit.

Kami mengakhiri acara suka-suka itu dengan foto bersama. Makan siang disiapkan oleh mbak Dien dan 'bolo kurowo'-nya. Nasi kotak dengan menu ayam goreng, bihun, dan sambal goreng kentang. Lauk tambahan, yang kita bisa mengambilnya sesuka hati, adalah tahu tempe bacem, ayam goreng, urap, telur dadar, ikan asin, krupuk dan rempeyek. Ada teh hangat dan es degan juga. Komplit. 

Mbak Dien, polwan berpangkat letkol itu, adalah perempuan berhati kapas. Tubuhnya yang tinggi besar menyimpan kesejukan dan ketulusan hati seorang sahabat. Ketika secara tulus saya sampaikan ucapan terimakasih saya kepadanya, mewakili anggota Himapala, mbak Dien justru balik menyampaikan terimakasihnya karena pertemuan ini. Dia katakan, dia dan keluarganya sangat bahagia karena kami semua sudah menyinggahinya. Katanya, seperti batere, jiwa kita juga perlu di-charge. Bertemu kawan-kawan adalah salah satu bentuknya. Rutinitas kerja setiap hari telah membuat hati kita selalu merindukan saat-saat seperti ini.

Mbak Dien sudah mencapai tingkat tertinggi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Aktualisasi diri. Menurut Abraham Maslow yang dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik itu, manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Ahli yang terkenal dengan teori Hierarchy of Needs itu
percaya bahwa setiap orang memiliki keinginan yang kuat untuk merealisasikan potensi dalam dirinya, untuk mencapai tingkatan aktualisasi diri. Maslow menggambarkan bahwa manusia baru dapat mengalami "puncak pengalamannya" saat manusia tersebut selaras dengan dirinya maupun sekitarnya. Manusia yang mengaktualisasikan dirinya, dapat memiliki banyak puncak dari pengalaman dibanding manusia yang kurang mengaktualisasi dirinya.

Mbak Dien juga mengingatkan saya pada pandangan Komaruddin Hidayat saat menyajikan konsep the archtypes pada waktu Konaspi VII di Yogyakarta beberapa bulan yang lalu. Setiap orang akan mengalami siklus hidup yang disebut 'The Archtypes'. Dimulai dengan tahap 'orphan'.  tidak berdaya, selalu membutuhkan orang lain, tapi juga terbuka pada persahabatan dan pertemanan.  Selanjutnya tahap' wanderer',  pengelana, melakukan eksplorasi, memperluas wawasan. Kemudian tahap ' warrior', harga diri, menjaga martabat. Terakhir adalah 'altruist' artinya 'find the more meaningful life'. Saatnya berjuang untuk orang lain. Bukan hanya memikirkan diri sendiri (selfish,  self center). Ketika seseorang mencapai tahap altruist, dia akan merasa bahagia ketika membahagiakan orang lain. Berbahagialah Anda yang hidup untuk memberikan manfaat dan kebahagiaan bagi orang lain. Kepribadian yang sehat adalah ketika sudah sampai pada tahap altruist. 

Terimakasih, mbak Dien. Untuk pertemuan yang luar biasa ini. Untuk persahabatan yang indah ini. Semoga terus terjalin dan bisa saling memberi manfaat. Saling berbagi, saling menginspirasi....

Wonogiri, 30 Maret 2013

Wassalam,
LN

Sabtu, 30 Maret 2013

Reuni Himapala (2): Ada Dokter Edi Dharma dan Sabar Gorky

Hehe, ini reuni yang keren sekali. Meski perjalanan jauh, lebih dari sepuluh jam (karena macet dan mampir-mampir), capek seperti tidak terasa. Cipaganti cukup nyaman....terlalu nyaman untuk kami para anggota himapala (yang biasa naik truk saat berkegiatan dulu). Kami bernyanyi-nyanyi di sepanjang perjalanan, ngemil, dan guyon. Selebihnya tidur, baca, menulis bagi yang suka menulis. 

Pukul 19-an kami tiba di kantor Polres Wonogiri. Beberapa polisi menyambut kami dan menyilakan bus kami parkir. Ternyata rumah mbak Dien berada di belakang Polres. Melewati jalan makadam yang menanjak dengan jarak sekitar seratus meter, kami tiba di joglo besar yang berada di ketinggian. Di tempat yang lebih tinggi lagi, berjarak sekitar sepuluh meter, sebuah rumah kayu. Rumah dan joglo ini menyatu, menjadi sebuah tempat persinggahan yang mengasyikkan. Angin yang sejuk dan dingin berhembus semilir, menerpa wajah. Mbak Dien menamakan rumahnya ini sebagai rumah angin. Nama yang tepat.

Kebersamaan antar generasi.
Di joglo, orang-orang 'berserakan'. Ada banyak wajah, mulai dari wajah kanak-kanak, remaja, dewasa, sebagian besar wajah manula. Dan....surprise. Ada lima remaja berseragam batik yang sedang melakukan massage. Pijat refleksi. Wow, rupanya mbak Dien tidak hanya menyediakan tempat yang sangat eksotis, makanan yang berlimpah, namun juga membuka panti pijat dadakan untuk kami. Mantan kapolres Wonogiri itu menyambut dan memeluk kami satu per satu. Pelukan tulus dan keramahan yang hangat itu menyentuh sampai ke relung hati saya. Dia menunjukkan di mana meja makan, di mana kue-kue termasuk polo-pendem dan kacang rebus, dan menyilakan kami apakah akan langsung makan atau mau pijat dulu. Wow....benar-benar full service.

Saya memilih mengambil wedang jahe, menikmati kehangatannya, setelah menyalami semua yang ada di situ. Lantas menyelonjorkan kaki, ngantri untuk dipijat. 
Malam ini kami lalui dengan sangat menyenangkan. Ada banyak wajah lama yang sangat saya kenal. Mas Joko, mas Bayu, mas Badi', mas Gatot, mas Hardik, mbak Oris, mas Andik, mas Jack, mas Hari Is, mbak Retno, mas Sidik,  Chairul, Gudel, Agus Pedhet, Dwi,  dan masih banyak yang lain. Hampir semua membawa keluarganya. Ramai dan guyub. 

Setelah makan malam, kami duduk melingkar. Ike, salah satu motor kegiatan ini, angkatan 2000, mantan Ketua Umum Himapala, mengantarkan acara. Sambutan dari mbak Dien, nyonya rumah, dilanjutkan dari pembina Himapala, saya sendiri, terus senior himapala, diwakili mas Joko. 

Lagi-lagi mbak Dien membuat kejutan. Di antara kami ternyata ada dua sosok asing, dialah dokter Edi Dharma dan Sabar Gorky. Dokter Edi Dharma adalah dokter yang bertugas di Puskesmas Selogiri, Wonogiri. Tahun lalu, beliau terpiilih sebagai dokter teladan. Entah karena memiliki kemiripan latar belakang sebagai pecinta alam, dokter Edi menjadi sahabat mbak Dien. Meski mbak Dien hanya bertugas sebentar di Wonogiri (sekitar 1,5 tahun), namun karena dokter Edi juga penggiat lingkungan, mereka berdua sering berkolaborasi untuk melakukan berbagai kegiatan. 

Sedangkan Sabar Gorky, dialah pria tunadaksa berkaki satu, yang memiliki banyak prestasi luar biasa. Salah satunya adalah  berhasil menaklukkan Gunung Elbrus, Rusia, tepat pada HUT ke 66 RI, pada 2011 yang lalu. Nama Gorky merupakan nama Rusia yang dia peroleh setelah melakukan pendakian itu. Gunung Elbrus merupakan gunung tertinggi di Eropa. Diisinyalir oleh banyak kalangan, Sabar adalah tuna daksa berkaki satu pertama di dunia yang telah menaklukkan Elbrus. 

Setelah Sabar mengakhiri presentasinya yang dilengkapi dengan video petualangannya di berbagai tempat di dunia,  yang begitu mencengangkan, tibalah saatnya Atus dkk, anggota aktif Himapala, menyampaikan rancangan program ekspedisi mereka. Pengarungan Lawe Alas di Aceh pada Juli nanti, dilanjutkan ke New Zealand pada tahun berikutnya. Berbagai tanggapan disampaikan oleh para senior. Intinya, semua mendukung. Berbagai masukan dan saran dilontarkan. Saya sendiri, entah kenapa, dirundung keharuan sekaligus kesyahduan. Betapa luar biasanya momen ini. Saat anak-anak muda itu menyampaikan mimpi-mimpinya, kami para orang tua membukakan celah-celah untuk mereka agar bisa menemukan jalan mencapai impian. Saya lebih banyak terdiam menikmati suasana ini. Himapala berdiri saat anak-anak muda itu belum lahir. Kini, mereka bertemu dengan para pendirinya, untuk sebuah tujuan yang sama: bendera Himapala tetap berkibar. Ada perbedaan usia yang jauh di antara kami, namun direkatkan oleh kesatuan visi dan misi.

Acara lantas ditutup dengan penjualan souvenir ekspedisi. Kaus, ballpoin, dan batik. Tentu saja semua berlogo Himapala. Para anggota aktif sedang mengumpulkan dana untuk kegiatan mereka, maka kami para senior pun memborong semuanya. Dagangan mereka habis ludes. Malah banyak yang tidak kebagian. Horee....laris manis.
  
Saat malam semakin merangkak, dan kantuk mulai menyerang, mbak Dien mengumumkan pada kami, bagi yang sudah berusia 35 tahun ke atas, telah disediakan penginapan di hotel Joglo. Bagi yang ingin tetap beristirahat di rumah angin tidak masalah.  Mbak Dien benar-benar total dalam menjamu kami.  

Bersama para senior.
Saya dan mas Ayik, dengan beberapa teman, memilih tidur di hotel. Kami berdua numpang di mobil mas Badi. Tapi dasar mas Ayik. Hanya bagasi kami saja yang dimasukkan ke mobil. Dua sepeda lipat yang kami bawa dari Surabaya, disiapkannya. Ya, malam ini kami akan mengayuh sepeda dari rumah angin menuju hotel. Jaraknya memang hanya tiga kilometeran, namun jalannya yang naik turun dan berbelok-belok sempat membuat saya ragu. Mas Badi mengawal saya dan mas Ayik. Di sebuah tanjakan, ketika saya bermaksud istirahat sebentar, dua anak mas Badi menghambur keluar dari mobil dan 'merebut' sepeda kami. Mereka minta kami masuk mobil dan mereka yang bersepeda. Memaksa. Mungkin mereka tidak tega, atau mungkin mereka 'kebelet' pingin naik sepeda mungil itu. Ya sudah, karena mas Badi dan mbak Danik, istrinya, meyakinkan kami kalau anak-anak biasa bersepeda, maka kami ikhlaskan saja mereka merebut sepeda kami. Benar ternyata. Gadis remaja berpostur tinggi yang baru kelas tiga SMP  dan adiknya, cowok kelas 1 SMP itu, bersepeda cukup kencang di jalanan di tengah hutan jati. Sampai kami semua tiba di hotel joglo. Tiga kamar dibiarkan terbuka untuk siapa pun yang akan memanfaatkan. 
Lelah, mengantuk dan lega. Setelah ngobrol dengan mas Badi di teras hotel sampai mendekati tengah malam, kami pun masuk ke kamar masing-masing. Mandi, sholat, tidur.....

Besok masih banyak acara yang menarik....


Wonogiri, tengah malam, 29 Maret 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 29 Maret 2013

Reuni Himapala

Pukul 07.15. Kami siap berangkat. Cipaganti mungil begerak menjauhi sekretariat Himapala menuju pintu gerbang Unesa. Bus yang hanya berkapasitas 25 penumpang ini tidak penuh, hanya terisi 15 kursi plus 2 kursi untuk driver dan codriver-nya. Maka kami bebas memilih tempat duduk. Masing-masing mau ambil dua juga boleh selama persediaan masih ada. Hehe. 

Kursi yang lebih ini sudah diprediksi sebelumnya. Banyak  senior himapala yang berangkat dengan membawa kendaraan pribadi. Saya dan mas Ayik sebenarnya juga berencana seperti itu, tapi dengan berbagai pertimbangan akhirnya bergabung naik bus. Antara lain karena supaya bus tidak terlalu kosong, bisa beramai-ramai dengan teman-teman yang lain, dan....ini yang lebih penting, bisa bersantai.... Bisa sambil tidur dan leyeh-leyeh. Juga bisa sambil karaoke. Beda kalau membawa mobil sendiri. Ya, 'ngeman awak'. Apalagi pada long-weekend seperti ini, jalan menuju luar kota biasanya sangat padat.

Oya, tujuan kami adalah Wonogiri. Lumayah jauh. Sekitar tujuh jam dari Surabaya. Seorang senior Himapala, mbak Dien (Dien Irhastini, angkatan 82, waka Sekolah Perwira Polwan, mantan kapolres Wonogiri) mengundang kami para senior himapala untuk dijamu di rumahnya. Dalam rangka temu kangen. 

Ide ini muncul usai acara Reuni IKA Unesa beberapa waktu yang lalu. Saat itu, puluhan senior Himapala hadir. Gegap-gempitanya luar biasa. Tidak puas bertemu di Gema, pertemuan diteruskan di rumah kami, sembari menunggu penerbangan mbak Dien selepas Isya. Ngobrol ngalor-ngidul, akhirnya mengerucut pada rencana reuni. 

Reuni. Saya selalu senang dengan acara reuni. Demi sebuah silaturahim. Ngumpulne balung, kata orang Jawa. Ada keceriaan, ada keharuan, ada kebersamaan. Saling berkabar. Kadang-kadang harus saling kenalan lagi karena saking lamanya tidak bersua. Termasuk berkenalan dengan para anggota keluarga masing-masing. Persahabatan yang terus terpupuk, rezeki yang luas dari mana saja, dan insyaallah, memanjangkan umur. Amin YRA.

Tentu saja kami akan menginap semalam di Wonogiri. Perkiraan sekitar pukul 15.00 kami akan sampai. Bersantai, acara bebas, sampai selepas isya. Setelah itu baru acara dialog. Sambung rasa. Juga ada presentasi dari adik-adik anggota aktif Himapala dan beberapa senior. Rencananya, awal Juli yang akan datang, mereka akan melakukan ekspedisi Lawe Alas, di Aceh. Selama empat hari mereka akan mengarungi sungai Alas dengan rutenya yang sangat menantang. Ekspedisi Lawe Alas ini hanya untuk pemanasan. Tahun depan, bersama para senior, mereka akan mengarungi sungai Wairua dan Kaituna, di kota Rotorua, New Zealand bagian utara. Semangatnya, ekspedisi ini akan menjadi kado persembahan bagi Unesa, tepat di usianya yang ke-50 tahun, menjelang akhir tahun 2014 nanti. 

Momen reuni ini awalnya juga akan dimanfaatkan untuk sosialisasi website IKA Unesa. Mas Rukin Firda, wartawan Jawa Pos, tim web yang juga senior Himapala, yang dijadwalkan akan membawakan. Namun karena dia habis sakit, dan saat ini masih pemulihan, maka acara sosialisasi web di hadapan para senior himapala ditunda dulu sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Hehe...

Oya, penumpang yang paling senior di bus kami adalah mas Ahli Budi (angkatan 75). Kemudian mas Abimanyu (80), mbak Indung (82), mas Ayik (83), saya sendiri (85), selebihnya angkatan di bawah saya. Yang terkecil adalah Aira, bayi perempuan mungil berusia 15 bulan. Tapi si baby dan ayah-ibunya yang dua-duanya adalah senior Himapala ini tidak ikut sampai Wonogiri. Mereka akan turun di Ngawi untuk menjenguk keluarga yang lagi sakit.

Semoga perjalanan lancar, semoga acara lancar, semoga semua lancar dan berkah. Amin YRA.

Wassalam,
LN

Senin, 25 Maret 2013

Ujian Nasional (UN) Lagi

Malam ini saya terpekur. Beberapa tulisan yang baru saja saya baca, membuat perasaan saya sedih, gundah, marah, tak berdaya. Tulisan tentang Ujian Nasional (UN). Mohammad Ihsan (MI), sekjen Ikatan Guru Indonesia (IGI), mengirim tulisannya dengan judul 'CURHAT GURU MENYAKSIKAN KECURANGAN DI SEKOLAH' di mailing list (milist) Keluarga Unesa. 

Semula berawal dari status MI di facebook grup IGI. "Mengubah Lembar Jawaban Ujian Sekolah Demi Nilai Ijazah Yang Bagus", seperti itulah bunyinya. Status yang kemudian menjadi bahan diskusi yang sangat hangat. Berbagai tanggapan muncul, baik yang langsung di FB tersebut, maupun yang mengirimkannya ke jaringan pribadi MI. Salah seorang guru, menuliskan curhatnya. Tentang kecurangan yang terjadi di sekolah setiap kali UN tiba. Dia menyebutnya sebagai perilaku kecurangan yang dilegalkan. 

Tentu saja saya tidak heran dengan apa yang ditulis guru tersebut. Saya sudah sering membacanya. Saya sudah puluhan kali mendengarnya. Dari tahun ke tahun. Saya pergi ke berbagai pelosok di negeri ini, dan saya mendengar serta menyaksikan hal-hal yang luar biasa mengerikan tentang UN. Ya iyalah. Orang di Jakarta saja, ibu kota yang menjadi barometer segala hal, kecurangan UN tak terhindarkan. Apalagi di daerah-daerah yang berada nun jauh di sana. Daerah-daerah yang bahkan tidak ditemukan ketika dicari koordinatnya dengan google map. Daerah-daerah dengan sekolah yang bahkan kepala dinasnya saja belum tentu pernah berkunjung ke sana. Sekolah-sekolah miskin, terpencil, dengan kepala sekolah yang hadir seminggu sekali saja sudah bagus. Sekolah-sekolah yang guru-gurunya tidak saja 'kurang pintar', namun juga malas, miskin komitmen, dengan perilaku yang tidak bisa menjadi panutan. Tidak ada supervisi dari kepala sekolah, pengawas, apalagi kepala dinas. Nyaris tanpa dukungan orang tua dan stakeholder yang lain. Stakeholder?  Bahkan saya tidak yakin, apakah di tempat-tempat seperti itu, sekolah-sekolah itu memiliki stakeholder. Mereka ada namun tidak 'mengada'. Sepertinya juga tak ada pihak mana pun yang menganggap keberadaannya penting. Kecuali sekedar formalitas. Bahwa anak usia sekolah harus sekolah. Bahwa buta huruf harus diberantas. Bahwa mereka, ini yang terpenting, harus lulus UN.
  
Saya teringat tulisan saya tentang UN sekitar setahun yang lalu. Sebuah tulisan tentang keprihatinan saya. Betapa UN telah menjadi momok bagi siapa saja. Juga, betapa UN telah memberangus semua kebaikan yang telah ditanamkan dari hari ke hari oleh alam. Menepiskan hal-hal baik yang telah tumbuh dan berkembang dalam diri setiap individu. Hal-hal baik bernama  kerja keras, ketekunan, kepedulian, kebersamaan dan kearifan...(Nurlaela, 2012). 

Saya juga teringat jeritan hati para peserta SM-3T karena ketidakberdayaannya untuk menghindar dari kecurangan yang terjadi ketika UN. Dia, meskipun dengan hati berurai air mata, tidak bisa berkelit dan terpaksa masuk dalam lingkaran setan UN. Persis, persis seperti curhat guru yang disampaikan MI dalam milis. Juga testimoni Habe Arifin yang mewakili istrinya. 'Testimoni: Tim Sukses UN: Beban Moral, Hina di Depan Siswa'. Begitulah judulnya. Habe, mantan wartawan yang sekarang menjadi politikus di Ibu Kota itu membeberkan betapa menderitanya istrinya yang kebetulan adalah seorang guru fisika, di bilangan Jakarta Barat. Ia diperintahkan kepala sekolah menjadi anggota TIM SUKSES UN. Tugas yang tak kuasa dihindarinya itu menjadi beban berat yang dipikulnya dan membuatnya merasa sebagai orang yang paling hina di depan murid-muridnya yang telah dibantunya untuk lulus UN. 

Saat ini pikiran saya melayang pada anak-anak saya, 279 peserta PPG SM-3T Unesa yang sedang berjuang membangun kompetensinya. Juga ribuan peserta di seluruh Indonesia. Mereka belajar keras, sejak sebelum matahari terbit sampai matahari tenggelam, bahkan menjelang terbit lagi. Mereka dihadapkan pada berbagai aturan, tugas, pembelajaran, pelatihan, sebagai bekal hidup mereka menjadi guru yang profesional. Saya berharap mereka akan menjelma menjadi guru-guru yang cerdas, tangguh, berkepribadian dan kuat iman. Merekalah yang nanti akan mempersiapkan generasi emas Indonesia. Generasi yang akan menentukan apakah kita semua akan tetap ada, bukan sebagai manusia, tapi sebagai bangsa (Habibie, 2012).

Pada saat mereka telah menjadi guru nanti, saya tidak tahu, apakah UN akan tetap seperti sekarang ini. Menjadi indikator kelulusan siswa. Saya tidak tahu, apakah ketika mereka telah menjadi guru nanti, UN telah berubah sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan. Saya tidak tahu. Saya takut pesimis, tapi saya memang pesimis. Bila kemungkinan pertama yang terjadi, saya ingin, anak-anak saya tetap memegang teguh kejujuran. Tetap tangguh menggenggam daya juang dan kerja keras, dan terus-menerus menanamkannya pada anak-anak didik mereka. Tidak tergilas oleh sistem yang akan membawa generasi yang mereka didik menuju jurang kehancuran.

Tiba-tiba saya teringat lagi ketika setahun dua tahun yang lalu saya menghadiri peresmian sebuah sekolah di daerah pelosok di NTT. Yang meresmikan sekolah itu adalah Mendikbud. Momen itu juga dimanfaatkan untuk mendeklarasikan 'UN Jujur dan Berprestasi.' Ratusan siswa, guru, orang tua, aparat pendidikan, kepala dinas, bupati, gubernur, semuanya meneriakkan tekad untuk menegakkan UN jujur dan berprestasi. Sejujurnya, saya, yang ada di antara mereka saat itu, merinding. Bagaimana mungkin sekian ratus orang itu meneriakkan sesuatu yang tidak mungkin? Yang bahkan di dalam hati mereka saja saya tidak yakin mereka yakin? Saya saat itu malah teringat pada kue cucur yang baru saja saya beli di perjalanan ketika menuju tempat upacara. Sampai akhirnya, muncullah tulisan 'Kue Cucur dan Ujian Nasional' (Nurlaela, 2012).

Malam ini saya masih terpekur. Satria Darma (SD), Ketua IGI Pusat, menghimbau supaya kita semua menuliskan berbagai kecurangan tentang UN. Dia sarankan supaya semua tulisan anonim tentang kecurangan UN dicetak dan dikirimkan ke berbagai lembaga, khususnya Kemdikbud. Dia tegaskan, semua itu harus disampaikan sebelum azab menimpa kita karena berdiam diri. 

Saya kira apa yang dikatakan SD itu benar adanya. Tapi saya tidak yakin, akankah membawa hasil? Sudah ada Buku Hitam UN. Sudah ada Komunitas Air Mata Guru di Sumatera Utara yang, menurut istilah Lies Amin,  telah membasahi layar TV dan halaman koran. Sudah banyak  kritikan mulai dari yang paling halus dan paling pedas tentang UN dengan segala kecurangannya. Tapi UN tetaplah UN. Meski dari tahun ke tahun dimodifikasi sedemikian rupa, namun esensinya tidak berubah. Kecurangan itu tetap menjadi warna dominannya. Apakah para pengambil kebijakan tidak tahu? Mereka tahu. Menteri tahu. Staf ahli tahu. Penegak hukum tahu. Bupati tahu. Kepala dinas, kepala sekolah, guru, orang tua, kita semua tahu. Bahkan tidak sekedar tahu. Kita mungkin ikut memberikan sumbangan terhadap terjadinya berbagai kecurangan itu. Tapi, kita semua, berpura-pura tidak tahu.

Mungkin benar yang dikatakan Eko Prasetyo, penulis dan editor JP. 'Kemendikbud ini mungkin sudah buta tuli terhadap masukan dan kritik dari masyarakat'. Begitu tulisnya pedas. Dengan pedas juga, Rukin Firda, wartawan senior Jawa Pos menimpali: 'ketika UN dianggap sbg sesuatu yg maha penting dan sangat menentukan, maka berbagai cara pun dilakukan untuk meraihnya. dari cara yg rasional sampai yg tidak rasional. dari yg jujur sampai yg curang. dari yg religius sampai yg syirik.'

Saya masih terpekur di tempat saya malam ini. Perasaan saya pedih. Hati saya meleleh. Ternyata saya sama tidak berdayanya dengan mereka, para guru-guru yang dipaksa untuk menjadi Tim Sukses UN itu. Ternyata saya tidak bisa melakukan apa pun untuk mengubah situasi ini. Ternyata saya hanya bisa terpekur.....

Surabaya, tengah malam.
25 Maret 2013

Wassalam,
LN

Senin, 18 Maret 2013

Ujian Terbuka Rita Ismawati

Pagi tadi, saya menghadiri ujian terbuka teman baik saya, Rita Ismawati, S.Pd, M.Si. Dia adalah dosen di program studi Pendidikan Tata Boga, PKK FT Unesa. Lulusan IKIP Surabaya tahun 1993. Perempuan kelahiran Lamongan itu adalah yudisiawan terbaik jurusan PKK pada saat itu. 

Tempat acara di aula Fakultas Kedokteran Unair. Saya bersama beberapa teman diundang sebagai undangan akademik. Di sebuah ruang ujian yang dingin, bersih, sangat berwibawa, kami disilakan duduk setelah mengisi daftar hadir. Ada 16 kursi yang tersedia untuk undangan akademik, 10 kursi berada di depan untuk para penguji dan penyanggah, dan satu podium di sisi kanan untuk promovendus. Di tengah-tengah barisan meja untuk penguji, adalah kursi pimpinan sidang, yang tepat di belakangnya adalah backdrop berwarna hijau, bertuliskan: Universitas Airlangga, Fakultas Kedokteran, Program Studi S3 Ilmu Kedokteran, Ujian Akhir Doktor Tahap II (Terbuka), Rita Ismawati, S. Pd, M. Kes. Surabaya, 18 Maret 2013. Lengkap dengan logo Unair. Ditulis dengan lugas, sederhana, namun penuh kharisma.

Di ruang lain, terpisah dengan undangan akademik, ada keluarga, kerabat, kolega, mahasiswa, dan para undangan yang lain. Mereka semua berada di aula FK Unair ini untuk menjadi saksi atas pencapaian prestasi akademik Rita Ismawati.

Ujian dimulai tepat pukul 10.00. Para penguji dan penyanggah, dipandu oleh pimpinan sidang, Prof. Dr. Teddy Ontoseno, duduk di kursi masing-masing. Berbusana resmi, berjas dan berdasi. Tanpa toga. Tidak seperti di Unesa, para penguji di ujian terbuka selalu bertoga. Beda institusi, beda budaya. 

Beberapa dari para penguji itu saya kenal dengan sangat baik, termasuk promotor, Prof. Dr. Bambang Wirjatmadi. Sebagai promotor, beliau yang dikenal sebagai konsultan gizi itu diberi kesempataan pertama untuk menyampaikan pertanyaan-pertanyaan. Dilanjutkan dengan kopromotor pertama dan kedua, serta penguji. Beliau-beliau itu duduk di sebelah kiri pimpinan sidang. Setelah itu dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan dari para penyanggah. Ada lima penyanggah, salah satunya adalah Prof. Dr. Burhan Hidayat, dokter spesialis anak yang sangat terkenal itu. Para penyanggah itu duduk di sebelah kanan pimpinan sidang. Setelah semua penyanggah melontarkan pertanyaan-pertanyaannya dan bisa dijawab dengan sangat baik dan lancar oleh Rita, pertanyaan dilanjutkan oleh pimpinan sidang sendiri. Sebenarnya bukan pertanyaan, tapi lebih sebagai ungkapan kekaguman.

Ya, ujian terbuka ini memang diwarnai dengan ungkapan kekaguman dari para promotor, penguji dan penyanggah. Ketekunan, keuletan, dan daya juang Rita Ismawati begitu luar biasa. Betapa tidak. Rita Ismawati meneliti tentang pengaruh suplementasi seng, lisin, dan vitamin A terhadap peningkatan respon imun seluler, nafsu makan, dan berat badan penderita tuberkulosis paru. Ini mungkin bukan penelitian istimewa kalau penelitinya adalah dokter atau setidaknya mahasiswa yang latar belakang pendidikannya kedokteran. Tapi Rita bukan dokter. Dia juga tidak memiliki sejarah pendidikan yang berbau kedokteran. Sekolah menengah diselesaikannya di SPG, ya, Sekolah Pendidikan Guru. Bukan SMA-IPA. Pendidikan sarjananya adalah Pendidikan Tata Boga. Memang S2-nya adalah Gizi Masyarakat, namun bidang ini pun tidaklah cukup memadai sebagai bidang kedokteran, makanya payungnya pun bukan Fakultas Kedokteran, tetapi Fakultas Kesehatan Masyarakat.  

Rita benar-benar 'orang biasa', yang terpaksa harus meneliti bidang kedokteran karena dia mengambil program studi ilmu kedokteran. Ketika tahun 2008 dia ingin melanjutkan studinya di S3, Program Doktor Gizi Masyarakat belum dibuka. Untuk menjamin linieritas bidang keilmuannya, tidak ada pilihan, prodi Ilmu Kedokteranlah yang terdekat. 

Maka dia belajar ilmu kedokteran nyaris dari nol. Bahkan di awal-awal studinya, Rita sempat ragu apakah dia akan mampu mempelajari ilmu-ilmu yang semuanya relatif baru itu. Namun hari ini dia sudah membuktikan, sesulit apa pun ilmu itu, dengan ketekunan, keuletan, dan kepasrahan pada Yang Maha Memiliki Ilmu, semuanya bisa diselesaikannya dengan baik, bahkan dengan sangat baik. 

Salah seorang kopromotor, Prof. Dr. Ni Made Mertaningsih mengungkapkan, beliau tidak hanya kagum dengan keuletan dan ketekunan Rita; tapi beliau juga kagum karena Rita berani mengambil risiko dengan sampel penelitiannya adalah pasien penderita tuberkulosis paru. Dia menjadi orang awam yang akhirnya harus bergulat dengan istilah-istilah kedokteran yang asing, eksperimen-eksperimen yang rumit, dan pengukuran indikator-indikator sebelum dan sesudah perlakuan untuk memastikan apakah suplemen yang dia tawarkan itu berpengaruh secara signifikan atau tidak.

Dalam penelitiannya, Rita melakukan identifikasi subyek dengan melakukan pemeriksaan terhadap pasien yang datang ke Rumah Sakit Khusus Paru (BP4) Surabaya, sebagai langkah awalnya. Pasien dengan indikator batuk produktif lebih dari 3 minggu (klinis positif), pemeriksaan sputum dengan pewarnaan secara Zielh Nielsen positif, serta memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi, yang menjadi subyek penelitiannya. Selanjutnya dilakukan kultur metode standar pada Lowenstein-Jensen untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis, yang jika hasilnya positif, maka subyek ini dijadikan sampel penelitian.

Selanjutnya, Rita melakukan pemeriksaan prasuplementasi yaitu pemeriksaan kadar albumin, taste acuity, recall,  berat badan, seng saliva, kadar vitamin A, IFN-gamma, CD4, dan ghrelin. Kemudian dia lakukan randomisasi yang dibagi dalam 3 kelompok, yaitu kelompok 1 diberi OAT + suplemen (seng+lisin), kelompok 2 diberi OAT + suplemen (seng+lisin+vitamin A), sedangkan kelomppk 3 hanya diberi OAT saja. OAT sendiri kepanjangan dari Obat Anti Tuberkulosis.

Pengamatan dilakukan selama 2 bulan, kemudian dilakukan pemeriksaan yang sama pada saat dan sesudahnya. Dari hasil penelitiannya, Rita menemukan adanya peningkatan yang signifikan terhadap respon imun seluler dan nafsu makan pada kelompok yang diberi suplemen seng, lisin dan vitamin A. Respon imun seluler dan nafsu makan ini sangat berperan dalam penyembuhan tuberkulosis. Bahkan ada indikasi, dengan pemberian suplemen yang ditawarkan, pengobatan tuberkulosis yang biasanya menggunakan OAT minimal 6 bulan, waktunya bisa diperpendek. 

Untuk masalah tuberkulosis (TB), Indonesia sendiri masih menempati urutan ke lima setelah India, China, Afrika Selatan, dan Nigeria, dalam hal jumlah penderita terbesar. Menurut data dari Depkes RI (2002),  TB di Indonesia menyebabkan 175.000 kematian per tahun atau berkisar 500 orang per hari, dan 450.000 penderita baru muncul setiap tahunnya. Sementara itu, di antara kabupaten/kota di Jawa Timur, Surabaya menduduki tempat teratas dengan jumlah penderita TB sebanyak 1.859 orang.

Rita menawarkan suplemen dalam penelitiannya karena TB seringkali ditemukan bersamaan dengan kondisi malnutrisi, yaitu defisiensi gizi makro dan mikro, di antaranya: protein, seng, besi, vitamin A, vitamin C. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita tuberkulosis paru adalah juga daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya karena kurang gizi. Berdasarkan beberapa alasan inilah Rita menawarkan suplemen yang bisa meningkatkan status gizi penderita TB serta meningkatkan imunitasnya. 

Karena waktu ujian hanya dua jam, pada sesi pertanyaan dari undangan akademik, hanya saya dan Dr. Meda Wahini yang diberi kesempatan. Namun pada dasarnya pertanyaan kami hanyalah 'aksesoris'. Yang terpenting, Rita telah mampu membuktikan bahwa alur pikir penelitiannya, sumbangan terhadap bidang ilmu dan penerapannya, juga ketangguhannya dalam menjawab semua pertanyaan dengan mendasarkan diri pada teori-tori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya, serta kecintaannya pada ilmu, membawanya pada tahap ini, di mana dia layak menyandang gelar doktor. Tidak hanya itu. Rita Ismawati, yang pada 2012 sempat mengikuti program sandwich di Australia,  dinyatakan lulus dengan predikat 'dengan pujian'. Cumlaude. 

Saya bahagia dan bangga, juga terharu. Hari ini saya belajar sesuatu pada sosok sederhana dan rendah hati itu. Rita tidak hanya seorang ilmuwan yang tekun dan ulet, tapi dia adalah istri yang patuh pada suami, anak yang taat pada orang tua, ibu yang penuh kasih untuk ketiga putra-putrinya, teman dan rekan kerja yang menyenangkan untuk para koleganya, serta guru yang mengagumkan bagi para mahasiswanya. Dia akan menjadi kekuatan baru bagi Unesa, khususnya bagi Prodi Pendidikan Tata Boga. Dia juga akan menjadi sumber inspirasi bagi kami semua untuk terus belajar dan mengembangkan diri. 

Selamat dan sukses, sahabatku. Semoga keberhasilanmu berkah bagi semua. Amin YRA.


Surabaya, 18 Maret 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 17 Maret 2013

Pendidikan Profesi Guru, Jalan Menuju Guru Profesional?

Saat ini adalah tepat dua minggu dilaksanakannya Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Unesa dan di sebelas LPTK yang lain. Di Unesa, ada sebanyak 279 peserta.  Di seluruh Indonesia, ada sekitar 2500-an peserta.  Semuanya adalah para eks peserta program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T) angkatan 2011 (angkatan pertama). Oleh sebab itu, PPG ini dinamakan PPG SM-3T, merupakan program yang diluncurkan oleh Kemdikbud (Direktorat Pendidikan Tinggi) di bawah payung Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia (MBMI).

Ada beberapa hal yang membuat program ini menarik. Pertama, PPG merupakan 'pertaruhan terakhir' LPTK sebagai lembaga penghasil tenaga kependidikan. Setelah berbagai upaya peningkatan kompetensi guru melalui berbagai kegiatan dan program, termasuk sertifikasi dengan portofolio maupun Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), yang dinilai belum memberikan perubahan secara signifikan, maka PPG diharapkan benar-benar menjadi 'kawah candradimuka' untuk menghasilkan guru-guru profesional di masa depan. Mengingat sertifikasi melalui portofolio dan PLPG akan berakhir pada tahun 2015, maka persyaratan untuk menempuh sertifikasi melalui program PPG ini hukumnya wajib, baik bagi guru dalam jabatan (yang tidak masuk dalam kuota sertifikasi melalui portofolio atau PLPG) maupun bagi guru prajabatan. 

Saking menariknya program ini, pada awal dibukanya dulu, banyak guru honorer yang bermaksud mendaftarkan diri untuk mengikuti SM-3T. Kenapa? Ya, karena daripada menunggu kuota sertifikasi melalui PLPG yang tidak tahu entah kapan, lebih baik mengikuti SM-3T setahun lantas tahun berikutnya masuk PPG. Sudah jelas hitungan waktunya untuk mendapatkan sertifikat pendidik. Selain itu, siapa sih yang tidak tahu berapa gaji guru honorer? Dibandingkan dengan beasiswa yang diterima oleh peserta SM-3T yaitu sebesar Rp. 2.000.000,- plus bantuan hidup Rp. 500.000,-,  tentulah jumlah ini jauh lebih besar dibanding gaji bulanan sebagai guru honorer.

Namun tentu saja banyak dari guru itu yang tidak bisa mengikuti program SM-3T karena tidak memenuhi syarat. Sebagian persyaratan untuk mengikuti program adalah calon peserta merupakan sarjana kependidikan lulusan empat tahun terakhir, dan belum menikah. Beberapa guru honorer tersebut sudah menikah, dan juga merupakan lulusan yang lulusnya sudah lebih dari empat tahun yang lalu. Pada tahun ini, persyaratannya bahkan diperketat, tidak hanya IPK yang minimal 3,0 (tahun sebelumnya 2,75), usia juga tidak boleh melebihi 28 tahun. Jadi tidak ada harapan bagi para guru honorer itu untuk mengikuti program SM-3T sebagai jalan pintas agar dapat masuk PPG, dan mengantongi sertifikat pendidik dalam waktu dua tahun.

Kedua, program ini menarik karena berasrama dan berbeasiswa. Meski beasiswa yang diterimakan setiap bulannya hanya uang saku Rp. 300.000 plus uang buku Rp. 250.00,- per bulan, namun akomodasi dan konsumsi para peserta sepenuhnya ditanggung. Mereka juga memiliki dana kesehatan. Ya, meski jumlah nominal yang diterimakan dalam bentuk 'fresh money' tiap bulannya lebih kecil dibanding ketika mereka mengikuti program SM-3T,  namun sebenarnya hitungan unit cost-nya jauh lebih besar. Para peserta ini bebas biaya pendidikan sebesar Rp.6.000.000 per semester. Mereka juga memperoleh banyak kegiatan dalam rangka meningkatkan kompetensi mereka, baik dalam bidang akademik maupun nonakademik, tanpa dipungut biaya. Kegiatan-kegiatan tersebut dikemas dalam lingkup kegiatan kehidupan berasrama. Mulai dari kegiatan wajib (senam pagi, pelatihan baris-berbaris, kepramukaan, kerohanian), kegiatan pilihan (sesuai dengan prodi masing-masing, tujuannya adalah peningkatan kompetensi keprodian), bahkan sampai kegiatan di luar kampus dan asrama, misalnya outbound. Benar-benar sebuah keistimewaan yang tidak setiap calon guru bisa memperolehnya.

Ketiga, program ini adalah program 'pilotting', yang hanya dilaksanakan di dua belas LPTK (Unesa, UM, UNY, Unnes, UNJ, UPI,  UNP, Unimed, UNM, Unima, Undiksha dan UNG). Kuota seluruh Indonesia  sejumlah 2.500-an, tentu tidak cukup banyak dibanding dengan jumlah lulusan LPTK setiap tahunnya. Seleksi juga dilakukan dengan cukup ketat, meliputi seleksi administrasi, tes TPA dan penguasaan bidang studi, serta tes bakat minat dan kepribadian. Keketatan seleksi ini tentu saja menjadikan program ini memiliki daya tarik tersendiri, setidaknya program ini bukanlah program yang 'mudah', namun benar-benar program yang hanya bisa diikuti oleh mereka yang memenuhi syarat. Benar-benar menjadi program unggulan dalam rangka menyiapkan guru yang profesional. Ke depan, model perekrutan calon peserta PPG konon akan menggunakan model tersebut: semua peserta PPG harus lebih dulu mengikuti program SM-3T. Dengan demikian, input PPG benar-benar telah teruji baik secara akademiki maupun nonakademik, termasuk kemampuan problem solvingnya serta ketahanmalangannya. Input yang benar-benar pilihan.

Mengapa harus pilihan? Ya, sebagaimana yang kita ketahui, beberapa tahun belakangan ini, guru adalah salah satu profesi yang didambakan oleh banyak orang. Adanya sertifikasi guru sebagai implementasi UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen, adalah daya tarik yang luar biasa, karena guru menjadi profesi yang mulia, profesional dan sejahtera. Maka tidak mengherankan bila pada saat ini orang tua berlomba-lomba memasukkan anaknya ke LPTK, bahkan kadang tak peduli seperti apa mutu LPTK-nya, yang penting LPTK. Beberapa universitas yang sudah estabished-pun, yang sebenarnya tidak berbasis kependidikan dan tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam bidang tersebut, juga ikut-ikutan membuka program kependidikan. Semua LPTK diserbu. Tak terbayangkan entah mau ke mana lulusan yang dihasilkan oleh lebih dari 370 LPTK negeri dan swasta ini, mengingat permintaan guru tidaklah sebanyak itu.

Dalam kondisi yang oversupply seperti ini, harus ada mekanisme yang mengatur rekrutmen guru. Membatasi jumlah LPTK sebenarnya merupakan jalan terbaik, apalagi menjadikannya sebagai pendidikan kedinasan. Sebagai sebuah profesi, guru sebenarnya merupakan pekerjaan khusus yang memerlukan keahlian khusus, dengan beberapa cabang ilmu yang khusus juga, yang keilmuan itu hanya dipelajari oleh mereka yang memang dipersiapkan menjadi calon guru. Dengan alasan tersebut, penyiapan guru idealnya adalah melalui pendidikan kedinasan, sebagaimana penyiapan calon perwira TNI/Polri misalnya. Proyeksi kebutuhan guru per tahun sebenarnya sudah sangat terukur, yakni pengganti guru yang pensiun dan penambahan guru baru untuk sekolah-sekolah baru. Seandainya LPTK adalah sekolah kedinasan, maka pengelolaan LPTK akan berbasis pada kebutuhan negara akan guru/pendidik. Standar pendidikan dilaksanakan di bawah kontrol yang ketat oleh negara. LPTK harus diselenggarakan oleh pemerintah, dengan menggunakan sistem buka-tutup sesuai dengan kebutuhan lapangan.

Faktanya, LPTK bukanlah pendidikan kedinasan. Jumlah LPTK di seluruh Indonesia saat ini terdiri dari 12 LPTK pemerintah berbentuk universitas, 22 LPTK pemerintah berbentuk FKIP, selebihnya (sekitar 340-an) adalah LPTK swasta. Tidak heran bila setiap tahun terjadi oversupply, terjadilah penumpukan pengangguran lulusan dari LPTK, dengan kualitas yang sangat beragam, baik jenis maupun kemampuannya.

Dalam kondisi seperti ini, PPG yang merupakan amanah UU Sisdiknas dan UUGD, merupakan salah satu jalan keluar untuk mengendalikan mutu guru. Menurut UUGD, guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat, sedangkan kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional diperoleh melalui pendidikan profesi. Hal ini relevan juga dengan Peraturan Presiden RI Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Menurut KKNI, pendidikan Diploma empat/Sarjana paling rendah setara dengan jenjang 6; lulusan pendidikan profesi setara dengan jenjang 7 atau 8. Dengan demikian, PPG memang harus ditempuh dalam rangka memenuhi kompetensi sebagai guru/pendidik yang profesional.


PPG SM-3T di Unesa

Dalam sebuah seminar tentang PPG beberapa waktu yang lalu, saya ditanya oleh seorang peserta seminar, dosen di sebuah universitas negeri yang cukup ternama. "Begitu panjangkah jalan yang harus dilalui seseorang untuk menjadi seorang guru? Hanya untuk menjadi seorang guru?" Lantas secara berseloroh saya melengkapi pertanyaannya: "Bayarane piro sih dadi guru iku....?"

Ya, saat ini, PPG hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah menempuh satu tahun masa pengabdiannya di daerah 3T, yang tergabung dalam program SM-3T. PPG adalah reward bagi mereka, para sarjana kependidikan itu. PPG reguler, yang membuka peluang bagi para serjana yang lain, baik kependidikan maupun nonkependidikan, belum dibuka. Ke depan, ada wacana model inilah yang akan digunakan dalam rekrutmen input program PPG. Artinya, kalau amanah UU Sisdiknas dan UUGD ditaati, maka peserta SM-3T nantinya tidak hanya dari mereka lulusan program studi (prodi) kependidikan, namun juga nonkependidikan.

Di Unesa, saat ini ada 13 program studi yang dibuka. Program studi tersebut meliputi: PG-PAUD, PGSD, BK, Pendidikan Matematika, Pendidikan Biologi, Pendidikan Sejarah, PPKN, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Bahasa Jerman, Pendidikan Bahasa Jepang, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, dan Pendidikan Ekonomi.

Ada sebanyak 170 peserta putri dan 109 peserta putra. Mereka tidak hanya lulusan Unesa, tapi juga dari perguruan tinggi yang lain, yaitu dari Unima, Unimed, UNG, UPI, Unnes, UNY, UM, Undiksha, dan beberapa PT yang lain. Para peserta putra diasramakan di Asrama PGSD dan para peserta putri diasramakan di Rusunawa. Tempat kuliah (lebih tepatnya adalah workshop SSP/Subject Specific Paedagogy) ada di Gedung PPG. Semuanya ada di Kampus Lidah Wetan.

Akhir Februari yang lalu telah dilaksanakan Program Pengenalan Akademik (PPA) bagi para peserta PPG SM-3T. Kegiatan ini dilaksanakan selama dua hari (28 Februari-1 Maret 2013). PPA dibuka oleh rektor, dimulai dengan kuliah umum juga dari Rektor Unesa (Prof. Dr. Muchlas Samani). Materi lain yang meliputi gambaran umum PPG, kurikulum, pembelajaran, PPL PPG, disampaikan oleh tim PPG Unesa (Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, Dr. Raden Sulaiman dan Dr. Suryanti). Sedangkan materi tentang Standar Operasional Tenaga Kependidikan di Pusat dan Daerah disampaikan oleh Kepala LPMP Jawa Timur (Dr. Salamun), materi Etika dan Estetika Guru diberikan oleh Pembantu Rektor I (Prof. Dr. Kisyani), sedangkan materi Motivasi dan Dinamika Kelompok disampaikan oleh Dr. Suyatno. Ada juga materi tentang kehidupan berasrama yang disampaikan oleh para penanggung jawab asrama (Drs. Yoyok Yermiandhoko, M.Ds, Dra. Retno Lukitaningsih, Drs. Suprayitno, dibantu oleh Drs. Heru Siswanto, M. Si).

Rutinitas peserta setiap hari adalah apel pada tepat pukul 07.00, dilanjutkan dengan pembelajaran di kelas mulai pukul 08.00-16.30. Setiap hari, mulai Senin sampai Jumat. Ada waktu satu jam untuk sholat dan makan siang, dan sore hari untuk sholat saja. Di antara hari-hari itu, pada malam hari mereka juga melakukan kegiatan di asrama, misalnya kegiatan belajar kelompok dan kegiatan kerohanian. Mandi dan makan semuanya dilakukan dengan serba antri. Setiap Sabtu pagi mereka harus mengikuti senam yang dipandu oleh mahasiswa FIK, kepramukaan yang dilatih oleh tim Pramuka Unesa, dan pelatihan baris-berbaris yang dilatih oleh tim dari Kodikmar. Minggu adalah hari bebas untuk mereka.

Ya, kompetensi sebagai guru tidak hanya dibekalkan kepada mereka melalui pengembangan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di kampus, namun juga di asrama. Kehidupan berasrama lebih menekankan pada pembentukan kepribadian, seperti kedisiplinan, ketangguhan, kepedulian, tanggung jawab dan kebersamaan. Ada bapak dan ibu asrama serta para pengelola asrama yang mengajarkan kepada mereka tentang kesabaran dan berbagi, serta kebiasaan hidup bersih dan sehat. Dengan suasana yang disiplin namun penuh kenyamanan, mereka yang datang dari berbagai pelosok Indonesia itu tidak hanya belajar untuk saling menghormati dan menghargai, namun juga betapa kesadaran mereka tentang kehidupan berbangsa dan bertanah air, tumbuh dan berkembang  dengan sangat baik.

Sebagai program awal, tentu saja ada banyak kendala. Gedung PPG yang masih belum sepenuhnya jadi, sehingga kita semua yang akan mencapai gedung itu merasakan 'sensasi' seperti sedang berada di daerah 3T. Halaman gedung yang masih sebagian dipaving, becek dan licin bila hujan turun; lantai satu yang masih penuh dengan material bangunan dan suara-suara mesin yang meraung-raung. Debu, pasir, dan semen membuat dada terasa sesak dan pengap. Ya, gedung PPG berlantai sembilan itu sejatinya belum siap betul untuk dioperasikan. Namun program tidak bisa ditunda. Untungnya, para dosen, peserta, dan seluruh tim PPG SM-3T tidak menjadikan semuanya itu sebagai kendala besar. Aktivitas terus berjalan. Mereka menuju lantai 1, 2, 3, 4 dan 5, naik turun minimal dua tiga kali sehari, tanpa lift, karena lift masih belum bisa digunakan. Tidak peduli para peserta dan para dosen (bahkan di antaranya adalah Guru Besar), semua beraktivitas di ruang-ruang yang sudah bisa ditempati, berlomba dengan para pekerja yang sedang menyelesaikan bangunan megah itu. 

Sebagai sebuah pendidikan profesi, maka dosen yang mengajar di PPG juga harus memenuhi persyaratan. Menurut Permendiknas nomor 8 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Profesi Guru Prajabatan, dosen pada program PPG memiliki kualifikasi pendidikan minimum lulusan Magister (S2), dan minimal salah satu strata pendidikan setiap dosen berlatar belakang bidang pendidikan sesuai dengan tingkat dan bidang keahlian yang diajarkannya. Selain itu, masih menurut permendiknas, dosen juga diutamakan yang memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan tingkat dan bidang keahlian yang diajarkannya. Berdasarkan hal tersebut, maka dosen pengajar di PPG Unesa, diharuskan berkualifikasi minimal S2, minimal salah satunya dari bidang kependidikan, dan diutamakan dosen-dosen yang sudah punya NIA (Nomer Induk Asesor). Syarat ini sama dengan persyaratan yang ada di PLPG.

Jalan panjang masih akan dilalui PPG Unesa, dan juga PPG di semua LPTK. Masih ada sekitar tiga belas minggu lagi bagi para peserta PPG PG-PAUD dan PGSD, untuk menyelesaikan programnya, termasuk PPL, PTK dan ujian kompetensi, sebelum nanti mereka akan diyudicium dan diwisuda sebagai pendidik profesional. Untuk peserta PPG prodi lainnya, bahkan masih ada lebih dari dua puluh minggu yang lain untuk sampai pada titik di mana sertifikat pendidik profesional itu akan berada di tangan mereka.

Tapi kami bangga dengan semangat para peserta dan para dosen, juga semangat teman-teman tim PPG. Meski ada banyak keluhan tentang sulitnya mencapai gedung PPG karena harus melewati banyak 'ranjau' sejak di pintu gerbangnya yang belum jadi itu, serta melewati tangga demi tangga yang berpasir dan berdebu, namun kinerja mereka semua cukup membanggakan. Ya, memang selalu ada satu dua peserta dan juga dosen yang masih harus diingatkan tentang tujuan mereka semua ada di sini, namun semua itu insyaallah bisa diatasi dengan baik. Para peserta sering 'update status' dengan tulisan-tulisan yang menyemangati, juga cerita-cerita mengharukan sekaligus menggelikan tentang aktivitas sehari-hari mereka. Hari ini, baru saja saya membaca status di FB salah seorang peserta, namanya Daud Rigi Gah, dari NTT. Bunyinya: 'PPG membuka cakrawalaku berpikir lebih luas, menginspirasi, memotivasi dan memperkuat semangatku. Kira kami dapat membawa perubahan dalam sektor pendidikan khususnya dan sektor2 kehidupan laennya untuk propinsi NTT dan Kab. Sumba Timur khususnya dan Bumi Pertiwi pada umumnya.... Salam hormat dan doa tulus kami pemuda/i Sumba timur bwt seluruh rekan2 seperjuangan PPG dan trlbh untk bpk ibu dosen UNESA yg kami cintai.....

Surabaya, 16 Maret 2013.

Wassalam,
LN