Pages

Sabtu, 30 Maret 2013

Reuni Himapala (2): Ada Dokter Edi Dharma dan Sabar Gorky

Hehe, ini reuni yang keren sekali. Meski perjalanan jauh, lebih dari sepuluh jam (karena macet dan mampir-mampir), capek seperti tidak terasa. Cipaganti cukup nyaman....terlalu nyaman untuk kami para anggota himapala (yang biasa naik truk saat berkegiatan dulu). Kami bernyanyi-nyanyi di sepanjang perjalanan, ngemil, dan guyon. Selebihnya tidur, baca, menulis bagi yang suka menulis. 

Pukul 19-an kami tiba di kantor Polres Wonogiri. Beberapa polisi menyambut kami dan menyilakan bus kami parkir. Ternyata rumah mbak Dien berada di belakang Polres. Melewati jalan makadam yang menanjak dengan jarak sekitar seratus meter, kami tiba di joglo besar yang berada di ketinggian. Di tempat yang lebih tinggi lagi, berjarak sekitar sepuluh meter, sebuah rumah kayu. Rumah dan joglo ini menyatu, menjadi sebuah tempat persinggahan yang mengasyikkan. Angin yang sejuk dan dingin berhembus semilir, menerpa wajah. Mbak Dien menamakan rumahnya ini sebagai rumah angin. Nama yang tepat.

Kebersamaan antar generasi.
Di joglo, orang-orang 'berserakan'. Ada banyak wajah, mulai dari wajah kanak-kanak, remaja, dewasa, sebagian besar wajah manula. Dan....surprise. Ada lima remaja berseragam batik yang sedang melakukan massage. Pijat refleksi. Wow, rupanya mbak Dien tidak hanya menyediakan tempat yang sangat eksotis, makanan yang berlimpah, namun juga membuka panti pijat dadakan untuk kami. Mantan kapolres Wonogiri itu menyambut dan memeluk kami satu per satu. Pelukan tulus dan keramahan yang hangat itu menyentuh sampai ke relung hati saya. Dia menunjukkan di mana meja makan, di mana kue-kue termasuk polo-pendem dan kacang rebus, dan menyilakan kami apakah akan langsung makan atau mau pijat dulu. Wow....benar-benar full service.

Saya memilih mengambil wedang jahe, menikmati kehangatannya, setelah menyalami semua yang ada di situ. Lantas menyelonjorkan kaki, ngantri untuk dipijat. 
Malam ini kami lalui dengan sangat menyenangkan. Ada banyak wajah lama yang sangat saya kenal. Mas Joko, mas Bayu, mas Badi', mas Gatot, mas Hardik, mbak Oris, mas Andik, mas Jack, mas Hari Is, mbak Retno, mas Sidik,  Chairul, Gudel, Agus Pedhet, Dwi,  dan masih banyak yang lain. Hampir semua membawa keluarganya. Ramai dan guyub. 

Setelah makan malam, kami duduk melingkar. Ike, salah satu motor kegiatan ini, angkatan 2000, mantan Ketua Umum Himapala, mengantarkan acara. Sambutan dari mbak Dien, nyonya rumah, dilanjutkan dari pembina Himapala, saya sendiri, terus senior himapala, diwakili mas Joko. 

Lagi-lagi mbak Dien membuat kejutan. Di antara kami ternyata ada dua sosok asing, dialah dokter Edi Dharma dan Sabar Gorky. Dokter Edi Dharma adalah dokter yang bertugas di Puskesmas Selogiri, Wonogiri. Tahun lalu, beliau terpiilih sebagai dokter teladan. Entah karena memiliki kemiripan latar belakang sebagai pecinta alam, dokter Edi menjadi sahabat mbak Dien. Meski mbak Dien hanya bertugas sebentar di Wonogiri (sekitar 1,5 tahun), namun karena dokter Edi juga penggiat lingkungan, mereka berdua sering berkolaborasi untuk melakukan berbagai kegiatan. 

Sedangkan Sabar Gorky, dialah pria tunadaksa berkaki satu, yang memiliki banyak prestasi luar biasa. Salah satunya adalah  berhasil menaklukkan Gunung Elbrus, Rusia, tepat pada HUT ke 66 RI, pada 2011 yang lalu. Nama Gorky merupakan nama Rusia yang dia peroleh setelah melakukan pendakian itu. Gunung Elbrus merupakan gunung tertinggi di Eropa. Diisinyalir oleh banyak kalangan, Sabar adalah tuna daksa berkaki satu pertama di dunia yang telah menaklukkan Elbrus. 

Setelah Sabar mengakhiri presentasinya yang dilengkapi dengan video petualangannya di berbagai tempat di dunia,  yang begitu mencengangkan, tibalah saatnya Atus dkk, anggota aktif Himapala, menyampaikan rancangan program ekspedisi mereka. Pengarungan Lawe Alas di Aceh pada Juli nanti, dilanjutkan ke New Zealand pada tahun berikutnya. Berbagai tanggapan disampaikan oleh para senior. Intinya, semua mendukung. Berbagai masukan dan saran dilontarkan. Saya sendiri, entah kenapa, dirundung keharuan sekaligus kesyahduan. Betapa luar biasanya momen ini. Saat anak-anak muda itu menyampaikan mimpi-mimpinya, kami para orang tua membukakan celah-celah untuk mereka agar bisa menemukan jalan mencapai impian. Saya lebih banyak terdiam menikmati suasana ini. Himapala berdiri saat anak-anak muda itu belum lahir. Kini, mereka bertemu dengan para pendirinya, untuk sebuah tujuan yang sama: bendera Himapala tetap berkibar. Ada perbedaan usia yang jauh di antara kami, namun direkatkan oleh kesatuan visi dan misi.

Acara lantas ditutup dengan penjualan souvenir ekspedisi. Kaus, ballpoin, dan batik. Tentu saja semua berlogo Himapala. Para anggota aktif sedang mengumpulkan dana untuk kegiatan mereka, maka kami para senior pun memborong semuanya. Dagangan mereka habis ludes. Malah banyak yang tidak kebagian. Horee....laris manis.
  
Saat malam semakin merangkak, dan kantuk mulai menyerang, mbak Dien mengumumkan pada kami, bagi yang sudah berusia 35 tahun ke atas, telah disediakan penginapan di hotel Joglo. Bagi yang ingin tetap beristirahat di rumah angin tidak masalah.  Mbak Dien benar-benar total dalam menjamu kami.  

Bersama para senior.
Saya dan mas Ayik, dengan beberapa teman, memilih tidur di hotel. Kami berdua numpang di mobil mas Badi. Tapi dasar mas Ayik. Hanya bagasi kami saja yang dimasukkan ke mobil. Dua sepeda lipat yang kami bawa dari Surabaya, disiapkannya. Ya, malam ini kami akan mengayuh sepeda dari rumah angin menuju hotel. Jaraknya memang hanya tiga kilometeran, namun jalannya yang naik turun dan berbelok-belok sempat membuat saya ragu. Mas Badi mengawal saya dan mas Ayik. Di sebuah tanjakan, ketika saya bermaksud istirahat sebentar, dua anak mas Badi menghambur keluar dari mobil dan 'merebut' sepeda kami. Mereka minta kami masuk mobil dan mereka yang bersepeda. Memaksa. Mungkin mereka tidak tega, atau mungkin mereka 'kebelet' pingin naik sepeda mungil itu. Ya sudah, karena mas Badi dan mbak Danik, istrinya, meyakinkan kami kalau anak-anak biasa bersepeda, maka kami ikhlaskan saja mereka merebut sepeda kami. Benar ternyata. Gadis remaja berpostur tinggi yang baru kelas tiga SMP  dan adiknya, cowok kelas 1 SMP itu, bersepeda cukup kencang di jalanan di tengah hutan jati. Sampai kami semua tiba di hotel joglo. Tiga kamar dibiarkan terbuka untuk siapa pun yang akan memanfaatkan. 
Lelah, mengantuk dan lega. Setelah ngobrol dengan mas Badi di teras hotel sampai mendekati tengah malam, kami pun masuk ke kamar masing-masing. Mandi, sholat, tidur.....

Besok masih banyak acara yang menarik....


Wonogiri, tengah malam, 29 Maret 2013

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...