Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 28 Desember 2012

Outbond PPS Unesa

Akhirnya saya memutuskan mengikuti kegiatan ini. Outbound Keluarga Pascasarjana (PPS) Unesa. Tahun-tahun sebelumnya saya tidak pernah ikut. Saya lebih memilih berakhir pekan dengan keluarga di rumah. Liburan akhir pekan merupakan kesempatan yang mahal, dan menghabiskannya dengan orang-orang dekat kita tanpa keluarga, betapa tidak menyenangkan. Tapi mas Ayik mendorong saya untuk ikut. Itu kesempatan baik yang bisa saya gunakan untuk membangun keakraban dengan anggota keluarga PPS yang lain, mulai dari direktur, para asisten direktur, kaprodi dan sekprodi, tata usaha sampai dengan teman-teman di bagian kebersihan, keamanan, dan parkir.

Baiklah, akhirnya saya ikuti saran mas Ayik. Bergabung dengan teman-teman PPS. Dalam satu bus pariwisata kami berangkat dari halaman pasca. Saya bersisian dengan Prof. Siti Masitoh, asisten direktur 2. Begitu bus berangkat sekitar pukul 07.15, kami langsung terlibat obrolan tentang pentingnya acara semacam ini. Ya, tentu saja. Ketika semua dari kita berkegiatan di lapangan, saling bantu-membantu dalam berbagai aktivitas, tanpa sekat, bebas lepas, maka akan robohlah tembok-tembok pembatas. Tidak ada direktur dan tukang sapu. Tidak ada kaprodi dan tukang parkir. Ice breaking, team building, dan games lain yang menantang sekaligus menyenangkan.

Pagi ini kami sarapan pagi di rumah makan Mojorejo di Porong. Lantas melanjutkan perjalanan ke Bakti Alam, menikmati wisata alam di agrowisata ini. Bagi saya, ini kedua kalinya kunjungan saya ke Bakti Alam. Beberapa waktu yang lalu, kami sekeluarga bersama adik kami, juga bersama keluarganya, berkunjung ke Bakti Alam.

Wisata di Bakti Alam diperkirakan sampai pukul 12.00. Makan siang di Bakti Alam. Selepas dari sana, perjalanan dilanjutkan menuju hotel Grand Pujon View, di Pujon, Kota Batu. Check in, acara bebas, makan malam, dan malam keakraban. Nah, pada malam keakraban inilah dibuka dialog terbuka. Prof. Masitoh mengatakan, acara tersebut sebagai momen curhat. Brainstorming. Siapa saja boleh ngomong apa saja, boleh usul apa saja, boleh mengeluhkan apa saja. Boleh nyanyi-nyanyi juga. Tentu saja setelah acara curhat itu selesai.

Sepanjang perjalanan saya banyak berkaraoke, bergantian dengan teman-teman. Tidak peduli suara bagus atau tidak, yang penting ramai dan semua senang. Namanya juga acara suka ria....

Besok pagi, acara dimulai dengan senam pagi, tracking gunung Banyak, baru makan pagi. Setelah makan pagi, inilah acara yang ditunggu-tunggu, outbond. Selesai outbond, persiapan check out,  makan siang, dan check out. Melanjutkan perjalanan menuju Kasembon untuk kegiatan rafting. Rafting diperkirakan selesai pukul 16.00. Makan malam di Kasembon, kemudian melanjutkan perjalanan pulang ke Surabaya. Diperkirakan pukul 21.00 baru akan tiba di Surabaya. Wow, padat juga acaranya yaaa......

Pandaan, 29 Desember 2012

Wassalam,
LN

Surat dari MBD

Sore ini, ketika saya ada di ruang sekretariat SM-3T di Gedung Gema, pak Heru Siswanto datang. Beliau salah satu tim SM-3T. Tiga pucuk surat dibawanya. Satu untuk saya, satu untuk pak Yoyok, satu untuk pak Heru sendiri. Itu adalah surat dari Nanda, salah seorang peserta SM-3T yang bertugas di Maluku Barat Daya (MBD). Kebetulan rumah Nanda di Mojokerto, dekat dengan rumah pak Heru. Nanda berkirim surat kepada bapak ibunya di Mojokerto, dan menitipkan tiga pucuk surat itu untuk kami bertiga.

Seperti seorang ibu yang sudah sangat  lama menyimpan kerinduan pada anaknya, saya langsung meraih surat yang diulurkan pak Heru, meninggalkan pekerjaan saya mengecek data calon peserta PPG angkatan pertama.  Saya membuka amplop coklat itu dengan perasaan tidak sabar, dan membacanya dengan seksama. Sambil membayangkan sosok itu. Nanda Okkyanti, salah satu peserta SM-3T Unesa yang ditugaskan di Maluku Barat Daya.

Surat itu tertanggal 2 Desember 2012. Nanda menulisnya pada pukul 22.25 WIT. Menghayati kata demi kata yang ditulisnya dalam surat itu, saya tidak bisa menahan haru. Huruf-hurufnya menjadi kabur karena mata saya basah. Saya tidak tahan untuk tidak menangis. Saya bangga pada anak-anak kami yang begitu luar biasa itu. Anak-anak muda yang dengan sepenuh hati mengabdikan dirinya untuk anak-anak bangsa yang sangat membutuhkan uluran tangannya. Saya tidak menangkap keluhan atau penyesalan sedikit pun dari untaian kalimatnya, meski mereka hidup dalam situasi yang sebelumnya tak pernah terbayangkan betapa sulitnya. Sebaliknya adalah rasa syukur karena memeroleh kesempatan itu dan komitmen untuk terus mengemban tugas mulia yang ada di pundak mereka.

"Ibu Luthfi, saya Nanda Okkyanti, salah satu anggota peserta SM-3T Unesa 2012 penempatan Maluku Barat Daya. Sebelumnya kami tidak membayangkan bagaimana kondisi kami, karena memang sangat sulit mencari informasi tentang Maluku Barat Daya di internet. Yang kami tahu, MBD terdiri dari pulau-pulau kecil. Setelah kami berangkat pun, belum ada informasi yang lebih jelas. Karena saat tiba di Ambon dan ada kesempatan beberapa hari tinggal di sana untuk menunggu pemberangkatan kapal, kami mencoba bertanya-tanya pada masyarakat. Namun mereka pun belum pernah ke MBD karena jangkauan yang sulit dan membutuhkan waktu yang lama."

Itulah surat pembuka Nanda. Saya jadi ingat, ketika pemberangkatan peserta ke MBD pada pertengahan Oktober yang lalu, Dr. Nanik Indahwati, salah satu tim pendamping, dosen FIK, menelepon saya dari Ambon. Waktu itu saya sendiri sedang ada di Menado dan bersiap untuk bertolak ke Talaud, juga dalam rangka mendampingi pemberangkatan para peserta SM-3T. Dia mengatakan kalau kapal yang akan membawa para peserta ke MBD kehabisan bahan bakar, dan harus menunggu, mungkin sampai sekitar lima hari. Bu Nanik bilang mungkin akan ada banyak pengeluaran tak terduga karena yang jelas peserta harus ditanggung konsumsinya selama lima hari itu. Belum lagi kalau harus terpaksa mencari penginapan.
Saya spontan mengatakan ke bu Nanik, ambil keputusan terbaik untuk semua. Kembali ke Surabaya tidak mungkin. Kalau memang harus mencari penginapan dan menanggung konsumsi para peserta selama di Ambon, tidak masalah. Bu Nanik dan tim yang paling tahu situasinya, maka saya menyerahkan segala keputusan pada bu Nanik dan Tim. Ada bu Nanik, pak Muhajir, dan Juliar. Konsekuensi membengkaknya dana operasional yang tak bisa dihindari bukan kesalahan kita dan kami tinggal melaporkannya ke Dikti.

Kami terus berkabar untuk saling mengecek perkembangan. Ternyata setelah berunding dengan tim, seluruh peserta SM-3T, petugas kapal, dan kepala Dinas PPO MBD, maka diputuskan para peserta tidak perlu menyewa penginapan, tapi menginap di kapal itu. Para peserta juga cukup puas hanya disediakan dua kali makan sehari. Mereka harus melompat dari satu kapal ke kapal lain untuk mencapai pantai dan menjemput kiriman makanan mereka dari sebuah katering. Saya sungguh prihatin dengan kondisi mereka.

Maka saya menelepon kepala dinas PPO ketika setelah tiga hari mereka 'kampul-kampul' di atas kapal tanpa kejelasan kapan kapal diberangkatkan. Waktu saya menelepon kadis,  beliau baru saja tiba di Ambon, juga dalam rangka menjemput para peserta dan menemui bu Nanik dan tim. Beliau juga menugaskan dua orang stafnya serta petugas kesehatan untuk menjemput para guru pengabdi itu. Demi menunjukkan kesungguhannya dalam 'ngopeni' para guru yang akan bertugas di daerah 'kekuasaannya' itu, pak Kadis bermaksud melakukan negosiasi dengan manajemen kapal.

Akhirnya, sebagaimana dikatakan bu Nanik, kapal benar-benar baru berangkat setelah lima hari bersandar di Ambon. Saya sangat mengkhawatirkan kondisi teman-teman tim dan tentu saja para peserta. Tapi mereka meyakinkan saya melalui telepon dan sms, mereka semua baik-baik saja. Angin laut yang panas menyengat ketika siang dan dingin menusuk ketika malam hari memang sangat mempengaruhi kondisi fisik mereka. Tapi, tanya mereka, bukankah kami semua sudah dibekali dengan pelatihan ketahanmalangan?

Karena tidak memungkinkan tim untuk mendampingi sampai ke MBD, maka bu Nanik dan tim melepas para peserta di pelabuhan Galala Ambon. Bersama dua staf dari Dinas PPO dan seorang petugas kesehatan mereka berlayar ke MBD. Tanggal 19 Oktober sekitar pukul 00.15 mereka berangkat. Baru sekitar tiga jam setelah kapal meninggalkan pelabuhan Galala Ambon, sinyal sudah tidak ada. Hilang sama sekali. Dalam suratnya untuk pak Yoyok yang juga saya ikut membacanya, Nanda bercerita: "Sekitar tiga jam keluar dari Pelabuhan Galala Ambon kami sudah kehilangan sinyal. Dari situ sampai keesokan hari kami sampai di pulau Damer, tidak ada sinyal. Dan setelah sampai di pulau Babar, tepatnya di Tepa dan Letwurung tempat 12 teman kami bertugas, tetap tidak ada satu sinyal pun. Hingga akhirnya tanggal 22 Oktober sekitar pukul 05.00 WIT kami tiba di pulau Semarta tepatnya di desa Mahaleta, tempat saya bertugas. Sisa 19 orang dari kami turun di sini semua. Langsung saya dan teman-teman singgah di rumah salah satu guru yang sampai sekarang menjadi tempat singgah saya sebelum rumah kepala desa selesai dibangun. Sampai di situ kami mengeluarkan HP dan harapan punah, tidak ada sinyal setengah bahkan seperempat garis pun."

Saya membayangkan Sumba Timur, lalu Talaud. MBD, saya yakin, kondisinya jauh lebih parah. Kami masih bisa sesekali menanyakan kabar pada para peserta SM-3T yang ada di Sumba, Talaud, dan juga Aceh Singkil. Tapi untuk MBD, kami sama sekali tidak bisa menanyakan kabar. Yang bisa kami lakukan adalah menunggu mereka mengirim kabar, baik lewat telepon kabel yang ongkosnya sangat mahal, atau lewat surat seperti ini.

Nanda menceritakan bahwa untuk mencapai desa lain, transportasi di sana dengan menggunakan perahu motor (di sana disebut motor). Tidak ada kendaraan bermotor di darat karena belum ada akses jalan. Untuk mencapai desa sebelah, menurut Nanda, bisa menggunakan dua alternatif. Pertama melalui laut menggunakan perahu motor dengan biaya 250 ribu-an. Yang kedua melalui jalur darat dengan track berupa gunung-gunung tandus serta pesisir pantai dengan bebatuan karang yang membuat kaki sulit melangkah. Rata-rata perjalanan dari satu desa ke desa lain dapat ditempuh dengan jarak dua jam jalan kaki.

"Sebelumnya saya mewakili teman-teman mohon maaf karena sesampai di sini tidak bisa langsung memberi kabar. Karena memang tidak ada sinyal sama sekali di kecamatan Mdona Hyera tempat kami mengajar. Namun karena desa tempat saya (Mahaleta) menjadi tempat berlabuhnya kapal, sehingga ada kesempatan untuk saya menitip surat pada masyarakat yang pergi ke Kupang untuk dikirim lewat pos. Kebetulan tanggal 15 Desember esok merupakan kapal terakhir sebelum nanti akhir Desember ada musim barat yang tidak ada kapal karena gelombang besar. Baru nanti sekitar bulan April kapal kembali beroperasi. Sedikit informasi untuk tim monev yang ke MBD nanti, ibu, supaya tidak salah informasi pemberangkatan kapal."

Para guru muda itu, menurut Nanda, sekarang punya kebiasaan baru. Mengirim surat yang dititipkan pada warga yang pergi ke desa sebelah baik yang jalan kaki maupun naik perahu motor. "Surat pertama yang membuat saya menangis adalah ketika tanggal 26 Oktober 2012 tepat hari raya Idul Adha kami tidak bisa keluar desa. Kami berlebaran sendiri dengan diri kami masing-masing. Rasanya sedih sekali, apalagi saat itu baru hari keempat. Tepat sebelum maghrib ada murid kami berteriak, ada surat dari Tepa (kecamatan sebelah yang dapat ditempuh dalam waktu satu hari dengan kapal). Surat dari Risna dan Noval, isinya memberikan kabar dan memberitahu kalau di tempat mereka ada sinyal. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya di zaman modern seperti ini, saya masih bisa merasakan berkomunikasi melalui surat. Surat menjadi begitu berharga buat kami. Jadi sekarang kalau ada hal penting kami selalu mengirim surat yang dititipkan pada masyarakat. Kalau ada kesempatan pun kami saling mengirim masakan atau sayuran. Walau kedengarannya hal itu lucu dan aneh, tapi so sweeettt...".

"Bahagia itu syukur". Begitu lanjut Nanda. "Dulu kalimat itu hanya sebuah kalimat yang saya dengar atau saya baca. Tapi di sini, setelah dua bulan saya banyak mendengar, melihat dan mengalami, kalimat itu saya pahami maknanya. Bahagia itu bukan dari seberapa besar atau seberapa banyak yang kita dapat, tapi seberapa besar rasa syukur kita meski mungkin sedikit yang kita punya. Di sini, bahagia itu ketika pulang sekolah lapar dan di meja ada sukun rebus; bahagia itu ketika haus dan masih ada air masak walau masih sedikit hangat; bahagia itu ketika di kamar mandi ada air bersih, ketika mau masak ada kayu bakar, ketika di kebun ada daun singkong muda untuk dibuat sayur. Bahagia itu ketika kita lapar dan tidak ada makanan kecuali nasi putih yang dicampur garam dan kelapa (hahaha....rasanya enak sekali)."

Nanda begitu pandai menguntai kata-kata. Kalimatnya lancar, deskripsinya begitu detil, dan perasaannya begitu terlibat. Ada dua lembar suratnya untuk saya, dua lembar untuk pak heru dan berlembar-lembar untuk pak Yoyok. Nanda adalah alumnus PGSD, mahasiswa pak Yoyok, tidak heran kalau dia begitu dekat dengan pak Yoyok. Di suratnya untuk pak Yoyok dia begitu lepas bercerita, semua hal yang unik, lucu, menyenangkan, sekaligus hal-hal yang mengharu-biru dan menguras air mata. Membaca surat-surat itu, saya serasa ingin terbang saja ke MBD, memeluk hangat mereka semua, melepas kerinduan saya pada mereka. Anak-anak muda yang hebat dan membuat kami semua bangga.

Nanda juga mengirim CD berisi video dan foto-foto. Di dalam salah satu video yang dibuatnya sendiri, "bermain sampan", nanda bermain sampan di laut yang luar biasa indah dengan murid-muridnya. Dia mengayuh sampan sampai agak ke tengah laut dan anak-anak kecil berkulit hitam itu berebut menaiki sampannya. Riang sekali mereka. Foto-fotonya juga sangat bagus. Konon, Nanda memang menyukai fotografi. Laut, bukit, gunung, rumah, dapur, sekolah, jalan, semua dipotretnya. Sebuah fotonya yang membuat hati saya bergetar dan mata mbrebes mili adalah ketika dia berpose di pantai dengan tulisan" SM-3T Unesa" yang besar sekali terukir di pantai. Juga sebuah foto temannya yang mengenakan topi, dan tulisan "SM-3T Unesa" begitu jelas. 

"Semoga ibu dan semua yang ada di sana selalu baik-baik saja dan sehat. Kami tunggu kedatangan ibu dan tim monev di MBD. Saya juga mengucapkan terimakasih pada ibu dan panitia SM-3T hingga sekarang saya berada di tempat ini. Mungkin bukan hal yang mudah pada awalnya. Tapi kami berusaha sebaik mungkin untuk beradaptasi dan menjalankan hari-hari kami di sini. Banyak sekali pelajaran yang saya dapat dalam segala keterbatasan dan kesederhanaan. Mungkin di sini saya rindu Jawa dan semua yang di sana. Tapi ketika kembali ke Jawa mungkin rindu saya tentang semua yang ada di sini akan lebih besar. Mungkin dengan cara menjalani setiap waktu di sini sebaik-baiknya akan meminimalisir rasa rindu ketika selesai masa tugas kami."

"Demikian surat saya, ibu. Semoga surat ini bisa sampai ke bu Luthfi. Jika ada kesempatan lagi untuk berkirim surat atau telepon, insyaallah saya akan berkabar lagi. Mohon doanya semoga kami selalu diberi kesehatan dan kelancaran menjalankan tugas sebaik mungkin."

Itulah penutup surat Nanda. Selamat berjuang, Nanda. Selamat berjuang semua. Tentu saja doa kami akan selalu menyertai kalian. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan dan ketabahan yang berlipat-lipat agar kalian dapat menunaikan tugas mulia ini dengan baik. Salam kami semua. Salam MBMI. Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia.

Surabaya, 28 Desember 2012

Wassalam,
LN

Rabu, 26 Desember 2012

Dies Natalis Unesa 2012: Bangsa, Negara, Nasionalisme dan HAM

Pagi ini, bertempat di Gedung Serba Guna Unesa, dilaksanakan Rapat Terbuka Senat Universitas Negeri Surabaya dalam Rangka Dies Natalis ke-48. Seperti biasa, acara dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, dilanjutkan dengan mengheningkan cipta dan pembukaan Rapat Terbuka oleh Rektor Unesa, Prof. Dr. Muchlas Samani.

Selanjutnya acara dilanjutkan dengan orasi ilmiah oleh Ketua Komnas Hak Asasi Manusia (HAM). Dr. Otto Nur Abdullah, Ketua Komisi HAM, mengemukakan berbagai hal terkait dengan awal mula terbentuknya Komisi HAM, tujuan, pengertian, dan juga menjelaskan panjang lebar tentang relasi historis antara bangsa dan negara.

Inilah sekelumit tentang konsep relasi historis antara bangsa dan negara itu.

Pertama, untuk negara-negara modern yang terlebih dahulu ada seperti Perancis, Spanyol dan Inggris, maka negara yang menciptakan bangsa. Negaralah yang mendefinisikan bangsa sehingga identitas nasional merupakan proyek politik para elite.

Kedua, untuk negara-negara yang baru merdeka setelah Perang Dunia I dan II, maka bangsa lebih dahulu terbentuk daripada negara. Bangsa membentuk negara. Bangsa mendefinisikan negara. Oleh karena itu negara-negara demikian diperjuangkan oleh bangsa, bahu-membahu antar warganegara. Karena itu pula negara disebut sebagai sebuah republik, untuk menegaskan bahwa negara diperuntukkan bagi bangsa, bukan sebaliknya.

Untuk Indonesia, menurut Otto, bila kita mengacu pada sejarah politik, dengan kemunculan gerakan kebangsaan, yakni gerakan nasionalisme sessionist yang bangkit sejak awal abad 20, maka Indonesia merupakan negara yang dibentuk oleh bangsa. Bangsa Indonesia-lah yang melahirkan Republik Indonesia, sehingga peruntukan negara bagi bangsa direfleksikan dalam mukaddimah konstitusi, UUD 1945, yakni negara diciptakan dalam perspektif HAM, untuk memberikan hak-hak asasi manusia yang melekat pada setiap warganegara Republik Indonesia.

Namun dalam perjalanan politik setelah negara dibentuk, seakan-akan bangsa menjadi persembahan untuk negara. Nasionalisme menjadi proyek elite politik. Nasionalisme dikonstruksi untuk memobilisasi setiap warganegara bagi kepentingan politik elite. Nasionalisme menjadi ideologi yang memaksa. Akibatnya negara bukan berkembang menjadi inklusif terhadap bangsa, akan tetapi tumbuh menjadi ekslusif terhadap bangsa sehingga tidak mampu menampung kemajemukan atau ke-bhinneka-an warga bangsa. Padahal kemajemukan itu selalu hadir dalam interaksi politik (bernegara) dalam kehidupan sehari-hari hingga saat ini.

Otto juga mengingatkan betapa bahayanya apabila nasionalisme menjadi proyek elite politik. Negara akan menelan bangsa yang justeru telah menciptakan negara. Menurut Otto, di sinilah pentingnya kehadiran akademisi, atau kaum intelektual pada umumnya, yakni untuk menyumbangkan pemikirannya yang dapat mengingatkan asal-usul kita berbangsa dan bernegara dan, secara kritis mengoreksi pemikiran tentang nasionalisme yang telah didominasi oleh elite negara, lalu mengorientasikan ke arah yang sesungguhnya sehingga warga bangsa dapat hidup sehat.

Tentu saja masih banyak hal yanh dikemukakan oleh Otto. Termasuk beberapa lontaran pertanyaan: sudahkah negara, dalam hal ini pemerintah, melakukan penegakan HAM dengan memberikan kebenaran pada para korban pelanggaran HAM dan ahli warisnya? Apakah negara, dalam hal ini pemerintah, sudah dan sedang melakukan perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi setiap warganegara?

Menutup orasinya, Otto mengucapkan terimakasih dan penghargaan pada Unesa yang telah memberikan kesempatan pada Komnas HAM untuk berpartisipasi dalam acara peringatan berdirinya akademi ini yang ke-48. Sebuah usia yang sudah sangat matang dalam berakademi di Republik ini. 

Dirgahayu, Unesa. Semoga tetap jaya, sebagaimana yang selalu dikumandangkan dalam lagu Mars Unesa.

"Semangat berjuang mengabdi nusa bangsa
Kembangkan ilmu dan seni, membangun berdasarkan Pancasila
Siaga bela negara, tingkatkan peranan sumber daya manusia, demi Indonesia tercinta.
Wujudkan, amalkan ilmu, iman dan takwa,
UNESA TETAP JAYA....."

Gedung GSG, Kampus Unesa, 27 Desember 2012

Wassalam,
LN

Diskusi PPG Hari Ini

Pagi ini saya dijadwalkan mengisi acara Diskusi Pendidikan Profesi Guru di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Brawijaya (UB). Permintaan untuk menjadi narasumber ini sudah diluncurkan oleh bu Ulfah, salah satu dosen di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jepang, salah seorang panitia diskusi, sejak awal semester, dan baru bisa saya penuhi pada menjelang akhir semester ini.

FIB UB memiliki tiga Program Studi Pendidikan, yaitu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris, Pendidikan Bahasa dan Sastra Jepang. Prodi pendidikan ini berdiri sejak dua tahun yang lalu. Sebagian besar dosennya masih muda belia, ada beberapa yang lulusan Unesa. Beberapa sudah doktor dari luar negeri, beberapa dari mereka masih menempuh S2/S3 di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra PPs Unesa.

Diskusi yang diikuti oleh 45 dosen itu dibuka PD 1 FIB, Prof. Ir. Ratya Anindhita, MS., Ph.D. Dalam sambutannya, Prof. Dhita, begitu panggilan akrabnya, menyampaikan bahwa keinginan untuk mengadakan diskusi ini sudah lama. Begitu banyak pertanyaan dari mahasiswa yang belum terjawab menyangkut apakah mahasiswa nanti akan memiliki Akta IV mengingat mereka kuliah di prodi pendidikan; mengapa harus ikut PPG sedangkan mereka sudah menempuh perkuliahan di prodi pendidikan; apa konsekuensinya bila lulusan tidak mengikuti PPG; dan berbagai pertanyaan lain.

Maka diskusi pagi ini, mulai pukul 09.00-12.00, sangat gayeng karena begitu banyak pertanyaan dari para dosen. Peribahasa ikan sepat ikan gabus (lebih cepat lebih bagus) tidak berlaku di sini. Kalau tidak mengingat waktu, diskusi bisa-bisa kebablasan sampai seharian karena begitu banyaknya keingintahuan mereka tentang PPG. Saya menyampaikan apa itu PPG, proses rekrutmen, kurikulum, evaluasi, uji kompetensi, dan perjalanan PPG mulai dari awal sampai saat ini. Juga tentang bagaimana seharusnya kurikulum S1 dikemas agar selaras dengan kurikulum PPG. Hal-hal yang ternyata sebagian besar masih belum mereka pahami.                                                                                              
Dr. Sugeng, ketua prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris mengakui bahwa ketika UB memutuskan untuk membuka program pendidikan, itu merupakan keputusan yang berani. Sampai saat ini, izin operasional dari Dikti belum turun, borang akreditasi sudah dikirimkan ke BAN-PT dan saat ini sedang menunggu untuk divisitasi. Dua-tiga tahun lagi, prodi-prodi tersebut sudah meluluskan, namun gambaran seperti apa kelanjutan 'nasib' para lulusan nanti masih samar-samar. Namun dengan adanya diskusi hari ini, para dosen sudah memperoleh gambaran, betapa mau tidak mau, bila ingin lulusannya menjadi guru, tidak ada pilihan lain kecuali harus menempuh PPG. Empat tahun perkuliahan mereka adalah pendidikan akademik; oleh karena guru adalah sebuah profesi, maka mereka harus menempuh pendidikan profesi, dan itulah PPG. Begitulah amanah UU Sisdiknas dan UUGD.

Berkaitan dengan SM-3T yang saat ini merupakan kebijakan dalam perekrutan peserta PPG, para dosen itu nampak 'terkaget-kaget'. Betapa 'soro'nya hanya untuk bisa menjadi guru. Apa sih urgensinya itu semua? Begitulah 'gugatan' salah satu dosen dari prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris.

Tidak salah pertanyaan tersebut. Masa pengabdian setahun di daerah 3T bukanlah tugas yang ringan. Tapi misi SM-3T ini sangat sesuai untuk lebih membekali para calon guru dengan pengalaman nyata di lapangan. Selain juga untuk misi mulia turut membantu percepatan pembangunan pendidikan di daerah 3T, misi yang lain adalah untuk mengembangkan wawasan dan jiwa keindonesiaan serta turut berpartisipasi dalam menjaga keutuhan NKRI. Saya memberikan banyak ilustrasi betapa para peserta SM-3T itu harus berjuang sedemikian rupa untuk memecahkan berbagai persoalan pendidikan, di antara tajamnya perbedaan kultur dan agama. Namun mereka benar-benar mampu survive. Pada awalnya mungkin iming-iming PPG menjadi motivasi utama. Namun setelah mereka terjun ke daerah 3T, panggilan jiwa untuk menjadi bagian dari pembangunan pendidikan di pelosok Indonesia itulah yang lebih mengedepan. Ini terbukti, sebagian besar dari mereka memastikan diri untuk kembali ke daerah 3T tempat tugas mereka setelah menyelesaikan PPG.

PPG adalah 'pertaruhan terakhir' LPTK untuk menghasilkan guru yang profesional. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kompetensi guru. Sertifikasi dengan portofolio, sertifikasi dengan PLPG, belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Selain itu, mengingat jumlah LPTK yang lebih dari 300 di seluruh Indonesia, dengan mutu yang sangat beragam, mulai dari kelas 'jembret' sampai kelas unggul, PPG adalah filter untuk menghasilkan guru-guru yang profesional. Faktanya, setiap tahun dihasilkan ribuan lulusan LPTK, hal ini tidak sebanding dengan jumlah kebutuhan guru, sehingga terjadi oversupply. Maka untuk mendapatkan guru-guru yang unggul, PPG merupakan jalan keluar. Dan bila saat ini sampai beberapa tahun ke depan kebijakan PPG menyangkut inputnya adalah hanya mereka yang telah melaksanakan pengabdian melalui SM-3T, maka akhirnya hanya mereka yang memang benar-benar terpanggil untuk menjadi guru sajalah yang akan menjadi guru. 

Malang, 26 Desember 2012

Wassalam,
LN

Selasa, 25 Desember 2012

Semanggi Suroboyo

Siapa penggemar semanggi? Makanan khas Surabaya yang bahan pokoknya adalah daun semanggi yang direbus, ditaburi sejumput taoge panjang di atasnya, ditutup dengan saus kacang yang dicampur dengan lumatan ketela rambat dan sedikit petis dan cabe, serta disajikan dalam sebuah 'pincuk'? Dua buah krupuk yang lebar-lebar ditumpangkan di atas hidangan tersebut. Krupuk itu tidak hanya sebagai pelengkap semanggi, namun sekaligus juga berfungsi sebagai sendok.
Anda bisa menyendok semanggi itu sesuap demi sesuap menggunakan krupuk itu. Atau bila Anda lebih suka makan dengan sendok yang sebenarnya, tersedia juga sendok plastik untuk Anda.

Bila Anda berjalan-jalan atau bersepeda di Masjid Al-Akbar atau lebih dikenal sebagai Masjid Agung Surabaya di pagi hari, terutama pada hari Sabtu dan Minggu, Anda akan menjumpai para ibu penjual semanggi. Mereka adalah ibu-ibu yang usianya sekitar empat puluhan, semuanya berjilbab, rapi, bersih, bermake-up tipis, ramah dan selalu tersenyum melayani pelanggan. Sebuah keranjang wadah semanggi, taoge, dan sambal ada di depan mereka, juga sekantung plastik besar krupuk puli. Selembar dua lembar tikar digelar di sisinya, dengan sebotol dua botol air bersih yang disediakan untuk mencuci tangan. Beberapa gelas air mineral sebagai pelepas dahaga seusai menikmati sepincuk semanggi.

Sangat berbeda dengan kesan yang ditampilkan oleh para penjual semanggi di masa lalu. Perempuan-perempuan tua, berkebaya dan berkain panjang kusam, keranjang semanggi disunggi di atas kepalanya, dan semanggi dijual dengan berkeliling dari satu kampung ke kampung lain atau dari satu perkantoran ke perkantoran lain. Penampilan mereka yang terkesan kurang bersih jauh dari menarik. Keadaan tersebut membuat semanggi pada saat itu menjadi makanan yang tidak berkelas, bahkan dianggap bisa menurunkan 'gengsi sosial' bagi orang yang mengonsumsinya. 

Ya, seperti itulah nasib semanggi suroboyo dan beberapa jajanan tradisional pada tahun 90-an yang lalu. Data menunjukkan bahwa makanan tradisional amat sulit disandingkan dengan makanan modern, seperti makanan yang dijual di restoran cepat saji atau di waralaba. Kenyataannya memang makanan modern lebih memiliki daya pikat bagi konsumen karena lebih praktis, cepat dalam penyajian dan mengandung 'gengsi' bagi sementara golongan masyarakat. Lebih-lebih dalam pemasarannya, makanan modern ini dibarengi dengan promosi yang sangat meluas dan menggoda, baik melalui media cetak maupun media elektronik.

Namun sejak beberapa tahun belakangan ini, pamor makanan tradisional mulai terangkat. Banyak restoran yang menyajikan beberapa menu makanan tradisional di antara menu pilihan makanan modern. Pada acara-acara pesta di gedung-gedung, di hotel atau di restoran-restoran besar, hidangan tradisional seperti tahu campur, lontong kikil, soto madura, nasi krawu, dan lain-lain, menjadi hidangan yang disukai. Sejajar dengan berbagai hidangan modern seperti asparagus cream soup, fruit salad, galantine steak, fried chicken dan omelet. Bahkan ada kecenderungan, makanan tradisional yang biasanya disajikan di joglo-joglo itu lebih diserbu para tamu daripada makanan utama yang disajikan di meja-meja prasmanan yang besar dan panjang.

Meningkatnya citra makanan tradisional ini tentu saja tidak lepas dari upaya berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun akademisi. Di kalangan perguruan tinggi, dikenal ada kegiatan rutin yang namanya Widyakarya Nasional Makanan dan Gizi, Seminar Nasional Makanan Tradisional, serta berbagai event lain semacam gelar dan lomba-lomba, yang memberi porsi besar pada pengkajian dan pameran makanan tradisional dengan berbagai aspeknya (misalnya aspek ekonomi, kesehatan dan teknologinya). Pemerintah melalui Badan Ketahanan Pangan juga terus-menerus melakukan sosialisasi peningkatan mutu dan keamanan makanan tradisional melalui pelatihan, seminar, pendampingan, yang sasarannya mulai dari ibu-ibu PKK, petugas ketahanan pangan, serta para praktisi/pengusaha bidang pangan tradisional. Berbagai hasil penelitian makanan tradisional juga banyak dipublikasikan di berbagai jurnal, baik jurnal yang belum terakreditasi, terkreditasi nasional maupun beberapa jurnal internasional.

Kondisi tersebut relevan dengan apa yang dikemukakan Green (1990), bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi konsumsi, yaitu: faktor predisposisi perorangan, faktor dukungan pemerintah dan swasta, dan faktor penguat. Faktor predisposisi perorangan berkaitan dengan kebiasaan, kepercayaan, pengetahuan dan sikap seseorang terhadap makanan tertentu. Faktor dukungan pemerintah dan swasta berhubungan dengan upaya-upaya yang dapat dilakukan sehingga keberadaan makanan tradisional tersedia kapan saja dibutuhkan, terjangkau daya beli, digemari, mudah didapat, modis, penjualnya terampil dan menyenangkan, tempatnya nyaman serta tersedia informasi rujukan. Faktor penguat antara lain meliputi ajakan teman dekat, dukungan orang tua, ajakan orang panutan seperti atasan, guru, petugas kesehatan dan sebagainya yang menganjurkan untuk mengonsumsi makanan tradisional tersebut.

Bicara tentang semanggi, saya bersama seorang rekan dosen pernah melakukan penelitian yang berjudul 'Pola Konsumsi dan Nilai Sosial Makanan Tradisional Semanggi'. Penelitian tersebut kami lakukan pada tahun 2003, didanai dari DIK Unesa. Berdasarkan hasil penelitian, penjual semanggi yang ada di Surabaya hampir seluruhnya berasal dari kecamatan Benowo, khususnya dari desa Kedung, kelurahan Sememi. Bahan dasar berupa daun semanggi mereka peroleh dari para pemasok secara berlangganan. Rata-rata para penjual yang jumlahnya sekitar empat puluh orang itu membeli sebanyak 5-10 takar sehari, dengan harga Rp. 5.000 - Rp. 7.500 per takarnya. Penjual semanggi pada umumnya adalah ibu rumah tangga yang berjualan semanggi sebagai mata pencahariannya. Mereka mengolah semanggi setelah subuh, berangkat pada sekitar pukul 07.00, memasarkannya secara berkeliling dan berpindah-pindah. Mereka juga memanfaatkan angkutan umum untuk memasarkan semanggi. Daerah pemasaran mereka antara lain: Rungkut, Medokan Ayu, Rungkut Wonorejo, Semolowaru, Rungkut Kedungbaruk, dan Penjaringan Sari. Semanggi ini dipasarkan di wilayah perumahan, perkampungan, perkantoran, kampus, dan pasar. Semanggi juga ada yang dijual secara menetap di pusat jajanan, misalnya di Lantai III Jembatan Merah Plaza (JMP). Pada saat itu, harga semanggi berkisar Rp.2.500 - Rp.3.000.

Semanggi sebenarnya cukup disukai oleh berbagai kalangan, baik pria maupun wanita, remaja maupun dewasa, ibu rumah tangga maupun wanita bekerja serta mahasiswa dan pelajar. Bagi penyuka semanggi, mereka bahkan mengonsumsi semanggi 1-2 kali seminggu. Mereka mengonsumsi semanggi sebagai makanan selingan. Namun penampilan hidangan semanggi yang kadang-kadang daunnya tidak lagi hijau namun ada sebagian yang kekuningan, ditambah dengan penampilan penjualnya yang kurang bersih serta perilakunya kurang higienis, membuat hidangan semanggi kurang mendapat tempat di hati masyarakat.

Untunglah pada saat ini, dengan semakin meningkatnya kesadaran para penjual semanggi, dan begitu banyaknya tempat-tempat untuk berjualan semanggi, semanggi semakin dikenal dan ternyata juga disukai oleh masyarakat luas. Harga saat ini yang berkisar Rp. 5.000,- merupakan harga yang sangat rasional. Semanggi yang bergizi tinggi karena kandungan mineral dan vitamin serta seratnya ini sangat layak sebagai salah satu primadona makanan tradisional Jawa Timur.

Mari kita nikmati semanggi suroboyo. Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi? Tanpa upaya dari kita, maka makanan tradisional, termasuk semanggi, benar-benar akan menjadi makanan yang klasik, yang hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang ingin bernostalgia.

Surabaya, 23 Desember 2012

Wassalam,
LN 

Peak Season


Tiba musim liburan seperti ini, tidak hanya hotel-hotel yang mengalami 'peak season'. Tingkat hunian sangat tinggi juga terjadi di rumah kami. Kemarin pagi, teman saya dan keluarganya datang dari Blitar. Danang, nama teman saya itu, adalah teman sekelas waktu SMP. Dia sudah sejak tiga minggu yang lalu bermaksud mengajak anak istrinya berkunjung ke rumah, membalas kunjungan kami pada Januari yang lalu. Namun karena saya selalu ada kegiatan di luar kota setiap akhir pekan, maka baru kali ini keinginannya itu terwujud.

Sorenya, rombongan dari Tuban datang. Mereka adalah ibu, mas Ipung sekeluarga, dik Utik sekeluarga, dik Hisyam sekeluarga, Anang dan Sa'ad. Dua nama terakhir ini adalah putra mas Zen, mas saya yang kedua. Total jenderal, termasuk keluarga Danang, adalah dua puluh jiwa. Maka dua rumah kami full booked. Tidak ada satu kamar pun tersisa. Empat kamar di rumah barat plus ruang keluarga, dan dua kamar di rumah timur plus ruang keluarga, semua penuh. Yang sisa hanya kamar mandi dan dapur. Hehe....

Menyenangkan sekali kedatangan tamu sebegitu banyak. Saya sudah menyiapkan makanan kesukaan para keponakan itu sejak dua tiga hari sebelumnya. Kulkas penuh. Bahan bakso, bahan soto, ayam bumbu rujak, urap-urap, sosis, nugget, cake, jeli buatan sendiri, dan buah-buahan. Juga roti mariam dan siomay. Di lemari kue, penuh dengan kue-kue kesukaan belasan anak kecil itu. Toples-toples tempat kue juga telah siap dengan macam-macam kletikan manis dan gurih. 

Momen seperti ini termasuk momen yang saya tunggu. Hampir setiap tahun para keponakan berlibur di rumah kami ketika masa libur sekolah. Tentu saja dengan eyang utinya, ibu saya. Berbagai acara telah kami siapkan untuk mengisi liburan mereka selama di Surabaya.

Pagi ini, selepas sarapan pagi,  kami semua pergi ke Taman Safari, Prigen. Danang sekeluarga tidak ikut, karena mereka sudah bertolak kembali ke Blitar selepas shubuh tadi, diantar mas Ayik ke terminal Bungurasih. Sementara ibu memilih di rumah karena rombongan keluarga dari Sragen dan Rembang juga mau datang. Mereka sedang memanfaatkan waktu liburan ini untuk muhibah, start dari Sragen, terus ke pakde kami di Boyolali, lanjut ke bulik di Pamekasan, menginap semalam di sana, dan pagi ini melanjutkan perjalanan ke Surabaya, ke rumah kami. Karena saya dan mas Ayik harus mendampingi para saudara dan anak-anaknya jalan-jalan, maka ibu memilih di rumah menunggu tamu. Ibu memang menjadi tujuan utama para saudara kami itu, selain juga kami semua tentu saja.

Acara di Taman Safari berjalan lancar. Dua mobil, satu mobil L-300 yang dikendarai mas Ipung, dan satu mobil Terios yang dikendarai mas Ayik, penuh semua. Oya, kami juga mengajak mbak Yah sekeluarga. Anaknya yang kelas satu SD, Vania,  juga berhak mengisi liburannya bersama kami semua. Mbak Yah sekeluarga inilah yang menunggu rumah lama kami. Dia yang momong Arga, anak kami, sejak Arga masih kelas nol kecil. Sembilan tahun ikut kami, dan berhenti karena menikah. Tapi setelah menikah dan punya anak, dia kembali ikut kami sekaligus kami minta untuk menunggu rumah lama, daripada dia sekeluarga kontrak atau kost di tempat lain. Suaminya, namanya Slamet, bekerja di PT. Jacob, di tempat mas Ayik bekerja, sebagai karyawan kontrak.

Cuaca sangat bersahabat pagi ini. Mendung tapi tidak hujan. Sempat ada gerimis kecil tapi hanya sebentar, dan tidak menghalangi kami menggelar tiga tikar di salah satu sudut di Taman Safari dan membeber semua makanan bekal kami. Nasi putih, terong kukus sambal kelapa, botok ketela pohon, ayam bumbu rujak, sosis, nugget, bahkan lento dan dadar jagung. Krupuk kulit ikan, krupuk rambak, dan rempeyek kacang hijau pedas juga ada. Krupuk kulit ikan dan krupuk rambak oleh-oleh dari mbak I'ah, istri mas Zen. Rempeyek oleh-oleh dari dik Utik, adik saya yang tinggalnya di Bojonegoro. Maka kami semua makan dengan nikmat. Tidak ada yang lebih membahagiakan daripada saat-saat berkumpul dengan sanak-saudara seperti ini, apa lagi dalam keadaan semua sehat dan bergembira.

Keluar dari Taman Safari, kami bermaksud berhenti di pedagang durian, tapi urung. Kami hanya membeli sebuah nangka masak yang sangat besar, beberapa buah nenas, dan dua ikat petai, serta beberapa kilogram apokat. Pesta durian ditunda dulu. Pertama, karena kami masih kenyang. Kedua, kami ingin segera sampai di rumah, biar bisa bertemu dengan para saudara yang sejak dhuhur tadi sudah datang di rumah kami.

Di tengah perjalanan pulang, saya menelepon dik Yusuf, putranya paklik dari Sragen, paklik Wahab, kalau kami sudah turun dari Prigen dan akan langsung pulang. Kami ingin bisa bertemu dengan saudara-saudara misan kami itu, juga tentu saja ingin bertemu paklik Wahab, ayahnya dik Yusuf. Bulik Kafiyah, istri paklik Wahab yang adiknya ibu saya, baru saja 'kapundhut' pada ramadhan yang lalu.

Bertemu paklik Wahab sekeluarga hebohnya persis seperti yang sudah saya duga. Kami memang sangat akrab dengan paklik Wahab sekeluarga. Setiap kali ketemu pasti 'berantem'. Lebih heboh lagi karena dua adik dik Yusuf, namanya dik Ifah dan dik Irfan, ramainya luar biasa. Dua anak ini sepertinya memang dilahirkan sebagai 'tukang bikin onar'. Tidak bisa diam, selalu mencari sasaran untuk diusilin, dan sepertinya bahagia banget kalau sudah sukses memperdayai atau mempermalukan orang. Tentu saja bukan dalam arti sesungguhnya, melainkan sebatas olok-olok dan bercanda. Meskipun mereka berdua sekarang sudah 'beranak-pinak', namun kelakuannya tidak berubah sama sekali.

Paklik Wahab sekeluarga pamitan setelah kami beramai-ramai foto bersama di depan rumah. Mereka akan melanjutkan perjalanan ke Gresik, Tuban, Rembang, dan kembali ke Sragen. Sebuah buku juga sudah didekap dik Ifah. Buku 'Jejak-jejak Penuh Kesan'. Buku yang dimintanya dari saya dengan 'setengah mekso'. Tapi tentu saja saya memberikannya dengan hati ikhlas lahir dan batin. He he....

***

25 Desember 2012

Hari ini hari natal. Pagi-pagi saya sudah mendapat sms: 'Slmt bbhga pd pesta kelahiran Tuhan yesus kristus semoga kita smua bersatu dlm cinta kristus'. He he. Entah siapa yang mengirimnya, hanya nomer ponsel tanpa nama. Saya perkirakan salah satu peserta SM-3T atau salah satu guru di daerah 3T tempat para peserta SM-3T Unesa ditugaskan.

Saya dan mbak Yah sudah membuka dapur umum selepas shubuh. Hari ini makan pagi dengan menu sederhana saja. Nasi putih, dadar telur, tempe goreng, oseng cumi, sambal bawang, dan lalapan.

Pukul 05.00 ternyata satu per satu anak-anak sudah mulai bangun. O'im, Ashfa, Sa'ad, Anang, Evi, Ima, Haris, bahkan Ibil, Husein dan Alia yang masih belum genap dua-tiga tahun pun sudah bangun. Entah apa yang mereka rencanakan sepagi ini. Oh, saya baru tahu, ternyata mereka sudah merancang acara bersepeda. Maka mas Ayik, Arga, dan Anang, para laki-laki dewasa pun menyiapkan sepeda untuk mereka. Semua sepeda koleksi mas Ayik keluar. Lima seli (sepeda lipat) dan tiga sepeda gunung. Dipimpin tiga orang itu, anak-anak bersepeda ke Masjid Al-Akbar yang memang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah kami. Anak-anak yang masih belum bisa naik sepeda berkendara naik mobil kami bersama bapak ibunya. Jadilah rumah sepi. Hanya saya, mbak Yah, dan ibu. Kalau mereka datang, mereka pasti lapar, oleh sebab itu hidangan sarapan harus kami siapkan segera.

Teh, kopi, susu coklat dan roti kering sudah tersedia di teras. Hidangan makan pagi juga sudah siap. Begitu mereka tiba dari masjid Al-Akbar, hampir semua makanan itu segera 'dibereskan'. Lantas setelah mandi dan bersiap, berangkatlah kami semua meneruskan acara mengisi liburan natal ini.

Tujuan pertama adalah Gramedia. Supaya tidak terlalu jauh, dan bisa sekalian window shopping, kami memilih Gramedia di lantai dua Royal Plaza. Begitu masuk Gramedia, anak-anak itu spontan semburat. Senang sekali saya melihat antusiasme mereka pada buku-buku. Saya menghadiahi mereka satu dua buku yang mereka suka, untuk semua. Mereka boleh memilih sendiri. O'im yang saat ini sudah kelas enam SD, memilih buku 'Detik-detik Menjelang UN' dan sebuah buku sejarah. Anang memilih buku tulisan Sujiwo Tejo dan buku tentang Jokowi. Arga, seperti biasa, mengambil buku-buku musik dan juga CD lagu-lagu kesukaannya. Evi, Ima, Ashfa dan Sa'ad, memilih dua buku, satu buku cerita dan satu buku pengetahuan. Semua menyetorkan buku-buku pilihannya ke saya yang juga sedang sibuk memilih-milih buku-buku pendidikan. Termasuk Husein, si kecil yang belum tiga tahun, menyetorkan dua buah buku mewarnai. He he, senang sekali melihat mereka riang gembira karena mendapatkan hadiah buku.

Oya, kami sempat bertemu mas Rohman sekeluarga di Gramedia. Dia sedang mencarikan tenda untuk putrinya, Alif. Mas Rohman sekeluarga adalah sahabat baik kami, maka jadilah kami ngobrol sebentar sambil menunggu antrian di kasir.

Dua hari ini kami sekeluarga begitu sibuk. Waktu dan tenaga sepenuhnya kami sediakan untuk mereka. Bukan hanya karena mereka adalah saudara-saudara kami. Tapi lebih dari itu, mereka adalah tamu-tamu kami. Menghormati dan memuliakan tamu adalah anjuran Rasulullah. Begitulah selalu yang dinasehatkan dan dicontohkan oleh bapak dan ibu kami. Memuliakan tamu adalah wajib hukumnya.
 
Alhamdulilah, mungkin karena kami suka menerima tamu, rumah kami sering ''ketamon'. Kadang-kadang sekedar untuk transit semalam-dua malam bagi saudara-saudara yang sedang melakukan perjalanan jauh, misalnya dari Solo ke Pamekasan atau sebaliknya. Kadang-kadang juga sebagai tempat 'penampungan' teman-teman atau sanak saudara yang bermaksud menghadiri acara pernikahan saudara kami yang tinggalnya di Surabaya. Ada juga seorang teman kami yang suka menginap di rumah bila ada tugas atau kegiatan mendampingi siswa-siswanya. Sementara siswa-siswanya tidur di mess, dia memilih tidur di rumah kami.

Namun tidak seperti hari-hari biasa, pada saat musim libur seperti ini, sebagaimana hotel-hotel dan penerbangan, rumah kami juga mengalami 'peak season'. Hehe....

Wassalam,
LN

Rabu, 19 Desember 2012

Sebotol Air Mineral

Saya memasuki kelas itu. Sebuah kelas di gedung K-10, gedung baru di Pascasarjana Unesa. Sejuk, bersih. Meski di luar gedung, beragam bahan bangunan masih menumpuk, karena memang pembangunan gedung baru Pacasarjana Unesa ini belum selesai. Pasir, batu, semen, kayu-kayu, dan juga alat-alat bangunan. 

Ada dua puluh dua mahasiswa di kelas itu. Mereka sudah duduk rapi di kursinya masing-masing. Kursi yang diatur di sepanjang dinding, membentuk huruf U, dan meja dosen ada di depan mereka. Sebuah LCD gantung sudah dinyalakan, siap digunakan. Dan, seperti biasa, sebotol air mineral di atas meja dosen.

Para mahasiswa ini adalah guru-guru berprestasi, wakil dari berbagai penjuru Indonesia: Sumut, Sumbar, Kalsel, Sulteng, Jatim, Jateng, dan DIY. Mereka diseleksi di tingkat kabupaten, lanjut ke tingkat provinsi, kemudian di tingkat pusat. Mereka didanai dengan beasiswa dari Direktorat Pembinaan SD Kemdikbud untuk menempuh perkuliahan di S2 Manajemen Pendidikan PPs Unesa. Jumlah beasiswa mereka lumayan, 48 juta rupiah setahun, 19,5 juta rupiah di antaranya untuk biaya hidup dan pembelian bahan referensi. Tentu saja beasiswa itu diterimakan dalam bentuk fresh money, masuk ke rekening pribadi mereka masing-masing. 

Sekitar tujuh puluh lima persen dari guru-guru tersebut sudah memiliki sertifikat pendidik. Demi mengikuti program ini, mereka merelakan tunjangan profesi dan tunjangan fungsionalnya. Hanya gaji pokok yang diterima setiap bulan selama mereka bersekolah. Tidak masalah. Kesempatan mengambil program S2 ini adalah peluang emas yang tidak semua guru bisa memperolehnya.

Seorang mahasiswa, Masri namanya, segera bangkit dari duduknya begitu dia melihat saya mengurai charger laptop. Dengan senang hati saya pun menyerahkan charger itu dan membiarkan Masri menancapkannya ke stop kontak. Saya sebenarnya bisa melakukannya sendiri, tentu saja, tapi saya selalu menikmati perhatian-perhatian kecil dari para mahasiswa saya. Perhatian-perhatian kecil sebagai bentuk kepedulian. 
Bukankah 'peduli' merupakan salah satu karakter yang perlu terus dikembangkan?

Siang ini kami akan membahas model-model pembelajaran, melanjutkan materi minggu yang lalu. Dua mahasiswa sudah mempresentasikan model pembelajaran langsung dan model kooperatif minggu kemarin. Saatnya sekarang bicara model yang lain. Elisatra, seorang mahasiswa mantan kepala sekolah, menyampaikan bagaimana memilih strategi pembelajaran. Dilanjutkan rekannya, Anifatul, yang mengemukakan model pembelajaran berbasis masalah dan model berbasis penemuan. Diskusi berjalan lancar. Ada cukup banyak tambahan yang saya berikan. Terutama menyangkut penerapan berbagai model itu di lapangan. 

Seorang mahasiswi yang manis, Eni Priyani, menanyakan bagaimana penerapan model pembelajaran itu bisa diterapkan di SD kelas enam? Sementara mereka harus menuntaskan materi sebelum menempun UN? Cukupkah waktu bagi guru untuk melakukan pembelajaran dengan menerapkan model-model tersebut?

Diskusi berkembang menjadi berlarut-larut karena pertanyaan Eni. Perbedaan pendapat di antara mereka cukup tajam. Saya akhirnya mencoba menjadi penengah. Saya ajak mahasiswa melakukan refleksi diri terkait dengan tugas mereka mengajar siswa kelas enam SD.  Saat para guru di satu sisi harus menuntaskan target pembelajaran, namun di sisi lain harus mempersiapkan siswa-siswa menyambut UN. Maka apa yang dilakukan guru? Latihan soal-soal, drill, dan try out-try out. Mana sempat berpikir tentang model pembelajaran kooperarif, apalagi berbasis masalah dan penemuan? 

Kami mengakhiri perkuliahan sore itu tepat waktu. Saya tidak ingin Prof. Made Pidarta harus menunggu di luar kelas karena saya 'molor'. Wajah-wajah puas para mahasiswa membahagiakan saya. Hari ini mereka telah belajar sesuatu yang mungkin baru, atau sesuatu yang mungkin tidak baru tapi pemahaman mereka tentang sesuatu itu menjadi lebih baik. Saat saya akan mengangkat berkas tugas-tugas yang mereka kumpulkan hari ini, seorang mahasiswa spontan berdiri menghampiri. 'Mari, Ibu, saya bantu'. Katanya simpatik. Saya mengucapkan terimakasih, untuk bantuan itu, untuk perhatian dan keterlibatan penuh mereka selama perkuliahan. Juga, untuk sebotol air mineral yang telah disediakannya untuk saya hari ini.


Surabaya, 8 Desember 2012

Wassalam,
LN

Selasa, 11 Desember 2012

Ujian Terbuka Sahabatku: Suryanti

Sore ini, saya menghadiri ujian terbuka seorang dosen PGSD, Dr. Suryanti, S. Pd. Dosen cantik ini adalah istri Dr. Wahono Widodo, M. Si, dosen Pendidikan Sains. Keduanya adalah sahabat saya, sahabat kami sekeluarga. Begitu dekatnya persahabatan kami, sampai hubungan kami sudah seperti saudara.

Judul disertasi bu Yanti, begitu panggilan akrabnya, adalah "Model Pembelajaran untuk Mengajarkan Keterampilan Pengambilan Keputusan dan Penguasaan Konsep IPA bagi Siswa Sekolah Dasar". Keterampilan pengambilan keputusan merupakan salah satu tujuan mata pelajaran IPA di SD dan merupakan keterampilan yang sangat penting, baik untuk sukses dan mandiri dalam bisnis dan kehidupan, serta kepemimpinan dan organisasi. Begitulah salah satu hal yang melatarbelakangi penelitiannya. Selain itu juga didasarkan pada kenyataan di lapangan yang menunjukkan keterampilan pengambilan keputusan siswa SD masih rendah. 

Temuan penelitian Suryanti cukup menarik, berupa model pembelajaran Multi Siklus DEAL, dengan langkah pembelajaran Discussion, Exploration, Analysis, dan Look-back. Penerapan model pembelajaran ini memberikan hasil penguasaan konsep dan keterampilan pengambilan keputusan lebih baik dibanding dengan pembelajaran IPA yang selama ini dilakukan. Penguasaan konsep sendiri menyumbang 10,2 persen terhadap penguasaan keterampilan pengambilan keputusan. 

Suryanti, yang background-nya pendidikan Fisika itu,  diangkat sebagai dosen di Prodi PGSD-FIP IKIP Surabaya sejak 1993. Perempuan berusia 44 tahun ini selain pernah menjabat sebagai sekretaris dan ketua jurusan PGSD, juga terlibat sebagai Tim Fasilitator IPA SEQIP, Tim Pengembang Instrumen Sertifikasi Guru, Tim MBS PGSD Ditjen Dikti, Tim Pengembang Modul DBE 2, dan Tim Pengembang Pendidikan Karakter Ditjen Dikdas. Yang juga membanggakan, Suryanti sejak 2011 dipercaya sebagai Ketua Umum Asosiasi Dosen PGSD Indonesia. 

Sepanjang pengalaman saya, ujian terbuka kali ini adalah ujian terbuka 'terpenuh'. Semua kursi berpenghuni. Bahkan di luar ruangan, para 'supporter' berjubel. Saya lihat di barisan para undangan itu adalah Prof. Sunarto, Prof. Mega, Prof. Suyono, Dr. Yuni Sri Rahayu, Dr. Manuharawati, dan banyak lagi. Dosen FMIPA dan dosen FIP, mahasiswa PPs, mahasiswa S1 juga. Nampaknya bu Yanti ini banyak penggemarnya.

Dr. Wahono hadir bersama kedua putranya yang ngganteng-ngganteng: Achmad Danang Rizki Pratama dan Ahmad Nizar Permana. Kedua remaja ini juga bersahabat dengan anak saya, Arga. Sejak anak-anak kami masih kecil-kecil, kami sering melakukan acara keluarga bersama, sehingga hubungan kami memang sangat dekat. 

Penampilan bu Yanti sangat menarik. Bukan karena dia nampak begitu cantik dan anggun dengan kebaya hijau mudanya. Namun juga karena dia bisa menjawab semua pertanyaan dewan penguji dengan sangat lancar dan meyakinkan. Perempuan berjilbab itu memang cerdas, komunikasinya bagus, dan memiliki manajerial skill yang menonjol. Saya prediksi, beberapa tahun ke depan, dia akan menjadi salah satu srikandi kuat di Unesa, setidaknya selevel Prof. Kisyani. He he....

Suryanti merupakan lulusan pertama Prodi S3 Sains PPs Unesa. Saat ini dia ada di depan kami, didampingi pendamping prosesi, pak Budi Jarwanto. Asdir 1 PPs yang memimpin ujian terbuka, Prof. Muslimin, membacakan hasil penilaian Dewan Penguji. Suryanti lulus, dengan predikat sangat memuaskan, dan berhak menyandang gelar doktor. Suryanti tersenyum lega, manis sekali. Dan keharuan menyeruak di hati saya begitu saja.... Seperti apa rasanya 'lulus', seolah masih begitu membekas di benak saya, meski itu telah terjadi bertahun-tahun silam. 

Hari ini telah saya saksikan kebahagiaan itu, kebahagiaan yang sudah lama-lama ditunggu, oleh Suryanti, oleh keluarganya, dan oleh semua sahabat dan sanak saudaranya. Kebahagiaan yang membanggakan prodi S3 Pendidikan Sains dan Unesa.

Btw, biasanya saya memilih tidak bertoga ketika menghadiri ujian terbuka. Selama belasan kali saya menghadiri ujian terbuka, baru tiga kali saya mengenakan toga, dan duduk di jajaran prosesi. Pertama, ketika ujian terbuka sahabat saya, Dr. Nanik Indahwati, tim inti SM-3T. Kedua, ketika ujian terbukanya ibu Rektor yang lulus dengan predikat cum laude itu. Yang ketiga ya sekarang ini. Kalau sudah duduk di depan, konsekuensinya kita harus mengikuti acara sampai selesai, tidak bisa 'nyambi', misalnya 'nyambi' ngajar atau melayani konsultasi. Artinya, kita tidak bisa menyelinap keluar ruangan sebelum acara selesai. Itulah yang membuat saya seringkali agak enggan untuk bergabung di barisan prosesi (He he, jujur.com). 

Tapi saya sudah siap untuk mengenakan toga lagi ketika nanti saya menghadiri ujian terbuka sahabat-sahabat saya yang lain. Termasuk sahabat dan guru saya, Sirikit Syah....

Auditorium Pascasarjana, 11 Desember 2012

Wassalam,
LN

Senin, 10 Desember 2012

Nggowes Bersama Pakde Karwo dan Gus Ipul

Pagi ini ramah sekali. Sedikit mendung, tetapi justru itulah yang membuat pagi ini begitu menyenangkan. Matahari yang malas menampakkan sinarnya membuat kami malah bersemangat.

Ya, karena pagi ini kami akan nggowes. Bersepeda. Bersama pakde Karwo dan Gus Ipul. Meskipun tepat jam 06.00 saya, mas Ayik, dan tujuh teman dari Surabaya sudah tiba di lokasi start, tetapi ternyata kami tetap saja telat. Teman saya, mas Esa, yang menjadi salah satu panitia kegiatan ini, menanyakan di mana posisi saya. Dia katakan acara akan segera dimulai. Sejak beberapa hari yang lalu saya memang sudah diwanti-wanti sama mas Agus Maimun, ketua IKASMADA, kalau saya diharapkan bisa turut mendampingi para pejabat. Tapi posisi saya dan mas Ayik masih di belakang, dan saya perkirakan tidak mungkin bisa menjangkau tempat pemberangkatan tepat pada waktunya. Maka saya katakan saja pada mas Esa, "monggo dimulai sajalah". Toh Pakde Karwo dan Gus Ipul tidak mungkin mau menunggu saya, tambah saya dalam hati. Wakakak......

Luar biasa. Saya hampir tidak percaya ketika panitia mengumumkan bahwa peserta bersepeda ini sebanyak delapan ribuan. Saya sempat berpikir bahwa jumlah itu karangan panitia saja. Biar kegiatan ini dinilai hebat. Tapi tidak. Saat saya dan mas Ayik berusaha menerobos barisan para pesepeda itu, supaya kami bisa menjangkau barisan terdepan di mana rombongan Pakde Karwo berada, untuk sekedar 'setor muka' ke mas Agus Maimun bahwa saya sudah hadir, kami tidak kunjung sampai pada tujuan. Barisannya terlalu panjang untuk bisa kami tembus dalam waktu cepat. Sampai akhirnya, setelah menempuh jarak sekitar satu-dua kilometer, dan menyelinap di sela-sela sepeda yang rapat, ketika rombongan Pakde Karwo mengakhiri bersepedanya dan masuk ke bus mini yang sudah dipersiapkan, saya baru tiba. Tanggung. Saya mengurungkan niat untuk bergabung. Lagi pula, semangat bersepeda sudah terlanjur menggelora. Keringat yang mulai membasahi punggung saya yang hangat menuntut kaki-kaki ini terus mengayuh. Ya sudah. Saya mengangkat telepon, menghubungi mas Agus Maimun, menyapanya hangat, dan mengatakan kepadanya kalau saya sedang menikmati bersepeda. Dia meminta supaya saya bisa bergabung, tapi dengan halus saya tolak. Saya ucapkan selamat untuk acara yang luar biasa sukses ini, dan titip salam saja untuk Pakde Karwo dan Gus Ipul (saya sambil 'mbatin', pakde Karwo dan Gus Ipul 'cek' bingung, Luthfiyah iku sopo kok titip-titip salam....hehe). 

Keren. Benar-benar keren rute nggowes ini. Meskipun saya, mas Ayik dan teman-teman dari Surabaya mengambil rute on road, rute ini lumayan menarik. Bukan karena tantangannya. Ya, karena sebagian besar rombongan kami adalah para penggila sepeda, dan rute yang sangat ekstrim pun mungkin sudah pernah dilalui. Namun hamparan hutan, kebun, bukit-bukit berbatu, jalan-jalan kecil yang berkelok-kelok dan naik turun, begitu cantiknya. Ya, Tuban memang eksotis. Beberapa pesepeda saya lihat sengaja memarkir sepedanya di hamparan bebatuan dan berfoto-foto di sana dengan memanfaatkan latar belakang perbukitan yang indah.

Di tengah perjalanan, mas Esa menelepon. Menanyakan di mana posisi saya. Dengan setengah berteriak, saya menjawabnya dengan riang-gembira. "Saya sedang ada di tengah hutan, dan di hutan itu ada mushola. Kerreeeeennnn....!"
"Ya yaaa, saya tahu di mana itu. Tempo hari ketika survey, kita sholat maghrib di mushola itu". Jawab mas Esa. Wow, betapa syahdunya. Bersujud di musholla di tengah hutan, dalam keremangan senja, dan suara alam, serta aroma wangi pepohonan. "Jangan lupa segera merapat ke panggung kalau sudah sampai finish", pesan mas Esa.

Sekitar pukul 09.00 kami sudah sampai di kompleks Kompi, tempat panggung dipasang. Pak Karwo sudah langsung kembali ke Surabaya tadi pagi, tinggal Gus Ipul, Wabup Tuban, dan tentu saja, mas Agus Maimun, beserta para panitia. Panggung itu cukup megah, lengkap dengan seperangat alat musik untuk nge-band. Gus Ipul pegang mix, menjadi 'pembawa acara'. Memanggil para pemenang offroad. Begitu melihat sosok saya di antara kerumunan para penonton di depan panggung, mas Agus Maimun dan mbak Arina langsung melambai. Meminta saya segera naik panggung. Saya tertawa-tawa saja sambil memotret-motret mereka. Sepertinya lebih asyik memandangi mereka bersama Gus Ipul dan pak Wabub dari depan panggung daripada bergabung di sana. Tapi dasar mas Agus. Saya lihat dia berbisik-bisik pada Gus Ipul. Tak ayal, nama saya pun langsung disebut oleh Gus Ipul, dan diundang naik ke panggung. Katanya, inilah salah satu alumni pertama SMADA. Dosen Unesa, dan sudah profesor. Protolan femuda ansor. He he..... Selalu itu yang dikatakan Gus Ipul setiap kali menyebut profesor. Protolan femuda ansor. Sama seperti beliau.

Kegiatan ini begitu sukses. Tak terbayangkan akan sesukses ini. Hadiah utama memang hanya tujuh buah sepeda motor dan belasan sepeda angin, dengan puluhan hadiah hiburan. Tapi peserta begitu membludak. Belakangan saya tahu dari seorang panitia, sepuluh ribu tiket habis terjual. Dan panggung begitu meriah. Dengan penampilan para siswa SMADA yang unjuk kebolehan 'nge-band', pantomim, menyanyi, dan dipandu dua pembawa acara yang ramai. Diselang-seling dengan pengundian doorpize dan hadiah utama. Dalam sambutannya yang sempat saya dengar dari kejauhan tadi pagi, pakde Karwo mengungkapkan kebanggaannya. Bagaimana mungkin bisa mengumpulkan orang begini banyak. Saat ini, saya mendengar lagi ungkapan kebanggaan dan takjub itu dari Gus Ipul dan bapak Wabup. Ikatan alumni memang seharusnya tidak hanya mengurusi reuni, tapi melakukan banyak hal yang bisa lebih memberi manfaat bagi almamater dan masyarakat luas.      

Hari ini, ada ribuan alumni SMADA beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya berkumpul di sini. Lebur jadi satu dengan masyarakat Tuban dan sekitarnya. Memberikan keceriaan dan kesehatan bagi jiwa dan raga. Memberi warna indah pada persaudaraan dan persahabatan. Saya mungkin bukanlah siapa-siapa di antara ribuan orang ini. Saya mungkin juga tidak menyumbang apa pun pada keberhasilan kegiatan ini. Tapi saya ingin mengucapkan rasa terimakasih saya pada kawan-kawan saya yang telah bekerja sangat keras demi terselenggaranya acara ini, dan juga banyak acara yang lain. Mas Agus, mas Esa, mas Sur, mas Agung, mbak Arina, pak Yasin, dan semuanya yang tidak mungkin saya sebut, juga kepala sekolah SMADA, juga guru-guru kami, terimakasih.

Saya bangga menjadi bagian dari IKASMADA.

Tuban, 9 Desember 2012
LN 

Sabtu, 08 Desember 2012

Seminar Pendidikan: PPG Lagi...

Pagi sampai siang tadi saya diundang sebagai pembicara seminar di Gedung I FIS Unesa. Penyelenggaranya adalah Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan PPKN. Saya ditandemkan dengan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur dan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur. Tema seminar yaitu 'Eksistensi LPTK dengan Adanya Kebijakan PPG'.

Saya disambut oleh ibu Listyaningsih, pembina BEM PPKN. Begitu memasuki ruang seminar, saya langsung merasakan aroma penuh semangat, baik dari panitia maupun para peserta. Lebih-lebih ketika ketua panitia menyampaikan laporannya, dilanjutkan dengan sambutan Ketua BEM dan sambutan Ketua Jurusan. Tepuk tangan riuh rendah menggema setiap kali ada pernyataan-pernyataan yang 'cocok' dengan pikiran-pikiran mereka. Bahwa PPG seharusnya hanya untuk lulusan LPTK, bahwa mestinya semua lulusan LPTK tidak perlu lagi mengikuti PPG, dan bahwa profesi guru adalah bagi orang-orang yang sejak awal hatinya sudah terpanggil sebagai guru dan oleh sebab itu seharusnya hanya untuk lulusan LPTK. Juga, menurut versi mereka, pada UU Sisdiknas maupun UUGD-pun tidak pernah ada istilah PPG, yang ada hanyalah istilah sertifikasi. Rupanya saya sedang berada di antara beberapa tokoh unjuk rasa PPG di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Selain juga sedang berada di antara para mahasiswa yang memang benar-benar ingin memahami PPG dengan berbagai seluk-beluknya. 

Oleh karena bapak Sulistiyanto Soeyoso, ketua Dewan Pendidikan Jatim dan bapak Herry Bagus yang mewakili Dr. Harun belum hadir, maka saya diberi waktu untuk presentasi lebih dulu. Moderatornya, Wahyu, saya goda kalau dia lebih cocok jadi provokator daripada jadi moderator. Dia tertawa saja. 

Apa yang saya sampaikan lebih banyak sebagai klarifikasi atas pemahaman mereka yang belum utuh mengenai PPG. Saya katakan bahwa pada berbagai hal saya sepaham dengan pikiran mereka. Di sisi lain, mereka juga harus melihat fakta. Lulusan LPTK yang jumlahnya luar biasa setiap tahunnya, dan sebagian besar dari mereka tidak dihasilkan dari LPTK yang bermutu. Fakta bahwa LPTK belum mampu menghasilkan guru di semua bidang yang dibutuhkan di lapangan. Juga pemahaman terhadap istilah sertifikasi, yang hanya dipahami lewat jalur PLPG, tentulah itu pemahaman yang kurang tepat. Sertifikasi juga bisa ditempuh melalui PPG dengan berbagai bentuk penyelenggaraannya.  

Saya sangat beruntung siang ini bisa bergabung dengan pak Sulistyanto dan pak Herry Bagus. Hampir semua pikiran pak Sulis sejalan dengan pikiran-pikiran saya. Beliau memulai presentasinya dengan mengajak kita semua bicara tentang Indonesia. Peran apa yang bisa kita ambil supaya Indonesia menjadi lebih baik. Unesa adalah universitas yang sangat kecil. UI adalah universitas yang sangat kecil. MIT dan semua universitas terkenal di dunia ini adalah universitas yang kecil. Kita semua sedang ada di universitas yang sangat besar, yaitu universitas kehidupan. Di universitas ini, setiap kita adalah guru. Kurikulum kita sendirilah yang menentukan. Tergantung kurikulum yang kita buat itu ketat atau tidak. Kalau ketat, kita akan menjadi someone. Kalau tidak ketat, kita akan menjadi noone. Bedanya, someone itu do something, dan noone itu do nothing.

Pak Sulis yang nyentrik itu juga menambahkan bahwa faktor keunggulan bangsa ke depan tidak lagi ditentukan oleh teknologi, tetapi oleh mental dan karakteristik kita, letak dan kondisi geografis, renik-renik kebudayaan, dan keunikan ekologis. Semua hal ini kalau dikembangkan dengan baik akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang unggul karena hal-hal tersebut tidak bisa direproduksi dan diduplikasi. Sayang sekali kebijakan kita tidak mengarah kepada pengembangan keempat hal tersebut.

Ketika bicara tentang pentingnya kewirausahaan, pak Sulis secara bercanda melontarkan ide, seharusnya ijazah sarjana diubah. Ijazah sebaiknya dibuat dari batu, ukurannya 1 meter kali 2 meter, biar tidak bisa dibawa ke mana-mana untuk difotokopi dan dilegalisir serta digunakan melamar pekerjaan, termasuk menjadi pegawai negeri sipil. He he, geli juga dengan ide konyolnya itu.

Bangsa ini membutuhkan orang-orang yang bermental baja untuk bisa membangkitkan keindonesiaan. Maka kita harus jujur. Pendidikan kita harus dirombak. Kurikulum dibuat sebagus apa pun, kalau UN tetap seperti ini, maka kurikulum itu tidak ada gunanya. Pendidikan hanya menghasilkan orang-orang yang bertambah tua, tapi tidak bertambah dewasa.

Pada sesi tanya jawab, saya dicecar dengan berbagai pertanyaan seputar PPG. Salah seorang peserta, Zaim namanya, dari jurusan Pendidikan Sendratasik, bertanya dengan suara keras dan berapi-api. Kata-katanya tajam. Tubuh kecilnya itu seperti mau meledak ketika dia menyampaikan ketidaksetujuannya pada konsep PPG. Saya senang dengan pikiran-pikiran kritisnya. Sayang sang seniman itu tidak mudah dipuaskan. Waktu tidak cukup kalau hanya untuk melayani dia. Maka saya janjikan saya akan 'memberinya kepuasan' di luar forum. He he.... 

Surabaya, 8 Desember 2012

Wassalam,
LN

Senin, 03 Desember 2012

Puisi Ultah untuk Mas Ayik

Puisi Ultah untukmu

Mungkin hanya sederet puisi
Sebagai saksi hari ini
Saat pagi menyibak hari
Dan matahari melumat bumi
Menghimpun semua asa di hati

Duhai, kasih
Cintaku seputih kapas
Selembut sutra
Sewangi mawar
Seelok purnama
Seluas samudra
Seindah semesta

Rinduku adalah malam 
yang menunggu pagi
Kemarau panjang
yang menanti hujan
Rindu seorang pengelana
yang mengharap pulang

Adalah padang gersang 
yang luas menghampar
Akulah sang musafir
Dan kau oase berlimpah air
Tak sekedar pelepas dahagaku
Juga pembasuh sekujur jiwaku

Simpanlah hatimu hanya untukku
Biar bisa kulalui setiap malamku bersamamu
Genggamlah rindumu hanya untukku
Biar bisa kujalani sepanjang waktu selalu di sisimu
Selalu
Tak lekang oleh waktu
Tak aus oleh ragu
Tak pupus karena jemu

Selamat ultah, kekasih
Segala yang terbaik untukmu
Senantiasa kumohonkan
dari Yang Maha Kasih

Surabaya, 4 Desember 2012

Sabtu, 01 Desember 2012

Membaca Itu Membebaskan

Pagi ini saya bersiap-siap berangkat ke Yogyakarta untuk menghadiri rapat koordinasi persiapan PPG. Seperti biasa, setiap kali saya pergi ke luar kota, saya selalu berusaha membawa satu dua buku untuk saya baca selama di perjalanan, ketika menunggu waktu sebelum masuk pesawat, di dalam pesawat, atau sekedar untuk bacaan menjelang tidur selepas kerja yang biasanya sampai larut malam.

Kebetulan ada belasan buku yang saya beli dan belum sempat saya baca. Sebagian besar adalah buku-buku tentang pendidikan dan kewirausahaan bidang boga. Sebagian lagi buku-buku yang mungkin tidak secara langsung berhubungan dengan bidang saya, antara lain buku serial keterampilan intelektual: Writing without Teachers, How to Read a Book, dan Program Paedia Silabus Pendidikan Humanistik. Juga ada dua buku yang lain: John Dewey Pendidikan Dasar Berbasis Pengalaman, dan Mari Berbincang Bersama Platon. Setelah sekilas mencermati buku-buku baru tapi terbitan lama itu (tahun 2011 dan sebelumnya), akhirnya saya memutuskan membawa 'Writing without Teachers' yang ditulis oleh Peter Elbow serta diberi pengantar oleh Radhar Panca Dahana dan Donny Gahral Adian.

Nampaknya buku ini menarik. Dalam catatan penerbit dikatakan, 'Writing without Teachers' memiliki dua makna. Pertama, mengenalkan 'cara menulis yang jauh lebih mudah dan menggairahkan', karena membebaskan Anda dari segala aturan dan syarat yang biasa diberikan para guru. Segala aturan yang justru tidak berfungsi sebagai pengarah langkah, tetapi malam menjadi pemasung gerak kita. Sangat banyak siswa dan mahasiswa yang tak pernah mampu menulis justru karena dari awal sudah dibelenggu segala aturan, harus begini dan begitu.

Kedua, buku ini sangat praktis. Dengan buku ini, belajar menulis secara benar sudah bisa langsung dimulai dan terus ditingkatkan dengan 'membentuk kelompok tanpa guru'. Tak perlu menunggu untuk menemukan guru atau pembimbing khusus baru memulainya. Tak perlu menunggu kapan di sekolah akan dibuka kelas khusus atau ekskul buat belajar menulis. Tak perlu menunggu kapan di dekat rumah akan dibuka sanggar belajar menulis, Anda bisa membentuk sanggar itu sendiri bersama beberapa teman Anda. Ya, Anda bisa membentuk 'kelompok menulis tanpa guru'.

Dalam pengantarnya, Radhar Panca Dahana memastikan bahwa menulis bukan lagi sebuah kerja elite, sulit, mahal, dan artifisial sebagaimana mulanya. Menulis kini adalah sebuah kerja 'alamiah', seperti kita minum, tidur, beranak, bersenandung, atau mencoret-coret gambar. Ia adalah suatu kebutuhan dasar. Ia adalah ukuran adab dan kebudayaan. Dan manusia terhisap di dalamnya. Manusia harus bisa menulis, bahkan menjadi penulis, begitu klaim Radhar.

Apa yang coba dijabarkan Elbow, penulis buku ini, bukan sebuah definisi tentang tulisan bagus dan buruk, namun lebih pada usaha untuk menemukan cara yang lebih baik untuk memahami tulisan bagus dan baik yang ada di sekeliling kita. Dalam proses nirguru ini Elbow menawarkan gagasan tentang 'freewriting'. Sebuah proses yang langsung mendahulukan praksis menulis bebas ketimbang proses yang umum digunakan: memulai dengan outline dan editing. Menulis bebas ini sederhana, semacam disiplin kecil untuk tiap hari menulis tanpa henti selama 10 menit. Bukan untuk menghasilkan tulisan bagus tetapi sekadar menulis tanpa prosedur sensor dan editing. 'Tak perlu melihat ke belakang lagi, tak ragu melanggar aturan, tak peduli bagaimana ejaan atau bahkan memikirkan apa yang tengah kamu kerjakan'. Satu-satunya aturan: jangan berhenti menulis.

Di ujung kata pengantarnya yang berjudul 'Metabolisme Tulisan' itu, budayawan Radhar meyakinkan bahwa jasa Elbow akan terasa benar bila kita melihat kerja menulis sebagai suatu 'proyek untuk terus memperbaiki diri, proyek mengoptimalisasi potensi diri, proyek menjadi manusia yang maksimum'. Kerja menulis akan selalu menempatkan kita dalam level atau derajat kemanusiaan yang lebih tinggi. Maka, lanjut Radhar, setelah kata pertama dalam kitab suci, 'Iqra' atau 'bacalah', tak buruk sama sekali bila moral Elbow pun kita serukan sebagai lanjutannya: 'menulislah.'

Senada dengan Radhar, Donny Gahral Adian bahkan mengatakan menulis adalah 'proklamasi kemerdekaan dari aturan'. Kolonialisme rezim aturan bisa melumpuhkan pikiran. Padahal, menulis adalah menuangkan pikiran, bukan aturan. Aturan adalah fasilitas kebudayaan yang menampik kejanggalan. Kejanggalan adalah awal mula kreativitas. Orang yang menabrak aturan gramatika atau sosial dalam menulis jangan buru-buru dipinggirkan. Ia adalah orang yang sedang bertumbuh kreativitasnya dan membuka pintu pengalaman selebar-lebarnya.

Donny yang seorang penulis dan dosen filsafat UI itu menegaskan bahwa kita harus percaya gagasan kita adalah tunas yang bisa tumbuh menjadi besar dan menarik. Kita harus bisa menulis di jalan bebas hambatan, melaju kencang tanpa rambu-rambu dan membiarkan pengalaman menjadi soko guru satu-satunya.

Saat ini saya sedang berada di ruang tunggu bandara Juanda. Saya baru bisa melakukan 'super scan' saja pada buku yang menurut saya sangat menarik ini. Buku yang pada 2011 merupakan cetakan kedua ini (cetakan pertama tahun 2007) berturut-turut menuturkan tentang latihan menulis bebas, proses menulis--bertumbuh, proses menulis--menggodok, kelas menulis tanpa guru dan gagasan kelas menulis tanpa guru. Sangat mungkin saya akan banyak setuju dengan apa yang ditulis Peter Elbow ini, meskipun--berdasarkan pengalaman saya yang belum banyak dalam urusan tulis-menulis ini--memahami 'aturan' menulis tetaplah perlu. Bolehlah pada awalnya kita 'merdeka dalam menulis', namun pemahaman kita pada aturan menulis akan semakin meningkatkan kemampuan menulis kita.

Btw, saya sebenarnya agak dongkol karena pesawat Wings Air yang harusnya menerbangkan saya pada pukul 11.10 tadi sudah terbang duluan. Saya terpaksa diterbangkan dengan pesawat lain pada pukul 13-an karena alasan ada kesalahan seat. Padahal seharusnya saya hadir di Inna Garuda pada pukul 14.00. Mbuh, apa maksudnya kesalahan seat itu. Tapi paling tidak, dalam kedongkolan saya, saat ini saya bisa memanfaatkan waktu untuk menulis bebas seperti sekarang ini. Sampai akhirnya hilanglah rasa dongkol saya. Menulis memang membebaskan. Setidaknya membebaskan dari rasa dongkol... He he

Awal Desember 2012

Wassalam,
LN
(Baru saja mendarat di bandara Adisucipto Yogyakarta)