Pages

Sabtu, 01 Desember 2012

Membaca Itu Membebaskan

Pagi ini saya bersiap-siap berangkat ke Yogyakarta untuk menghadiri rapat koordinasi persiapan PPG. Seperti biasa, setiap kali saya pergi ke luar kota, saya selalu berusaha membawa satu dua buku untuk saya baca selama di perjalanan, ketika menunggu waktu sebelum masuk pesawat, di dalam pesawat, atau sekedar untuk bacaan menjelang tidur selepas kerja yang biasanya sampai larut malam.

Kebetulan ada belasan buku yang saya beli dan belum sempat saya baca. Sebagian besar adalah buku-buku tentang pendidikan dan kewirausahaan bidang boga. Sebagian lagi buku-buku yang mungkin tidak secara langsung berhubungan dengan bidang saya, antara lain buku serial keterampilan intelektual: Writing without Teachers, How to Read a Book, dan Program Paedia Silabus Pendidikan Humanistik. Juga ada dua buku yang lain: John Dewey Pendidikan Dasar Berbasis Pengalaman, dan Mari Berbincang Bersama Platon. Setelah sekilas mencermati buku-buku baru tapi terbitan lama itu (tahun 2011 dan sebelumnya), akhirnya saya memutuskan membawa 'Writing without Teachers' yang ditulis oleh Peter Elbow serta diberi pengantar oleh Radhar Panca Dahana dan Donny Gahral Adian.

Nampaknya buku ini menarik. Dalam catatan penerbit dikatakan, 'Writing without Teachers' memiliki dua makna. Pertama, mengenalkan 'cara menulis yang jauh lebih mudah dan menggairahkan', karena membebaskan Anda dari segala aturan dan syarat yang biasa diberikan para guru. Segala aturan yang justru tidak berfungsi sebagai pengarah langkah, tetapi malam menjadi pemasung gerak kita. Sangat banyak siswa dan mahasiswa yang tak pernah mampu menulis justru karena dari awal sudah dibelenggu segala aturan, harus begini dan begitu.

Kedua, buku ini sangat praktis. Dengan buku ini, belajar menulis secara benar sudah bisa langsung dimulai dan terus ditingkatkan dengan 'membentuk kelompok tanpa guru'. Tak perlu menunggu untuk menemukan guru atau pembimbing khusus baru memulainya. Tak perlu menunggu kapan di sekolah akan dibuka kelas khusus atau ekskul buat belajar menulis. Tak perlu menunggu kapan di dekat rumah akan dibuka sanggar belajar menulis, Anda bisa membentuk sanggar itu sendiri bersama beberapa teman Anda. Ya, Anda bisa membentuk 'kelompok menulis tanpa guru'.

Dalam pengantarnya, Radhar Panca Dahana memastikan bahwa menulis bukan lagi sebuah kerja elite, sulit, mahal, dan artifisial sebagaimana mulanya. Menulis kini adalah sebuah kerja 'alamiah', seperti kita minum, tidur, beranak, bersenandung, atau mencoret-coret gambar. Ia adalah suatu kebutuhan dasar. Ia adalah ukuran adab dan kebudayaan. Dan manusia terhisap di dalamnya. Manusia harus bisa menulis, bahkan menjadi penulis, begitu klaim Radhar.

Apa yang coba dijabarkan Elbow, penulis buku ini, bukan sebuah definisi tentang tulisan bagus dan buruk, namun lebih pada usaha untuk menemukan cara yang lebih baik untuk memahami tulisan bagus dan baik yang ada di sekeliling kita. Dalam proses nirguru ini Elbow menawarkan gagasan tentang 'freewriting'. Sebuah proses yang langsung mendahulukan praksis menulis bebas ketimbang proses yang umum digunakan: memulai dengan outline dan editing. Menulis bebas ini sederhana, semacam disiplin kecil untuk tiap hari menulis tanpa henti selama 10 menit. Bukan untuk menghasilkan tulisan bagus tetapi sekadar menulis tanpa prosedur sensor dan editing. 'Tak perlu melihat ke belakang lagi, tak ragu melanggar aturan, tak peduli bagaimana ejaan atau bahkan memikirkan apa yang tengah kamu kerjakan'. Satu-satunya aturan: jangan berhenti menulis.

Di ujung kata pengantarnya yang berjudul 'Metabolisme Tulisan' itu, budayawan Radhar meyakinkan bahwa jasa Elbow akan terasa benar bila kita melihat kerja menulis sebagai suatu 'proyek untuk terus memperbaiki diri, proyek mengoptimalisasi potensi diri, proyek menjadi manusia yang maksimum'. Kerja menulis akan selalu menempatkan kita dalam level atau derajat kemanusiaan yang lebih tinggi. Maka, lanjut Radhar, setelah kata pertama dalam kitab suci, 'Iqra' atau 'bacalah', tak buruk sama sekali bila moral Elbow pun kita serukan sebagai lanjutannya: 'menulislah.'

Senada dengan Radhar, Donny Gahral Adian bahkan mengatakan menulis adalah 'proklamasi kemerdekaan dari aturan'. Kolonialisme rezim aturan bisa melumpuhkan pikiran. Padahal, menulis adalah menuangkan pikiran, bukan aturan. Aturan adalah fasilitas kebudayaan yang menampik kejanggalan. Kejanggalan adalah awal mula kreativitas. Orang yang menabrak aturan gramatika atau sosial dalam menulis jangan buru-buru dipinggirkan. Ia adalah orang yang sedang bertumbuh kreativitasnya dan membuka pintu pengalaman selebar-lebarnya.

Donny yang seorang penulis dan dosen filsafat UI itu menegaskan bahwa kita harus percaya gagasan kita adalah tunas yang bisa tumbuh menjadi besar dan menarik. Kita harus bisa menulis di jalan bebas hambatan, melaju kencang tanpa rambu-rambu dan membiarkan pengalaman menjadi soko guru satu-satunya.

Saat ini saya sedang berada di ruang tunggu bandara Juanda. Saya baru bisa melakukan 'super scan' saja pada buku yang menurut saya sangat menarik ini. Buku yang pada 2011 merupakan cetakan kedua ini (cetakan pertama tahun 2007) berturut-turut menuturkan tentang latihan menulis bebas, proses menulis--bertumbuh, proses menulis--menggodok, kelas menulis tanpa guru dan gagasan kelas menulis tanpa guru. Sangat mungkin saya akan banyak setuju dengan apa yang ditulis Peter Elbow ini, meskipun--berdasarkan pengalaman saya yang belum banyak dalam urusan tulis-menulis ini--memahami 'aturan' menulis tetaplah perlu. Bolehlah pada awalnya kita 'merdeka dalam menulis', namun pemahaman kita pada aturan menulis akan semakin meningkatkan kemampuan menulis kita.

Btw, saya sebenarnya agak dongkol karena pesawat Wings Air yang harusnya menerbangkan saya pada pukul 11.10 tadi sudah terbang duluan. Saya terpaksa diterbangkan dengan pesawat lain pada pukul 13-an karena alasan ada kesalahan seat. Padahal seharusnya saya hadir di Inna Garuda pada pukul 14.00. Mbuh, apa maksudnya kesalahan seat itu. Tapi paling tidak, dalam kedongkolan saya, saat ini saya bisa memanfaatkan waktu untuk menulis bebas seperti sekarang ini. Sampai akhirnya hilanglah rasa dongkol saya. Menulis memang membebaskan. Setidaknya membebaskan dari rasa dongkol... He he

Awal Desember 2012

Wassalam,
LN
(Baru saja mendarat di bandara Adisucipto Yogyakarta)

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...