Pagi ini saya bersiap-siap berangkat ke Yogyakarta untuk menghadiri
rapat koordinasi persiapan PPG. Seperti biasa, setiap kali saya pergi ke
luar kota, saya selalu berusaha membawa satu dua buku untuk saya baca
selama di perjalanan, ketika menunggu waktu sebelum masuk pesawat, di
dalam pesawat, atau sekedar untuk bacaan menjelang tidur selepas kerja
yang biasanya sampai larut malam.
Kebetulan ada belasan buku
yang saya beli dan belum sempat saya baca. Sebagian besar adalah
buku-buku tentang pendidikan dan kewirausahaan bidang boga. Sebagian
lagi buku-buku yang mungkin tidak secara langsung berhubungan dengan
bidang saya, antara lain buku serial keterampilan intelektual: Writing
without Teachers, How to Read a Book, dan Program Paedia Silabus
Pendidikan Humanistik. Juga ada dua buku yang lain: John Dewey
Pendidikan Dasar Berbasis Pengalaman, dan Mari Berbincang Bersama
Platon. Setelah sekilas mencermati buku-buku baru tapi terbitan lama itu
(tahun 2011 dan sebelumnya), akhirnya saya memutuskan membawa 'Writing
without Teachers' yang ditulis oleh Peter Elbow serta diberi pengantar
oleh Radhar Panca Dahana dan Donny Gahral Adian.
Nampaknya buku
ini menarik. Dalam catatan penerbit dikatakan, 'Writing without
Teachers' memiliki dua makna. Pertama, mengenalkan 'cara menulis yang
jauh lebih mudah dan menggairahkan', karena membebaskan Anda dari segala
aturan dan syarat yang biasa diberikan para guru. Segala aturan yang
justru tidak berfungsi sebagai pengarah langkah, tetapi malam menjadi
pemasung gerak kita. Sangat banyak siswa dan mahasiswa yang tak pernah
mampu menulis justru karena dari awal sudah dibelenggu segala aturan,
harus begini dan begitu.
Kedua, buku ini sangat praktis. Dengan
buku ini, belajar menulis secara benar sudah bisa langsung dimulai dan
terus ditingkatkan dengan 'membentuk kelompok tanpa guru'. Tak perlu
menunggu untuk menemukan guru atau pembimbing khusus baru memulainya.
Tak perlu menunggu kapan di sekolah akan dibuka kelas khusus atau ekskul
buat belajar menulis. Tak perlu menunggu kapan di dekat rumah akan
dibuka sanggar belajar menulis, Anda bisa membentuk sanggar itu sendiri
bersama beberapa teman Anda. Ya, Anda bisa membentuk 'kelompok menulis
tanpa guru'.
Dalam pengantarnya, Radhar Panca Dahana memastikan
bahwa menulis bukan lagi sebuah kerja elite, sulit, mahal, dan
artifisial sebagaimana mulanya. Menulis kini adalah sebuah kerja
'alamiah', seperti kita minum, tidur, beranak, bersenandung, atau
mencoret-coret gambar. Ia adalah suatu kebutuhan dasar. Ia adalah ukuran
adab dan kebudayaan. Dan manusia terhisap di dalamnya. Manusia harus
bisa menulis, bahkan menjadi penulis, begitu klaim Radhar.
Apa
yang coba dijabarkan Elbow, penulis buku ini, bukan sebuah definisi
tentang tulisan bagus dan buruk, namun lebih pada usaha untuk menemukan
cara yang lebih baik untuk memahami tulisan bagus dan baik yang ada di
sekeliling kita. Dalam proses nirguru ini Elbow menawarkan gagasan
tentang 'freewriting'. Sebuah proses yang langsung mendahulukan praksis
menulis bebas ketimbang proses yang umum digunakan: memulai dengan
outline dan editing. Menulis bebas ini sederhana, semacam disiplin kecil
untuk tiap hari menulis tanpa henti selama 10 menit. Bukan untuk
menghasilkan tulisan bagus tetapi sekadar menulis tanpa prosedur sensor
dan editing. 'Tak perlu melihat ke belakang lagi, tak ragu melanggar
aturan, tak peduli bagaimana ejaan atau bahkan memikirkan apa yang
tengah kamu kerjakan'. Satu-satunya aturan: jangan berhenti menulis.
Di
ujung kata pengantarnya yang berjudul 'Metabolisme Tulisan' itu,
budayawan Radhar meyakinkan bahwa jasa Elbow akan terasa benar bila kita
melihat kerja menulis sebagai suatu 'proyek untuk terus memperbaiki
diri, proyek mengoptimalisasi potensi diri, proyek menjadi manusia yang
maksimum'. Kerja menulis akan selalu menempatkan kita dalam level atau
derajat kemanusiaan yang lebih tinggi. Maka, lanjut Radhar, setelah kata
pertama dalam kitab suci, 'Iqra' atau 'bacalah', tak buruk sama sekali
bila moral Elbow pun kita serukan sebagai lanjutannya: 'menulislah.'
Senada
dengan Radhar, Donny Gahral Adian bahkan mengatakan menulis adalah
'proklamasi kemerdekaan dari aturan'. Kolonialisme rezim aturan bisa
melumpuhkan pikiran. Padahal, menulis adalah menuangkan pikiran, bukan
aturan. Aturan adalah fasilitas kebudayaan yang menampik kejanggalan.
Kejanggalan adalah awal mula kreativitas. Orang yang menabrak aturan
gramatika atau sosial dalam menulis jangan buru-buru dipinggirkan. Ia
adalah orang yang sedang bertumbuh kreativitasnya dan membuka pintu
pengalaman selebar-lebarnya.
Donny yang seorang penulis dan
dosen filsafat UI itu menegaskan bahwa kita harus percaya gagasan kita
adalah tunas yang bisa tumbuh menjadi besar dan menarik. Kita harus bisa
menulis di jalan bebas hambatan, melaju kencang tanpa rambu-rambu dan
membiarkan pengalaman menjadi soko guru satu-satunya.
Saat ini
saya sedang berada di ruang tunggu bandara Juanda. Saya baru bisa
melakukan 'super scan' saja pada buku yang menurut saya sangat menarik
ini. Buku yang pada 2011 merupakan cetakan kedua ini (cetakan pertama
tahun 2007) berturut-turut menuturkan tentang latihan menulis bebas,
proses menulis--bertumbuh, proses menulis--menggodok, kelas menulis
tanpa guru dan gagasan kelas menulis tanpa guru. Sangat mungkin saya
akan banyak setuju dengan apa yang ditulis Peter Elbow ini,
meskipun--berdasarkan pengalaman saya yang belum banyak dalam urusan
tulis-menulis ini--memahami 'aturan' menulis tetaplah perlu. Bolehlah
pada awalnya kita 'merdeka dalam menulis', namun pemahaman kita pada
aturan menulis akan semakin meningkatkan kemampuan menulis kita.
Btw,
saya sebenarnya agak dongkol karena pesawat Wings Air yang harusnya
menerbangkan saya pada pukul 11.10 tadi sudah terbang duluan. Saya
terpaksa diterbangkan dengan pesawat lain pada pukul 13-an karena alasan
ada kesalahan seat. Padahal seharusnya saya hadir di Inna Garuda pada
pukul 14.00. Mbuh, apa maksudnya kesalahan seat itu. Tapi paling tidak,
dalam kedongkolan saya, saat ini saya bisa memanfaatkan waktu untuk
menulis bebas seperti sekarang ini. Sampai akhirnya hilanglah rasa
dongkol saya. Menulis memang membebaskan. Setidaknya membebaskan dari
rasa dongkol... He he
Awal Desember 2012
Wassalam,
LN
(Baru saja mendarat di bandara Adisucipto Yogyakarta)
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...