Pages

Sabtu, 08 Desember 2012

Seminar Pendidikan: PPG Lagi...

Pagi sampai siang tadi saya diundang sebagai pembicara seminar di Gedung I FIS Unesa. Penyelenggaranya adalah Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan PPKN. Saya ditandemkan dengan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur dan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur. Tema seminar yaitu 'Eksistensi LPTK dengan Adanya Kebijakan PPG'.

Saya disambut oleh ibu Listyaningsih, pembina BEM PPKN. Begitu memasuki ruang seminar, saya langsung merasakan aroma penuh semangat, baik dari panitia maupun para peserta. Lebih-lebih ketika ketua panitia menyampaikan laporannya, dilanjutkan dengan sambutan Ketua BEM dan sambutan Ketua Jurusan. Tepuk tangan riuh rendah menggema setiap kali ada pernyataan-pernyataan yang 'cocok' dengan pikiran-pikiran mereka. Bahwa PPG seharusnya hanya untuk lulusan LPTK, bahwa mestinya semua lulusan LPTK tidak perlu lagi mengikuti PPG, dan bahwa profesi guru adalah bagi orang-orang yang sejak awal hatinya sudah terpanggil sebagai guru dan oleh sebab itu seharusnya hanya untuk lulusan LPTK. Juga, menurut versi mereka, pada UU Sisdiknas maupun UUGD-pun tidak pernah ada istilah PPG, yang ada hanyalah istilah sertifikasi. Rupanya saya sedang berada di antara beberapa tokoh unjuk rasa PPG di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Selain juga sedang berada di antara para mahasiswa yang memang benar-benar ingin memahami PPG dengan berbagai seluk-beluknya. 

Oleh karena bapak Sulistiyanto Soeyoso, ketua Dewan Pendidikan Jatim dan bapak Herry Bagus yang mewakili Dr. Harun belum hadir, maka saya diberi waktu untuk presentasi lebih dulu. Moderatornya, Wahyu, saya goda kalau dia lebih cocok jadi provokator daripada jadi moderator. Dia tertawa saja. 

Apa yang saya sampaikan lebih banyak sebagai klarifikasi atas pemahaman mereka yang belum utuh mengenai PPG. Saya katakan bahwa pada berbagai hal saya sepaham dengan pikiran mereka. Di sisi lain, mereka juga harus melihat fakta. Lulusan LPTK yang jumlahnya luar biasa setiap tahunnya, dan sebagian besar dari mereka tidak dihasilkan dari LPTK yang bermutu. Fakta bahwa LPTK belum mampu menghasilkan guru di semua bidang yang dibutuhkan di lapangan. Juga pemahaman terhadap istilah sertifikasi, yang hanya dipahami lewat jalur PLPG, tentulah itu pemahaman yang kurang tepat. Sertifikasi juga bisa ditempuh melalui PPG dengan berbagai bentuk penyelenggaraannya.  

Saya sangat beruntung siang ini bisa bergabung dengan pak Sulistyanto dan pak Herry Bagus. Hampir semua pikiran pak Sulis sejalan dengan pikiran-pikiran saya. Beliau memulai presentasinya dengan mengajak kita semua bicara tentang Indonesia. Peran apa yang bisa kita ambil supaya Indonesia menjadi lebih baik. Unesa adalah universitas yang sangat kecil. UI adalah universitas yang sangat kecil. MIT dan semua universitas terkenal di dunia ini adalah universitas yang kecil. Kita semua sedang ada di universitas yang sangat besar, yaitu universitas kehidupan. Di universitas ini, setiap kita adalah guru. Kurikulum kita sendirilah yang menentukan. Tergantung kurikulum yang kita buat itu ketat atau tidak. Kalau ketat, kita akan menjadi someone. Kalau tidak ketat, kita akan menjadi noone. Bedanya, someone itu do something, dan noone itu do nothing.

Pak Sulis yang nyentrik itu juga menambahkan bahwa faktor keunggulan bangsa ke depan tidak lagi ditentukan oleh teknologi, tetapi oleh mental dan karakteristik kita, letak dan kondisi geografis, renik-renik kebudayaan, dan keunikan ekologis. Semua hal ini kalau dikembangkan dengan baik akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang unggul karena hal-hal tersebut tidak bisa direproduksi dan diduplikasi. Sayang sekali kebijakan kita tidak mengarah kepada pengembangan keempat hal tersebut.

Ketika bicara tentang pentingnya kewirausahaan, pak Sulis secara bercanda melontarkan ide, seharusnya ijazah sarjana diubah. Ijazah sebaiknya dibuat dari batu, ukurannya 1 meter kali 2 meter, biar tidak bisa dibawa ke mana-mana untuk difotokopi dan dilegalisir serta digunakan melamar pekerjaan, termasuk menjadi pegawai negeri sipil. He he, geli juga dengan ide konyolnya itu.

Bangsa ini membutuhkan orang-orang yang bermental baja untuk bisa membangkitkan keindonesiaan. Maka kita harus jujur. Pendidikan kita harus dirombak. Kurikulum dibuat sebagus apa pun, kalau UN tetap seperti ini, maka kurikulum itu tidak ada gunanya. Pendidikan hanya menghasilkan orang-orang yang bertambah tua, tapi tidak bertambah dewasa.

Pada sesi tanya jawab, saya dicecar dengan berbagai pertanyaan seputar PPG. Salah seorang peserta, Zaim namanya, dari jurusan Pendidikan Sendratasik, bertanya dengan suara keras dan berapi-api. Kata-katanya tajam. Tubuh kecilnya itu seperti mau meledak ketika dia menyampaikan ketidaksetujuannya pada konsep PPG. Saya senang dengan pikiran-pikiran kritisnya. Sayang sang seniman itu tidak mudah dipuaskan. Waktu tidak cukup kalau hanya untuk melayani dia. Maka saya janjikan saya akan 'memberinya kepuasan' di luar forum. He he.... 

Surabaya, 8 Desember 2012

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...