Idul Fitri selalu istimewa. Bagi siapa saja. Bagi tua-muda, miskin-kaya, pria-wanita. Anak-anak kecil menyambut idul fitri dengan sangat suka cita. Ada baju baru, kue-kue, dan uang baru. Orang-orang tua juga menyambut lebaran dengan sangat suka cita, menyiapkan kupat sayur, lontong cap gomeh, kue-kue, dan uang baru untuk dibagi-bagikan. Bahkan kaum dzuafa pun menyambut idul fitri dengan sangat suka cita, karena sangat mungkin mereka akan mendapatkan santunan sembako, kue-kue, baju, sarung, dan uang. Dan yang lebih penting, idul fitri adalah hari kemenangan bagi umat Islam, setelah mereka berpuasa sebulan penuh selama bulan Ramadhan. Hari di mana kita kembali fitri, suci bersih, seperti bayi yang baru lahir. Begitulah insyaallah, bila selama bulan Ramadhan kita beribadah dengan penuh keikhlasan dan semata-mata hanya mengharap ridha Allah Swt.
Idul Fitri tahun ini, begitu istimewa bagi kami sekeluarga. Mungkin termasuk yang paling istimewa di antara idul fitri yang sudah kami lalui. Idul Fitri tahun ini, yang jatuh pada 17 Juli 2015, bersamaan tepat dengan ulang tahun pernikahan kami yang ke-25. Orang bilang, pernikahan perak.
Kebetulan juga, ibu sebulan ini menempati rumah baru, rumah di samping rumah kami sekeluarga. Sengaja ibu kami boyong dari rumah Tanggulangin, supaya ibu bisa tinggal berdekatan dengan kami. Sejak berpulangnya Bapak sekitar setahun yang lalu, kami ingin ibu tinggal bersama kami. Alhamdulilah, Allah mendengar doa kami. Tetangga sebelah menjual rumahnya, dan syukurlah kami diberi kemudahan untuk membelinya. Jadilah ibu tinggal sangat dekat dengan kami. Sesuai dengan keinginan beliau, tinggal dekat dengan anak, tapi masih melakukan semuanya sendiri. Memasak, mencuci, bersih-bersih, semuanya tetap dilakukan sendiri. Ibu hobi memasak, menjahit, dan bertaman, dan beliau suka menghabiskan banyak waktunya untuk kegiatan itu.
Ibu menyiapkan tumpeng nasi kuning pagi ini dan melengkapinya dengan ayam lodho dan berbagai makanan lain. Bulik kami, Bulik Is Hariyadi, yang datang dari Jakarta dan sudah di rumah kami sejak pertengahan puasa yang lalu, sangat membantu persiapan ini-itu.
Selepas shalat eid, kami 'sungkem-sungkeman' ke ibu dan bulik Is Hariyadi. Adik kami, yang rumahnya di Gedangan, datang bersama anak semata wayangnya, Ichiro Bagaskara. Ramailah sudah rumah kami dengan tingkah polah Ichiro yang tidak mau diam. Ichiro, usianya tujuh tahun, adalah anak berkebutuhan khusus, yaitu down syndrom (DS). Namun, sebagai mana anak-anak pada umumnya, tingkah polahnya sungguh menggemaskan dan 'ngangeni'.
Sekitar pukul 10.00, tamu kami mulai berdatangan. Tamu kami, adalah para tetangga kiri-kanan yang sudah seperti saudara bagi kami. Sebagian besar mereka adalah penduduk asli Surabaya, dan memiliki kebiasaan 'unjung-unjung' selepas shalat eid. Tidak mudik ke mana-mana. Kalau pun ada yang mudik karena rumah mertuanya di luar kota, mereka biasanya berangkat malam hari.
Momen unjung-unjung itulah yang kami manfaatkan untuk merayakan hari ulang tahun pernikahan perak kami sekaligus memperkenalkan kehadiran ibu sebagai anggota baru di lingkungan kami. Tidak ada undangan khusus, tidak ada acara khusus. Ketika para tamu itu berkumpul, ibu memberikan sepatah dua patah kata, memohon doa restu mereka untuk kami sekeluarga. Lantas sebelum kami melengkapinya dengan pemotongan tumpeng kuning mungil itu, seorang tetangga kami, bapak Haji Abdul Rochim, kami minta untuk memimpin doa. Lalu kami semua menikmati makanan yang ada dengan suka cita, sambil beramah-tamah. Meski sederhana, rasanya acara ini sungguh berkesan.
Kalau ada tamu istimewa, mereka itu adalah Yuni dan anak-anaknya. Yuni, istri almarhum Mas Rukin, memang kemarin saya undang khusus melalui SMS, supaya dia dan anak-anak hadir untuk makan siang bersama. Tidak saya katakan kalau kami ada acara istimewa. Dia datang dengan dua anaknya, Chaca dan Lodi. Berbaju putih bersih, cantik-cantik dan cakep.
Selain para tetangga dan Yuni sekeluarga, ada juga beberapa alumni PPG SM-3T yang datang. Mereka memang saya minta datang bila memungkinkan. Saya bilang, "ibuku masak nasi kuning, tolong kalian bantu habiskan." Sebanyak empat orang datang mewakili teman-temannya yang semuanya repot, karena memang momen seperti ini semua orang pada repot.
Jadilah siang itu rumah kami ramai dengan para sahabat, tetangga dan kerabat. Kami menikmati bakso, nasi kuning, dan nasi ayam lodho pedas serta kue-kue dan es buah. Beberapa teman dari PPPG yang hadir, Bu Lucia dan Mbak Ety, ikut melengkapi kebahagiaan. Alhamdulilah. Semuanya berjalan lancar, semuanya senang, insyaallah berkah bagi semua.
Saat para tamu pulang, kami tidak memberikan apa-apa sebagai suvenir, kecuali sebuah buku berjudul 'Saya Hanya Seorang Ibu." Buku itulah kado untuk pernikahan perak kami. Sekedar sebagai tanda dan rasa syukur, karena Allah SWT sudah mengizinkan kami mengarungi bahtera rumah tangga yang penuh dengan cinta ini.
Inilah kata pengantar buku sederhana kami itu:
"Jumat, 17 Juli 1990. Saat matahari sudah mulai condong ke barat. Ya, sekitar pukul 15.00.
Saat itu, halaman rumah bapak Zawawi Chusain dan ibu Basjiroh di Jenu, Tuban, penuh dengan tumpah ruah para tetangga, sanak-saudara, dan para sahabat. Juga di dalam rumah. Nyaris tidak ada tempat longgar sejengkal pun. Mulai dari teras, ruang tengah, ruang keluarga, dapur, bahkan di halaman belakang.
Semua orang memenuhi setiap sudut. Dengan wajah-wajah yang cerah bahagia. Semua menyungging senyum. Mengucap selamat menempuh hidup baru pada dua sejoli yang telah menyatukan diri dalam sebuah pernikahan. Doa-doa berhamburan. Semerbak wangi bunga dan parfum berbaur dengan aroma makanan. Berbaur juga dengan alunan ayat suci Al Quran. Berbaur juga dengan mauidhoh hasanah. Berbaur juga dengan kata-kata bijak dari para wakil keluarga pengantin. Berbaur juga dengan kebahagiaan dan keharuan.
Dua sejoli yang sedang berbahagia itu, adalah Baskoro Adjie dan Luthfiyah Nurlaela. Senyum mereka, betapa indah, seindah busana yang mereka kenakan. Berkilau-kilau sorot mata mereka seperti kilauan manik-manik emas yang memenuhi setiap bagian tubuh, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Keindahan yang tak terkatakan, seperti keindahan yang melingkupi hati keduanya.
Dua puluh lima tahun yang lalu. Ya, 25 tahun. Seperti baru kemarin semuanya terjadi. Seperti baru kemarin saat dua sejoli itu duduk bersimpuh memohon doa restu bapak dan ibu tercinta. Seperti baru kemarin saat air mata bahagia dan haru mengaburkan pandangan. Satu di antara saat terindah dalam kehidupan, yang mungkin tak akan pernah terlupakan.
Dua puluh lima tahun yang lalu. Dan saat ini, ada sesosok pemuda tampan melengkapi kebahagiaan. Dialah M. Barok Argashabri Adji. Anak lelaki semata wayang yang menjadi tumpuan harapan. Dia adalah satu dari harta terindah dalam kehidupan, dan insyaallah akan menjadi salah satu sumber kebahagiaan bagi bapak ibunya, dunia akhirat.
Buku ini ditulis untuk menandai rasa syukur kami kepada Allah Yang Maha Mencintai, karena telah mengizinkan kami untuk mengarungi kehidupan ini dalam naungan pernikahan yang penuh cinta. Juga kami dedikasikan untuk ayah dan ibu kami, Bapak Nurhadi-Ibu Sri Lestari dan Bapak Zawawi Chusain-Ibu Basjiroh. Juga kami persembahkan untuk saudara-saudara kami terkasih: Mas Ib sekeluarga, Mas Zen sekeluarga, Mas Ipung sekeluarga, Dik Utik sekeluarga, Dik Hisyam sekeluarga, Iwuk sekeluarga, dan Dedi sekeluarga. Juga bagi orang-orang dekat yang tak terpisahkan dari sejarah hidup berumah tangga kami, salah satunya adalah Mbak Warsiyah sekeluarga. Tentu saja, bagi semua guru kami, sahabat kami, dan sanak-saudara kami yang lain. Juga, bagi Mas Rohman sekeluarga, yang selalu siap sedia mendukung dan membantu mewujudkan buku ini dan buku-buku kami yang lain.
Ya Allah, terimalah rasa syukur ini. Engkau telah memberi kami kebahagiaan yang begitu indah di dunia ini. Berikanlah kebahagiaan yang indah juga di akhirat kelak. Masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang pandai mensyukuri nikmat-Mu. Jangan biarkan kami menjadi orang yang ingkar akan semua kasih sayang-Mu. Berikan selalu taufiq dan hidayah-Mu, selalu jaga iman dan islam kami, selalu beri kekuatan, kesehatan, perlindungan, lahir dan batin untuk kami.
Ya Allah, berikan kami kebahagiaan dalam taqwa, islam, iman dan ihsan. Berikan kami kelapangan untuk selalu memohon pertolongan-Mu dengan salat dan sabar. Berikan kami usia panjang yang barakah, rezeki yang halal dan barakah, ilmu yang bermanfaat dan barakah. Berikan juga kami sekeluarga kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Amin Ya Rabbal Alamin."
Surabaya, 17 Juli 2015
Wassalam,
LN
Idul Fitri tahun ini, begitu istimewa bagi kami sekeluarga. Mungkin termasuk yang paling istimewa di antara idul fitri yang sudah kami lalui. Idul Fitri tahun ini, yang jatuh pada 17 Juli 2015, bersamaan tepat dengan ulang tahun pernikahan kami yang ke-25. Orang bilang, pernikahan perak.
Kebetulan juga, ibu sebulan ini menempati rumah baru, rumah di samping rumah kami sekeluarga. Sengaja ibu kami boyong dari rumah Tanggulangin, supaya ibu bisa tinggal berdekatan dengan kami. Sejak berpulangnya Bapak sekitar setahun yang lalu, kami ingin ibu tinggal bersama kami. Alhamdulilah, Allah mendengar doa kami. Tetangga sebelah menjual rumahnya, dan syukurlah kami diberi kemudahan untuk membelinya. Jadilah ibu tinggal sangat dekat dengan kami. Sesuai dengan keinginan beliau, tinggal dekat dengan anak, tapi masih melakukan semuanya sendiri. Memasak, mencuci, bersih-bersih, semuanya tetap dilakukan sendiri. Ibu hobi memasak, menjahit, dan bertaman, dan beliau suka menghabiskan banyak waktunya untuk kegiatan itu.
Ibu menyiapkan tumpeng nasi kuning pagi ini dan melengkapinya dengan ayam lodho dan berbagai makanan lain. Bulik kami, Bulik Is Hariyadi, yang datang dari Jakarta dan sudah di rumah kami sejak pertengahan puasa yang lalu, sangat membantu persiapan ini-itu.
Selepas shalat eid, kami 'sungkem-sungkeman' ke ibu dan bulik Is Hariyadi. Adik kami, yang rumahnya di Gedangan, datang bersama anak semata wayangnya, Ichiro Bagaskara. Ramailah sudah rumah kami dengan tingkah polah Ichiro yang tidak mau diam. Ichiro, usianya tujuh tahun, adalah anak berkebutuhan khusus, yaitu down syndrom (DS). Namun, sebagai mana anak-anak pada umumnya, tingkah polahnya sungguh menggemaskan dan 'ngangeni'.
Sekitar pukul 10.00, tamu kami mulai berdatangan. Tamu kami, adalah para tetangga kiri-kanan yang sudah seperti saudara bagi kami. Sebagian besar mereka adalah penduduk asli Surabaya, dan memiliki kebiasaan 'unjung-unjung' selepas shalat eid. Tidak mudik ke mana-mana. Kalau pun ada yang mudik karena rumah mertuanya di luar kota, mereka biasanya berangkat malam hari.
Momen unjung-unjung itulah yang kami manfaatkan untuk merayakan hari ulang tahun pernikahan perak kami sekaligus memperkenalkan kehadiran ibu sebagai anggota baru di lingkungan kami. Tidak ada undangan khusus, tidak ada acara khusus. Ketika para tamu itu berkumpul, ibu memberikan sepatah dua patah kata, memohon doa restu mereka untuk kami sekeluarga. Lantas sebelum kami melengkapinya dengan pemotongan tumpeng kuning mungil itu, seorang tetangga kami, bapak Haji Abdul Rochim, kami minta untuk memimpin doa. Lalu kami semua menikmati makanan yang ada dengan suka cita, sambil beramah-tamah. Meski sederhana, rasanya acara ini sungguh berkesan.
Kalau ada tamu istimewa, mereka itu adalah Yuni dan anak-anaknya. Yuni, istri almarhum Mas Rukin, memang kemarin saya undang khusus melalui SMS, supaya dia dan anak-anak hadir untuk makan siang bersama. Tidak saya katakan kalau kami ada acara istimewa. Dia datang dengan dua anaknya, Chaca dan Lodi. Berbaju putih bersih, cantik-cantik dan cakep.
Selain para tetangga dan Yuni sekeluarga, ada juga beberapa alumni PPG SM-3T yang datang. Mereka memang saya minta datang bila memungkinkan. Saya bilang, "ibuku masak nasi kuning, tolong kalian bantu habiskan." Sebanyak empat orang datang mewakili teman-temannya yang semuanya repot, karena memang momen seperti ini semua orang pada repot.
Jadilah siang itu rumah kami ramai dengan para sahabat, tetangga dan kerabat. Kami menikmati bakso, nasi kuning, dan nasi ayam lodho pedas serta kue-kue dan es buah. Beberapa teman dari PPPG yang hadir, Bu Lucia dan Mbak Ety, ikut melengkapi kebahagiaan. Alhamdulilah. Semuanya berjalan lancar, semuanya senang, insyaallah berkah bagi semua.
Saat para tamu pulang, kami tidak memberikan apa-apa sebagai suvenir, kecuali sebuah buku berjudul 'Saya Hanya Seorang Ibu." Buku itulah kado untuk pernikahan perak kami. Sekedar sebagai tanda dan rasa syukur, karena Allah SWT sudah mengizinkan kami mengarungi bahtera rumah tangga yang penuh dengan cinta ini.
Inilah kata pengantar buku sederhana kami itu:
"Jumat, 17 Juli 1990. Saat matahari sudah mulai condong ke barat. Ya, sekitar pukul 15.00.
Saat itu, halaman rumah bapak Zawawi Chusain dan ibu Basjiroh di Jenu, Tuban, penuh dengan tumpah ruah para tetangga, sanak-saudara, dan para sahabat. Juga di dalam rumah. Nyaris tidak ada tempat longgar sejengkal pun. Mulai dari teras, ruang tengah, ruang keluarga, dapur, bahkan di halaman belakang.
Semua orang memenuhi setiap sudut. Dengan wajah-wajah yang cerah bahagia. Semua menyungging senyum. Mengucap selamat menempuh hidup baru pada dua sejoli yang telah menyatukan diri dalam sebuah pernikahan. Doa-doa berhamburan. Semerbak wangi bunga dan parfum berbaur dengan aroma makanan. Berbaur juga dengan alunan ayat suci Al Quran. Berbaur juga dengan mauidhoh hasanah. Berbaur juga dengan kata-kata bijak dari para wakil keluarga pengantin. Berbaur juga dengan kebahagiaan dan keharuan.
Dua sejoli yang sedang berbahagia itu, adalah Baskoro Adjie dan Luthfiyah Nurlaela. Senyum mereka, betapa indah, seindah busana yang mereka kenakan. Berkilau-kilau sorot mata mereka seperti kilauan manik-manik emas yang memenuhi setiap bagian tubuh, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Keindahan yang tak terkatakan, seperti keindahan yang melingkupi hati keduanya.
Dua puluh lima tahun yang lalu. Ya, 25 tahun. Seperti baru kemarin semuanya terjadi. Seperti baru kemarin saat dua sejoli itu duduk bersimpuh memohon doa restu bapak dan ibu tercinta. Seperti baru kemarin saat air mata bahagia dan haru mengaburkan pandangan. Satu di antara saat terindah dalam kehidupan, yang mungkin tak akan pernah terlupakan.
Dua puluh lima tahun yang lalu. Dan saat ini, ada sesosok pemuda tampan melengkapi kebahagiaan. Dialah M. Barok Argashabri Adji. Anak lelaki semata wayang yang menjadi tumpuan harapan. Dia adalah satu dari harta terindah dalam kehidupan, dan insyaallah akan menjadi salah satu sumber kebahagiaan bagi bapak ibunya, dunia akhirat.
Buku ini ditulis untuk menandai rasa syukur kami kepada Allah Yang Maha Mencintai, karena telah mengizinkan kami untuk mengarungi kehidupan ini dalam naungan pernikahan yang penuh cinta. Juga kami dedikasikan untuk ayah dan ibu kami, Bapak Nurhadi-Ibu Sri Lestari dan Bapak Zawawi Chusain-Ibu Basjiroh. Juga kami persembahkan untuk saudara-saudara kami terkasih: Mas Ib sekeluarga, Mas Zen sekeluarga, Mas Ipung sekeluarga, Dik Utik sekeluarga, Dik Hisyam sekeluarga, Iwuk sekeluarga, dan Dedi sekeluarga. Juga bagi orang-orang dekat yang tak terpisahkan dari sejarah hidup berumah tangga kami, salah satunya adalah Mbak Warsiyah sekeluarga. Tentu saja, bagi semua guru kami, sahabat kami, dan sanak-saudara kami yang lain. Juga, bagi Mas Rohman sekeluarga, yang selalu siap sedia mendukung dan membantu mewujudkan buku ini dan buku-buku kami yang lain.
Ya Allah, terimalah rasa syukur ini. Engkau telah memberi kami kebahagiaan yang begitu indah di dunia ini. Berikanlah kebahagiaan yang indah juga di akhirat kelak. Masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang pandai mensyukuri nikmat-Mu. Jangan biarkan kami menjadi orang yang ingkar akan semua kasih sayang-Mu. Berikan selalu taufiq dan hidayah-Mu, selalu jaga iman dan islam kami, selalu beri kekuatan, kesehatan, perlindungan, lahir dan batin untuk kami.
Ya Allah, berikan kami kebahagiaan dalam taqwa, islam, iman dan ihsan. Berikan kami kelapangan untuk selalu memohon pertolongan-Mu dengan salat dan sabar. Berikan kami usia panjang yang barakah, rezeki yang halal dan barakah, ilmu yang bermanfaat dan barakah. Berikan juga kami sekeluarga kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Amin Ya Rabbal Alamin."
Surabaya, 17 Juli 2015
Wassalam,
LN