Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Bingkai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bingkai. Tampilkan semua postingan

Rabu, 24 Juli 2019

Menikmati Gojek (2)

Hari ini kami sudah bersiap di lobi Hotel Ibis Trans Studio pukul 09.30. Saya, Prof. Budi Unnes, Prof. Joko UM, Dr. Khafid Unnes, dan teman-teman yang lain seperti mas Alfath Yanuarto dan mas Agoes Primono Sardjono dkk. Kami memiliki agenda yang sama, menghadiri undangan resepsi pernikahan puteri tunggal Direktur Belmawa Ibu Paristiyanti Nurwardani. Karena acara digelar di Hotel Grand Pasundan, kami semua menumpang grab. Golongan tua seperti saya, Prof Budi, Prof Joko, dan Pak Khafid, satu mobil tersendiri. Mas Alfath dkk, satu mobil tersendiri.

Namanya juga pejabat yang punya gawe, ramainya sudah terasa bahkan sebelum pintu gerbang hotel tempat acara. Termasuk ramai dengan karangan bunga ucapan selamat. Dari para pejabat kementerian, rektor PTN dan PTS, direktur poltek, dll. Keramaian tentu saja semakin terasa di dalam gedung.

Singkat cerita, acara demi acara berjalan dengan lancar. Mempelainya cakep-cakep. Bu Paris dan suami serta besannya, anggun dan ngganteng. Saya pribadi melihat 'sisi keibuan' Bu Paris yang sangat kental. Sempat saya abadikan saat beliau membetulkan hiasan melati di baju putrinya. Bu Paris di mata saya adalah gabungan antara ketegasan dan kelembutan. Seorang pimpinan yang kuat dan tegas sekaligus lembut keibuan.

Setelah bersalaman dengan bu Paris sekalian dan mempelai, kami menikmati hidangan. Sedapatnya. Karena tamu sangat banyak dan di setiap tempat makan antrian berjubel, di mana kami bisa menjangkau hidangan, di situlah kami menikmatinya. 

Kami keluar dari gedung sekitar pukul 12.15. Prof. Edy Unnes, yang kamarnya kami penuhi dengan bagasi-bagasi kami, harus check out dari Grand Pasundan. Maka kami pun juga harus mengemasi barang-barang kami.

Di lobi, teman-teman langsung mengambil grab atau go car tujuan bandara. Pulang ke kota masing-masing. Tetapi saya harus kembali ke Hotel Hemangini, bergabung dengan teman-teman asosiasi profesi boga yang masih berkegiatan di sana. Saya memesan go car. Ditemani pak Fatkurrohman Kafrawi dan Mas Agoes serta Mas Alim Sumarno yang tidak tega membiarkan saya menunggu sendiri. Namun driver go car nge-chat, dia pada posisi terjebak kemacetan dan menyarankan saya untuk cancel. 

Seketika saya terpikir kenapa tidak nggojek motor saja seperti kemarin. Di tas saya ada celana panjang, dan saya bisa mengganti rok saya dengan celana panjang. 

Dan nggojek lagilah saya siang ini. Dengan sandal high heels saya. Ternyata padatnya jalan melebihi hari kemarin. Puluhan titik kemacetan yang harus kami lalui membuat kaki saya kesemutan. Asap kendaraan bercampur debu tercium cukup menusuk. Driver yang bernama Adang itu tersendat-sendat menjalankan motornya. Sesekali dia mengerem mendadak hampir menyenggol motor di depannya. Tas saya pun sempat tersenggol motor di belakang saya. Beberapa motor menerobos naik ke trotoar. Mas driver selalu berusaha mencuri space sedikit demi sedikit di setiap titik kemacetan, berebut dengan pengendara lain. Sejam lebih saya dalam kondisi seperti itu, dan turun dari motor dengan kondisi kaki kesemutan dan punggung sakit. Tapi saya menikmati semuanya dan menyadari betapa hidup ini begitu keras. Hehe.

Tak terbayang berapa jam yang harus saya tempuh jika saya naik go car atau grab. Bersyukur ada gojek yang memberikan pengalaman dan pelajaran tentang berjuang. 

Beberapa teman asosiasi melontarkan keheranannya karena saya mau naik gojek. Saya bilang, macet boleh tapi hidup harus terus berlanjut....hehe.

Senin, 22 Juli 2019

Menikmati Gojek (1)

Pagi ini, saya mendarat di Husein Sastranegara, Bandung, sekitar pukul 09.45. Teman-teman kolega, Bu Any Sutiadiningsih, dik Nugrahani Astuti, dan dik Sri Handajani, sudah menunggu di dekat pengambilan bagasi. Mereka tiba lebih dulu karena naik Nam Air. Saya sendiri naik Wings Air karena lagi malas bangun pagi. Hehe. Tapi mereka berkenan menunggu saya supaya bisa bersama-sama menuju tempat kegiatan.

Kami nge-grab dari bandara ke Hotel Hemangini. Menghadiri kegiatan asosiasi profesi. Diskusi tentang kurikulum prodi pendidikan tata boga Indonesia. Bersama perwakilan teman-teman dosen tata boga seluruh Indonesia. Mencoba bersepakat untuk merumuskan kurikulum nasional prodi.

Pukul 17.30, saya pamit geser ke Hotel Ibis Trans Studio. Tapi dengan janji, saya akan balik lagi besok selesai kegiatan di Ibis. Bu Ai Nurhayati, sekretaris asosiasi, menyarankan saya naik grab, tapi pasti akan terjebak macet, katanya.

Karena tidak ingin terjebak macet, saya memilih naik gojek motor. Sore begini jalanan pasti padat. Dan saya tidak ingin lebih lama terlambat. Sekitar dua jam yang lalu rapat di Ibis mestinya sudah dimulai. Sekarang mungkin lagi break. Saat rapat dimulai lagi setelah makan malam nanti, saya harus sudah berada di sana. Kalau saya naik grab, bisa-bisa saya masih bergelut dengan macet sampai selepas isya.

Naik gojek itu asyik. Apa lagi senja mulai jatuh dan lampu-lampu kota mulai menyala. Romantis. Si Abang Gojek yang kecil langsing itu, namanya Basir, ramah, baik, tapi motornya butut. Meski butut, larinya kenceng. Juga lihai meliuk-liuk, benar-benar meliuk-liuk, di antara mobil-mobil yang jalannya tersendat-sendat karena macet. Udara dingin sekali, namun masih cukup bersahabat bagi saya karena saya sudah mengantisipasi  dengan jasket.

Menikmati gojek termasuk langka bagi saya. Tubuh yang mulai menua ini tidak terlalu tahan dengan terpaan angin dan debu. Namun kadang saya ingin menikmati gojek. Tidak sekadar untuk menghemat waktu. Tapi untuk menikmati sensasinya. Berkendara di bawah terik matahari, meliuk-liuk di antara mobil-mobil, ngebut di jalan yang agak lengang, asyik juga. 

Suatu ketika saya pernah nggojek di Semarang. Naik dari depan Hotel Patra Jasa menuju Museum 3-D. Karena saya sendirian, seorang petugas museum menemani saya dan membantu saya motret-motret. Dari situ, saya nggojek lagi ke Lawang Sewu. Karena saya juga sendirian, seorang guide mendampingi saya dan menjelaskan setiap sudut Lawang Sewu. Setelah puas, saya baru balik ke hotel. Lagi-lagi, nggojek.

Grab, Uber, gojek dengan segala layanannya mulai dari antar jemput, pesan antar makanan sampai pijat dan bersih-bersih rumah, sungguh luar biasa memudahkan. Membuat hidup jadi lebih praktis dan lebih banyak pilihan. Kita tidak harus naik taksi bandara yang, mohon maaf, drivernya kadang-kadang tidak jujur dan penuh dengan modus. Ada grab di beberapa bandara. Resmi. Dengan harga yang mungkin tidak terlalu jauh selisihnya dibanding taksi konvensional, namun kita tak perlu khawatir akan diputer-puter sama Abang Driver. 

Saat berkegiatan di luar kota, beberapa kali saya terpaksa pindah hotel dalam satu hari. Dengan hitungan waktu yang tidak terlalu leluasa untuk dibagi. Nah, pada saat itulah saya akan memilih apakah saya naik grab, go car, atau gojek. Beberapa kali saya mengalami dikecewakan oleh taksi konvensional. Meskipun saya sudah pernah mengadukan kekecewaan saya pada customer service dan pengaduan saya direspon dengan sangat simpatik, tapi yang namanya sudah terlanjur kecewa, apa lagi ada pilhan lain, maka jadilah saya sering berpaling, berpindah ke lain hati. Hehe.

Jumat, 08 Mei 2015

Pulang Kerja

Subuh baru saja berlalu. Saya keluar dari kamar nomor 723 tempat saya menginap selama tiga hari ini, dalam rangka menghadiri undangan dari Komisi Nasional untuk Unesco. Agenda pertemuan adalah pembahasan satu dari lima prioritas aksi Unesco ESD GAP, tentang peningkatan kualitas pendidikan calon guru. Bersama beberapa guru besar dari lima LPTK, dari Unesa adalah Prof. Muchlas Samani dan saya, selama tiga hari itu kami berdiskusi di salah satu ruang di lantai 3 Hotel Millenium ini.

Lorong menuju lift sepi. Karpet tebal yang menghampari lantainya meredam suara detak sepatu saya. Seorang diri saya menguasai lift yang membawa saya turun ke lobi.

"Check out, Mas." Saya meletakkan kunci kamar di depan petugas front desk. Sambil mengucapkan terima kasih sudah membangunkan saya tepat pukul 04.00 tadi, sesuai pesanan saya semalam. Petugas itu tersenyum ramah dan mengucapkan selamat jalan.

Begitu keluar dari pintu lobi, seorang petugas menyambut saya. "Taksi, Bu?"
"Ya, Mas."
Dia langsung menuju sudut, memanggil sebuah taksi lewat sebuah alat komunikasi. Suasana sepi, sejuk, cukup dingin.

Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di depan kami. Petugas membukakan pintunya, dan keluarlah dua orang perempuan muda. Cantik dan seksi. Busana hitam membalut tubuh mereka yang dibiarkannya terbuka di sana-sini. Belahan dada nampak dengan leluasa, begitu juga dengan bagian samping kanan kiri dadanya. 

Saya bergidik. Bukan karena apa-apa. Hanya membayangkan, betapa dinginnya udara pagi ini, dan dengan busana 'you can see' seperti itu, tidakkah mereka merasa kedinginan?

Ini bukan pertama kali pemandangan seperti itu saya lihat. Sudah berkali-kali, hampir setiap kali saya pulang kerja seperti sekarang ini. Pernah suatu ketika saya dibuat terkagum-kagum melihat penampilan seorang perempuan muda yang tidak hanya mengenakan busana minim, namun juga tipis transparan. Dandanannya seronok. Mengundang siapa pun untuk memandanginya dengan decak kekaguman atau decak yang lain. Kecuali bagi para lelaki yang ingin selalu berusaha menjaga pandangannya. Tapi, sungguh, saya tidak yakin, lelaki manakah--sealim apa pun dia--yang ingin melewatkan suguhan kemolekan tubuh yang begitu indah? Bukankah mengagumi keindahan ciptaan Tuhan juga dianjurkan oleh agama? Begitulah kata seorang teman 'alim' saya suatu ketika.

"Mereka juga baru pulang kerja, seperti kita." Kata saya pada teman saya saat itu. Dengan penuh keprihatinan. Ya, prihatin. Dengan penampilan seperti itu, dan berkeliaran masuk hotel menjelang pagi, entah apa yang mereka lakukan semalaman. Juga malam-malam yang telah mereka lewati sebelumnya. Yang jelas, mereka tidak sedang pulang dari kantor bank atau dari kantor dinas. Apa lagi dari pengajian atau istighotsah.

Entahlah. Meski nampaknya para perempuan itu baik-baik saja dan wajahnya memancarkan kebahagiaan, siapa tahu dalam hati dan pikiran mereka. Bisa jadi mereka seperti para perempuan yang digambarkan oleh Titik Puspa dalam lagunya yang mengisahkan kehidupan kupu-kupu malam. "Kadang dia tersenyum dalam tangis, kadang dia menangis di dalam senyuman..." Atau memang mereka merasa 'nothing wrong' dalam kehidupan mereka dan bahkan bangga bisa menjadi penghibur dan membahagiakan para lelaki tak kuat iman. 

Apa pun, saya tetap merasa sangat prihatin. Mereka kaum saya. Para perempuan yang seharusnya menjaga diri dan martabatnya. Menjaga kehormatannya. Menjadi ibu bagi anak-anaknya dan menjadi istri sholehah bagi suaminya. Entah di mana anak dan suami mereka saat ini, sementara mereka mengais rezeki dari belas kasihan para lelaki hidung belang sepanjang malam.

Lagu Titik Puspa kembali mengalun di benak saya. "Dosakah yang dia kerjakan. Sucikah mereka yang datang...."

Taksi pesanan saya tiba. Dua orang petugas bergerak. Satu mengangkat koper kecil saya, satunya lagi membukakan pintu taksi. Saya menyelipkan selembar uang ke tangan mereka masing-masing dan mengucapkan terima kasih. 

Ini hari Jumat. Saya ingin mengawali hari baik ini dengan melakukan hal-hal baik. Konon, kalau Anda memulai hari Anda dengan hal-hal yang baik, maka sepanjang hari itu, kebaikan-kebaikan akan terus mengalir menghampiri Anda. Apa lagi di hari Jumat. Namun jangan demi itu semua kita berbuat baik, kecuali--semata-mata--hanya demi mendapatkan ridho dan kasih sayang-Nya.

Happy Friday....

Garuda Lounge, Soetta, 8 Mei 2015

Wassalam,
LN

Jumat, 13 Juni 2014

Perilaku di Toilet

Mobilitas yang tinggi membuat saya harus sering berurusan dengan toilet bandara. Mulai dari toilet yang joroknya mirip  ponten umum di tempat rekreasi yang belum jadi, atau toilet yang sangat bersih dengan air kran yang otomatis mancur sendiri bila tangan kita dekatkan. Bagaimana tidak. Saya 'mbolang' mulai dari daerah 3T yang petugas bandaranya saja harus teriak-teriak bila waktunya naik pesawat, sampai ke kota-kota besar yang kita bisa menyelonjorkan kaki sambil menikmati segelas kopi panas di lounge-nya yang nyaman dan sejuk.

Berbagai macam perilaku para pengguna toilet menjadi perhatian tersendiri bagi saya. Ada orang yang suka meninggalkan toilet dalam keadaan tutup kloset tertutup, ada yang suka membuat lantai menjadi basah kuyup, ada yang suka meninggalkan bekas kotor(an) di dalamnya, ada yang masuk toilet hanya untuk bercermin dan membetulkan tata rias wajah dan rambutnya. Yang jelas, saya tidak pernah menemui orang berkumpul di toilet untuk arisan atau untuk rapat dinas. Hehe.

Kadang-kadang, saya menemui orang dengan perilakunya yang menggelitik hati. Seperti yang terjadi di suatu siang, beberapa waktu yang lalu. Saya sedang ada di toilet Bandara Juanda. Seorang wanita cantik dengan perhiasan gemerlap masuk. Mungkin karena penjaga toilet kecapekan membersihkan kloset dan lantai, begitu perempuan itu masuk, dia berpesan, "Bu, jangan sampai basah ya Bu, lantainya...."
"Lho gimana nggak basah mbak, orang saya mau kencing." Logat ibu itu khas sekali, medok, dari daerah tertentu.
"Kan bisa di kloset Bu, bersih-bersihnya, jadi tidak membasahi lantai."
"Lho saya orang Islam, Mbak, kalau bersih-bersih nggak pakai banyak air itu nggak suci."

Penjaga berjilbab itu diam. Saya menatapnya, iba. Dia juga menatap saya.

"Saya lho juga Islam, Bu." Katanya pada saya. "Lha apa dikiranya orang di bandara ini tidak ada yang Islam?" Tanyanya, tanpa bermaksud mendapatkan jawaban.
"Ya, sabar ya, Mbak... Namanya juga ngurusin banyak orang." Hibur saya sambil menyelipkan selembar uang kertas ke genggamannya, sebelum berlalu dari tempat itu.

Lain waktu, saat saya masuk ke toilet, saya kaget karena lantai toilet itu basah sampai di bagian luarnya. Dua orang ibu yang baru keluar dari toilet-- dilihat dari busananya, nampaknya mereka akan berangkat umroh--minta maaf pada penjaga.
"Mbak, maaf yo, teles kabeh. Lha gak onok kesete. Ke'ono keset, Mbak, ben gak teles kabeh. Kamar mandi kok gak onok kesete."

Prang. Penjaga itu membuang tisu kotor di tempat sampah staniless steel dengan kasar. Nampaknya dia sedang melampiaskan kejengkelannya karena dua orang itu telah menambah pekerjaannya untuk ngepel.

Begitulah. Menggunakan toilet  memang harus diajarkan. Kalau ada saudara kita yang akan bepergian naik pesawat dan hal itu merupakan pengalaman pertama dia, ada baiknya kita memberi tahu bagaimana menggunakan toilet bandara.

Pelajaran menggunakan toilet juga perlu diberikan oleh para pemilik biro perjalanan, termasuk biro perjalanan umroh dan haji. Perilaku sebagian calon jamaah umroh dan haji itu begitu memprihatinkan. Maklum, mungkin ini pengalaman pertama mereka naik pesawat dan mengunjungi bandara.

Twin Hotel Surabaya, 13 Juni 2014

Wassalam,
LN 

Rabu, 11 Juni 2014

Menyogok

Ini malam yang melelahkan bagi kami, para juri dan panitia. Sejak pagi bergelut dengan para calon guru, kepala sekolah, pengawas SD, SMP, SMA, SMK, SLB berprestasi se-Jawa Timur. Ada yang menilai portofolio, menilai presentasi karya ilmiah, dan melakukan wawancara. Ada yang kegiatannya di Hotel Purnama, ada yang di Hotel Batu Suki. Saya kebetulan kebagian di Hotel Batu Suki, Batu.

Saya sendiri, bersama dua orang teman, satu widyaiswara dan satu pengawas sekolah senior dan mantan Plt. Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya, adalah kelompok juri yang melakukan wawancara pada para pengawas SD. Kedua juri dalam tim saya itu, dilihat dari usia, keduanya jauh lebih senior, dan pasti jauh lebih berpengalaman. Saya, sambil menjuri, sambil ngangsu kawruh pada beliau berdua.

Ada 25 pengawas yang harus kami wawancarai. Setiap pengawas kami wawancarai dalam waktu sekitar 15-30 menit. Dengan jumlah sebanyak itu, kami akan memerlukan waktu sekitar 10 jam. Maka, meskipun sebenarnya kami diberi waktu dua hari, kami bertekad menyelesaikannya dalam waktu sehari. Semalam apa pun, wawancara harus selesai. Tugas-tugas yang lain sudah menunggu di Surabaya. Nampaknya para pengawas yang akan kami wawancarai juga sepakat dengan pengaturan jadwal itu. Ikan sepat ikan gabus. Semakin cepat semakin bagus. Yang penting tidak mengorbankan mutu dan target kegiatan.

Sepanjang wawancara yang kami lakukan, tentu saja ada banyak tipe pengawas yang kami temui. Pengawas yang tidak memahami substansi terkait dengan tupoksi kepengawasan, banyak. Pengawas yang tidak memahami dasar hukum kepengawasan, juga banyak. Pengawas yang sudah beberapa tahun tidak pernah meneliti, ada. Pengawas yang tidak bisa menjelaskan proses supervisi manajerial, supervisi akademik, dan evaluasi pendidikan, lumayan banyak. Pengawas yang....nah ini yang paling banyak, tidak memiliki keterampilan berbahasa Inggris dan tidak memiliki atau melakukan aktivitas di bidang seni budaya, hampir semua.

Tapi di antara para pengawas yang saya sebut itu, ada sekitar lima sampai enam orang pengawas yang sangat bagus, kecuali, ya, keterampilan berbahasa Inggris. Para pengawas itu sangat kreatif, mereka tipe orang-orang yang mau 'soro', tidak puas hanya dengan melakukan hal-hal yang rutin. Mereka sangat memahami masalah-masalah yang dihadapi sekolah-sekolah binaannya, mampu mendorong guru melakukan inovasi proses pembelajaran dan penilaian, dan bahkan menciptakan metode-metode pembelajaran yang kreatif. Ada metode pembelajaran 'Asyik', ada 'Galaksi', dan lain-lain, yang semuanya adalah hasil rekayasa mereka sendiri, dan diterapkan untuk pembelajaran di sekolah-sekolah binaan mereka. Di antara pengawas itu, ada yang juga rajin menulis di media ilmiah, ada yang juara tari, ada yang pintar memainkan keyboard, ada yang suaranya persis Bang Haji Rhoma Irama. Keren. Asyik banget mengobrol dengan para pengawas yang super itu.

Proses wawancara berjalan lancar sekali. Kami tidak beristirahat kecuali hanya untuk makan dan salat. Mulai pukul 10.30 sampai pukul 23.00. Semua lancar dan menyenangkan. Meski, harus diakui, kami sangat lelah.

Sampai tiba pada pengawas terakhir yang harus kami wawancarai. Seorang ibu dari sebuah kabupaten (tidak perlu saya sebutkan nama orang dan nama kabupatennya), sangat enerjik, nampak cerdas, dan ternyata memang cerdas. Dia paham betul bagaimana tugas-tugas kepengawasan dan melakukannya dengan relatif baik. Dia juga jago menari dan prestasinya dalam bidang menari juga cukup banyak. Dia rajin menjalin kerja sama dengan lembaga lain untuk benchmarking dan membawa sekolah-sekolah binaannya untuk belajar pada lembaga-lembaga tersebut. Karya ilmiahnya, berupa Penelitian Tindakan Sekolah (PTS), bejibun, 14 karya, selama lima tahun. Hebat kan?

Kami sangat senang mengobrol dengannya. Sampai tak terasa, mungkin sampai memakan waktu hampir lewat setengah jam. Begitu selesai, kami menyalaminya.

"Selamat ya, Bu. Sukses ya."
"Inggih, Bu, Pak. Maturnuwun." Dia mengulurkan tangannya, ramah.

Lantas kami bertiga sibuk mengisi form nilai. Lega. Akhirnya selesai sudah wawancara ini. Ibu itu masih berdiri di depan kami, membereskan berkas-berkasnya. Tiba-tiba....

"Bu, nyuwun sewu, sekedar oleh-oleh." Dia meletakkan map di depan kami bertiga.
"Apa ini, Bu?" Tanya saya spontan.
"Kain, Bu. Oleh-oleh."
"Waduh, jangan, Bu. Maaf, saya tidak bisa menerima. Maaf, Bu, mohon dibawa kembali." Saya kembalikan barang itu, spontan juga. Tanpa meminta pertimbangan pada dua juri yang lain.

Begitu ibu itu berlalu dan membawa semua barangnya keluar ruangan, saya meminta maaf pada kedua juri di sebelah kanan dan kiri saya.
"Bapak, maaf, langsung saya tolak, tidak apa-apa kan?"
"O, tidak apa-apa, Ibu. Harus. Itu yang bener. Dari pada nanti kita musti cari orangnya untuk mengembalikan barang pemberiannya, lebih baik begitu, langsung ditolak."

Syukurlah. Senang karena kami satu tim seide. Bahkan kami akhirnya bersepakat, skor bagus dari kami untuk ibu pengawas tadi, langsung kami 'plorotkan' pada skor terendah, tanpa mengubah skor pada tiap item, dan hanya memberi catatan pada skor yang kami bubuhkan: "kejujuran, sportivitas, karakter, tidak terpuji. Tidak layak jadi pengawas berprestasi."   

Selidik punya selidik, ternyata ibu pengawas yang 'loman' itu juga melakukan hal yang sama di meja-meja yang lain. Yang dia masukkan ke map itu, tidak hanya kain, Saudara, tapi juga amplop. Tentu saja amplop berisi uang. Ingin tahu berapa jumlahnya? Mana saya tahu? Karena tidak ada satu juri pun yang sempat membukanya. Ada juri yang sempat membuka mapnya, dan begitu tahu di situ terselip amplop berisi uang, dia langsung mengembalikan pada yang bersangkutan.

Menyogok. Ya, itulah yang sedang terjadi di acara seleksi guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah se-Jawa Timur ini. Praktik yang hanya dilakukan oleh satu orang saja, di antara ratusan para tenaga pendidik dan kependidikan itu, namun cukup membuat prihatin kita semua.

Praktik menyogok atau suap ini sudah belasan bahkan puluhan kali saya alami. Sepanjang pengalaman saya jadi asesor akreditasi sekolah di Jawa Timur dan di Kota Surabaya, banyak sekolah yang saya visitasi, berusaha untuk melakukan penyuapan dengan berbagai cara. Tidak semua sekolah, memang, tapi banyak sekolah. Kalau hanya memberi kalender dan jam dinding berlogo sekolah, mungkin masih bisa ditolerir. Tapi kalau sudah memberi amplop berisi uang, ini benar-benar pelecehan kredibilitas asesor. Saya dan teman-teman yang seide, menolak keras praktik tersebut, dan benar-benar merasa dilecehkan oleh sekolah-sekolah yang melakukannya pada kami. Marah, sekaligus prihatin. Ini dunia pendidikan gitu loh. Kalau praktik sogok-menyogok seperti ini menjadi 'budaya', mau dikemanakan dunia pendidikan kita?

Tentu saja tidak hanya dalam hal-hal yang saya ceritakan itu saja praktik itu terjadi. Sudah menjadi rahasia umum jika seseorang musti mengeluarkan sejumlah dana untuk bisa lolos menjadi CPNS guru, menjadi kepala sekolah, menjadi kepala bidang, kepala sub-bidang, dan lain-lain. Tidak semuanya memang. Tapi banyak terjadi, di banyak tempat. Hadeh. Bergidik. Ngeri. Sedih. Prihatin. Entah bagaimana caranya  menghentikan semuanya ini...

Batu, 10 Juni 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 01 Juni 2014

Kangen

Sore sudah jatuh ketika saya keluar dari lobi hotel Grand Candi, Semarang. Waktu menunjukkan pukul 17.00. Dengan menumpang taksi, saya menuju bandara. Pukul 18.30 nanti, saya akan terbang menumpang Sriwijaya Air, pulang ke Surabaya.

Ini perjalanan di luar rencana. Seharusnya kegiatan di Semarang dijadwalkan sampai tanggal 2 Juni besok, dan malam ini adalah finalisasi reviu instrumen ujian tulis PPG Kolaboratif. Namun karena 16 'pakar' yang diundang untuk mereviu instrumen ini memiliki kecepatan bekerja yang berbeda, maka orientasi kegiatan lebih pada output, bukan waktu. Tugas mereviu dilakukan secara mandiri, dan siapa pun yang sudah selesai, bisa pulang lebih dulu. Namun pada umumnya, tidak ada yang mampu menyelesaikan sebelum jadwal yang sudah ditentukan, bahkan kadang ada yang melewati jadwal, alias pekerjaannya belum selesai. Kecuali orang-orang yang sedang beruntung. Seperti saya.

Ya, saya benar-benar menjadi orang yang beruntung kali ini. Saya kebagian mereviu instrumen bidang tata boga, sesuai dengan spesialisasi saya. Instrumen yang saya reviu itu, sudah lumayan rapi. Meski tetap harus melakukan pembenahan di sana-sini, namun, dibandingkan dengan instrumen yang ada pada teman-teman reviewer yang lain, butir-butir soal yang harus saya reviu, sebagian besar sudah baik.

Kebetulan saya kenal penyusunnya. Teman dosen dari UNY dan UNJ, keduanya asli orang Tata Boga, jadi paham bidang studi. Mereka lulus S2 dan S3 dalam bidang pendidikan, bahkan salah satu di antaranya lulusan doktor bidang penelitian dan evaluasi. Klop sudah. Bidang studi paham, pedagoginya dapat, dan evaluasinya kena.

Sejak kemarin sore, begitu saya membaca butir-butir instrumen secara sepintas, saya memperkirakan kalau saya tidak perlu memerlukan dua hari dua malam untuk membenahinya. Rencana saya semula yang akan langsung ke Yogya, karena tanggal 2-3 Juni saya dijadwalkan untuk melakukan monev PPG di UNY, mungkin bisa saya atur ulang. Saya akan pulang Minggu malam ke Surabaya, dan paginya baru berangkat lagi ke Yogya. Dari pada saya naik travel dari Semarang ke Yogya dengan waktu tempuh sekitar empat jam, rasanya pulang ke Surabaya jauh lebih dekat dibanding jarak Semarang-Yogya.

Menjelang siang, ketika saya sudah menyelesaikan 90 persen tugas saya, saya menelepon Mas Nardi, minta dipesankan tiket pesawat ke Surabaya untuk penerbangan sore. Sekaligus juga pesan untuk penerbangan dari Surabaya ke Yogya besok pagi.

Mungkin bagi sebagian orang, betapa melelahkannya perjalanan saya. Beberapa minggu ini, jadwal tugas keluar kota begitu padat. Berderet-deret sampai saya tidak lagi bisa menikmati tanggal-tanggal merah yang berkali-kali menghiasi kalender, termasuk juga libur akhir pekan. Dengan kondisi seperti itu, sebenarnya, untuk saat ini, mungkin saya lebih baik naik travel ke Yogya, semalam istirahat di Yogya, dan besok bisa langsung beraktivitas di UNY, tanpa perlu bangun pagi-pagi dan terburu-buru mengejar pesawat.

Namun saya akan kehilangan beberapa jam yang sebenarnya bisa saya dapatkan untuk bisa bersama keluarga. Beberapa jam itu, betapa berharganya. Ya, dalam kondisi aktivitas yang sedemikian padat, ada sesuatu yang sepertinya terenggut dari hari-hari saya. Berkumpul bersama keluarga. Bersantai di rumah, nonton TV, makan bersama, pulang kampung, nge-mall, nonton film, bersepeda, memasak, membersihkan taman...

Saya kangen itu semua. Dalam segala keterbatasan saya, dalam segala kepadatan tugas-tugas saya, saya selalu berjuang untuk bisa mendapatkan kesempatan itu. Ternyata saya bukan siapa-siapa tanpa keluarga. Ternyata saya begitu lelahnya ketika kesempatan bertemu keluarga terenggut dari hari-hari saya. Saya rindu, saya kangen, saya ingin pulang....

Ya Tuhan, beri kekuatan lahir dan batin, perlindungan lahir dan batin, kesehatan lahir dan batin, untuk saya, anak dan suami saya, seluruh keluarga besar saya. Berkahi setiap langkah kami, tuntunlah kami ke jalan yang senantiasa Engkau ridhoi....

Semarang, 1 Juni 2014. 18.21.

Wassalam,
LN

Kamis, 15 Mei 2014

Olala....Sriwijaya....

Saya sedang mengajar di kelas saat sebuah SMS masuk ke ponsel saya. Saya meminta izin mahasiswa untuk mengecek ponsel.

Ya, meski saya tidak membolehkan mahasiswa untuk menghidupkan ponsel ketika perkuliahan sedang berlangsung, tapi sejak awal saya sudah meminta keistimewaan, aturan itu tidak berlaku bagi saya. Posisi saya sebagai koordinator SM-3T mengharuskan saya untuk selalu menyediakan diri mengangkat telepon dan SMS sepanjang waktu, 24 jam nonstop. Para peserta SM-3T tidak mudah untuk mendapatkan sinyal, mereka harus menaiki bukit atau berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk bisa telepon atau mengirim SMS. Dengan kondisi seperti itu, maka saya harus senantiasa siap sedia mengangkat telepon dan membalas SMS secepatnya. Pernah suatu ketika saya telat membaca SMS, akhirnya SMS balasan saya tidak berhasil terkirim. Saya telepon ponselnya, tidak ada nada sambung sama sekali kecuali "tulalit....tulalit...." Yang bersangkutan pasti sudah turun dari bukit sinyal. Di SMS-nya dia bilang "Ibu, mohon SMS saya segera dibalas. Saya sedang di atas bukit, tapi ini mendung. Saya tidak bisa berlama-lama, harus segera turun."

Saya mengecek SMS, ternyata dari Sriwijaya Air. "Kpd YTH pelanggan Sriwijaya Air kami informasikan utk tgl 16MAY SJ225 SURABAYA-SEMARANG jam 11.25 Berubah MAJU  menjadi jam 10.10.
Mohon maaf atas ketidak nyamanan ini. Untuk keterangan lebih lanjut hub 031-5491777 atau call center 021-29279777 atau -031.8688538 -08041777777 atau kantor perwakilan Sriwijaya Air terdekat."

Duh. Padahal saya lagi nggetu-nggetunya mengajar. Saya sudah memperhitungkan waktu dengan baik. Saya akan mengajar sampai pukul 08.30, lantas ke Pasca untuk menyerahkan nilai dan menitipkan tugas-tugas mahasiswa ke sekuriti, lanjut ke LPPM, bertemu dengan tamu penting, yaitu Bapak Nanang Ahmad Rizali dari Pertamina Foundation, baru meluncur ke Bandara Juanda. Kalau penerbangan sesuai jadwal awal, yaitu pukul 11.25, waktu saya lumayan leluasa. Tapi kalau tiba-tiba jadwalnya dimajukan begini, wah, bisa kacaulah rencana saya.

Saya melihat jam. Pukul 8.10. Saya mendekati Pak Leksono, partner mengajar.
"Cak, penerbanganku maju, jek tas onok SMS soko Sriwijaya, piye iki?"
"Yo wis ora opo-opo, Jeng. Wis, ndang budhal, kelas tak atasane."
"Ngono yo, Cak? Sepurone yo, Cak?" Saya bersiap-siap. Mengemasi laptop dan buku-buku saya.
"Sama Pak Leksono dulu ya, anak-anak..." Pamit saya pada mahasiswa. Seperti guru SD ke murid-muridnya.
"Ya, Bu Guru..." Serentak jawaban mahasiswa.

Saya meminta Anang, driver PPG, untuk mengantar saya ke Pasca. Terus yergesa-gesa lanjut ke Bandara Juanda. Di tengah perjalanan, Pak Nanang mengirim pesan di whatsapp.
"Ass. Ww. Bu Prof, saya sdh di mobil keluar jln bandara. LP2M itu dekat gd Rektoratkah?"
Saya langsung mengangkat telepon. Menghubungi Pak Nanang. Menyampaikan permintaan maaf tidak bisa menemui beliau, meskipun sangat ingin. Saya juga katakan kalau Pak Isbondo dan Prof. Wayan Susila, Ketua LPPM, sudah menunggu beliau di LPPM. Dan berharap semoga suatu saat ada kesempatan bagi saya untuk bertemu.

Sampailah saya di Bandara Juanda. Langsung masuk dan menuju tempat check in. Selagi mengantri, ada sepasang suami istri yang marah-marah pada seorang petugas di konter check in itu. Saya tidak terlalu menghiraukan. Tapi begitu giliran saya sampai di depan petugas, saya jadi ngeh, kenapa orang-orang itu marah. Ternyata SMS dari Sriwijaya yang mengatakan kalau jadwal penerbangan dimajukan itu, tidak benar. Ternyata ada miscommuniation di internal Sriwijaya, dan terkirimlah SMS untuk para pelanggan itu. Padahal sebenarnya, ternyata, jadwal tidak berubah. Tetap. Tidak maju tidak mundur.

"Hah, apa?" Tanya saya pada petugas.
"Ya, Bu. Mohon maaf, ada miscommunication, Bu. Jadi jadwal seperti semula."
Rasanya ingin saya ngremus petugas itu. Ingat kelas yang saya tinggalkan sebelum waktunya, ingat pertemuan penting dengan tamu penting yang saya harus abaikan, ingat bagaimana saya meminta Anang untuk ngebut di tol sewaktu mengantar saya tadi. Tapi melihat wajah petugas yang  seperti sudah siap menerima kemarahan itu, hati saya tidak tega. Sepertinya dia sudah sejak tadi menerima komplain dari satu pelanggan ke pelanggan lain. Melihat wajah dan sorot matanya yang memelas, saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja.
"Kok bisa sih..." Kata saya lirih. "Maaf, bu..."

Ya sudah. Saya pun naik. Masuk ke sembarang kafe. Pesan jus jambu dan kentang goreng. Makan, meski tidak sedang lapar. Pelampiasan rasa jengkel dan kecewa. Kecewa sama Sriwijaya. Olala....Sriwijaya.....

Bandara Juanda, 16 Mei 2014


Wassalam,
LN

Kamis, 01 Mei 2014

Cowok Bispak

Suatu siang, sebuah SMS masuk ke ponsel saya. "Tanteee...."
Saya spontan membalas. "Siapa nih?"
Sebagian anak teman memanggil saya 'budhe', tapi tidak sedikit juga yang menyebut saya 'tante'. Saya tidak menyimpan sebagian besar nomor ponsel mereka, karena memori ponsel saya tidak muat. Beberapa di antara mereka terkadang menelepon atau mengirim SMS hanya untuk bertanya tentang pelajaran mereka, yang sering adalah pelajaran Bahasa Inggris dan Matematika. Kalau untuk Bahasa Inggris, saya hampir selalu bisa menjawab, tapi kalau untuk Matematika, pertanyaan mereka lebih sering saya lemparkan ke Mas Ayik atau teman dosen Matematika.

"Mmmuuuuaahhh...."
Saya kaget dengan balasan seperti itu. Seingat saya, para 'keponakan' saya tidak ada yang punya kebiasaan genit begitu. Saya tidak membalasnya. Saya lagi malas menyelidik siapa pengirim SMS itu.

Siangnya, SMS dari pengirim yang sama masuk lagi. "Tante gi pain?" Saya tidak membalasnya. "Tante dah makan siang?" Saya tetap tidak membalasnya. "Tanteeee....." Saya biarkan saja orang yang super iseng itu.

SMS semacam itu ternyata tidak berhenti pada hari itu saja. Besoknya, pagi, siang, malam, terus masuk. Semakin lama isi SMS-nya semakin 'nggilani'. 'Tante, telpun sex yuk..." Malam-malam, dia SMS "Kalau suami tante tidak sedang di rumah, bercumbu yuk..." Pernah juga dia SMS, "Tanteeee, hhhhhssssss...ahhh...."

SMS itu tidak ada satu pun yang saya balas, tapi juga tidak ada satu pun yang saya hapus. Saya simpan semua. Anak gila ini sedang menguji kesabaran saya. Ingin rasanya saya laporkan ke polisi saja dia, dengan bukti SMS-SMS itu. Tapi saya malas berurusan dengan polisi untuk hal semacam ini. Eman-eman waktu dan tenaga yang musti saya keluarkan hanya karena bocah sableng itu. 

Belakangan, ternyata anak itu malah berani telepon. Tidak hanya di siang hari, tapi, terutama, malam hari. Setelah tengah malam juga. Untungnya, saya selalu melihat layar ponsel setiap kali ada telepon masuk, supaya bisa memastikan siapa yang menelepon. Meski mata masih 'riyip-riyip', saya tahu siapa penelepon itu, maka kalau di layar terbaca 'cowok bispak', saya tidak mengangkatnya. 

Saya ceritakan hal itu pada Mas Ayik, dan menanyakan bagaimana sebaiknya. "Jarne ae, ngko lak kesel-kesel dewe." Begitu kata Mas Ayik. Tapi ternyata anak itu tidak kesel-kesel juga. Teleponnya setiap malam atau dini hari masuk. Mas Ayik masih tidak bereaksi. Saya juga ikut adem-ayem saja meski sebenarnya sangat amat terganggu. 'Gak ngurus wong edan", begitu pikir saya.

Belakangan ini memang sering ada SMS masuk. 'Invite PIN BB saya xxxxxx. Cewek bispak. Cantik, seksi, hot'. Saya sampai ngeres dengan SMS-SMS seperti itu. Haduh.....sudah demikian rusaknya moral kita, sekspun diobral dengan begitu murah-meriah. Yang jadi pikiran saya, bagaimana kemudian kalau ada banyak remaja, para suami, dan lelaki hidung belang yang iseng menanggapinya, lantas kebablasan. Maka terjadilah apa yang akan terjadi. Naudzubillah mindalik...

Kata Mas Ayik, kadang-kadang SMS seperti itu hanya untuk nyedot pulsa kita. Jadi tidak perlu ditanggapi. Abaikan saja. "Kok Mas Ayik tahu?", tanya saya. "Katanya begitu..."
"Katanya apa katanya..." Goda saya.
"Hush....sembarangan."

Nah, ternyata tidak hanya para cewek yang menawarkan seks murahan itu. Ternyata cowok juga. Malah lebih berani, tidak hanya SMS, tapi telepon-telepon juga.

Kemarin pagi, sepulang dari Tanggulangin setelah menemani ibu, di perjalanan, sebuah telepon masuk ke ponsel saya. Saya lihat layar ponsel. Lantas ponsel saya serahkan ke Mas Ayik. "Anak itu lagi..." Kata saya.

Mas Ayik menerima telepon itu. "Halo". Suara Mas Ayik langsung bernada tinggi. "Kalau kamu terus-teruskan kirim SMS dan telepon, urusan bisa panjang. Berhenti mengganggu istri saya!" Suara Mas Ayik, galak banget.

Tentu saja tak ada jawaban. Tapi di layar telepon terlihat kalau si penelepon mendengarkan suara Mas Ayik. Lantas dia mematikan telepon. Saya coba meneleponnya, tersambung sebentar, mati lagi. Saya ulang menelepon lagi, tersambung sebentar, terputus lagi. Selanjutnya setiap kali saya telepon, yang terdengar adalah nada sibuk.

Sejak pagi kemarin, setelah Mas Ayik menjawab telepon itu, tidak ada lagi SMS dan telepon dari anak gendeng itu. Rupanya keder juga dia sama suara Mas Ayik yang sangar dan seram. 

Oalah....
Dasar cowok bispak!

Surabaya, 1 Mei 2014

Wassalam,
LN

Senin, 28 April 2014

Telepon Penipuan

Selesai sudah ujian disertasi pagi ini. Saya dan tim penguji yang lain menyalami ibu Rina Febriani, mahasiswa S3 PTK PPS UNY yang baru saja dinyatakan lulus ujian tertutup, dengan beberapa revisi yang harus diselesaikannya dalam kurun waktu tiga bulan. Bu Rina adalah dosen Jurusan PKK UNJ. Pagi ini dia mempertanggungjawabkan disertasinya tentang Pengembangan Kurikulum Diploma 3 Tata Boga. Meski banyak revisi untuk disertasinya, setidaknya dia sudah berhasil melampaui satu tahap. Tinggal setahap lagi, ujian terbuka,

Pak Nurcholis, driver PPS UNY yang disediakan untuk menjemput dan mengantar saya, tergopoh-gopoh menyambut saya di depan pintu lift saat saya tiba di lantai 1. 
"Sebentar nggih, Pak. Nunggu bu Rina. Mau menemani saya mampir beli oleh-oleh. Pesawat saya masih jam 15. Tidak apa-apa kan, Pak?"
"O inggih, mboten nopo-nopo, Bu. Monggo.."
Sementara saya menunggu bu Rina di ruang dosen yang sepi, sebuah telepon masuk.
"Buk...." Suara seorang remaja di seberang, menangis sesenggukan. "Aku Barok, Buk... Aku dijebak koncoku, Bukk....kenek narkoba, Buk..."
"Kamu siapa?" Suaranya sama sekali bukan suara Arga. 
"Aku Barok, Buk... Arga, Buk... Barok Argashabri."
"Kamu kenapa?"
"Iki pak Polisine, Bu. Aku di Polda..."
Lantas telepon berpindah tangan. Berganti dengan suara yang berat, berwibawa, tenang sekali.
"Selamat siang, Bu. Apa benar ini Ibu Luthfiyah Nurlaela?"
"Ya, benar, Pak"
"Ini kami dari Polda, Bu. Anak ibu..."
"Kenapa anak saya, Pak?" Suara saya panik. Lebih tepatnya, pura-pura panik. Saya ingin mengisi waktu dengan mengisengi orang yang lagi iseng ini.
"Ibu tahu dia ada di mana?"
"Dia ada di rumah, tidur."
"Ibu yakin? Dia ada di sini, Bu. Dia sedang dalam masalah. Mohon maaf, Bu, anak ibu dijebak temannya. Dia tertangkap membawa narkoba. Kelihatannya ini hari naas anak Ibu."
"Sebentar, Pak. Bapak siapa namanya?"
"Saya dari Polda, Bu."
"Baik, Pak. Saya sedang ada di Yogya. Biar suami saya meluncur ke Polda, mengurus anak saya."
"Begini, Bu. Saya bantu saja..."
"Tidak, Pak. Biar saya telepon suami saya, biar dia urus anak kami di Polda."
"Tidak perlu, Bu. Cukup dengan ibu saja."
Dia memaksa terus. Ngomong banyakkk sekali. Intinya memaksa supaya saya mendengarkan penjelasannya. Saya naik pitam. "Pak, tahu nggak, saya sedang di Yogya. Percuma bapak ngomong sama saya. Suami saya ada di Surabaya. Biar suami yang ngurus."
"Bu, Ibu mau kami bantu tidak?" Suaranya meninggi.
"Tidak." Saya ngotot. "Saya punya banyak teman di Polda. Saya tidak perlu bantuan Bapak. Paham?"
"Bu! Masalah ini saya yang nangani. Hanya saya yang bisa bantu ibu!"
Klek. Ponsel saya matikan. Bersamaan dengan bu Rina yang tiba-tiba muncul di depan pintu ruang dosen. Bersama dua teman sekelasnya, Pak Lilik dan Pak Pri.

"Ibu, pakai mobil pak Lilik saja, kita antar ibu makan siang sekalian beli oleh-oleh." Kata bu Rina.
"Ini....ada mobil dan driver Pasca."
"Sama mobil saya aja, bu.." Pak Lilik menjawab.
"Baik..." Saya menghampiri pak Nurcholis, dan menyampaikan kalau saya bareng pak Lilik dan kawan-kawan, sehingga dia tidak perlu mengantar saya.

Di mobil, saya menelepon Mas Ayik yang masih cuti setelah meninggalnya bapak. 
"Arga di mana, Mas?"
"Di rumah, tidur.."
Jawaban yang sudah saya duga. Pagi tadi, waktu saya mau berangkat, Arga masih umek sama PC dan gitarnya. Hari Senin dia tidak ada kuliah. Semalaman dia nggetu main musik. Biasanya dia akan tidur sepanjang siang untuk mengganti tidur malamnya yang tertunda.

"Ada apa?" Tanya Mas Ayik.
"Ada yang telepon, katanya dari Polda. Ngaku namanya Arga. Terus ada polisi juga yang menjelaskan kalau Arga kejebak temannya, tertangkap bawa narkoba."
"Onok-onok ae." Kata Mas Ayik.
"Heranku, mereka bisa menyebut lengkap nama Arga, juga namaku, Mas.."
Mas Ayik tidak menjawab. Mungkin sama pikirannya dengan saya, dari mana orang-orang iseng itu dapat menyebut persis nama lengkap Arga dan saya ya?

Sebenarnya ini bukan pengalaman pertama saya ditelepon penipu seperti ini. Seingat saya, ini yang ketiga. Makanya saya tidak kaget meski kadang suara sengaja saya buat pura-pura panik. Biar menyenangkan orang yang menelepon. Tapi kalau sudah sebel, telepon saya matikan. Klek.

Ya Allah, lindungilah kami dan keluarga kami dari segala marabahaya....


Bandara Adisucipto, Yogyakarta, 28 April 2014

Rabu, 09 April 2014

Adikku Ingin Jadi Penulis

Adikku, Mariyatul Qibthiyah, adalah alumus Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Surabaya/Unesa. Tubuhnya kecil mungil, kulitnya bersih, pendiam tapi ramah, dan sangat halus budi pekertinya. 

Dia sekitar tiga tahun di bawah saya. Sejak menikah, dia tinggal di Bojonegoro bersama keluarganya. Saat ini, dia memiliki tiga anak. Anak pertama, perempuan, sekarang sedang menempuh pendidikan di sebuah pondok pesantren di Nganjuk, kelas 2 SMP. Anak keduanya, laki-laki, masih kelas 3 SD. Sedang yang terkecil, Aliya, perempuan, masih balita, 2 tahun.

Suaminya adalah seorang guru PNS di sebuah SMP Negeri di Bojonegoro. Juga alumnus IKIP Surabaya/Unesa, jurusan Pendidikan Sejarah. Keduanya bertemu saat sama-sama aktif di organisasi UKKI. 

Dik Utik, begitu saya memanggil adik saya itu, adalah orang yang tekun dan pintar. Pada awal-awal pernikahannya dulu, meskipun dia tidak bekerja di luar rumah, dia mengajar mengaji dan les Bahasa Inggris di rumah kontrakannya, di Bojonegoro. Namun setelah lahir anak pertamanya, dia fokus mengurus anak. Apa lagi setelah lahir anak kedua dan ketiga, waktu dan tenaganya didedikasikan sepenuhnya untuk mengurus suami dan anak-anaknya, serta mengikuti organisasi yang telah mempertemukannya dengan dik Antok, suaminya.

Beberapa waktu yang lalu, Dik Utik menyampaikan keinginannya untuk belajar menulis. Dia terinspirasi, salah satunya, dengan buku-buku yang saya tulis. Saya pun mendorongnya untuk mulai menulis. 

Tulisan pertamanya, sempat saya lemparkan ke mailing list keluarga Unesa. Ternyata responnya sangat positif. Karena dia dari jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, respon positif dari para suhunya, antara lain dari Pratiwi Retnaningdyah dan M. Khoiri, begitu memotivasiya. 

Saya katakan ke Dik Utik, dia harus menulis karena dia punya potensi dan kemampuan untuk itu. Allah SWT sudah memberikan kemampuan, dan kita akan berdosa kalau kita tidak memanfaatkan kemampuan itu. Selain itu, dengan menulis, kita sedang menyiapkan sesuatu yang mungkin berguna untuk anak cucu kita, bahkan untuk agama, nusa dan bangsa. Menulis juga akan membuat kita selalu mengembangkan wawasan, karena tanpa wawasan yang baik, kita tidak akan bisa menulis dengan baik. Setidaknya, dengan menulis, kita tidak menyia-nyiakan apa yang sudah kita pelajari selama ini, yaitu keterampilan berbahasa.

Saat ini, di Utik sudah mengirimkan delapan tulisannya ke saya. Tulisan tentang kisah sehari-harinya, tentang renungan-renungannya. Tulisannya, menurut saya, cukup bagus, dan penuh hikmah. Bahasanya lancar, rapi, halus, sehalus pembawaannya. 

Kadang-kadang kalau dia lama tidak mengirimkan tulisannya, saya akan menagihnya. Seperti malam ini, karena sudah sekitar tiga minggu dia tidak setor tulisan, saya menanyakannya melalui SMS. "Endi tulisanmu yg lain, Nduk? Oktober diterbitkan. Jadi agustus kudu wis rampung, utk diedit, dilayout, diurus ISBN-nya, diterbitkan Oktober." Lantas ini jawabannya: "Sepuntene mandek dangu. Sakjane wonten ide tp dereng saget ngetik. Aliya nek ono wong mbukak laptop melu2 nyedak. Trs laptope ora entuk didemek utawa ditutal-tutul. Mbuh piye maksute. Mugi2 enggal saget nulis malih. Pangestune nggih.."

Saya memang menjanjikan ke Dik Utik, akan membukukan tulisan-tulisannya. Ya, kami sedang menyiapkan sebuah buku yang akan kami tulis berdua. Buku itu insyaallah akan kami terbitkan pada bulan Oktober tahun ini. Kebetulan, Dik Utik dan saya, samai-sama lahir di bulan Oktober. Jadi buku itu akan menandai ulang tahun kami berdua.

Buku yang kami belum tahu entah apa judulnya itu, akan menjadi kado kecil untuk keluarga besar kami. Kebetulan keluarga besar kami pada umumnya suka membaca, sehingga memberi hadiah buku, tentulah hal yang sangat berarti. Apa lagi kalau itu ditulis sendiri oleh kami berdua. Juga kado untuk para sahabat dan teman kami. 

Saya senang, meski Dik Utik adalah ibu rumah tangga yang begitu disibukkan oleh tiga anaknya yang masih kecil-kecil, tapi dia mempunyai komitmen untuk menyempatkan diri menulis. Saya bermimpi, suatu saat, adik saya yang manis itu benar-benar menekuni bidang tulis-menulis. Ketika anak-anaknya sudah besar, dia akan lebih banyak punya waktu untuk menulis. Tulisannya adalah tulisan yang penuh hikmah, sesuai dengan kapasitasnya sebagai ibu rumah tangga yang religius dan aktivis sebuah organisasi yang memberinya banyak pengalaman berharga. Saya tahu, dia bisa. Setidaknya sampai saat ini, dia sudah menunjukkan dia bisa menulis dengan baik.  

Semoga.

Surabaya, 6 April 2014

Wassalam,
LN

Menulis sebagai Tagihan

Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba terpikir di benak saya, untuk mewajibkan setiap peserta SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal) Unesa, agar membuat minimal dua buah tulisan khas (feature)tentang pengalaman mereka selama mengikuti program tersebut. Waktu itu, saya hanya berpikir, sayang sekali kalau pengalaman-pengalaman mereka selama setahun mengabdi di daerah 3T yang penuh dengan pernak-pernik itu menguap begitu saja. Sayang sekali kalau tidak diabadikan. Padahal sebagian besar pengalaman itu begitu luar biasa. Mengharukan, menggemaskan, memprihatinkan, sekaligus menginspirasi. 

Pucuk dicinta ulam tiba. Pembantu Rektor I, Prof. Dr. Kisyani, memiliki keinginan yang sama. Bahkan beliau membuka pintu lebar-lebar untuk membiayai penerbitan buku kumpulan pengalaman pengabdian itu. Kebetulan pada hampir tiap tahun, beliau mengalokasikan sejumlah dana dari Bidang I untuk penerbitan buku. Program ini tentu saja sudah jelas maksud dan tujuannya, yaitu menggairahkan budaya menulis di kalangan mana pun di lingkungan Unesa, baik dosen maupun mahasiswa, termasuk peserta SM-3T juga.

***

Program SM-3T sendiri adalah sebuah program yang diluncurkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) sejak tahun 2011. Sebuah program yang merupakan salah satu perwujudan Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia (MBMI). Penanggung jawab program ini adalah Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Diktendik), Dikti. 
Sasaran program SM-3T yaitu Sarjana Pendidikan yang belum bertugas sebagai guru, untuk ditugaskan selama satu tahun pada daerah 3T. Salah satu misi program tersebut adalah membantu mengatasi kekurangan guru di daerah 3T, sekaligus mempersiapkan calon guru profesional yang tangguh, mandiri, dan memiliki sikap peduli terhadap sesama, serta memiliki jiwa untuk mencerdaskan anak bangsa. Muaranya adalah membawa anak-anak di ujung negeri itu maju bersama mencapai cita-cita luhur seperti yang diamanahkan para pendiri bangsa Indonesia.

Daerah-daerah 3T yang secara administratif maupun realitasnya berada di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memiliki berbagai permasalahan dalam peyelenggaraan pendidikan. Salah satu permasalahan yang sangat dominan adalah yang terkait SDM guru, antara lain meliputi kekurangan jumlah (shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification),  kurang kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched). Permasalahan yang lain adalah angka putus sekolah yang juga masih relatif tinggi, hal ini memperparah rendahnya angka partisipasi sekolah.

Oleh sebab itu, peningkatan mutu pendidikan di daerah 3T perlu dikelola secara khusus dan sungguh-sungguh, agar daerah 3T dapat maju bersama sejajar dengan daerah lain. Hal ini harus menjadi perhatian khusus berbagai pihak, termasuk Kementerian Pendidikan dan kebudayaan, mengingat daerah 3T memiliki peran  strategis dalam memperkokoh ketahanan nasional dan keutuhan NKRI. 

***

Sejak diluncurkan pada tahun 2011, program SM-3T menjadi salah satu program unggulan Kemendikbud.  Ada 12 Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang ditunjuk Dikti sebagai penyelenggaranya, salah satunya adalah Unesa. Selanjutnya sejak tahun kedua (2012), LPTK penyelenggara meningkat menjadi 17. Kuota yang disediakan pemerintah adalah untuk 3000 peserta setiap tahun. Para peserta diseleksi dengan ketat melalui berbagai tahapan, mulai dari seleksi administrasi, tes potensi akademik, tes bidang studi, tes wawancara, dan tahap prakondisi. 

Tahun pertama, 2011-2012, SM-3T Unesa mengirimkan 241 peserta ke Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Selama setahun para peserta SM-3T ini mengabdikan dirinya di Tanah Marapu tersebut.

Pada angkatan kedua (tahun 2012-2013), SM-3T Unesa memiliki 4 wilayah penugasan, meliputi Sumba Timur, Maluku Barat Daya (MBD), Talaud, dan Aceh Singkil. Sebanyak 178 peserta disebar ke empat daerah 3T tersebut. Rinciannya, 73 orang di Sumba Timur, 33 orang di MBD, 30 orang  di Talaud, dan 42 orang di Aceh Singkil. 

Saat ini, adalah pelaksanaan Program SM-3T angkatan ketiga (2013-2014). Peserta dari Unesa sebanyak 190 orang, dan tersebar di enam kabupaten. Rinciannya, Sumba Timur sebanyak 79 orang,  Aceh Singkil 25 orang, Talaud 19 orang, MBD 26, Mamberamo Tengah 20, Mamberamo Raya 19.

Sebagai ‘reward’ dari proses yang telah mereka lalui, peserta SM-3T akan menempuh Pendidikan profesi Guru (PPG) di LPTK. Saat ini, peserta PPG SM-3T untuk angkatan pertama sudah lulus, dan sedang berlangsung PPG SM-3T untuk angkatan kedua.  Sebagai bukti bahwa mereka telah menyelesaikan program PPG adalah dimilikinya sertifikat sebagai guru profesional.

***

Selama di tempat pengabdian, para peserta SM-3T selain harus melaksanakan tugas dalam bidang pendidikan, mereka juga harus melakukan tugas di bidang sosial kemasyarakatan. Semua kegiatan mereka harus dilaporkan. Laporan ditulis dalam bentuk catatan harian, laporan tengah semester dan laporan akhir semester. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), media pembelajaran, evaluasi, dan berbagai bukti fisik lain musti dilampirkan. Seluruh tagihan tersebut sudah dilengkapi dengan panduan dan format penulisannya. Semua tagihan ini juga merupakan tagihan standar Program SM-3T secara keseluruhan, di semua LPTK penyelenggara SM-3T.

Khusus SM-3T Unesa, ada tagihan tambahan, yaitu setiap peserta harus menyerahkan minimal dua tulisan dalam bentuk feature. Satu tulisan ditagih di semester pertama, dan satu tulisan di semester kedua. Feature ini, sebagaimana tagihan yang lain, hukumnya wajib. 

Tidak bisa tidak, peserta pun terpaksa harus menulis. Pengelola Program SM-3T Unesa akan mengecek semua tugas tiap peserta, dan kalau ada yang belum menyerahkan feature, maka yang bersangkutan akan ditagih terus, sampai akhirnya dia harus menyerahkan. Selama yang bersangkutan belum menyerahkan feature, maka dia dianggap belum memenuhi tugas-tugasnya. 

Tidak semua tulisan peserta baik dan layak. Bahkan para peserta yang dari program studi bahasa pun, tidak berarti terampil menulis. Banyak dari tulisan mereka harus disunting habis-habisan agar pantas untuk dibukukan. Sebuah pekerjaan berat tentu saja bagi pengelola SM-3T.

Untunglah ada Rukin Firda dan Fafi Inayatillah, dua orang alumni Unesa yang selalu siap membantu untuk melakukan penyuntingan. Rukin Firda adalah wartawan senior Jawa Pos yang sempat turun langsung ke daerah pengabdian di Sumba Timur, sehingga dia tahu persis seperti apa kondisi di sana. Hal ini tentu saja sangat membantu dalam proses penyuntingan. Sedangkan Fafi Inayatillah adalah mahasiswa S3 Pendidikan Bahasa Unesa, yang saat ini sedang melakukan penyuntingan untuk buku pengalaman para peserta PPG (Pendidikan Profesi Guru) angkatan pertama. 

Syukurlah, untuk angkatan pertama (2011), telah dihasilkan dua buku: "Ibu Guru, Saya Ingin Membaca" dan "Jangan Tinggalkan Kami". Buku yang lain, yaitu "Setahun Hatiku untuk Sumba", merupakan tulisan penulis tunggal, yaitu Ali As'ari. Buku "Senandung Anak Sulung", merupakan antologi puisi yang dihasilkan oleh peserta PPG SM-3T angkatan pertama dari Prodi Bahasa Indonesia. Ada juga buku "Berbagai di Ujung Negeri", yang merupakan kumpulan tulisan pengalaman saya saat melakukan kunjungan ke berbagai daerah 3T. 

Ternyata, ketika atmosfir cinta menulis itu dibangun, hal ini mampu memberikan inspirasi bagi munculnya para penulis baru. Dua buah buku yang sudah disebut di atas. "Setahun Hatiku untuk Sumba" dan "Senandung Anak Sulung", adalah buku yang ditulis atas inisiatif pribadi para penulisnya. Mereka tidak perlu didorong-dorong untuk menulis. Saat ini pun, para alumni peserta SM-3T angkatan kedua, yang sekarang sedang menempuh PPG, juga tengah menghimpun puisi-pusi yang mereka hasilkan selama mengabdi di tempat penugasan, dan akan diterbitkan sebagai buku antologi puisi.

Saat ini, sebuah buku yang merupakan kumpulan pengalaman peserta SM-3T angkatan kedua, sedang dipersiapkan dengan penyuntingnya Rukin Firda dan saya sendiri. Buku yang lain, yang merupakan kumpulan pengalaman peserta PPG angkatan pertama, juga sedang dipersiapkan, dengan penyuntingnya Fafi Inayatillah dan juga saya sendiri. Selain Rukin Firda dan Fafi Inayatillah, Abdur Rohman, alumnus Unesa juga, sangat berperan dlam membuat layout, desain sampul buku, serta proses pencetakan dan penerbitan 
buku-buku tersebut. 

Menulis memang harus dipaksa bagi orang-orang yang tidak suka atau tidak terampil menulis. Kemampuan menulis merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap orang bila dia ingin bisa bertahan dalam era saat ini dan ke depan. Lebih-lebih bagi seorang calon guru, kemampuan menulis harus dikembangkan dan dilatihkan serta menjadi tuntutan, karena menulis berarti melatih kemampuan berpikir kritis serta pemecahan masalah. Merujuk pendapat Wagner (2008) yang mengemukakan konsep 'the survival skills for new generation', bahwa keterampilan-keterampilan penting untuk bisa bertahan hidup pada generasi baru ini antara lain adalah  critical thinking and problem solving serta effective oral and written communication. 

Jadi, ingin bertahan hidup? Maka menulislah.

Surabaya, 6 April 2014

Wassalam,
LN

Selasa, 08 April 2014

Baca, Baca, Baca!!!

Salah satu tagihan akhir mahasiswa adalah menulis tugas akhir atau skripsi. Di Unesa, pada umumnya, tugas akhir (TA) merupakan tagihan untuk mahasiswa program D3, sedangkan menulis skripsi merupakan tagihan untuk mahasiswa S1.

Menulis TA dan skripsi memerlukan keterampilan yang kompleks. Tidak hanya menyangkut wawasan dalam bidang kajian yang akan ditulis, namun juga kemampuan memahami dan melaksanakan penelitian. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah keterampilan menulis itu sendiri.

Sebagai mahasiswa semester terakhir, seharusnya kemampuan menulis sudah dimiliki, setidaknya keterampilan menulis dasar. Sejak semester awal, tugas-tugas yang berkaitan dengan membaca dan menulis sudah sering diberikan oleh dosen, misalnya dalam bentuk membuat ringkasan, menyiapkan makalah untuk presentasi, membuat proposal dan laporan kegiatan kunjungan atau karyawisata, membuat perencanaan bisnis dan laporannya, dan sebagainya. Namun ternyata, tidak semudah itu melatih keterampilan menulis mahasiswa meskipun semua proses tersebut sudah dilalui. Berbagai hal, baik dari keterbatasan dosen maupun mahasiswa sendiri, seringkali menjadi kendala dalam penulisan TA atau skripsi. 

Pada awal penulisan, mahasiswa cenderung dangkal dalam membuat rasional pentingnya ujicoba atau penelitian, tidak mampu mengidentifikasi masalah, tidak tajam dalam mendeskripsikan masalah, terkesan dipaksakan dalam menyodorkan alternatif pemecahan masalah. Landasan pustaka juga miskin referensi, kalau pun ada, lebih banyak sebagai tempelan, sangat kurang adanya analisis dan atau sintesis atas teori-teori yang digunakan sebagai landasan, tidak berhasil membuat kerangka berpikir, dan pada akhirnya gagal merumuskan hipotesis atau pertanyaan penelitian.

Belum lagi masalah tata tulis. Penulisan tanda baca seperti titik, koma, tanda tanya, titik dua, masih sering terjadi kesalahan. Membedakan awalan dan kata depan, masih banyak yang belum bisa. Membuat kalimat, masih banyak yang kacau strukturnya. Tidak memahami apa itu paragraf dan bagaimana seharusnya sebuah paragraf. Lebih-lebih dalam masalah keruntutan alur pikir, kecermatan dalam membuat kutipan, dan lain sebagainya, semuanya seperti mengajari mulai dari nol.

Khusus untuk referensi, hampir semua dosen pembimbing, khususnya dosen pembimbing mahasiswa S2,  menuntut mahasiswa tidak hanya mengandalkan pada buku-buku, namun juga memperkaya dengan artikel-artikel hasil penelitian dari jurnal, baik jurnal dalam negeri maupun luar negeri. Kemutakhiran juga menjadi tuntutan, buku atau jurnal yang diterbitkan sebelum tahun 2000, tidak diperkenankan. Sumber referensi bila diambil dari internet, tidak boleh dari wikipedia, blog dan sumber yang tidak jelas siapa penulisnya; tetapi harus diambil dari e-journal atau journal online. Hindari sumber referensi yang anonim.

Orisinalitas juga selalu menjadi perhatian bagi setiap dosen pembimbing. Ide, kalau pun bukan sama sekali baru, mahasiswa harus mempu mendeskripsikan 'state of the art' dari penelitiannya. Untuk itu dia harus mengkaji penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan, sehingga dia bisa menunjukkan di mana kebaruan (novelty) dari penelitian yang akan dilakukannya. Juga kejujuran dalam menuliskan sumber-sumber referensi. Apa lagi pada saat-saat sekarang ini, plagiasi merupakan isu yang sangat krusial. 

Perlu kesabaran, ketelatenan, dan kemampuan memberikan motivasi saat kita membimbing mahasiswa dalam mengerjakan TA atau skripsinya. Pada awal-awal pembimbingan, setelah melihat bagaimana kualitas tulisan mereka, saya selalu tekankan, supaya mereka bersabar. Saya mungkin akan memenuhi kertas-kertas konsultasi mereka dengan banyak catatan, coretan, dan mereka harus terbiasa dengan hal tersebut. Saya yakinkan kepada mereka, bahwa mereka memerlukan proses itu. Bila mereka memahami apa yang saya tuntut, mengikuti saran-saran saya, selanjutnya mereka akan tinggal jalan saja.

Membaca tulisan yang di dalamnya banyak terjadi kesalahan tata tulis membuat saya akhirnya lebih banyak fokus membetulkan kesalahan-kesalahan itu, dan menjadi kehilangan fokus pada konten. Maka saya harus tekankan kepada mahasiswa, jangan melakukan kesalahan yang sama, perhatikan catatan-catatan saya, dan benahi tulisan dengan teliti dan cermat.

Namun, tidak semua mahasiswa memiliki kesabaran untuk dibimbing. Seringkali mereka tidak mengindahkan masukan dosen pembimbing. Kesalahan-kesalahan yang sama terus dilakukannya. Penulisan tanda baca, penggunaan awalan dan kata depan, masih berkali-kali terjadi kesalahan. Struktur kalimat dan paragraf tidak kunjung rapi. Referensi masih tetap kering kurang gizi. Mereka terkesan meremehkan caatan-catatan dosen pembimbing, tidak melakukan pengendapan, tidak melakukan perbaikan sesuai saran-saran. Nampak sekali mereka tidak cukup berusaha. Kalau sudah seperti itu, saya juga habis kesabaran. 

Saya akan tulis di berkasnya dengan tulisan besar-besar: "Baca, baca, baca! Atau saya menyerah untuk membimbing Anda, dan silakan Anda cari dosen pembimbing yang lain!"

Tentu saja saya tidak serius dengan ancaman saya. Namun sepanjang pengalaman saya, dalam kondisi tertentu, mahasiswa harus diancam. Hal itu kita maksudkan untuk shock therapy. Dosen pembimbing tahu, pada kondisi seperti apa shock therapy itu harus dilakukan.  

Tak disangka, ternyata cara itu cukup manjur untuk meningkatkan kinerja mahasiswa. Begitu ada ancaman supaya dia cari dosen pembimbing yang lain, dia keder, dan akan jauh lebih hati-hati dalam menulis TA atau skripsinya. Tidak serampangan, tidak asal-asalan. 

Tulisannya akan lebih cermat dan rapi. Kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukannya, meski belum sepenuhnya hilang, sudah sangat berkurang. Dia juga terlihat berusaha untuk membaca lebih banyak referensi. Berusaha melakukan analisis dan sintesis, meski pada umunya, lebih banyak sekadar membuat kesimpulan dari berbagai pendapat para ahli atau dari berbgai teori yang . 

Tidak hanya dosen yang perlu kesabaran dalam membimbing, mahasiswa juga harus bersabar ketika dibimbing. Kesabaran itu akan mengantarkan pada hasil yang cemerlang. 

Tanggulangin, 6 April 2014

Wassalam,
LN

Menjelang Coblosan

Masuk kelas pagi ini, saya menyapa mahasiswa dengan salam dan pertanyaan-pertanyaan "apa kabar? Sudah sarapan belum? Sehat semua kan?" Dan sapaan-sapaan lain, sekadar untuk menghangatkan suasana, sebelum masuk ke materi kuliah.

"Minggu yang lalu kita sudah membahas tentang perencanaan dan penyelenggaraan pangan kemasan, dan pagi ini, kita akan lanjutkan membahas pangan jajanan. Betul?"
"Betul, bu...." Sebagian besar menjawab serempak.
Kemudian saya memberi gambaran singkat tentang perencanaan dan penyelenggaraan pangan jajanan, sambil melakukan tanya jawab, sekedar untuk mengkaitkan pengetahuan awal mahasiswa dengan topik yang akan didiskusikan.

"Baik, siapa yang akan tampil hari ini?"
Tiga orang mengangkat tangan. Mereka satu kelompok. Pagi ini mereka akan mempresentasikan makalah kelompok mereka. 

"Siapa lagi?"
Tiga orang angkat tangan lagi. Mereka juga satu kelompok. Sebagai kelompok penyaji kedua, dengan topik yang sama. Ya, setiap topik memang disajikan oleh dua kelompok, supaya pembahasan topik lebih lengkap, dan supaya ada semangat di antara kedua kelompok penyaji itu untuk membuat makalah presentasi dan menampilkannya sebaik mungkin. 

"Baik, silakan, kelompok pertama dulu."

Sementara kelompok pertama bersiap untuk presentasi, saya berkeliling kelas. 

"Ngomong-ngomong, besok coblosan ya. Semua nyoblos?"
"Tidaaakkkkk....!!!"
"Hah?" Saya kaget. Tidak menyangka jawaban mereka sekompak itu. Mereka malah tertawa melihat kekagetan saya.

"Tidak bagaimana?"
"Tidak nyoblos, bu."
"Kenapa?"
"Malas pulang, bu".
"Banyak tugas, bu". 
"Mending di kost saja, bu, ngerjakan tugas".
"Pulang juga belum tentu dapat tambahan sangu, bu".
"Mau jalan-jalan saja, bu".
"Golput, bu".

Jawaban itu bersahut-sahutan. Kelas jadi riuh-rendah. Saya penasaran.

"Saya ingin tahu, siapa yang besok berniat nyoblos? Angkat tangan. Saya ingin tahu."

Beberapa dari mereka mengangkat tangan. Tidak lebih dari sepuluh orang. Padahal sekelas sekitar 50 orang. Hanya sekitar seperlimanya saja yang berniat akan menyoblos.

Saya menggeleng-gelengkan kepala. Mereka justeru tertawa melihat saya geleng-geleng kepala penuh keheranan. Saya benar-benar tidak mengira respon mereka seperti itu. Mereka masih berusia 19 tahun, dan ini adalah pengalaman pertama mereka untuk menyoblos para caleg. Pengalaman pertama. Dan mereka tidak peduli, tidak ingin memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Tidak ada rasa ingin tahu seperti apa menyoblos itu dan bagaimana suasana penyoblosan itu.

"Kalian bukan warga negara yang baik". Kata saya, dengan mimik serius. Sekali lagi, mereka justeru tertawa.

"Kok malah tertawa, gimana sih? Generasi muda macam apa kalian?"

Tawa mereka justeru lebih keras. 
"Heh, ketawa lagi." Saya pura-pura marah. "Sudah, besok harus nyoblos semua. Harus."
"Disangoni ya, bu?"
"Nggak mau, bu."
"Sudah pernah, bu."
"Lhoh, kok sudah pernah?" Saya penasaran lagi.
"Pilkada tahun lalu, bu...."
"Kalau sudah pernah, kan sudah cukup, bu..."
Saya melenggang ke depan kelas. "Wis mbuh rek, sekarepmu...."
"Hahaha...." Kelas kembali riuah rendah, dan baru tenang saat diskusi kewirausahaan dimulai.

Selesai mengajar, saya ke kantor jurusan, menengok ruang saya, mengambil seabgrek berkas konsultasi mahasiswa. Juga mengambil setumpuk undangan rapat. Seminggu di luar kota, membuat meja saya penuh sesak.

Lantas saya pamit ke Ketua Jurusan, menuju PPG. Sebelum ke PPG, mampir ke sekretariat IKA Unesa, janjian sama mbak Fafi, mengambil buku dari mas Satria Darma. Buku untuk saya dan mas Rukin, saya ambil dua-duanya. Mbak Fafi wajahnya mengkilat, berlapis pelembab, beberapa hari beraktivitas di pantai Lombok membuat wajah bersihnya musti dinormalkan lagi.

Keluar dari sekretariat, sudah dihadang dua anak Himapala. Biasa, minta tanda tangan surat-surat untuk kegiatan. Kali ini untuk kegiatan hari bumi. Sambil duduk di mobil, saya tanda tangani setumpuk surat itu. 
"Dik, besok nyoblos?"
"Emmm......"
"Nyoblos kan?"
"Emmmm.....insyaallah, mbak."
"Kok ragu-ragu gitu?"
"Ya....insyaallah, mbak."
"Kamu dik?" Saya tanya yang satunya.
"Hehe..."
"Kok hehe?"
"Sama mbak"
"Sama apanya?"
"Sama-sama insyaallah, mbak."
"Sama ragu-ragunya juga?"
"Hehe"
"Yang lain gimana?"
"Banyak yang males pulang, mbak."
"Pulanglah....nyobloslah...."
"Hehe..."
"Haha hehe ae dik kok iku..."
"Hehe..."

Saya meluncur ke PPG. Bersama Anang, yang tenang pegang kemudi. Nanti sore, saya balik ke Ketintang, ngajar di S3 TP sampai maghrib. Pasti capek. Tidak apa-apa. Besok kan libur, bisa istirahat.

Horeee.....besok liburrrr....

BTW, mas Satria, terima kasih bukunya. Akan saya baca besok, mumpung libur. 

Mas Rukin, bukumu di PPG. Bisa diambil kalau naskah buku SM-3T angkatan kedua sudah selesai diedit dan siap saya baca. Kalau belum, jangan harap....


Surabaya, 8 April 2014. 10.00.


Wassalam,
LN
(OTW PPG)