
Ini malam yang melelahkan bagi kami, para juri dan panitia. Sejak
pagi bergelut dengan para calon guru, kepala sekolah, pengawas SD, SMP, SMA,
SMK, SLB berprestasi se-Jawa Timur. Ada yang menilai portofolio, menilai
presentasi karya ilmiah, dan melakukan wawancara. Ada yang kegiatannya di Hotel
Purnama, ada yang di Hotel Batu Suki. Saya kebetulan kebagian di Hotel Batu
Suki, Batu.
Saya sendiri, bersama dua orang teman, satu widyaiswara dan satu pengawas
sekolah senior dan mantan Plt. Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya, adalah
kelompok juri yang melakukan wawancara pada para pengawas SD. Kedua juri dalam
tim saya itu, dilihat dari usia, keduanya jauh lebih senior, dan pasti jauh
lebih berpengalaman. Saya, sambil menjuri, sambil ngangsu kawruh pada beliau
berdua.
Ada 25 pengawas yang harus kami wawancarai. Setiap pengawas kami wawancarai
dalam waktu sekitar 15-30 menit. Dengan jumlah sebanyak itu, kami akan
memerlukan waktu sekitar 10 jam. Maka, meskipun sebenarnya kami diberi waktu
dua hari, kami bertekad menyelesaikannya dalam waktu sehari. Semalam apa pun,
wawancara harus selesai. Tugas-tugas yang lain sudah menunggu di Surabaya.
Nampaknya para pengawas yang akan kami wawancarai juga sepakat dengan
pengaturan jadwal itu. Ikan sepat ikan gabus. Semakin cepat semakin bagus. Yang
penting tidak mengorbankan mutu dan target kegiatan.
Sepanjang wawancara yang kami lakukan, tentu saja ada banyak tipe pengawas yang
kami temui. Pengawas yang tidak memahami substansi terkait dengan tupoksi
kepengawasan, banyak. Pengawas yang tidak memahami dasar hukum kepengawasan,
juga banyak. Pengawas yang sudah beberapa tahun tidak pernah meneliti, ada.
Pengawas yang tidak bisa menjelaskan proses supervisi manajerial, supervisi
akademik, dan evaluasi pendidikan, lumayan banyak. Pengawas yang....nah ini
yang paling banyak, tidak memiliki keterampilan berbahasa Inggris dan tidak
memiliki atau melakukan aktivitas di bidang seni budaya, hampir semua.
Tapi di antara para pengawas yang saya sebut itu, ada sekitar lima sampai enam
orang pengawas yang sangat bagus, kecuali, ya, keterampilan berbahasa Inggris.
Para pengawas itu sangat kreatif, mereka tipe orang-orang yang mau 'soro',
tidak puas hanya dengan melakukan hal-hal yang rutin. Mereka sangat memahami
masalah-masalah yang dihadapi sekolah-sekolah binaannya, mampu mendorong guru
melakukan inovasi proses pembelajaran dan penilaian, dan bahkan menciptakan
metode-metode pembelajaran yang kreatif. Ada metode pembelajaran 'Asyik', ada
'Galaksi', dan lain-lain, yang semuanya adalah hasil rekayasa mereka sendiri,
dan diterapkan untuk pembelajaran di sekolah-sekolah binaan mereka. Di antara
pengawas itu, ada yang juga rajin menulis di media ilmiah, ada yang juara tari,
ada yang pintar memainkan keyboard, ada yang suaranya persis Bang Haji Rhoma
Irama. Keren. Asyik banget mengobrol dengan para pengawas yang super itu.
Proses wawancara berjalan lancar sekali. Kami tidak beristirahat kecuali hanya
untuk makan dan salat. Mulai pukul 10.30 sampai pukul 23.00. Semua lancar dan
menyenangkan. Meski, harus diakui, kami sangat lelah.
Sampai tiba pada pengawas terakhir yang harus kami wawancarai. Seorang ibu dari
sebuah kabupaten (tidak perlu saya sebutkan nama orang dan nama kabupatennya),
sangat enerjik, nampak cerdas, dan ternyata memang cerdas. Dia paham betul
bagaimana tugas-tugas kepengawasan dan melakukannya dengan relatif baik. Dia
juga jago menari dan prestasinya dalam bidang menari juga cukup banyak. Dia
rajin menjalin kerja sama dengan lembaga lain untuk benchmarking dan membawa
sekolah-sekolah binaannya untuk belajar pada lembaga-lembaga tersebut. Karya
ilmiahnya, berupa Penelitian Tindakan Sekolah (PTS), bejibun, 14 karya, selama
lima tahun. Hebat kan?
Kami sangat senang mengobrol dengannya. Sampai tak terasa, mungkin sampai
memakan waktu hampir lewat setengah jam. Begitu selesai, kami menyalaminya.
"Selamat ya, Bu. Sukses ya."
"Inggih, Bu, Pak. Maturnuwun." Dia mengulurkan tangannya, ramah.
Lantas kami bertiga sibuk mengisi form nilai. Lega. Akhirnya selesai sudah
wawancara ini. Ibu itu masih berdiri di depan kami, membereskan
berkas-berkasnya. Tiba-tiba....
"Bu, nyuwun sewu, sekedar oleh-oleh." Dia meletakkan map di depan
kami bertiga.
"Apa ini, Bu?" Tanya saya spontan.
"Kain, Bu. Oleh-oleh."
"Waduh, jangan, Bu. Maaf, saya tidak bisa menerima. Maaf, Bu, mohon dibawa
kembali." Saya kembalikan barang itu, spontan juga. Tanpa meminta
pertimbangan pada dua juri yang lain.
Begitu ibu itu berlalu dan membawa semua barangnya keluar ruangan, saya meminta
maaf pada kedua juri di sebelah kanan dan kiri saya.
"Bapak, maaf, langsung saya tolak, tidak apa-apa kan?"
"O, tidak apa-apa, Ibu. Harus. Itu yang bener. Dari pada nanti kita musti
cari orangnya untuk mengembalikan barang pemberiannya, lebih baik begitu,
langsung ditolak."
Syukurlah. Senang karena kami satu tim seide. Bahkan kami akhirnya bersepakat,
skor bagus dari kami untuk ibu pengawas tadi, langsung kami 'plorotkan' pada
skor terendah, tanpa mengubah skor pada tiap item, dan hanya memberi catatan
pada skor yang kami bubuhkan: "kejujuran, sportivitas, karakter, tidak
terpuji. Tidak layak jadi pengawas berprestasi."
Selidik punya selidik, ternyata ibu pengawas yang 'loman' itu juga melakukan
hal yang sama di meja-meja yang lain. Yang dia masukkan ke map itu, tidak hanya
kain, Saudara, tapi juga amplop. Tentu saja amplop berisi uang. Ingin tahu
berapa jumlahnya? Mana saya tahu? Karena tidak ada satu juri pun yang sempat
membukanya. Ada juri yang sempat membuka mapnya, dan begitu tahu di situ
terselip amplop berisi uang, dia langsung mengembalikan pada yang bersangkutan.
Menyogok. Ya, itulah yang sedang terjadi di acara seleksi guru, kepala sekolah
dan pengawas sekolah se-Jawa Timur ini. Praktik yang hanya dilakukan oleh satu
orang saja, di antara ratusan para tenaga pendidik dan kependidikan itu, namun
cukup membuat prihatin kita semua.
Praktik menyogok atau suap ini sudah belasan bahkan puluhan kali saya alami.
Sepanjang pengalaman saya jadi asesor akreditasi sekolah di Jawa Timur dan di
Kota Surabaya, banyak sekolah yang saya visitasi, berusaha untuk melakukan
penyuapan dengan berbagai cara. Tidak semua sekolah, memang, tapi banyak
sekolah. Kalau hanya memberi kalender dan jam dinding berlogo sekolah, mungkin
masih bisa ditolerir. Tapi kalau sudah memberi amplop berisi uang, ini benar-benar
pelecehan kredibilitas asesor. Saya dan teman-teman yang seide, menolak keras
praktik tersebut, dan benar-benar merasa dilecehkan oleh sekolah-sekolah yang
melakukannya pada kami. Marah, sekaligus prihatin. Ini dunia pendidikan gitu
loh. Kalau praktik sogok-menyogok seperti ini menjadi 'budaya', mau dikemanakan
dunia pendidikan kita?
Tentu saja tidak hanya dalam hal-hal yang saya ceritakan itu saja praktik itu
terjadi. Sudah menjadi rahasia umum jika seseorang musti mengeluarkan sejumlah
dana untuk bisa lolos menjadi CPNS guru, menjadi kepala sekolah, menjadi kepala
bidang, kepala sub-bidang, dan lain-lain. Tidak semuanya memang. Tapi banyak
terjadi, di banyak tempat. Hadeh. Bergidik. Ngeri. Sedih. Prihatin. Entah
bagaimana caranya menghentikan semuanya ini...
Batu, 10 Juni 2014
Wassalam,
LN