Pages

Rabu, 11 Juni 2014

Menyogok

Ini malam yang melelahkan bagi kami, para juri dan panitia. Sejak pagi bergelut dengan para calon guru, kepala sekolah, pengawas SD, SMP, SMA, SMK, SLB berprestasi se-Jawa Timur. Ada yang menilai portofolio, menilai presentasi karya ilmiah, dan melakukan wawancara. Ada yang kegiatannya di Hotel Purnama, ada yang di Hotel Batu Suki. Saya kebetulan kebagian di Hotel Batu Suki, Batu.

Saya sendiri, bersama dua orang teman, satu widyaiswara dan satu pengawas sekolah senior dan mantan Plt. Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya, adalah kelompok juri yang melakukan wawancara pada para pengawas SD. Kedua juri dalam tim saya itu, dilihat dari usia, keduanya jauh lebih senior, dan pasti jauh lebih berpengalaman. Saya, sambil menjuri, sambil ngangsu kawruh pada beliau berdua.

Ada 25 pengawas yang harus kami wawancarai. Setiap pengawas kami wawancarai dalam waktu sekitar 15-30 menit. Dengan jumlah sebanyak itu, kami akan memerlukan waktu sekitar 10 jam. Maka, meskipun sebenarnya kami diberi waktu dua hari, kami bertekad menyelesaikannya dalam waktu sehari. Semalam apa pun, wawancara harus selesai. Tugas-tugas yang lain sudah menunggu di Surabaya. Nampaknya para pengawas yang akan kami wawancarai juga sepakat dengan pengaturan jadwal itu. Ikan sepat ikan gabus. Semakin cepat semakin bagus. Yang penting tidak mengorbankan mutu dan target kegiatan.

Sepanjang wawancara yang kami lakukan, tentu saja ada banyak tipe pengawas yang kami temui. Pengawas yang tidak memahami substansi terkait dengan tupoksi kepengawasan, banyak. Pengawas yang tidak memahami dasar hukum kepengawasan, juga banyak. Pengawas yang sudah beberapa tahun tidak pernah meneliti, ada. Pengawas yang tidak bisa menjelaskan proses supervisi manajerial, supervisi akademik, dan evaluasi pendidikan, lumayan banyak. Pengawas yang....nah ini yang paling banyak, tidak memiliki keterampilan berbahasa Inggris dan tidak memiliki atau melakukan aktivitas di bidang seni budaya, hampir semua.

Tapi di antara para pengawas yang saya sebut itu, ada sekitar lima sampai enam orang pengawas yang sangat bagus, kecuali, ya, keterampilan berbahasa Inggris. Para pengawas itu sangat kreatif, mereka tipe orang-orang yang mau 'soro', tidak puas hanya dengan melakukan hal-hal yang rutin. Mereka sangat memahami masalah-masalah yang dihadapi sekolah-sekolah binaannya, mampu mendorong guru melakukan inovasi proses pembelajaran dan penilaian, dan bahkan menciptakan metode-metode pembelajaran yang kreatif. Ada metode pembelajaran 'Asyik', ada 'Galaksi', dan lain-lain, yang semuanya adalah hasil rekayasa mereka sendiri, dan diterapkan untuk pembelajaran di sekolah-sekolah binaan mereka. Di antara pengawas itu, ada yang juga rajin menulis di media ilmiah, ada yang juara tari, ada yang pintar memainkan keyboard, ada yang suaranya persis Bang Haji Rhoma Irama. Keren. Asyik banget mengobrol dengan para pengawas yang super itu.

Proses wawancara berjalan lancar sekali. Kami tidak beristirahat kecuali hanya untuk makan dan salat. Mulai pukul 10.30 sampai pukul 23.00. Semua lancar dan menyenangkan. Meski, harus diakui, kami sangat lelah.

Sampai tiba pada pengawas terakhir yang harus kami wawancarai. Seorang ibu dari sebuah kabupaten (tidak perlu saya sebutkan nama orang dan nama kabupatennya), sangat enerjik, nampak cerdas, dan ternyata memang cerdas. Dia paham betul bagaimana tugas-tugas kepengawasan dan melakukannya dengan relatif baik. Dia juga jago menari dan prestasinya dalam bidang menari juga cukup banyak. Dia rajin menjalin kerja sama dengan lembaga lain untuk benchmarking dan membawa sekolah-sekolah binaannya untuk belajar pada lembaga-lembaga tersebut. Karya ilmiahnya, berupa Penelitian Tindakan Sekolah (PTS), bejibun, 14 karya, selama lima tahun. Hebat kan?

Kami sangat senang mengobrol dengannya. Sampai tak terasa, mungkin sampai memakan waktu hampir lewat setengah jam. Begitu selesai, kami menyalaminya.

"Selamat ya, Bu. Sukses ya."
"Inggih, Bu, Pak. Maturnuwun." Dia mengulurkan tangannya, ramah.

Lantas kami bertiga sibuk mengisi form nilai. Lega. Akhirnya selesai sudah wawancara ini. Ibu itu masih berdiri di depan kami, membereskan berkas-berkasnya. Tiba-tiba....

"Bu, nyuwun sewu, sekedar oleh-oleh." Dia meletakkan map di depan kami bertiga.
"Apa ini, Bu?" Tanya saya spontan.
"Kain, Bu. Oleh-oleh."
"Waduh, jangan, Bu. Maaf, saya tidak bisa menerima. Maaf, Bu, mohon dibawa kembali." Saya kembalikan barang itu, spontan juga. Tanpa meminta pertimbangan pada dua juri yang lain.

Begitu ibu itu berlalu dan membawa semua barangnya keluar ruangan, saya meminta maaf pada kedua juri di sebelah kanan dan kiri saya.
"Bapak, maaf, langsung saya tolak, tidak apa-apa kan?"
"O, tidak apa-apa, Ibu. Harus. Itu yang bener. Dari pada nanti kita musti cari orangnya untuk mengembalikan barang pemberiannya, lebih baik begitu, langsung ditolak."

Syukurlah. Senang karena kami satu tim seide. Bahkan kami akhirnya bersepakat, skor bagus dari kami untuk ibu pengawas tadi, langsung kami 'plorotkan' pada skor terendah, tanpa mengubah skor pada tiap item, dan hanya memberi catatan pada skor yang kami bubuhkan: "kejujuran, sportivitas, karakter, tidak terpuji. Tidak layak jadi pengawas berprestasi."   

Selidik punya selidik, ternyata ibu pengawas yang 'loman' itu juga melakukan hal yang sama di meja-meja yang lain. Yang dia masukkan ke map itu, tidak hanya kain, Saudara, tapi juga amplop. Tentu saja amplop berisi uang. Ingin tahu berapa jumlahnya? Mana saya tahu? Karena tidak ada satu juri pun yang sempat membukanya. Ada juri yang sempat membuka mapnya, dan begitu tahu di situ terselip amplop berisi uang, dia langsung mengembalikan pada yang bersangkutan.

Menyogok. Ya, itulah yang sedang terjadi di acara seleksi guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah se-Jawa Timur ini. Praktik yang hanya dilakukan oleh satu orang saja, di antara ratusan para tenaga pendidik dan kependidikan itu, namun cukup membuat prihatin kita semua.

Praktik menyogok atau suap ini sudah belasan bahkan puluhan kali saya alami. Sepanjang pengalaman saya jadi asesor akreditasi sekolah di Jawa Timur dan di Kota Surabaya, banyak sekolah yang saya visitasi, berusaha untuk melakukan penyuapan dengan berbagai cara. Tidak semua sekolah, memang, tapi banyak sekolah. Kalau hanya memberi kalender dan jam dinding berlogo sekolah, mungkin masih bisa ditolerir. Tapi kalau sudah memberi amplop berisi uang, ini benar-benar pelecehan kredibilitas asesor. Saya dan teman-teman yang seide, menolak keras praktik tersebut, dan benar-benar merasa dilecehkan oleh sekolah-sekolah yang melakukannya pada kami. Marah, sekaligus prihatin. Ini dunia pendidikan gitu loh. Kalau praktik sogok-menyogok seperti ini menjadi 'budaya', mau dikemanakan dunia pendidikan kita?

Tentu saja tidak hanya dalam hal-hal yang saya ceritakan itu saja praktik itu terjadi. Sudah menjadi rahasia umum jika seseorang musti mengeluarkan sejumlah dana untuk bisa lolos menjadi CPNS guru, menjadi kepala sekolah, menjadi kepala bidang, kepala sub-bidang, dan lain-lain. Tidak semuanya memang. Tapi banyak terjadi, di banyak tempat. Hadeh. Bergidik. Ngeri. Sedih. Prihatin. Entah bagaimana caranya  menghentikan semuanya ini...

Batu, 10 Juni 2014

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...