Pages

Kamis, 26 Juni 2014

PPPG Sebagai Penggerak Literasi

Ada Sirikit Syah, Satria Darma, Much. Khoiri dan Ahmad Wahju, mereka adalah dedengkot literasi. Pemilik Sirikit School of Writing, Eurika Academia, Jalindo, dan Indonesia Menulis.

Ada Anwar Djaelani, dialah motor Bina Qalam, yang selalu mengatakan, menulis itu jihad yang menyenangkan. Pegiat literasi yang lain, Eko Prasetyo, Suhartoko, Abdur Rohman, Eko Pamuji, hadir membaur di antara kerumunan para peserta PPG.

Buka mata, buka telinga, buka hati, buka akal pikiran, begitu kata Sirikit, supaya kita bisa menulis. Lihat orang-orang di sekitar kita. everyone has their own story. Gunakan waktu untuk mengamati, menemukan hal-hal yang menarik, dan tuliskan. Daripada main game dan FB-an.

Menulis itu gampang, kata Arswendo. Menulis itu sulit, kata Budi Darma. Bergantung apa yang kita tulis, kata Khoiri. Kalau kita menulis tentang perasaan kita, tentang kisah-kisah hidup kita, itu gampang. Lebih banyak pakai otak kanan. Tapi kalau kita menulis sesuatu yang harus dibatasi dengan aturan-aturan penulisan ini-itu, itu yang sulit. Lebih mengandalkan otak kiri. Menulis yang baik adalah menggunakan kedua belahan otak kita, kanan dan kiri. Dan itu, tentu saja, tiidak mudah. Perlu ketekunan, perlu keuletan, seringkali perlu pengeraman, untuk menghasilkan tulisan yang memuaskan.

Tulisan mampu menorehkan sejarah. Apa yang diperjuangkan dengan otot, seperti Negara Sparta, akan hilang dengan cepat. Apa yang diperjuangkan dengan tulisan, akan 'abadi', seperti tulisan para filsuf. Plato, Socrates, siapa yang tidak kenal? Mereka berjuang dengan tulisan. Dan mereka 'abadi'.

Iqra'. Bacalah. Maka ke mana-mana, bawalah buku, kata Satria Darma. Membaca itu perintah, bukan anjuran. Perintah Tuhan. Perintah yang jauh lebih tinggi daripada perintah Direktur PPG, lebih tinggi daripada perintah Rektor, lebih tinggi daripada perintah Mendiknas, bahkan Presiden sekali pun.

Urusan literasi bukan urusan seseorang, sebuah lembaga, atau urusan sektor tertentu. Urusan literasi menjadi urusan semua. Itulah pentingnya membangun jaringan dengan semua pihak. Indonesia Menulis tidak hanya mengurus Jawa Timur, tapi di seluruh wilayah Indonesia. Di Papua, di NTT, di Sulawesi, mari kita membangun 'Indonesia Menulis'. Begitu kata Ahmad Wahju, yang telah menjalin sinergi dengan banyak pihak, lintas sektor, lintas daerah.

Ketika kita ceramah, berapa banyak orang yang akan mendengarkan? Tanya Sirikit. Berapa banyak orang yang akan memahami? Berapa banyak orang yang akan tetap mengingat? Dengan menulis, sekali kita menulis, tulisan itu akan dibaca orang berlipa-lipat kali lebih banyak, tulisan bisa disimpan, bisa diabadikan bertahun-tahun bahkan berabad-abad setelahnya. Jadi, mulailah menulis.

Ada banyak cerita selama mengikuti Program PPG. Ada cerita sedih, ada cerita suka. Air macet, menu makanan yang membosankan, workshop yang menjemukan, hanyalah sebagian cerita sedih. Dosen yang bersahabat, teman-teman yang baik, pengelola yang peduli, main musik, main futsal, adalah sedikit cerita yang menyenangkan. Kata Fafi Inayatillah--editor buku 'Pelangi di Panggung PPG'-- yang cantik itu, bagaimana pun, buku ini lebih banyak berisi cerita suka daripada cerita duka. Tulisan yang sangat beragam, menarik, meski harus diotak-otik agar lebih cantik.

Lain lagi dengan cerita tentang peserta SM-3T di Sumba Timur. Meski sudah ada 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca' dan 'Jangan Tinggalkan Kami', cerita tentang Sumba Timur seperti tak pernah habis. Betapa sulitnya mendapatkan air, sehingga seorang peserta harus mandi dan membersihkan diri dengan tisu basah. Betapa suka duka mengajar anak-anak yang tertinggal...betapa inginnya mewujudkan mimpi-mimpi mereka....semuanya terangkum dalam buku yang disunting Rukin Firda: 'Mimpiku, Mimpimu, Mimpi Kita.'

Hari ini adalah hari yang luar biasa. Ada lagu 'Kami Peduli', tari Bali, tari saman, dan tari Timor. Ada belasan pegiat literasi bertemu dalam sebuah dialog yang mencerahkan, menginspirasi, penuh semangat, dengan ratusan anak muda yang begitu antusias bertanya.

Mereka, anak-anak muda itu, akan menjadi tumpuan harapan pengembangan budaya literasi di PPG. Mereka calon guru yang akan menjadi guru-guru profesional yang cinta literasi. Mereka akan menularkan kecintaan itu pada anak didik. Mereka akan membuat setiap anak suka membaca dan menulis. Mereka akan mengubah statistik membaca yang menyebabkan Indonesia mengalamai tragedi nol buku.

Dan para pegiat literasi, yang telah membubuhkan tanda tangan di pigura pencanangan PPPG sebagai Penggerak Literasi, akan membantu mewujudkan mimpi itu. Mimpi ada panggung besar di PPG. Panggung yang tak pernah sepi menampilkan pertunjukan membaca, menulis, membedah, meluncurkan buku-buku. Panggung yang mampu menyedot penonton yang tidak hanya ingin menjadi penonton. Bersama-sama memainkan peran sebagai pejuang, membangun peradaban.

Para pegiat itu, merekalah ahlinya literasi. Terima kasih sudah sudi hadir, membagi inspirasi, menyemangati, membangkitkan mimpi.

Gedung Wiyata Mandala, PPPG, 26 Juni 2014

Wassalam,

LN  

1 komentar

Darman 9 Juli 2014 pukul 14.55

Menulis merupakan pekerjaan yang sangat menyenangkan. :)

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...