Pada 2009, saya berhaji bersama suami, mas Baskoro Adjie ,dan bapak ibu mertua. Pada saat itu, saya berusia 42 tahun, dan suami 46 tahun. Ibu berusia 67 tahun, dan bapak berusia 74 tahun.
Berhaji bersama orang tua, tentulah sebuah berkah dan
kebahagiaan yang luar biasa. Tantangan dan ujiannya juga mungkin luar biasa.
Haji adalah ibadah fisik. Untuk bisa melaksanakan semua wajib dan rukun haji,
kita sendiri harus memastikan diri sendiri dalam kondisi kesehatan yang prima.
Apa lagi dengan membawa orang tua, kita harus ekstra sehat lahir dan batin,
fisik dan mental. Harus mampu mengendalikan diri supaya bisa menyesuaikan
dengan ritme kondisi fisik dan psikis orang tua.
Ibadah haji bagi sebagian kecil orang, bukanlah sesuatu yang
istimewa. Bagi para pembimbing haji, misalnya, Madinah dan Makkah ibarat rumah
kedua. Bagi para pemilik biro travel dan umroh beserta para tour leader-nya,
haji adalah aktivitas ibadah yang ritualnya sudah di luar kepala. Bagi para
panitia dan petugas haji yang tergabung dalam Kementerian Agama, bertandang ke
Tanah Suci seperti layaknya melakukan tugas-tugas perjalanan dinas saja, meski
dengan mengemban tanggung jawab yang super berat untuk memastikan segala
sesuatu berjalan lancar dan aman.
Namun bagi kebanyakan orang lainnya, termasuk kami, haji
adalah sebuah proyek besar. Harus dipersiapkan segala sesuatunya, jauh-jauh
hari. Menguatkan niat, mengikhtiarkan untuk mewujudkan niat, dan melaksanakan
niat itu dengan sesempurna mungkin. Karena bisa jadi, ini adalah kesempaan
satu-satunya selama hidup. Belum tentu akan datang lagi, apa lagi dengan
kondisi yang harus mengantri puluhan tahun seperti saat ini.
Tahun 2011, saya dan suami kembali ke Baitullah bersama anak
semata wayang kami, Barrock Argashabri Adji , untuk menunaikan umrah. Saat itu
adalah bulan suci Ramadhan. Suhunya sama atau bahkan lebih tinggi seperti saat
ini, berkisar 46-48 derajat Celcius. Tantangannya tentu tidak ringan, bukan
hanya karena cuaca panas. Namun juga karena waktu berpuasa di Tanah Suci lebih
panjang. Sekitar pukul 04.00 masuk waktu shubuh, dan maghrib pada sekitar pukul
19.00. Isya sekitar pukul 21.00, kemudian tarawih sampai sekitar pukul 23.00.
Sebagaimana kita tahu, tarawih di Tanah Suci adalah ritual yang panjang. Kita
hanya punya waktu istirahat sekitar tiga jam untuk kemudian melakukan sahur,
dan bergegas menuju masjid untuk melakukan shalat shubuh berjamaah. Namun
semuanya itu, bila kita menghayatinya, betapa nikmatnya.
Pada musim haji 2023 ini, dengan caranya, tiba-tiba Allah
SWT memanggil saya lagi untuk menjadi tamunya. Dan yang lebih istimewa lagi,
saya diberi kesempatan untuk melihat banyak hal terkait dengan penyelenggaraan
ibadah haji. Saya bisa melihat akomodasi, konsumsi, transportasi, layanan
lansia, dan sebagainya. Saya bisa ngobrol apa saja dengan para jamaah, ketua
regu, ketua rombongan, ketua kloter, dan seterusnya. Saya bahkan bisa melihat
kamar-kamar para jamaah, menu makanan mereka, dan bagaimana para petugas
melayani mereka.
Rabu, 21 Juni yang lalu, saya berkesempatan menengok sebuah
hotel di sektor 11. Mengunjungi sebuah kamar yang isinya empat orang lansia.
Salah satu di antaranya, saya lupa namanya, adalah "pelayan" untuk
ketiga lansia yang lain. Ya, meskipun dia sendiri sudah termasuk lansia,
terlihat dari garis wajah dan rambut serta kumisnya yang sudah memutih, dia
harus bertugas melayani teman-teman sekamarnya itu. Dia, sebuat saja pak
Yadi, kondisi fisiknya memang terlihat
paling sehat dan paling kuat di antara ketiganya.
Dua orang mengidap dimensia, saya perkirakan usianya sudah
di atas 70 atau bahkan 80 tahun. Satu lagi, sepertinya tidak terlalu banyak
memerlukan pelayanan ekstra seperti yang dua lansia ini, karena masih bisa
melayani diri sendiri meskipun perlu sesekali dibantu.
Dua lansia pengidap dimensia itu sedang tidur saat saya
datang. Tubuh kurusnya tergolek di kasur. Tidak ada keluarga yang
mendampinginya. Keduanya kadangkala lupa di mana tempat tidurnya. Ke kamar
mandi harus dipapah. Tidak jarang, sebelum sampai ke kamar mandi, kotoran sudah
keluar duluan atau sudah kencing duluan. Pak Yadilah yang kemudian membersihkan
semuanya. Memandikannya, dan memasangkan popok.
Pak Yadi juga menyuapi mereka. Memastikan mereka meminum
obatnya. Memandikan mereka setiap hari, memasang dan melepas popoknya. Tidak
jarang, dia harus beberapa kali
terbangun di tengah malam, karena harus melayani para lansia tersebut.
Pak Yadi menceritakan itu semua sambil menangis. Bukan
karena dia merasa berat hati. Tapi karena justeru dia merasa trenyuh, merasa
terpanggil untuk mengurus mereka, dengan sekuat tenaga. Dia bilang, ‘sak
kuat-kuate, Bu, kulo urus, mesakne sanget, Bu. Mboten wonten keluarga babar
blas.”
Kesalehan sosial yang begitu kental, itulah yang saya lihat
pada sosoknya. Mata saya ikut mbrebes mili mendengar kisahnya dan melihat
ketiga ‘momongan’nya itu.
Saya ingat orang tua saya. Saat berhaji dulu, saya dan suami
berusaha sepenuhya melayani semua kebutuhannya. Tapi itu adalah orang tua kami.
Melayani beliau berdua adalah sesuatu yang ‘given’. Kewajiban setiap anak pada
orang tuanya. Namun sesuatu yang sangat menyentuh adalah kesalehan sosial
orang-orang di sekitar kami. Setiap kali kami menunaikan umroh, ketika thawaf
dan sai, secara bergantian teman-teman serombongan kami dengan suka hati
bergantian menuntun Bapak dan Ibu kami. Juga pada saat puncak haji di Arafah,
Muzdalifah, dan Mina.
Lain halnya dengan Pak Yadi ini, ketiga orang sepuh itu sama
sekali ‘dudu sanak dudu kadang’nya. Namun dengan kesalehan sosial yang
dimilikinya, dia melakukan semuanya sebagai sebuah kewajiban. Sungguh
mengharukan. Semoga Allah memberinya kekuatan dan kesehatan lahir dan batin,
sehingga dia bisa terus melayani dan menunaikan ibadahnya sendiri dengan
sempurna. Itulah doa yang dia panjatkan setiap saat.
Tentu kesalehan sosial semacam itu tidak hanya pada kasus
Pak Yadi satu-satunya. Di banyak tempat kita bisa merasakan, betapa
hablumminannas itu begitu kental. Pada
satu kloter tertentu, misalnya, setiap jamaah lansia yang berkursi roda sudah
memiliki tiga orang pendamping, yang notabene adalah para jamaah di kloter
tersebut. Mereka dengan suka cita menjadi relawan untuk para sepuh.
Kesalehan sosial tentu saja juga diperlihatkan oleh para
petugas haji. Sejak jamaah bersiap berangkat, selama di perjalanan, ketika
sampai di tempat tujuan, dan seterusnya, sampai pada pendampingan ibadah
mereka, ada petugas yang selalu siap membantu, selain para pendamping yang
mungkin mereka miliki. Ada juga mahasiswa yang menjadi tim pendukung yang
mendedikasikan diri mereka untuk melayani para jamaah. Para petugas dan tim
pendukung itu ada di mana-mana. Di terminal kedatangan, di jalan-jalan, di
hotel-hotel, di Masjid Nabawi, di tempat-tempat miqat, di Masjidil Haram, di
dekat toilet-toilet, di pintu masuk dan pintu keluar masjid, dan sebagainya.
Lengkap dengan seragam mereka yang khas, yang menandakan mereka adalah petugas
ibadah haji Indonesia 2023. Melihat seorang petugas menyeberangkan jamaah di
jalan-jalan, dan bahkan membantu membawakan bawaan mereka, adalah pemandangan
yang sangat lazim.
Sebagaimana kita tahu, pada musim haji 2023 ini, jumlah
lansia mencapai sekitar sepertiga jumlah jamaah. Lansia dengan berbagai
kondisinya. Pengidap stroke, dimensia, lumpuh, tunanetra, komplikasi, dan
sebagainya.
Negara hadir untuk melayani mereka sebaik-baiknya. Komitmen
‘Haji Ramah Lansia” betapa tidak mudah untuk diwujudkan. Namun ikhtiar untuk
menyediakan kondisi yang aman, nyaman, menyenangkan, dan tentu saja syar’i,
terus-menerus dilakukan. Tentu tidak sesempurna sebagaimana diharapkan oleh
setiap orang. Namun bagi orang yang sudah pernah mengalami berhaji sebelumnya,
tidak bisa dipungkiri, betapa peningkatan layanan di semua hal begitu terasa
sangat signifikan.
Semoga Allah memuliakan para tamunya di Tanah Suci,
memuliakaan para pemimpin dan setiap orang yang telah dan terus berkomitmen
untuk menunaikan kebajikan bagi umat. Amiin Allahumma amiin.
Makkah Almukarramah, 23 Juni 2023