Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 23 Juni 2023

Kesalehan Sosial di Tanah Haram


Pada 2009, saya berhaji bersama suami, mas Baskoro Adjie ,dan bapak ibu mertua. Pada saat itu, saya berusia 42 tahun, dan suami 46 tahun. Ibu berusia 67 tahun, dan bapak berusia 74 tahun.

Berhaji bersama orang tua, tentulah sebuah berkah dan kebahagiaan yang luar biasa. Tantangan dan ujiannya juga mungkin luar biasa. Haji adalah ibadah fisik. Untuk bisa melaksanakan semua wajib dan rukun haji, kita sendiri harus memastikan diri sendiri dalam kondisi kesehatan yang prima. Apa lagi dengan membawa orang tua, kita harus ekstra sehat lahir dan batin, fisik dan mental. Harus mampu mengendalikan diri supaya bisa menyesuaikan dengan ritme kondisi fisik dan psikis orang tua.

Ibadah haji bagi sebagian kecil orang, bukanlah sesuatu yang istimewa. Bagi para pembimbing haji, misalnya, Madinah dan Makkah ibarat rumah kedua. Bagi para pemilik biro travel dan umroh beserta para tour leader-nya, haji adalah aktivitas ibadah yang ritualnya sudah di luar kepala. Bagi para panitia dan petugas haji yang tergabung dalam Kementerian Agama, bertandang ke Tanah Suci seperti layaknya melakukan tugas-tugas perjalanan dinas saja, meski dengan mengemban tanggung jawab yang super berat untuk memastikan segala sesuatu berjalan lancar dan aman.

Namun bagi kebanyakan orang lainnya, termasuk kami, haji adalah sebuah proyek besar. Harus dipersiapkan segala sesuatunya, jauh-jauh hari. Menguatkan niat, mengikhtiarkan untuk mewujudkan niat, dan melaksanakan niat itu dengan sesempurna mungkin. Karena bisa jadi, ini adalah kesempaan satu-satunya selama hidup. Belum tentu akan datang lagi, apa lagi dengan kondisi yang harus mengantri puluhan tahun seperti saat ini.

Tahun 2011, saya dan suami kembali ke Baitullah bersama anak semata wayang kami, Barrock Argashabri Adji , untuk menunaikan umrah. Saat itu adalah bulan suci Ramadhan. Suhunya sama atau bahkan lebih tinggi seperti saat ini, berkisar 46-48 derajat Celcius. Tantangannya tentu tidak ringan, bukan hanya karena cuaca panas. Namun juga karena waktu berpuasa di Tanah Suci lebih panjang. Sekitar pukul 04.00 masuk waktu shubuh, dan maghrib pada sekitar pukul 19.00. Isya sekitar pukul 21.00, kemudian tarawih sampai sekitar pukul 23.00. Sebagaimana kita tahu, tarawih di Tanah Suci adalah ritual yang panjang. Kita hanya punya waktu istirahat sekitar tiga jam untuk kemudian melakukan sahur, dan bergegas menuju masjid untuk melakukan shalat shubuh berjamaah. Namun semuanya itu, bila kita menghayatinya, betapa nikmatnya.

Pada musim haji 2023 ini, dengan caranya, tiba-tiba Allah SWT memanggil saya lagi untuk menjadi tamunya. Dan yang lebih istimewa lagi, saya diberi kesempatan untuk melihat banyak hal terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji. Saya bisa melihat akomodasi, konsumsi, transportasi, layanan lansia, dan sebagainya. Saya bisa ngobrol apa saja dengan para jamaah, ketua regu, ketua rombongan, ketua kloter, dan seterusnya. Saya bahkan bisa melihat kamar-kamar para jamaah, menu makanan mereka, dan bagaimana para petugas melayani mereka.

Rabu, 21 Juni yang lalu, saya berkesempatan menengok sebuah hotel di sektor 11. Mengunjungi sebuah kamar yang isinya empat orang lansia. Salah satu di antaranya, saya lupa namanya, adalah "pelayan" untuk ketiga lansia yang lain. Ya, meskipun dia sendiri sudah termasuk lansia, terlihat dari garis wajah dan rambut serta kumisnya yang sudah memutih, dia harus bertugas melayani teman-teman sekamarnya itu. Dia, sebuat saja pak Yadi,  kondisi fisiknya memang terlihat paling sehat dan paling kuat di antara ketiganya.

Dua orang mengidap dimensia, saya perkirakan usianya sudah di atas 70 atau bahkan 80 tahun. Satu lagi, sepertinya tidak terlalu banyak memerlukan pelayanan ekstra seperti yang dua lansia ini, karena masih bisa melayani diri sendiri meskipun perlu sesekali dibantu.

Dua lansia pengidap dimensia itu sedang tidur saat saya datang. Tubuh kurusnya tergolek di kasur. Tidak ada keluarga yang mendampinginya. Keduanya kadangkala lupa di mana tempat tidurnya. Ke kamar mandi harus dipapah. Tidak jarang, sebelum sampai ke kamar mandi, kotoran sudah keluar duluan atau sudah kencing duluan. Pak Yadilah yang kemudian membersihkan semuanya. Memandikannya, dan memasangkan popok.

Pak Yadi juga menyuapi mereka. Memastikan mereka meminum obatnya. Memandikan mereka setiap hari, memasang dan melepas popoknya. Tidak jarang, dia harus beberapa  kali terbangun di tengah malam, karena harus melayani para lansia tersebut.

Pak Yadi menceritakan itu semua sambil menangis. Bukan karena dia merasa berat hati. Tapi karena justeru dia merasa trenyuh, merasa terpanggil untuk mengurus mereka, dengan sekuat tenaga. Dia bilang, ‘sak kuat-kuate, Bu, kulo urus, mesakne sanget, Bu. Mboten wonten keluarga babar blas.”

Kesalehan sosial yang begitu kental, itulah yang saya lihat pada sosoknya. Mata saya ikut mbrebes mili mendengar kisahnya dan melihat ketiga ‘momongan’nya itu.

Saya ingat orang tua saya. Saat berhaji dulu, saya dan suami berusaha sepenuhya melayani semua kebutuhannya. Tapi itu adalah orang tua kami. Melayani beliau berdua adalah sesuatu yang ‘given’. Kewajiban setiap anak pada orang tuanya. Namun sesuatu yang sangat menyentuh adalah kesalehan sosial orang-orang di sekitar kami. Setiap kali kami menunaikan umroh, ketika thawaf dan sai, secara bergantian teman-teman serombongan kami dengan suka hati bergantian menuntun Bapak dan Ibu kami. Juga pada saat puncak haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.

Lain halnya dengan Pak Yadi ini, ketiga orang sepuh itu sama sekali ‘dudu sanak dudu kadang’nya. Namun dengan kesalehan sosial yang dimilikinya, dia melakukan semuanya sebagai sebuah kewajiban. Sungguh mengharukan. Semoga Allah memberinya kekuatan dan kesehatan lahir dan batin, sehingga dia bisa terus melayani dan menunaikan ibadahnya sendiri dengan sempurna. Itulah doa yang dia panjatkan setiap saat.

Tentu kesalehan sosial semacam itu tidak hanya pada kasus Pak Yadi satu-satunya. Di banyak tempat kita bisa merasakan, betapa hablumminannas  itu begitu kental. Pada satu kloter tertentu, misalnya, setiap jamaah lansia yang berkursi roda sudah memiliki tiga orang pendamping, yang notabene adalah para jamaah di kloter tersebut. Mereka dengan suka cita menjadi relawan untuk para sepuh.

Kesalehan sosial tentu saja juga diperlihatkan oleh para petugas haji. Sejak jamaah bersiap berangkat, selama di perjalanan, ketika sampai di tempat tujuan, dan seterusnya, sampai pada pendampingan ibadah mereka, ada petugas yang selalu siap membantu, selain para pendamping yang mungkin mereka miliki. Ada juga mahasiswa yang menjadi tim pendukung yang mendedikasikan diri mereka untuk melayani para jamaah. Para petugas dan tim pendukung itu ada di mana-mana. Di terminal kedatangan, di jalan-jalan, di hotel-hotel, di Masjid Nabawi, di tempat-tempat miqat, di Masjidil Haram, di dekat toilet-toilet, di pintu masuk dan pintu keluar masjid, dan sebagainya. Lengkap dengan seragam mereka yang khas, yang menandakan mereka adalah petugas ibadah haji Indonesia 2023. Melihat seorang petugas menyeberangkan jamaah di jalan-jalan, dan bahkan membantu membawakan bawaan mereka, adalah pemandangan yang sangat lazim.

Sebagaimana kita tahu, pada musim haji 2023 ini, jumlah lansia mencapai sekitar sepertiga jumlah jamaah. Lansia dengan berbagai kondisinya. Pengidap stroke, dimensia, lumpuh, tunanetra, komplikasi, dan sebagainya.

Negara hadir untuk melayani mereka sebaik-baiknya. Komitmen ‘Haji Ramah Lansia” betapa tidak mudah untuk diwujudkan. Namun ikhtiar untuk menyediakan kondisi yang aman, nyaman, menyenangkan, dan tentu saja syar’i, terus-menerus dilakukan. Tentu tidak sesempurna sebagaimana diharapkan oleh setiap orang. Namun bagi orang yang sudah pernah mengalami berhaji sebelumnya, tidak bisa dipungkiri, betapa peningkatan layanan di semua hal begitu terasa sangat signifikan.

Semoga Allah memuliakan para tamunya di Tanah Suci, memuliakaan para pemimpin dan setiap orang yang telah dan terus berkomitmen untuk menunaikan kebajikan bagi umat. Amiin Allahumma amiin.

Makkah Almukarramah, 23 Juni 2023