Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Rabu, 24 Juli 2019

Menikmati Gojek (2)

Hari ini kami sudah bersiap di lobi Hotel Ibis Trans Studio pukul 09.30. Saya, Prof. Budi Unnes, Prof. Joko UM, Dr. Khafid Unnes, dan teman-teman yang lain seperti mas Alfath Yanuarto dan mas Agoes Primono Sardjono dkk. Kami memiliki agenda yang sama, menghadiri undangan resepsi pernikahan puteri tunggal Direktur Belmawa Ibu Paristiyanti Nurwardani. Karena acara digelar di Hotel Grand Pasundan, kami semua menumpang grab. Golongan tua seperti saya, Prof Budi, Prof Joko, dan Pak Khafid, satu mobil tersendiri. Mas Alfath dkk, satu mobil tersendiri.

Namanya juga pejabat yang punya gawe, ramainya sudah terasa bahkan sebelum pintu gerbang hotel tempat acara. Termasuk ramai dengan karangan bunga ucapan selamat. Dari para pejabat kementerian, rektor PTN dan PTS, direktur poltek, dll. Keramaian tentu saja semakin terasa di dalam gedung.

Singkat cerita, acara demi acara berjalan dengan lancar. Mempelainya cakep-cakep. Bu Paris dan suami serta besannya, anggun dan ngganteng. Saya pribadi melihat 'sisi keibuan' Bu Paris yang sangat kental. Sempat saya abadikan saat beliau membetulkan hiasan melati di baju putrinya. Bu Paris di mata saya adalah gabungan antara ketegasan dan kelembutan. Seorang pimpinan yang kuat dan tegas sekaligus lembut keibuan.

Setelah bersalaman dengan bu Paris sekalian dan mempelai, kami menikmati hidangan. Sedapatnya. Karena tamu sangat banyak dan di setiap tempat makan antrian berjubel, di mana kami bisa menjangkau hidangan, di situlah kami menikmatinya. 

Kami keluar dari gedung sekitar pukul 12.15. Prof. Edy Unnes, yang kamarnya kami penuhi dengan bagasi-bagasi kami, harus check out dari Grand Pasundan. Maka kami pun juga harus mengemasi barang-barang kami.

Di lobi, teman-teman langsung mengambil grab atau go car tujuan bandara. Pulang ke kota masing-masing. Tetapi saya harus kembali ke Hotel Hemangini, bergabung dengan teman-teman asosiasi profesi boga yang masih berkegiatan di sana. Saya memesan go car. Ditemani pak Fatkurrohman Kafrawi dan Mas Agoes serta Mas Alim Sumarno yang tidak tega membiarkan saya menunggu sendiri. Namun driver go car nge-chat, dia pada posisi terjebak kemacetan dan menyarankan saya untuk cancel. 

Seketika saya terpikir kenapa tidak nggojek motor saja seperti kemarin. Di tas saya ada celana panjang, dan saya bisa mengganti rok saya dengan celana panjang. 

Dan nggojek lagilah saya siang ini. Dengan sandal high heels saya. Ternyata padatnya jalan melebihi hari kemarin. Puluhan titik kemacetan yang harus kami lalui membuat kaki saya kesemutan. Asap kendaraan bercampur debu tercium cukup menusuk. Driver yang bernama Adang itu tersendat-sendat menjalankan motornya. Sesekali dia mengerem mendadak hampir menyenggol motor di depannya. Tas saya pun sempat tersenggol motor di belakang saya. Beberapa motor menerobos naik ke trotoar. Mas driver selalu berusaha mencuri space sedikit demi sedikit di setiap titik kemacetan, berebut dengan pengendara lain. Sejam lebih saya dalam kondisi seperti itu, dan turun dari motor dengan kondisi kaki kesemutan dan punggung sakit. Tapi saya menikmati semuanya dan menyadari betapa hidup ini begitu keras. Hehe.

Tak terbayang berapa jam yang harus saya tempuh jika saya naik go car atau grab. Bersyukur ada gojek yang memberikan pengalaman dan pelajaran tentang berjuang. 

Beberapa teman asosiasi melontarkan keheranannya karena saya mau naik gojek. Saya bilang, macet boleh tapi hidup harus terus berlanjut....hehe.

Senin, 22 Juli 2019

Menikmati Gojek (1)

Pagi ini, saya mendarat di Husein Sastranegara, Bandung, sekitar pukul 09.45. Teman-teman kolega, Bu Any Sutiadiningsih, dik Nugrahani Astuti, dan dik Sri Handajani, sudah menunggu di dekat pengambilan bagasi. Mereka tiba lebih dulu karena naik Nam Air. Saya sendiri naik Wings Air karena lagi malas bangun pagi. Hehe. Tapi mereka berkenan menunggu saya supaya bisa bersama-sama menuju tempat kegiatan.

Kami nge-grab dari bandara ke Hotel Hemangini. Menghadiri kegiatan asosiasi profesi. Diskusi tentang kurikulum prodi pendidikan tata boga Indonesia. Bersama perwakilan teman-teman dosen tata boga seluruh Indonesia. Mencoba bersepakat untuk merumuskan kurikulum nasional prodi.

Pukul 17.30, saya pamit geser ke Hotel Ibis Trans Studio. Tapi dengan janji, saya akan balik lagi besok selesai kegiatan di Ibis. Bu Ai Nurhayati, sekretaris asosiasi, menyarankan saya naik grab, tapi pasti akan terjebak macet, katanya.

Karena tidak ingin terjebak macet, saya memilih naik gojek motor. Sore begini jalanan pasti padat. Dan saya tidak ingin lebih lama terlambat. Sekitar dua jam yang lalu rapat di Ibis mestinya sudah dimulai. Sekarang mungkin lagi break. Saat rapat dimulai lagi setelah makan malam nanti, saya harus sudah berada di sana. Kalau saya naik grab, bisa-bisa saya masih bergelut dengan macet sampai selepas isya.

Naik gojek itu asyik. Apa lagi senja mulai jatuh dan lampu-lampu kota mulai menyala. Romantis. Si Abang Gojek yang kecil langsing itu, namanya Basir, ramah, baik, tapi motornya butut. Meski butut, larinya kenceng. Juga lihai meliuk-liuk, benar-benar meliuk-liuk, di antara mobil-mobil yang jalannya tersendat-sendat karena macet. Udara dingin sekali, namun masih cukup bersahabat bagi saya karena saya sudah mengantisipasi  dengan jasket.

Menikmati gojek termasuk langka bagi saya. Tubuh yang mulai menua ini tidak terlalu tahan dengan terpaan angin dan debu. Namun kadang saya ingin menikmati gojek. Tidak sekadar untuk menghemat waktu. Tapi untuk menikmati sensasinya. Berkendara di bawah terik matahari, meliuk-liuk di antara mobil-mobil, ngebut di jalan yang agak lengang, asyik juga. 

Suatu ketika saya pernah nggojek di Semarang. Naik dari depan Hotel Patra Jasa menuju Museum 3-D. Karena saya sendirian, seorang petugas museum menemani saya dan membantu saya motret-motret. Dari situ, saya nggojek lagi ke Lawang Sewu. Karena saya juga sendirian, seorang guide mendampingi saya dan menjelaskan setiap sudut Lawang Sewu. Setelah puas, saya baru balik ke hotel. Lagi-lagi, nggojek.

Grab, Uber, gojek dengan segala layanannya mulai dari antar jemput, pesan antar makanan sampai pijat dan bersih-bersih rumah, sungguh luar biasa memudahkan. Membuat hidup jadi lebih praktis dan lebih banyak pilihan. Kita tidak harus naik taksi bandara yang, mohon maaf, drivernya kadang-kadang tidak jujur dan penuh dengan modus. Ada grab di beberapa bandara. Resmi. Dengan harga yang mungkin tidak terlalu jauh selisihnya dibanding taksi konvensional, namun kita tak perlu khawatir akan diputer-puter sama Abang Driver. 

Saat berkegiatan di luar kota, beberapa kali saya terpaksa pindah hotel dalam satu hari. Dengan hitungan waktu yang tidak terlalu leluasa untuk dibagi. Nah, pada saat itulah saya akan memilih apakah saya naik grab, go car, atau gojek. Beberapa kali saya mengalami dikecewakan oleh taksi konvensional. Meskipun saya sudah pernah mengadukan kekecewaan saya pada customer service dan pengaduan saya direspon dengan sangat simpatik, tapi yang namanya sudah terlanjur kecewa, apa lagi ada pilhan lain, maka jadilah saya sering berpaling, berpindah ke lain hati. Hehe.