Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 29 September 2013

Tentang Toilet Dan Standar Kebersihan

Sewaktu saya lulus dari S2 pada akhir tahun 1995 dulu, awal 1996 saya ditugasi untuk menjadi sekretaris Pusat Kajian Makanan Tradisional (PKMT) IKIP Surabaya (waktu itu belum berubah menjadi Unesa). Berlangsung selama satu periode (4 tahun), dan kemudian pada tahun 2000, saya ditugasi sebagai Kepala PKMT Unesa. Saat itu saya sempat merangkap jabatan sebagai sekretaris jurusan PKK. Saya berhenti tidak menjabat saat tahun 2003, karena saya mengambil program S3. Sepulang dari S3 pada akhir 2007, saya diamanahi untuk menjadi sekretaris Pusat Jaminan Mutu (PJM) Unesa. Sampai 2012, tiga amanah sempat saya emban secara berbarengan, karena selain sebagai sekretaris PJM, saya juga sebagai Kepala Program Studi S2 Pendidikan Teknologi Kejuruan (PTK) dan sebagai Ketua PPG Unesa. 

Begitu memasuki tahun 2013, saya hanya ditugasi untuk mengurus PPG, yang waktu itu sudah harus menempati gedung PPPG, di Kampus Lidah Wetan. Gedung berlantai sembilan, dengan kondisi yang luar biasa amburadul. Belum siap dihuni. Di mana-mana bekakas pating blesah. Debu menjadi aroma yang mendominasi. Perabot belum mapan pada tempat yang seharusnya. Hanya saya, bu Yanti dan pak Sulaiman. Staf belum ada, maka pasukan bodrek pun akhirnya mesti kami himpun sendiri. 

Dalam posisi apa pun, menjabat atau tidak, standar kebersihan menjadi prioritas bagi saya, tentu saja di samping prioritas yang lain terkait dengan tupoksi saya. Front office menjadi tolok ukur pertama. Karena orang harus jatuh cinta pada pandangan pertama. Setelah itu, ruang kerja adalah prioritas yang utama, karena orang yang kerja di situ harus merasa nyaman dan betah. Kemudian, ruang kelas, ruang baca, koridor, hall, menjadi prioritas pertama, karena itu semua adalah pusat layanan pada mahasiswa dan dosen pengajar. Proritas pertama yang lain adalah urusan makan, karena di PPG ini jauh dari mana-mana, maka makan siang, meski dengan menu sederhana, musti disediakan, supaya pimpinan, staf, dan dosen, konsentrasi pada tugas dan tidak perlu dirisaukan dengan urusan makan siang. 

Bagaimana dengan toilet? Dari semua yang prioritas itu, maka toilet adalah urusan yang sangat amat prioritas sekali.

Di PPPG, ada 20 orang tenaga cleaning service yang kami openi. Setiap lantai harus ada dua orang. Selebihnya mengurus taman, baik di dalam gedung maupun di halaman. Sehari mereka minimal bekerja tiga kali, pagi, siang, dan sore. Kalau ada kegiatan insidental yang melibatkan banyak orang, seperti yang sekarang digunakan untuk PLPG dan KKT, maka petugas cleaning service harus sepanjang hari berjaga selama kegiatan berlangsung. Entah gimana ngaturnya mereka, yang jelas, sepanjang hari itu toilet harus dipastikan dalam keadaan bersih. 

Saya sering sengaja masuk ke toilet di luar ruangan saya, hanya untuk memastikan, toilet terjaga kebersihannya. Kalau ada tisu kotor ketinggalan di dalam toilet, atau closet yang tidak bersih, saya akan segera tahu. Petugas cleaning service-pun harus terpaksa menjaga terus kebersihannya.

Ya, semuanya harus bersih. Lantai, jendela, kaca-kaca, meja-meja, tangga, semuanya....terutama....toilet. 
Dan tahukah Anda? Minggu yang lalu, saat saya pulang dari Papua, bu Suryanti, Pembantu Direktur 2 PPG, mengabari, ada tagihan sebesar Rp. 400.000.000,- untuk membayar cleaning service. Untuk layanan setahun ini (2013). Glek. Duit dari mana lagi?

Maka Jumat yang lalu, kami, direktur PPPG, PD 1, PD 2, kabag keuangan dan staf, kabag perlengkapan, rapat di ruang PR 2, atas undangan PR 2. Agendanya adalah untuk membahas pengelolaan PPPG, supaya PPPG bisa menghidupi diri sendiri dan menjadi income generating unit bagi Unesa. Termasuk mengatasi tingginya dana kebersihan dan perawatan.

Pucuk dicinta ulam tiba. Kesempatan dipanggil untuk diajak rapat seperti ini, sudah saya tunggu sejak lama. Selama ini, sejak saya ditugasi untuk ngurusi PPPG, saya hanya lapor saja untuk berbagai persoalan, baik fisik maupun nonfisik. Laporan dalam bentuk lesan, sms, surat, semua sudah. Dikirim ke rektor, ditembuskan ke PR 2, ke kabag perlengkapan, dan ke UPT ULP. Semua yang bisa kami atasi, kami atasi langsung. Plavon jebol, saluran air bocor, lantai retak, lift ngadat, wifi, telepon, dan banyak sekali urusan lain, sepanjang kami bisa, kami atasi sendiri, dan kami tinggal laporkan kepada pimpinan.

Belum lagi urusan asrama untuk menampung mahasiswa PPG. Bo abboohh... Tak terbayangkan oleh saya sebelumnya, saya dan tim akan menangani begitu banyak warisan ketidakberesan. Tahu nggak yang namanya Asrama PGSD? Ampuuuuun. Saya melihatnya bukan seperti asrama. Dengan penampungan TKW aja mungkin lebih baik (waks....maaf, kalau yang ini berlebihan kayaknya). 

Baru memasuki halamannya saja, bau selokan sudah naudzubillah, tanda saluran tidak beres. Masuk ke lantai satu dan dua, ke kamar-kamar, walahhh.... Saya gedek-gedek tok, tak bisa komentar. Kasur-kasur mblegadus, sofa koyak dan jebol, bed pada sengkleh, tembok berwarna-warni mangkak di sana-sini. 

Belum lagi toiletnya. Saya tak habis pikir. Lihat toilet seperti itu kok yo tegaaa gitu. Ya mahasiswanya, ya pengelolanya (maaf, mudah-mudahan tidak menyinggung siapa pun). Toilet yang kotor, pintu banyak yang semplah, bau... Dan halaman di sekitar toilet, rumput-rumput tumbuh sak karepe dewe, tanaman tak terurus, ada tempat yang seharusnya menjadi tempat mahasiswa belajar, malah jadi gudang, penuh dengan tumpukan kayu-kayu dan jemuran-jemuran. Bo abboohh....

Padahal, di PPG SM-3T ini, mahasiswanya dari seluruh Indonesia, tidak hanya dari Unesa tok. Dari UNG, Unima, UNP, Undiksha, UM, UNY, dll.  Mereka ditampung di asrama, karena memang judulnya adalah PPG berasrama-berbeasiswa. 

Dengan kondisi asrama yang seperti itu? Mati awak.... Ini urusan pencitraan... Tidak main-main.... Citra Unesa dipertaruhkan di sini, di asrama ini, juga di gedung PPPG ini.

Maka setelah hitung sana hitung sini, dengan menerapkan sistem pengelolaan keuangan biaya pendidikan sesuai dengan aturan Unesa, serta fleksibilitas penggunaan dana kehidupan berasrama, kami bekerja cepat. Pengadaan untuk bed, kasur, ngecat tembok, rehab toilet, benahi saluran, dan buwanyak lagi... 

Maka saat rapat, ketika bapak PR 2 menanyakan seperti apa kami mengelola PPG dan asrama, beliau malah mengucapkan terima kasih, karena pimpinan telah diringankan pekerjaannya. Tahukah, berapa dana yang sudah kami keluarkan untuk asrama dan perbaikan fisik gedung PPPG (ya, gedung yang masih baru itu, ternyata plavonnya banyak yang jebol, toiletnya banyak yang salurannya tidak beres, lantainya banyak yang mengkap, dan lift-nya ngadat melulu). Lebih dari Rp. 800.000.000,- belum yang ngrentil kecil-kecil... Bisa-bisa tembus 1M....

Maka, biaya cleaning service yang Rp. 400.000.000,- itu pun akhirnya ditangani oleh PR 2, karena setelah dihitung-hitung, pemasukan PPPG ke Unesa dari pemotongan biaya pendidikan, sudah lebih dari cukup untuk membayar cleaning service. Ya, baru nanti di tahun-tahun yang akan datang, biaya itu akan ditangani oleh PPPG sendiri, setelah persoalan-persoalan yang prioritas seperti tahun pertama ini, sudah teratasi semua.

Begitulah saudara-saudara. Ngopeni cleaning service, dengan tuntutan standar kebersihan yang sesuai dengan keinginan kita, ternyata tidak murah. Kalau cuma asal ada petugas saja sih gampang. Tapi ya itu, pagi dibersihkan, nanti sore lagi. Sepanjang hari, kita yang musti jaga kebersihan itu.

Ya, kita. 

Di industri, kita mengenal ada prinsip 5R. Singkatan dari Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin. Itu konsep aslinya dari Jepang, 5S: Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke. 

Singkatnya, Seiri adalah pengorganisasian. Terorganisir berarti menjaga barang yang diperlukan serta memisahkan barang yang tidak diperlukan dalam pekerjaan. Seiton adalah kerapian. Kerapian menentukan secepat apa kita meletakkan barang dan mendapatkannya kembali pada saat diperlukan. Seiso berarti resik. Kebersihan harus dilaksanakan dan dibiasakan oleh setiap orang, dari pimpinan sampai staf terendah. Seiketsu adalah standar. Kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan 3S yang pertama harus distandarisasi. S yang terakhir adalah Shitsuke, yang diartikan sebagai disiplin. Dimaksudkan untuk menerapkan kemampuan melakukan sesuatu dengan yang seharusnya. Kebiasaan buruk dapat dihilangkan dengan mengajari staf mengenai apa yang seharusnya dilakukan, dan membiasakan mereka untuk melakukan hal-hal baik.

Kalau disingkat, 5S bermuara pada: 1) ringkas biaya/cost, 2) rapi proses dan delivery-nya, 3) resik dalam hal kualitas dan keamanannya, 4) terawat sistem dan standarnya, serta 5) rajin budaya dan sikapnya.

Namun, tentu saja,  pelaksanaan 5S tanpa disertai komitmen dapat menyebabkan 5S tidak efektif, mungkin hanya bertahan beberapa hari atau minggu, atau bulan saja, kemudian lingkungan kerja kembali pada kondisi seperti sebelumnya.

Maka, apa yang terpenting untuk menjaga kebersihan? Nomor satu, komitmen. Nomor dua, komitmen. Nomor tiga, komitmen.

Komitmen siapa? Komitmen kita semua.

Catatan: kalau teman-teman masih menemukan toilet yang kotor dan tidak layak di Gedung PPPG, langsung beri tahu saya ya? Hitung-hitung, ikut membantu menjaga kebersihan. Itu kan tanggung jawab kita semua. Komitmen bersama. Oke? Oke?


Surabaya, 29 September 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 22 September 2013

Selamat Jalan, Syahrul...

Siang ini, pukul 14.10, SMS itu saya terima dari Nanda. 

"Assalamualaikum. Ibu saya sekarang dengan mas Zia,menuju BOJONEGORO. Baru ada kabar mas syahrul pgsd sm3t sumba 2012 kecelakaan. Menurut info dari teman2, mas Syahrul meninggal."

Saya tentu saja terkejut sekali. Berharap kabar itu tidak benar. Meski dalam hati kecil, saya yakin. Karena tidak mungkin Nanda ber-SMS seperti itu kalau dia sendiri belum yakin tentang kabar duka itu.

SMS-SMS berikutnya semakin meyakinkan saya. "Assalamuallaikum
Prof. Ada peserta dari SM3T 2012 a.n. syahrur romadhon meninggal dunia karena kecelakaan dari bojonegoro ke mojokerto." Ini SMS dari Juliar, staf SM-3T. Disusul SMS dari Ela Oktavianti, rekan Syahrul di Sumba. "Assalamualaikum..
Innalillahi wainnalillahi roji'un..
Telah berpulang kehadirat Allah SWT. Teman, rekan, saudara, keluarga kami tercinta di sm3t.. Mas syahruL Romadhon pgsd, telah berpulang ke Rahmatullah td pagi karena lakalantas, atas segala kerendahan hati, mohon dimaafkan atas segala kesalahan, smoga dilapangkan jalannya.."

Maka saya pun langsung berkoordinasi secepatnya dengan teman-teman tim. Juga dengan Nanda dan Ela. 

Dan sore ini, saya dan bu Lucia meluncur ke Bojonegoro, diantar Anang, driver PPPG. Meski sebenarnya kondisi kami berdua kurang fit, sama-sama flu, dan kelelahan setelah mengantar para peserta SM-3T belum juga tuntas, keinginan untuk bertemu keluarga Syahrul tak bisa dibendung. Semoga perjalanan kami lancar.

Syahrul, anak baik itu, sangat kami kenal. Waktu mahasiswa, dia adalah ketua BEM. Saat seminar nasional di Sumba kemarin, dialah motor kepanitiaannya. Saat memetakan distribusi sekolah untuk peserta SM-3T angkatan ketiga, dia juga yang termasuk motornya. Bahkan saat acara pelepasan dan penerimaan peserta SM-3T tempo hari, dia juga yang mengurus banyak hal, termasuk sebagian besar berkas-berkas laporan pertanggungjawaban.

Syahrul baru dua hari yang lalu pulang dari Sumba Timur, setelah selama setahun melaksanakan tugas pengabdiannya. Pagi tadi, dia berencana menghadiri undangan Erwan, rekan seperjuangannya di Sumba, yang mengadakan syukuran karena sudah kembali ke Jawa dengan selamat. Acara itu diadakan di rumah Erwan, di Mojokerto. Syahrul berangkat pagi dari rumahnya di Kalitidu, Bojonegoro, bermaksud mampir ke Surabaya dulu untuk menjemput temannya, namun saat di perjalanan, dia mengalami kecelakaan. Seperti apa kejadian kecelakaan itu, belum ada kejelasan.

Saat ini, kami dan para peserta SM-3T angkatan kedua, sedang bergerak menuju Kalitidu, Bojonegoro. Ada yang berangkat dari Mojokerto, Surabaya, Lamongan, dan beberapa tempat lain. Semuanya bertujuan sama. Memberi penghormatan terakhir bagi Syahrul Romadhon.

Ya Allah, ampuni semua dosa Syahrul Romadhon, berikan tenpat terbaik di sisi-Mu. Amin Ya Rabbal alamin.

Selamat jalan, Syahrul.....

OTW ke Kalitidu, Bojonegoro, 22 September 2013

Wassalam,
LN  

Jumat, 20 September 2013

Mamberamo (9): Bersama Pilatus Membelah Angkasa

Pagi hari, pukul 07.30, kami meninggalkan rumah dinas Bapak Isak Torobi, Kepala Dinas Dikpora. Setelah menikmati makan pagi nasi putih dan mi instan rebus. Selama dua hari dua malam kami tinggal di rumah papan berukuran sekitar 7 x 13 meter itu. Rumah itu letaknya berhadapan dengan kantor dinas dikpora, hanya di seberang jalan saja.

Rumah dinas pak kadis itu memiliki satu ruang tamu, dua kamar, sebuah ruang makan, dapur dan kamar mandi. Tanpa televisi, tanpa lemari es, tanpa AC. Tidak ada mobil dinas atau mobil pribadi. Jangan bayangkan sofa besar di ruang tamu, atau meja makan besar di ruang makan. Juga jangan bayangkan kompor gas dan kitchen set di dapurnya. Itu semua tidak ada. Kecuali perabot dan peralatan yang sederhana. Tempat tidur pun berupa kasur busa yang langsung digelar di atas karpet plastik. Kendaraan satu-satunya adalah sebuah sepeda motor yang tidak lagi baru.

Itulah profil kepala dinas pendidikan di Mamberamo Raya. Tidak bergelimang harta dan barang-barang mewah. Kepala sekolah, guru, sama. Bahkan saat kami baru turun dari speedboat kemarin sore, para kepala sekolah ikut menjemput kami dengan sepeda motornya, dan membantu mengangkat barang-barang kami. Tak terfikir bahwa mereka adalah para kepala sekolah, saking sederhana dan 'mau soro'nya mereka.

Di rumah pak kadis, saya dan Ferry tidur di kamar belakang. Dua kasur busa dihamparkan di kedua sisinya. Sedangkan mas Rukin, mas Joko, pak Julianto, bergabung jadi satu dengan pak kadis di kamar depan. Semua tidur di bawah, ditemani sebuah kipas angin untuk menghalau panas dan nyamuk.
Anak-anak kami para peserta SM-3T, sementara ditampung di sebuah bangunan dalam kompleks kantor diknas, sebelum mereka dijemput kepala sekolah masing-masing untuk dibawa ke tempat tugas. Sebuah rumah dengan tiga kamar, ruang keluarga, dan teras. Tanpa perabot. Bahkan selembar tikar pun tidak ada. Latihan awal untuk hidup serba kekurangan, sebelum mereka mencapai tempat tugas yang mungkin kondisinya akan jauh lebih memprihatinkan.

Para peserta SM-3T nantinya ditugaskan di beberapa distrik. Dari sembilan distrik, hampir semua menjadi tempat tugas. Tempat tugas terdekat dari Kasonaweja adalah Burmeso, tempat yang kemarin kami kunjungi, termasuk distrik Maberamo Hilir. Hanya memerlukan waktu tidak lebih dari 10 menit dengan speedboat. Tempat tugas yang lain, tersebar di distrik Rufaer, Benuki, Sawai, Iwaso, Mamberamo Hulu, dan Mamberamo Tengah Timur serta Waropen Atas. 

Tidak ada yang mudah untuk mencapai tempat-tempat itu. Hampir semua tempat mengandung risiko untuk mencapainya. Semua harus menumpang speedboat. Di beberapa tempat, speedboat harus melintasi jeram-jeram berbahaya dengan tingkat kemiringan 60 derajat. Saya sesungguhnya ketir-ketir dan ngeri dengan kondisi tersebut. Tapi bismillah, saya harus yakin Allah SWT akan melindungi perjalanan mereka dan memudahkan mereka dalam melaksankan tugas pengabdian mulia itu.
Mamberamo Raya terkenal dengan nyamuk malarianya yang ganas-ganas. Oleh sebab itu, selain obat malaria, para peserta juga kami bekali dengan kelambu. Selain itu, banjir juga menjadi langganan tahunan. Sekali hujan, seluruh negeri tergenang, begitulah kata pak kadis. Maka para peserta juga kami bekali dengan sepatu boot untuk mengantisipasi medan dan banjir.

Pak Kadis juga bilang, nyamuk di Mamberamo Raya adalah teman cerita yang setia. Saking setianya, waktu kita sedang menikmati makan pun, mereka maunya ikut menikmati, sehingga suatu ketika kita harus makan di dalam kelambu. 

Selain malaria, penyakit kaki gajah juga menjadi ancaman serius. Maka kemarin para peserta sudah ke puskesmas setempat untuk mendapatkan vaksin filaria. Gratis, tidak bayar. Keberadaan puskesmas pembantu di setiap distrik sangat menolong masyarakat dalam mencegah dan mengobati berbagai penyakit, termasuk malaria dan kaki gajah yang merupakan penyakit endemik. Sayang kesadaran mereka untuk memanfaatkan keberadaan puskesmas belum optimal. Ditambah lagi dengan kebiasaan hidup dan kebersihan lingkungan yang masih jauh dari standar kesehatan, membuat malaria dan kaki gajah, juga penyakit kulit, seperti menjadi penyakit langganan. 

Adat-istiadat di Mamberamo Raya masih sangat kuat. Adat kematian, disebut kon, merupakan tradisi penduduk asli, yaitu menanam mayat anggota keluarganya di para-para, di atas panggung rumah khusus. Mayat itu akan diletakkan di situ selama sekitar 4-6 bulan, sampai dagingnya hilang. Sementara itu, pihak keluarga akan mengumpulkan biaya untuk melaksanakan prosesi penguburannya. Setelah penguburan, pesta kematian (kon) akan diselenggarakan dengan acara pokok makan dan berdansa selama dua malam, dengan diiringi alat musik tifa dan suling.  

Adat yang lain adalah pesta adat perkawinan (henem). Pada pesta adat henem, keluarga perempuan mengantar makanan seperti sagu, babi dan makanan lain yang biasa dimakan. Makanan ini dinikmati dalam pesta lajang, dilengkapi dengan dansa, sebagai tanda perpisahan dengan teman-teman yang lajang. Saatnya untuk memenuhi kewajiban, berbakti pada keluarga.

Masih banyak adat istiadat yang lain, termasuk kawin tukar dan kawin masuk. Apa pun, setiap pendatang, termasuk para guru SM-3T, harus menyesuaikan diri. Tidak harus larut dalam tradisi yang menurut pandangan mereka kurang baik, namun pepatah 'di mana bumi dipijak, langit dijunjung', harus mereka maknai sebijaksana mungkin.

Air juga tidak tersedia dengan mudah. Tentu saja tidak ada air PAM. Mereka menampung air hujan untuk kebutuhan sehari-hari. Setiap hari, Papua nyaris tidak pernah tidak hujan. Air itulah yang mereka manfaatkan, selain air sungai yang dijernihkan. 

Ada ungkapan khas di Mamberamo Raya: 'hujan sungguh mati, panas sungguh mati'. Menandakan hujan yang tak pernah absen setiap hari dan bahkan hampir selalu mengakibatkan banjir tahunan. Sekaligus, karena Mamberamo Raya menghampar di atas batubara, maka panasnya luar biasa. Pagi sekitar pukul 07.00 sudah membuat orang berkeringat kepanasan.

Bank hanya ada di Kasonaweja, itu pun hanya Bank Papua. Jadi para peserta SM-3T mau tidak mau harus membawa sejumlah uang dalam bentuk tunai, karena di tempat mereka ditugaskan tidak ada bank atau ATM. 

Harapan kami, para guru muda itu mampu bertahan hidup dalam kondisi serba kekurangan. Seperti kata pak kadis sewaktu presentasi di Kodikmar: "nikmati apa yang ada dengan segenap hati. Kalau sudah sampai di medan, pasti kalian bisa. Bukankah kalian datang untuk mencerdaskan orang lain? Kalau kalian mau orang lain cerdas, kenapa kalian tidak bisa membahagiakan diri sendiri?" Beliau juga mengatakan: "sebagai seorang guru, keberhasilan siswa akan menjadi kebanggaan kita seumur hidup. Jadi jangan takut susah. Lagi pula, siapa suruh kalian jadi guru?"

Yang menghibur hati dari sekian banyak 'kemalangan' adalah, Mamberamo Raya bukanlah wilayah yang rawan konflik. Tidak seperti di Timika. Kehadiran guru di sana sangat dibutuhkan untuk mengatasi kekurangan. Guru, mendapat tempat khusus di hati masyarakat, karena mereka datang untuk mencerdaskan anak-anak Papua sebagai anak-anak bangsa.

Baiklah, kembali ke rencana pulang hari ini. Siang terik, panas sekali. Pukul 11.30. Saat pesawat kecil itu terbang rendah siap mendarat. Akhirnya, setelah menunggu sejak pukul 07.30, ada pesawat yang akan menerbangkan kami menuju Jayapura.

Sebenarnya kami dijadwalkan  menumpang Suzie air. Namun kabar yang diterima oleh pihak penerbangan, pesawat itu masih ada di Wamena, bersiap terbang ke Sentani, baru kemudian lanjut ke Kasonawaja. Wow, berapa lama lagi kami harus menunggu? Sementara tiket Garuda Jayapura-Surabaya kami sudah ok, dijadwalkan terbang pukul 14.20.

Kami tadi sudah kebat-kebit kalau pesawat kecil mungil itu tidak kunjung datang. Mas Nardi, petugas tiket kami mengabarkan, tiket dari Jayapura ke Surabaya untuk semua penerbangan sudah full-booked hari ini. Artinya, kalau kami ketinggalan Garuda siang ini, maka kami terpaksa harus pulang besok pagi.
Alhamdulilah, pada detik-detik kritis, pesawat kecil itu mendarat. Pesawat yang bernama Pilatus itu. Warna putih kombinasi biru. Saya belum pernah melihat pesawat yang lebih kecil daripada pesawat yang sekarang ada di depan mata saya ini, kecuali pesawat-pesawatan. Hehe...

Pilatus berpenumpang sepuluh orang plus seorang pilot. Dia memerlukan waktu sekitar 80 menit untuk mencapai Jayapura. Benar-benar pas waktunya. Begitu turun dari Pilatus nanti, kami musti bekerjaran dengan waktu untuk check in supaya tidak ketinggalan Garuda menuju Surabaya.

Beberapa jam sebelumnya, kami dan semua bagasi ditimbang sebelum naik pesawat. Mungkin karena kami dikawal terus dari dinas pendidikan, maka dengan pesawat apa pun, kami dijadwalkan terbang pertama. Maka menggeser-geser penumpang dan barang adalah pekerjaan yang memerlukan waktu cukup lama. 

Setelah semua barang ditata di bagian belakang badan pesawat dan di sayap-sayapnya, kami dipanggil satu per satu. Tempat duduk kami diatur sedemikian rupa supaya tetap menjaga keseimbangan pesawat selama terbang. Siapa duduk di mana, tidak bisa memilih tempat duduk. Pak Julianto, betapa beruntung dia, karena berat badannya paling berat, dia mendapat kehormatan duduk di sebelah pilot.

Siang itu, akhirnya, Pilatus mengudara. Membawa kami berlima bersama lima orang Papua. Aroma sirih pinang berbaur dengan dinginnya AC dalam pesawat. Melengkapi keindahan hutan belantara Papua dan sungai Mamberamo yang mengular, yang bisa kami nikmati dari atas. Papua memang luar biasa. Sebuah mutiara indah di ujung timur Nusantara. Tidak bisa tidak, apa pun harus dilakukan untuk tetap bisa memilikinya. 

Dan Pilatus pun terus membubung tinggi, membelah angkasa, melintasi mega-mega, menuju Jayapura. Membawa kami semua kembali kepada 'peradaban', kembali kepada rutinitas, kembali kepada perjuangan yang lain.....

Selesai...
Jayapura, 19 September 2013
Wassalam,

LN

Mamberamo (8): Ibu Kota Di Tengah Hutan

Burmeso. Kota inilah ibukota Mamberamo Raya yang lain, selain Kasonaweja. Berjarak sekitar 10 menit naik speedboat dari Kasonaweja. Karena berada di dua tempat, ibukota Mamberamo Raya sering disebut Kasomeso (Kasonaweja-Burmeso). 

Hari ini, setelah serah terima para peserta SM-3T kepada Bupati, dilanjutkan dengan pendatanganan MoU, serta sosialisasi kurikulum 2013 di mana saya sebagai pembicaranya; kami bergerak dengan speedboat menuju Burmeso. Tujuannya adalah mengantarkan dua peserta SM-3T yang ditugaskan ke SMP I Burmeso. Kedua peserta itu adalah Brian dan Fariz. Brian dari prodi pendidikan geografi, dan Fariz dari pendidikan matematika.

Cerita tentang bupati dulu. Orang kelahiran Kabupaten Sarmi itu, tinggi besar. Tentu saja, kulitnya hitam, rambut ikal, khas Papua. Namanya Demianus Kyeuw Kyeuw. Beliau adalah kakaknya bapak Julius, orang yang mengundang kami makan malam dengan menu papeda waktu transit di Sarmi tempo hari.

Hari ini, rasa penasaran saya terjawab. Saya jadi faham, kenapa para pejabat di Mamberamo Raya ini begitu takzim pada beliau. Orang itu tidak hanya ukuran bodi dan penampilannya saja yang membuatnya punya kharisma. Ketika beliau bicara tentang kondisi dan potensi Mamberamo Raya, tentang visinya terkait pendidikan nasional khususnya untuk Papua, dan kesan serta harapannya atas program SM-3T, meski berbicara dalam waktu yang cukup lama, kalimatnya sangat runtut, dan isinya sangat bermutu. Pantas saja beliau sangat disegani oleh para pejabat pemda. Intelek, berwawasan. 

Acara serah terima itu, selain dihadiri oleh bupati, juga dihadiri oleh ketua dewan adat, wakapolres, sekda 1 dan 2, pimpinan SKPD, sekretaris DPRD, dan tentu saja para kepala sekolah dan para guru. Mereka mengikuti acara demi acara dengan penuh perhatian dan  keceriaan. Acara sesekali dipenuhi dengan applaus dan tepuk tangan, mencerminkan suka cita mereka.  

Ketua Dewan Adat, laki-laki tua itu, begitu emosional saat menyampaikan sambutannya. Sambil mengepal-ngepalkan tangannya, beliau berteriak, namun dengan air mata berlinang: "Mamberamo Raya harus maju pendidikannya, sama dengan wilayah lain di Tanah Air. Guru-guru yang datang akan membatu torang punya sekolah-sekolah. Terima kasih karena Tuhan boleh mengirimkan guru-guru untuk membantu torang"  

Di Tanah di mana keberadaan hukum adat seringkali lebih dominan daripada hukum negara dan pemerintahan ini, maka kedudukan ketua dewan adat begitu disegani. Apa lagi para tetua adat pada umumnya adalah mereka yang turut berjuang demi berdirinya Mamberamo Raya sebagai kabupaten.
    
Mamberamo Raya menjadi kabupaten yang berdiri sendiri sejak 13 September 2007. Enam tahun yang lalu.  Merupakan pemekaran dari Kabupaten Sarmi dan Waropen. Infrastrukturnya masih jauh dari layak. Belum ada jalan beraspal. Bangunan-bangunan perkantoran masih sangat sederhana dan banyak yang masih pada tahap pembangunan. Lapangan terbang berlandas pacu jalan tanah yang dikeraskan dan bertabur kerikil. Rumah sakit, namanya Rumah Sakit Bergerak, nampak kalau masih baru. Mushola berukuran kecil yang ada di dekat lapter, sangat sederhana. Begitu juga bangunan-bangunan gereja. Satu-satunya BTS hanya telkomsel, itu pun tidak sepanjang hari lancar sinyal. Sinyal hanya ada di Kasonaweja dan Burmeso, di pusat kota. Sedikit saja keluar dari pusat kota, sinyal hilang lenyap tak berjejak. Listrik juga hanya ada di malam hari, sejak pukul 17.00 sampai pukul 05.30. Lumayan, dua belas jam bertabur terang. Tapi jangan tanya di luar kedua kota itu. Gelap gulita.  

Untuk menempuh perjalanan ke Burmeso, kami menggunakan dua speedboat. Speedboat yang satu tertutup, yang satu terbuka. Speedboat itu milik pemda sendiri. Saya, pak kadis, mas Rukin, pak Julianto, beberapa pejabat, dan dua peserta SM-3T yang akan ditugaskan di Burmeso, naik di speedboat tertutup. Kru JTV dan yang lain, di speedboat terbuka, supaya kru JTV leluasa mengambil gambar. Entah mengapa, ada dua polisi juga di speedboat kami, satu di belakang, satu di depan. Lengkap dengan senjata laras panjangnya.  

Di Mamberamo Raya ini, semua kepala dinas memiliki kendaraan dinas berupa speedboat, kecuali kepala dinas pendidikan. Padahal untuk menunjang kinerjanya, speedboat itu sangat sangat penting. Selama ini, pak kadis dikpora memanfaatkan speedboat kepala dinas yang lain atau naik ojek (speedboat juga) untuk aktivitasnya. Transportasi air memang menjadi andalan di Mamberamo Raya. Hanya sungai satu-satunya sarana jalan untuk mencapai satu titik ke titik yang lain.

Titik terdekat dari Kasonaweja adalah Burmeso. Kompleks kabupaten dan perkantoran lain ada di tempat ini. Juga rumah dinas para pejabat eselon. Hanya dinas dikpora dan dinas kesehatan saja yang tetap tinggal di Kasonaweja. 

Burmeso. Tempat yang penuh dengan hutan belantara dan bukit-bukit. Jalan-jalan yang baru dirintis memanjang mengikuti kontur tanah. Meski ini adalah ibukota Mamberamo Raya, sebagaimana Kasonaweja, tidak ada jalan beraspal. Semua jalan walaupun cukup lebar, masih berupa tanah dan batu yang dikeraskan. 

Setelah upacara penyerahan Brian dan Faris di SMP 1 Burmeso yang sekolahnya belum jadi, kami diajak berkeliling melihat Burmeso. Mengendarai dua mobil double gardan, kami melanggar dua sungai besar, jalan yang menanjak menaiki perbukitan, menurun ke lereng-lerengnya. Hanya mobil jenis ini yang layak untuk medan seperti ini. Selain kami berlima dan pak Kadis, asisten 1, asisten 2, dan beberapa pejabat ikut dalam rombongan tersebut.

Semua bangunan, mulai dari kompleks rumah dinas pejabat eselon, kantor DPR, kantor bupati, adalah bangunan baru yang semuanya beratap biru. Ya, biru memang warna khas Mamberamo Raya. Semua genteng bangunan perkantoran, masjid, rumah sakit, dan rumah-rumah penduduk, hampir semua bergenteng biru. Seragam batik pegawai kantor juga biru.

Kantor bupati masih belum selesai dibangun. Saya diajak pak kadis memasuki bangunan berlantai tiga itu. Meski belum jadi, bangunan ini sudah nampak kemegahannya, dan pasti akan menjadi gedung yang megah. 

Dalam pandangan saya, gedung ini terlalu megah untuk Mamberamo Raya yang baru memulai segala sesuatunya. Pembangunan SDM melalui pendidikan, infrastruktur transportasi dan komunikasi, nampaknya akan jauh lebih bermakna dibanding dengan pembangunan fisik gedung untuk para petinggi kabupaten. Entahlah. Mungkin gedung-gedung ini akan menjadi simbol kemakmuran Mamberamo Raya. Semoga tidak sekadar menjadi simbol, namun benar-benar mencerminkan kemakmuran di segala lapisan masyarakatnya yang sebagian besar masih sangat primitif dan tradisional.

Satu hal lagi yang agak mengganggu saya, kemegahan gedung di tengan hutan belantara ini mengkhawatirkan saya atas keberadaan hutan-hutan itu sendiri. Berapa ratus bahkan ribu pohon yang harus ditebang demi membangun infrastruktur dan gedung-gedung itu. Berapa hektar tanah ulayat yang musti dikorbankan. Ya, kota memang harus berbenah, harus berkembang, harus punya kantor, harus memiliki jalan, fasilitas umum dan pusat-pusat perekonomian. Namun demi itu semua....begitu mahal harga yang harus dibayar. Saya hanya bisa berharap, semoga hutan tetap dipertahankan sebisa mungkin, sehingga Burmeso akan menjadi ibukota yang berada di tengah hutan belantara. Betapa indahnya. Apa lagi kalau bangunan-bangunannya, dibuat dengan konsep yang menyatu dengan alam sekitar. Bukan gedung-gedung tinggi yang pongah menyaingi menjulangnya hutan belantara di sekitarnya. 

Burmeso, Mamra, Papua, 18 September 2013

Wassalam,
LN

Rabu, 18 September 2013

Mamberamo (7): Tempat Singgah Itu Bernama Warembori

Tempat singgah itu, adalah rumah kayu yang sederhana, berdiri di atas bibir sungai. Di muara Sungai Mamberamo.  Rumah yang sederhana, namun tetap kelihatan paling menonjol di antara rumah-rumah sederhana yang lain. 

Saat speedboat kami menghampiri rumah itu, ada dua speedboat yang sudah parkir. Di teras rumah, sejumlah orang, dewasa dan anak-anak, sedang duduk sambil menikmati makan. Di antara mereka, menurut pak kadis, adalah para pejabat kabupaten. Ada juga yang berseragam anggota TNI.
Makanan yang sedang mereka nikmati, saya sempat meliriknya, adalah nasi putih dan mi instan rebus. Ya. Itulah menu makan siang untuk menyambut para pejabat di rumah singgah hari ini.

Kami turun satu per satu dari speedboat. Bersapa pada mereka. Menyerbu kamar mandi di sebelah kanan teras. Cukup lumayan untuk kencing. Tak perlu saluran. Air kencing langsung terjun bebas tumpah ke laut di bawahnya.

Kami lantas menuju bagian belakang rumah. Melihat-lihat kampung Warembori. Kampung ini termasuk dalam Distrik Mamberamo Hilir. Kampung dengan rumah-rumah panggung. Sebuah SD Inpres yang tanpa papan nama dan tiang yang berdiri tegak tanpa bendera. Di dekatnya adalah lapangan rumput yang bisa untuk apa saja. Saat ini, di atas lapangan itu, sedang berlangsung pertemuan dewan adat. Untuk itulah banyak pejabat kabupaten yang datang ke Warembori.

Saya berbelok ke sebuah halaman rumah. Menyapa mama-mama yang sedang bersantai dan mengunyah sirih pinang. Bercanda dengan mereka. Rupanya mereka sedang berkumpul untuk memasak. Di dekat tempat mereka duduk-duduk, adalah bangunan kayu sangat sederhana yang berfungsi sebagai dapur umum. Ada dua tungku besar yang masing-masing di atasnya berdiri panci pengukus besar. Sebuah tungku lagi, sedang digunakan untuk menanak nasi dengan menggunakan panci lebar. Ya, hari ini mereka masak besar, karena ada pertemuan dewan adat. Menunya adalah nasi putih, kuah ikan, dan biak (kerang).

Di samping dapur itu terdapat perahu kayu yang penuh dengan biak. Ternyata itu adalah tempat penyimpanan biak. Bila disimpan dengan baik, di tempat yang lembab, ditutup dengan pelepah atau kayu, tidak kena panas, biak itu bisa tahan seminggu. 

Di mata saya, mama-mama Papua begitu cantik. Begitu juga anak-anak dan para remajanya. Para laki-lakinya juga cakep-cakep. Mata bulat penuh, bulu mata lentik, hidung mancung, dan rambut keriting, begitu serasi dengan kulit mereka yang hitam legam. Dengan keramahan khas orang Papua, orang akan  jatuh hati pada masyarakat di ujung timur Nusantara ini.

Saya mengobrol dengan para mama. Nama mereka saya catat. Antoneta Samber, Hulda Indamare, Antomina Iriori, dan Alerce Ramandai. Nama belakang itu adalah nama marga. Mereka juga menanyakan nama saya. Saat saya sebut, mereka langsung bisa mengucapkannya, dengan lafal yang nyaris sempurna.

Kami juga masuk ke SD Inpres Warembori. SD yang siswanya sekitar 100 orang itu, merupakan sekolah dengan kelas rangkap. Kelas 1, 2, 3, jadi satu kelas. Selebihnya, juga jadi satu kelas. Mereka belajar dengan bangku dan kursi kayu yang sudah tua tapi masih cukup layak, di ruang kelas berdinding kayu dan berlantai semen. Tidak ada media apa pun kecuali papan tulis kusam. 

Seorang guru, Ibu Rosa Konyanan, tengah mengajari mereka membaca. Jangan tanya seperti apa kemampuan baca mereka. Di kelas rendah, saya mencari satu orang saja yang bisa membaca, tidak ada. Ketika ada satu siswa yang memberanikan diri mengangkat tangan karena saya menjanjikan akan memberi hadiah bagi siapa yang berani membaca, Levina namanya, siswa kelas tiga, kemampuan membacanya.....nyaris tidak bunyi. Ternyata kondisi ini bahkan juga ditemui di kelas atas. Wow. Tantangan pertama untuk para guru SM-3T. Mengajari membaca.

Saya sendiri sebenarnya tidak heran dengan kemampuan membaca anak-anak itu. Pengalaman berkali-kali mengunjungi daerah 3T, membukakan mata kita semua betapa memprihatinkannya kondisi para siswa, guru, sekolah, dan daya dukung orang tua, masyarakat, dan pemda. Jadi jangan bicara tentang Standar Nasional Pendidikan. Jangan bicara tentang inovasi pendidikan, tentang ICT, tentang sekolah unggulan. Jangan bicara tentang keterampilan abad 21. Tak terfikir oleh mereka. Jauh, sejauh langit dari bumi. 

Di lapangan, orang-orang, para laki-laki dewasa, sedang duduk dipimpin oleh bupati, yang diwakili asisten 2. Ada kapolres juga di sana. Juga para anggota dewan adat. Mereka akan rapat penting tentang batas kampung, antara kampung Warembori dan Yoke. Kedua kampung tersebut sebenarnya bersaudara. Namun dengan adanya dermaga, batas kampung menjadi sengketa.

Para-para adat. Itulah tempat untuk menyelesaikan sengketa batas desa, atau sengketa apa pun. Tidak seperti di sebagian pedalaman Papua yang lain, menurut beberapa sumber,  dua kampung ini tak pernah angkat senjata untuk menyelesailkan setiap persoalan. Mereka selalu membawanya ke para-para adat. Membicarakannya dengan penuh kekeluargaan. Bila diperlukan, dengan mediasi para pejabat distrik bahkan kabupaten. 

Kami beruntung singgah di kampung ini. Meski hanya sekitar satu setengah jam, kami sempat berinteraksi dengan masyarakatnya yang ramah-ramah, dengan siswa dan guru-guru di sekolah, dan menyaksikan para-para adat meski dari kejauhan. Kalimat-kalimat yang mengalir dalam pertemuan itu betapa santun dan penuh kearifan. Meskipun ini di Papua, jangan harap bisa mendengar orang-orang yang saling teriak atau berbicara keras di sini. Kampung kecil itu sepertinya terlalu tenang dan damai untuk sebuah teriakan kemarahan sekecil apa pun. Kecuali teriakan-teriakan anak sekolah dan anak-anak yang sedang bermain dengan keceriaannya.

"Ada kesalahpahaman,
Sehingga kita semua datang, duduk, untuk menyelesaikan persoalan ini. Dari cerita-cerita leluhur kita, pasti ada yg sesuai dan tidak sesuai. Tapi Tuhan yang mengetahui, dan akan membimbing kita dalam pertemuan ini, agar menghasilkan kesepakatan yang baik. Demi mendapatkan kehidupan dan penghidupan yang damai di tanah tercinta kita". Begitulah sebagian kata-kata pembuka dalam pertemuan itu. 

Di sepanjang jalan, setiap berpapasan, orang-orang itu menyapa. Mengucap selamat pagi sambil tersenyum. Kalau pun tidak ada sapaan, mereka menatap, menganggukkan kepala, dan tersenyum. Sapaan seperti 'hormat, bapak ibu', atau 'mari, adik tuan', sering sekali saya dengar dari pak Kadis untuk orang-orang, termasuk kepada para awak speedboat. 

Sebelum pulang, kami singgah di rumah singgah lagi, karena dari rumah itulah satu-satunya jalan menuju ke tempat speedboat ditambatkan. Tak disangka, bagai pucuk dicinta ulam tiba, kami ditawari makan. Seperti tadi yang saya lihat, menunya adalah nasi putih dan mi instan rebus. Oh, ternyata ada ikan asapnya juga. Dua ekor, besar-besar. Orang Papua menyebutnya ikan kering.

Karena memang dari pagi kami belum makan, maka menu sederhana itu menjadi begitu nikmat. Apa lagi dengan keramahan nyonya rumah, ibu Johan Samber, istri kepala sekolah yang tadi sekolahnya kami datangi. Terasa sekali ketulusannya menjamu kami semua. Ketulusan yang sama seperti ini kami rasakan juga saat dijamu makan papeda di rumah bapak Julius, di Sarmi, tempo hari. 

Setelah makan, kami bergerak menuju speedboat. Kasonaweja masih empat sampai lima jam lagi. Saatnya menyusuri Sungai Mamberamo yang arusnya cukup deras itu. Ya, masih perlu sejumlah energi fisik dan mental lagi untuk bisa berhasil mencapai ibu kota kabupaten Mamberamo Raya itu....

Waromberi, Mamberamo Raya, 17 Sept 2013

Wassalam,
LN

Selasa, 17 September 2013

Mamberamo (6): Mengarungi Samudra Pasifik

Sungai Memberamo dari pantauan udara.
Pukul 04.00. Hotel sudah menggeliat. Semua pintu yang penghuninya peserta SM-3T diketuk-ketuk, lebih tepatnya, digedor-gedor. Pasti salah satu dari pendamping, pak Julianto atau mas Rukin. Sepagi ini, semuanya harus sudah bangun, berkemas, dan bergerak ke arah pantai. Ke tempat tiga speedboat telah menunggu. 

Pukul 04.15 WITA. Kami sudah di pantai, bahu-membahu memasukkan semua barang ke speedboat. Barang-barang itu, bagasi kami, semalam disimpan di rumah singgah. Rumah singgah, hanya berupa bangunan yang sangat sederhana, berukuran sekitar 4-10 meter, persegi panjang. Tanpa sekat. Kamar mandi ada di bagian samping depan, terpisah dengan bangunan itu. Juga sangat sederhana.

Pukul 06.00 WITA. Kami berdoa bersama. Memohon perlindungan dan keselamatan dari Allah SWT. Jaelani, sarjana pendidikan Matematika, alumi UNP Kediri, memimpin doa. 

Semua barang dan orang sudah masuk ke tiga speedboat. Speedboat paling kecil, berisi lima peserta dan dua awak. Sebagian bahan bakar cadangan ada di situ. Speedboat kedua, sedikit lebih besar, memuat hampir semua bagasi kami, ditambah delapan peserta dan dua awak. Speedboat terbesar, yang memiliki atap dan tempat duduk, berisi tiga belas orang plus dua awak. Saya, mas Rukin, pak Kadis, dan dua orang kru JTV, ada di speedboat ini.

Cuaca pagi cukup cerah. Matahari bersinar hangat. Menemani speedboat-speedboat kami membelah Samudra Pasifik. Terayun-ayun di atas hamparan laut yang luas tak berbatas. Air membuncah-buncah di kiri-kanan speedboat. Membekaskan jejak panjang buih-buih putih di belakangnya. Langit yang putih dengan sedikit mega menaungi perjalanan.

Seiring dengan merangkaknya matahari yang semakin meninggi, dentuman speedboat semakin keras dan sering. Seorang peserta, Agung Subekti, telah overload, istilah mas Rukin untuk menyebut mabuk laut. Anak muda yang sejak beberapa jam yang lalu sudah nampak tidak sehat dan mukanya terus berkeringat itu, muntah-muntah. Bongkar muatan. Ya, kondisi speedboat yang menghentak-hentak, ditambah dengan kondisi fisik yang lelah dan mungkin juga stres, menyebabkan siapa pun yang tidak terbiasa melakukan perjalanan berat seperti ini bisa mabuk kepayang.

Dalam speedboat yang terus melaju, anak-anak tertidur. Tubuh dan kepala mereka, bergoyang-goyang, terantuk-antuk. Ada yang diam tak bergerak, pulas, nyenyak sekali. Padahal hempasan speedboat yang menghentak-hentak laut terasa cukup keras. Hentakan itu, berpadu dengan suara mesin, dan deburan air laut di kanan kiri speedboat, serta semilir angin, seperti alunan musik syahdu yang meninabobokan mereka.

Saya memandangi wajah-wajah pulas mereka satu per satu. Wajah-wajah itu begitu lelah. Setelah selama dua belas hari mereka mengikuti prakondisi di Kodikmar, tanpa jeda hari, mereka langsung diberangkatkan. Perjalanan panjang dari Surabaya ke Jayapura, lanjut Jayapura-Sarmi, dan ketidakpastian keberangkatan ke Mamberamo Raya selama dua hari, telah membuat tubuh mereka kelelahan. Bayangkan, sejak berangkat pada dini hari empat hari yang lalu, kami belum juga sampai di tempat tujuan. Namun begitu, semangat mereka tidak surut. 

Perjalanan membelah Samudra Pasifik ini akan memakan waktu dua hingga tiga jam untuk mencapai muara Sungai Mamberamo. Sementara menunggu sampai mencapai muara, yang bisa kami lakukan adalah tidur, makan cemilan, dan merenung. 

Saya sendiri sedang berfikir, sebenarnya demi apa saya melakukan perjalanan sejauh ini. Dengan kondisi medan berat yang penuh risiko. Saya masih ingat, ketika berunding dengan tim SM-3T di Kodikmar, membagi tugas pendampingan untuk para peserta, saya tidak memasang nama saya di mana-mana. Tidak di Sumba Timur, Talaud, Aceh Singkil, Maluku Barat Daya, atau Mamberamo Tengah dan Mamberamo Raya.

Mamberamo Raya, awalnya merupakan kabupaten yang paling sulit bagi saya untuk mendapatkan kontaknya. Sampai pada batas akhir kami harus mendapatkan kepastian tentang kabupaten tempat penugasan, saya tidak berhasil menghubungi contact person. Saat itu juga, waktu rapat koordinasi di Jakarta, Mamberamo Raya saya coret dari daftar tempat penugasan karena kepala dinas tidak hadir dan tidak bisa dihubungi. 

Saya bahkan sudah memindahkan peserta yang awalnya akan kami tugaskan ke Mamberamo Raya, ke Kabupaten Nduga. Saya langsung berkoordinasi dengan staf dinas dikpora Nduga yang waktu itu hadir pada rapat koordinasi. Rute perjalanan sudah saya dapatkan. Bahkan jadwal untuk kehadiran pejabat kabupaten dalam kegiatan prakondisi sudah kami sepakati.

Sampai tiba-tiba hari itu, sehari sebelum prakondisi, saya menerima sms dari Dikti bahwa plotting peserta SM-3T tiap LPTK harus dikembalikan sesuai rencana. Artinya, Nduga harus saya lepaskan dan kembali ke Mamberamo Raya. Saya juga dikirimi nomor HP orang UP4B supaya saya bisa mendapatkan contact person Mamberamo Raya.

Prakondisi sudah dua hari berjalan, dan saya baru berhasil kontak dengan bapak Obed Barenz, yang belakangan saya tahu, beliau adalah sekretaris daerah Kabupaten Mamberamo Raya. Beliaulah yang mengupayakan supaya saya bisa kontak dengan kepala dinas dikpora, bapak Isak Torobi. Begitu berhasil kontak, saya lega. Dari pembicaraan di telepon, nampak jelas, pak Isak, kadis itu, sangat berharap program ini bisa menyentuh Mamberamo Raya. Tinggal menyepakati hal-hal lain yang bersifat teknis.

Namun bahkan sampai kehadiran pak kadis di kegiatan prakondisi di kodikmar, plotting penempatan peserta SM-3T belum saya dapatkan. Anak-anak belum bisa dipastikan di mana mereka nanti akan ditugaskan, apakah di PAUD, SD, SMP atau SMA. Ini menyangkut kesiapan mereka akan buku-buku yang harus mereka bawa. Saya menenangkan mereka, supaya bawa saja buku-buku sekedarnya, dan di sana nanti bisa saling tukar sesuai dengan tempat tugasnya.

Pak Kadis menyatakan, plotting tugas baru bisa dibuat setelah beliau sampai di Mamberamo Raya. Setelah lapor bupati. Setelah bertemu sekretaris dinas dan staf. Ya, hanya untuk urusan plotting, kami harus menunggu selama itu. Artinya, plotting itu baru bisa kami dapatkan saat para peserta sudah tiba di Mamberamo Raya. Ya, karena sejak hadir di prakondisi peserta tempo hari, pak Kadis bahkan belum pulang kembali ke Mamberamo Raya. 

Akhirnya saya putuskan, saya berangkat ke Mamberamo Raya. Ada perasaan waswas, memang, setelah mendengar penuturan kepala dinas dan melihat rekaman di youtube tentang rute ke Mamberamo Raya. Tapi saya meyakinkan diri, saya harus berangkat. Saya ingin berbagai hal yang belum jelas tentang Mamberamo Raya bisa lebih jelas. 

Perjalanan saya ke berbagai daerah 3T, dengan menempuh medan berat penuh risiko, jauh dari rasa keinginan untuk menaklukkan alam. Jauh. Pada dasarnya saya sedang menaklukkan rasa takut yang ada dalam diri saya sendiri. Allah memberi kesempatan pada saya untuk melihat dunia yang luas ini, mempelajari keragamannya, mencintai keindahannya, mengagumi budayanya, dan menebarkan hal-hal baik bernama persaudaraan dan semangat berbagi. Anak-anak kami, para guru SM-3T itu, adalah anak-anak muda yang tengah belajar untuk peduli dan membangun ke-Indonesiaannya. Saya hanya ingin mereka yakin, tidak perlu ada keraguan untuk melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat, tidak perlu ada ketakutan untuk berbagi dan menebarkan kemuliaan di tanah mana pun di negeri ini, meskipun demi itu semua, perjalanan panjang dan medan berat penuh risiko harus ditempuh.

****


Pukul 08.30 WITA, saat speedboat kami berhenti di tengah laut. Ya, ini sudah yang ketiga kali speedboat sengaja diberhentikan, untuk menunggu dua speedboat yang lain. Speedboat kami lajunya jauh lebih cepat dibanding dua speedboat kecil yang lain, sehingga beberapa kali kami harus berhenti untuk menunggu mereka, lantas bersama-sama melanjutkan perjalanan lagi.

Saat ini, muara sungai Mamberamo sudah dekat. Air laut sudah berubah warna, dan agak keruh. Rumah-rumah penduduk sudah nampak dari kejauhan. Muara itu, meski nampak tenang, namun arus di bawah sangat kuat. Jadi speedboat musti ekstra hati-hati untuk melewatinya.

Akhirnya, Samudra Pasifik kami tinggalkan. Rasa lega luar biasa memenuhi hati saya. Ya, meski perjalanan menyusuri Sungai Mamberamo justeru lebih lama, namun setidaknya, satu etape yang bagi saya cukup mendebarkan sekaligus mengasyikkan itu telah terlewati.

Saatnya mengendorkan otot-otot dan urat syaraf di rumah Singgah yang sudah menunggu....

Waremboi, Mamberamo Hilir, 17 September 2013

Wassalam,
LN

Mamberamo (5): Hari Ini, Laut Tidak Memberi Kita Peluang

Sarmi menjadi sangat membosankan hari ini. Pagi yang cerah terasa sangat panas dan gerah. Ketidakpastian kedatangan speedboat memunculkan resah. Kami menghitung hari. Kalau hari ini speedboat yang akan membawa kami ke Kasonaweja tidak juga datang, kami sudah menyusun plan B. Tapi plan B itu membuat saya tidak nyaman juga. Karena harus membiarkan pak Julianto dan kru JTV untuk mencapai Mamberamo Raya bersama anak-anak, dan kami bersama mas Rukin bertolak ke Jayapura, kembali ke Surabaya. Tidak. Hati saya tidak sampai hati untuk membiarkan itu terjadi. Bukan karena tidak percaya pak Julianto akan bisa mengatasi semuanya. Tapi lebih karena rasa tanggung jawab dan kesetiakawanan.

Kegalauan seperti berlarut-larut. Saya, mungkin juga yang lain, juga sudah mulai bosan makan dengan menu masakan Padang. Sejak kedatangan kami ke Sarmi kemarin malam, kami tidak lepas dari makanan Padang. Meski di Sarmi banyak pendatang dan sebagian besar dari para pendatang itu muslim, tidak terlalu banyak ditemukan jenis makanan yang cocok dengan lidah. Makanan Padang menjadi pilihan yang favorit. Bukan lagi karena rasanya, tapi karena tidak ada pilihan.

Anak-anak sudah berkali-kali bertanya, jam berapa kami akan berangkat. Saya sibuk menenangkan mereka, saya katakan, kita masih menunggu boat. Boat masih menunggu bahan bakar juga. Faktor kesulitan di sini memang di luar dugaan kita. Tidak mudah mendapatkan bahan bakar, dan harus pandai-pandai membaca perilaku alam.

Kerisauan saya memuncak setelah sampai pukul 10.00, kepastian itu tak juga kami dapatkan. Pak Kadis kelihatan resah, dan kami sudah tidak ingin menambah keresahan beliau dengan pertanyaan-pertanyaan kami. Kami tim pendamping telah melihat bagaimana beliau telah berusaha. Pria baik itu sangat memahami situasi kami, namun beliau juga harus memosisikan diri sebagai birokrat yang musti taat pada arahan atasan, sekaligus memahamkan pada kami tentang situasi alam. Sejak pagi beliau terus berusaha berkoordinasi. Namun kabar yang beliau dapatkan nihil. Entah mengapa, kabag umum sepertinya tidak bisa dihubungi juga. Jadilah kami semua dalam kondisi serba tidak jelas. 

Akhirnya saya bersms ke Sekda, bapak Obed Barenz. "Selamat pagi, bapak. Sampai detik ini belum ada kepastian keberangkatan kami ke Mamra. Kami harap2 cemas. Waktu kami terbatas juga untuk bisa mendampingi para peserta, hanya sampai tgl 18. Pak Kadis kami lihat sdh sangat berusaha." Beliau membalas: "iya ibu tingkat kesulitan memang tinggi ibu, nanti saya komunikasi lg dng staf krn saya lg berobat bu". 

Saya segera meminta maaf telah mengganggu pak sekda, meski saya merasa harus berkirim sms pada beliau. Pak Kadis sedang tidak ada di sekitar kami, sedang keluar hotel, memastikan keberadaan speedboat. 

Kembali pada kejenuhan. Saya kirim sms ke pak Kadis. "Bapak, sekiranya ada yang bisa kami bantu?" Beliau membalas. "Sy sdng siap menunggu speedboad yg ditunggu kita, dan utk sementara belum ada yg perlu dibantu, dmkn info."

Saya bengong lagi. Tiba-tiba mas Rukin mengajak ke pelabuhan. Saya menggeleng. Tak bersemangat. Tapi mas Rukin tetap bergerak. "Mau apa ke pelabuhan?" Tanya saya. Dia menjawab. "Ya, siapa tahu ada yang bisa dilakukan, setidaknya untuk melihat apakah sudah ada speedboat atau belum".

Maka, di bawah terik matahari yang panas menyengat, kami bertiga, dengan mas Joko, bergerak menuju pelabuhan yang jaraknya hanya sekitar dua ratus meter. Meski berangkat bertiga, kami tersebar begitu sampai di lokasi. Mas Joko bergerak ke ujung dermaga, mas Rukin mematung di pantai menghadap tempat speedboat dan perahu-perahu ditambatkan, dan saya lebih memilih melarikan kegundahan saya di teras bangunan rumah yang entah berfungsi sebagai apa. 

Di teras itu, dengan hati galau, saya kirim sms ke pak Kadis. "Bapak, kalau boleh tahu, sebenarnya ada masalah apa dengan speedboat kita?" Tak perlu menunggu lama, pak Kadis menelepon. Suaranya lembut, menenangkan. Beliau tahu kami semua sedang resah. Beliau katakan, speedboat sudah datang satu. Tinggal menunggu yang dua lagi, mungkin tiga puluh menit lagi sudah tiba. Setelah itu, awak speedboat akan mencari bahan bakar, dan sekitar satu atau satu setengah jam lagi, kita bisa berangkat.

Pak Kadis tiba-tiba muncul di hadapan kami setelah tahu kami sedang ada di pelabuhan.  Bersama drivernya, beliau menghampiri kami dengan senyum menghiburnya. Beliau hadir seperti seorang bapak yang sedang berusaha menenangkan anak-anaknya.

Jujur saja, sepanjang pengalaman saya berkunjung di daerah 3T dan bergaul dengan para pejabatnya, pak Kadis Mamberamo Raya ini begitu berbeda. Beliau benar-benar all out mendampingi kami sejak di Jayapura. Lulusan S2 UPI ini tidak seperti para pejabat yang lebih senang menugaskan stafnya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berat seperti ini. Meski, sebagaimana layaknya para kepala dinas di mana pun, beliau sangat takzim dengan apa kata bupati dan sekda, namun kerelaannya untuk mendampingi kami dalam segala situasi benar-benar mengagumkan. Padahal kalau mau, beliau bisa saja terbang dengan pesawat kecil dari Jayapura langsung Kasonaweja, dan menunggu kehadiran kami di sana.

Isak Torobi, kadis itu, selain sangat humble, juga berwawasan luas. Ketika bicara tentang bagaimana seharusnya pendidikan guru dirancang, bagaimana seharusnya BSM dan berbagai kebijakan bantuan pendidikan diuncurkan, jelas sekali kalau beliau adalah kepala dinas yang berkelas. Tesisnya yang mengangkat tema pendidikan guru berasrama, yang mengantarkan beliau memperoleh gelar S2-nya, masih sangat up to date untuk era saat ini. 

Kami akhirnya kembali ke hotel dengan harapan baru. Sebentar lagi speedboat akan datang. Saatnya memberitahu para peserta untuk bersiap. Juga mempersiapkan logistik selama perjalanan. Pak Kadis bilang, tidak ada warung menjual makanan selama perjalanan, bahkan di tempat singgah. Maka kami musti membeli enam puluh nasi bungkus untuk makan siang dan makan malam. Untuk semua peserta SM-3T, pendamping, dan awak speedboat.

Akhirnya, waktu menginjak pukul 14.00, kami semua sudah ada di pantai. Tempat speedboat dipersiapkan. Bahan bakar dalam puluhan jurigen besar diturunkan dari mobil, disiapkan di bibir pantai. Semua bagasi dikumpulkan, siap dinaikkan ke speedboat. Bahkan semua sudah mengenakan pelampung, siap menempuh perjalanan panjang menuju Mamberamo Raya.

Namun, tiba-tiba, pak Kadis memanggil saya. Beliau sedang berbicara serius dengan koordinator awak speedboat. Saya menghampiri beliau dengan mengajak pak Julianto, supaya tidak hanya saya yang mendengar penjelasan yang nampaknya sangat penting.

Dan saya serasa lemas seketika saat mendengar kalimat yang meluncur dari koordinator awak speedboat itu. Dia memutuskan untuk tidak memberangkatkan kami siang atau sore ini. Terlalu berbahaya, karena gelombang laut sudah tinggi. Nampaknya memang air mulai pasang. Sepertinya laut tenang, itu karena posisi kami sekarang sedang ada di balik teluk. Tetapi begitu lepas dari teluk, gelombang dipastikan sangat tinggi, dan angin sangat kencang, sangat berbahaya.

Pak Kadis menatap saya. Tak berdaya, tapi dengan tegas meyakinkan saya: "Hari ini, laut tidak memberi kita peluang...".


Baiklah. Saya sedang berbicara dengan seorang profesional. Saya harus menerima masukannya. Tanpa membantah, saya segera meminta pak Julianto memberitahu anak-anak yang semua sudah berpelampung. Saya sendiri bersama pak Kadis dan mas Rukin, meluncur kembali ke hotel yang baru beberapa saat kami tinggalkan tadi. Segera melakukan booking kamar sebelum kamar-kamar kami ditempati tamu lain.

Allahu Akbar. Betapa Maha Kuasanya Allah yang mengatur semuanya. Benar-benar kondisi yang tak pernah saya sangka. Rasanya saya ingin menangis. Baru saja harapan kami membubung tinggi, tiba-tiba harus dihempaskan. Semangat seperti luluh-lantak dalam seketika. Tapi saya harus menguatkan diri. Demi anak-anak. Demi teman-teman semua. Saya akan menjadi sangat aneh bila sampai menangis hanya gara-gara masalah ini, sementara mereka semua bisa menerima keadaan dengan lapang dada, meski mungkin ada rasa kecewa. 

Alam telah mengajarkan pada kami semua untuk bersabar dan beradaptasi dengan perilakunya. Laut akan bersahabat esok pagi, dan keteduhannya akan mengantarkan kami menempuh perjalanan panjang menuju Mamberamo Raya.

Di sana, perjuangan yang sebenarnya baru dimulai. Perjuangan para pejuang pendidikan, para peserta SM-3T itu, untuk ikut serta mencerdaskan anak-anak negeri di Tanah Papua.

Ya Allah, Ya Rabbi, lindungi perjalanan kami, ridhoi perjuangan kami.

Amin YRA.

Sarmi, 16 September 2013


Wassalam,
LN

Mamberamo (4): Menikmati Sarmi

Sarmi. Nama sebuah kabupaten yang jaraknya sekitar 280 km dari Jayapura. Sarmi merupakan singkatan dari nama suku-suku besar, yaitu Sobey, Armati, Rumbuai, Manirem, dan Isirawa. Namun sebenarnya, Sarmi konon ditempati oleh lebih dari 80 suku. Yang memberi nama Sarmi itu sendiri adalah antropolog Belanda, Van Kouhen Houven.

Pukul 05.30. Sarmi gerimis kecil. Tapi saya nekad keluar kamar. Bermaksud jalan-jalan, melihat situasi pagi. Saat menjelang keluar halaman hotel, pak Kadis yang sedang duduk-duduk di teras, menyapa saya. Begitu tahu saya akan berjalan-jalan, beliau menemani saya.

Jadilah pagi itu saya dan pak Kadis berjalan menyusuri pagi menuju arah pantai, di bawah gerimis tipis, ke pelabuhan. Melihat speedboat yang mungkin akan membawa kami ke Mamberamo besok pagi. Ya, besok pagi. Pagi ini kami sudah dipastikan tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Mamberamo Raya. Semua sedang dikondisikan. Speedboat, bahan bakar, driver. Ya, harus menerima keadaan. Ini hari Minggu. Tidak ada orang bekerja di Papua. Dan kita harus menghormati adat dan kebiasaan ini.

Di pelabuhan, kami menikmati matahari yang sudah meninggi, orang-orang memancing, dan garis cakrawala yang tegas tanpa kabut. Mas Rukin, yang beberapa saat tadi sudah bergabung bersama kami, mengabadikan keindahan itu dengan kameranya. Kami bertiga mengobrol tentang hasil perburuan pak Kadis semalam. Berusaha menemui kapolres dan wakapolres untuk urusan speedboat. Bertelepon dengan kabag umum kabupaten untuk dibantu menyediakan speedboat. Menurut pak Kadis, meski rute ke Mamberamo Raya nampaknya tenang, namun kami harus mengantisipasi segala kemungkinan, tidak hanya tantangan alam, namun juga kondisi keamanan.

Di tengah perjalanan pulang, tak disangka, kami bertemu dengan kabag umum yang baru datang dari Jayapura, dan pagi ini sengaja datang ke Sarmi untuk mengkondisikan speedboat. Maka pagi itu, di lobi hotel, kami berunding tentang speedboat dengan bapak kabag. Menghitung harga bahan bakar dan oli yang diperlukan untuk 3 buah speedboat. Satu speedboat besar, dan dua speedboat kecil. Lumayan, totalnya tidak kurang dari 23 juta. Plus uang lelah untur driver dan mungkin ongkos sewa.

Hotel hanya menyediakan sarapan berupa setangkep roti bakar dan teh atau kopi. Cukup untuk saya, tapi tidak untuk anak-anak. Maka pagi itu, pak Julianto, dengan meminjam sepeda motor petugas hotel, berburu nasi bungkus. Minggu seperti ini, nyaris tidak ada warung makan buka. Tapi petugas hotel menunjukkan satu tempat yang penjualnya muslim, berjualan, meski warung tidak dibuka. Berhasillah pak Julianto mendapatkan sejumlah nasi padang bungkus untuk makan pagi anak-anak.

Pak Julianto, dosen PGSD itu, masih muda. Tiga puluh dua tahun. Ini percobaan pertama bagi dia untuk terlibat di program SM-3T, dan langsung kami tugaskan ke Mamberamo Raya. Pegang uang, urus akomodasi, urus konsumsi, urus transportasi. Saya hanya membantu untuk koordinasi dengan Sekda dan Kadis, dia yang menindaklanjuti. Nampaknya dia lulus di percobaan pertama ini. Sangat bertanggung jawab dan mrantasi. Bisa dipakai terus.

Kami memang sedang mengader beberapa tenaga muda. Pak Beni Setiawan, dosen Pendidikan Sains, seusia dengan pak Julianto, telah kami rekrut sejak tahun pertama. Saat itu dia langsung kami tugaskan untuk mengurus tes seleksi yang dilaksanakan di Sumba Timur. Sukses. Setelah itu kami tugasi untuk menjadi koordinator tim monev di tahun kedua. Sukses juga. Sekarang ini dialah koordinator pemberangkatan untuk Mamberamo Tengah. Kemampuan komunikasi dan ketangkasannya untuk memecahkan masalah, sangat bisa diandalkan. Juga sikapnya yang tidak pilih-pilih pekerjaan. Mulai urusan angkut-angkut sampai koordinasi dengan kepala dinas dan bupati.

Dua orang yang lain, pak Ganes dan pak Ulhaq, dosen PGSD, seusia juga dengan pak Julianto dan pak Beni. Dua orang itu kami tugaskan untuk mengurus Jatim Mengajar. Pak Ganes mengurus Madiun, dan pak Ulhaq mengurus Ponorogo. Saya belum ketemu keduanya sejak mereka berdua mengantarkan peserta Jatim Mengajar ke kedua kabupaten tersebut, karena tanggal 13 September kemarin kami semua berangkat ke berbagai tempat tujuan, dengan tujuan yang sama, yaitu mengantarkan peserta SM-3T dan Jatim Mengajar. Namun laporan via telepon dan sms yang saya terima dari tim Jatim Mengajar, nampaknya semua lancar-lancar saja dan beres.

Saya, pak Sulaiman, bu Yanti, usia kami hampir sama. Sepantaran. Pak Yoyok, dua tahun di atas saya, pak Heru, lebih-lebih pak Rahman, jauh lebih senior. Maka sudah saatnya kami berpikir tentang kaderisasi. Kaderisasi yang sebenarnya sudah kami mulai sejak tahun pertama. Tapi ternyata tidak semua cocok untuk pekerjaan yang memerlukan kemampuan ekstra ini. Suatu saat harus jadi manajer, saat yang lain harus jadi pimpinan, atau menjadi kedua-duanya, sekaligus jadi pembantu umum dan porter. Tidak hanya ketahanan fisik, namun terutama mental. Tanggung jawab dan kejujuran. 
Tanggung jawab dan kejujuran itu menjadi hal yang sangat penting. Mulai dari urusan pengadaan atribut, asuransi, prakondisi, pemberangkatan peserta, monev, penarikan peserta, semuanya berurusan dengan uang, dan setiap orang harus bisa pegang uang untuk dikelola. Kalau mau mark up, sangat terbuka peluang. Atau mau main mata dengan para rekanan, bisa. Tapi sejauh ini, teman-teman sangat pegang komitmen. Meski ada iming-iming dari jasa asuransi dan mungkin para rekanan, standar tetap diutamakan. 

Siang ini kami dijemput driver pak Kadis untuk berkunjung ke rumah Kadis Dikpora Kabupaten Sarmi. Pasalnya, sejak pagi kami mencoba nge-print MoU antara Unesa dan Mamberamo Raya di warnet tidak juga berhasil. Petugas warnet tidak paham juga bagaimana mengoperasikan printer. Printer tidak connect dengan PC. Diutak-utek sama mas Rukin, hasilnya negatif. 

Kadis Dikpora Sarmi, orangnya gemuk dan nampak agak susah untuk bergerak karena berat badan. Beliau adalah adik kelas pak Kadis Mamberamo Raya saat di SPG, di Kabupaten Yapen. Rumahnya, jangan bayangkan seperti rumah kepala dinas di kabupaten di Jawa. Jauh sekali bedanya. Terlalu sederhana untuk rumah seorang kepala dinas. Berada di belakang sekolah, beliau tinggal bersama istri dan anak-anaknya yang sudah dewasa. Dalam rumah yang sangat sederhana, jauh dari kesan mewah. Tidak ada mobil pribadi maupun mobil dinas. Meski rumahnya di pinggir pantai yang bila siang hari sangat panas, rumah tidak ada AC. Perabotnya pun sederhana.

Tapi beliau punya laptop yang connect dengan printernya. Juga sesisir pisang nona (di Surabaya disebut pisang emas) yang manis rasanya. Serta sekaleng minuman kaleng dingin yang menyejukkan di siang yang sangat gerah ini. Dan keramahan khas orang Papua, yang membuat siapa pun betah berlama-lama mengobrol di teras rumahnya ditemani semilir angin pantai.

Sepulang dari rumah pak Kadis Sarmi, setelah kru JTV mewawancarainya dan mengambil gambar rumah dan keluarganya, kami dengan menumpang mobil pak Kadis, menuju pantai. Matahari masih terik. Tidak terlalu menarik menikmati pantai. Namun, di dekat pantai itu ada pasar. Di sepanjang jalan. Semua hasil bumi dan hasil laut digelar. Terong, sawi, kangkung, rica (cabe), kacang panjang, bayam, kobis, ikan segar, ikan goreng, udang, singkong, keladi, bete (bentul), dan tentu saja buah sirih dan pinang, juga serbuk kapur putihnya. 

Sirih dan pinang, menjadi makanan wajib bagi masyarakat Papua. Laki perempuan tua muda, semua mengunyahnya. Membuat mulut mereka merah, dan ludah pinang berhamburan ke mana-mana, menghiasi hampir semua fasilitas umum. Tanaman pinang juga bisa dilihat di banyak tempat. Penjual sirih pinang juga ada di semua tempat. Pinang menjadi komoditas yang sangat menjajikan di Papua. Saya amati, baru beberapa saat saja, seorang gadis remaja yang berjualan pinang sudah melepaskan beberapa gundukan pinangnya pada para pembeli. Penjual yang lain juga begitu. 

Semakin sore, pasar semakin ramai. Para penjual dan pembeli memadati sepanjang jalan di pinggir pantai itu. Komoditinya juga semakin beragam. Pak Kadis membeli dua potong besar daging kanguru yang sudah diasap. Beliau bilang, jarang sekali bisa menemukan makanan hasil buruan itu.    

Sore yang jatuh menyajikan pemandangan yang luar biasa indahnya. Matahari yang hampir tenggelam di balik bukit, sinarnya membuat langit yang dipenuhi awan berwarna merah kuning berkilauan, dan bayangannya tumpah di permukaan laut. Pemandangan itu menjadi latar belakang kerumunan pasar yang sibuk. Dilengkapi dengan anak-anak pantai yang bermain berlompatan menceburkan diri di laut yang dangkal. Kami mengagumi sepuas-puasnya suasana itu. 

Namun ada yang sangat mengganggu kenyamanan saya. Sangat! Di antara komoditas itu, mereka juga menjual ulat. Ya, ulat sagu yang besarnya sejempol-jempol itu kruntelan di waskom-waskom. Saya teriak-teriak histeris karena kaget setengah mati. Saya takut sama ulat. Gilo poll. Teriakan saya menarik perhatian orang-orang di pasar itu. Dan mulut mereka yang merah menyeringai kegirangan melihat ketakutan saya. Bahkan seorang mama mendekat ke arah saya tanpa saya sadari, dan dengan senyum termanisnya dia menyapa saya. "Ibu, ini juga ulat, ibu...' Dia membuka genggamannya. Tentu saja saya spontan teriak lagi. Kebahagiaan orang-orang itu sepertinya lengkap saat melihat muka pucat pasi saya....

Sore yang indah kami tuntaskan senja ini. Bersama peserta SM-3T. Bersama orang-orang Papua yang cakep-cakep dan ramah-ramah. Bersama langit, laut, pantai, dan bukit yang memukau. Bersama anak-anak pantai yang ramai bekerjaran. 

Malam nanti, kami akan menikmati makan malam dengan menu papeda dan ikan kuah di rumah Bapak Yulius. Beliau adalah adik Bupati Mamberamo Raya, Bapak Demianus Kyeuw Kyeuw. Beliau mengundang kami semua sebagai penghormatan, dan dalam rangka mengenalkan salah satu makanan pokok mereka pada guru-guru SM-3T ini. Supaya mereka terbiasa mengonsumsi papeda dan bahan makanan dari sagu lainnya. 

Membayangkan makanan kenyal dan liat yang disruput dengan kuah ikan yang asam pedas itu, hm....pasti nikmat. Tapi sekarang saatnya mandi dan salat maghrib dulu. Tunggu sampai nanti malam. Hmmmm......

Sarmi, 15 September 2013

Wassalam,
LN