Pagi hari, pukul 07.30,
kami meninggalkan rumah dinas Bapak Isak Torobi, Kepala Dinas Dikpora. Setelah
menikmati makan pagi nasi putih dan mi instan rebus. Selama dua hari dua malam
kami tinggal di rumah papan berukuran sekitar 7 x 13 meter itu. Rumah itu letaknya
berhadapan dengan kantor dinas dikpora, hanya di seberang jalan saja.
Rumah dinas pak kadis itu
memiliki satu ruang tamu, dua kamar, sebuah ruang makan, dapur dan kamar mandi.
Tanpa televisi, tanpa lemari es, tanpa AC. Tidak ada mobil dinas atau mobil
pribadi. Jangan bayangkan sofa besar di ruang tamu, atau meja makan besar di
ruang makan. Juga jangan bayangkan kompor gas dan kitchen set di dapurnya. Itu
semua tidak ada. Kecuali perabot dan peralatan yang sederhana. Tempat tidur pun
berupa kasur busa yang langsung digelar di atas karpet plastik. Kendaraan
satu-satunya adalah sebuah sepeda motor yang tidak lagi baru.
Itulah profil kepala dinas
pendidikan di Mamberamo Raya. Tidak bergelimang harta dan barang-barang mewah.
Kepala sekolah, guru, sama. Bahkan saat kami baru turun dari speedboat kemarin
sore, para kepala sekolah ikut menjemput kami dengan sepeda motornya, dan
membantu mengangkat barang-barang kami. Tak terfikir bahwa mereka adalah para
kepala sekolah, saking sederhana dan 'mau soro'nya mereka.
Di rumah pak kadis, saya
dan Ferry tidur di kamar belakang. Dua kasur busa dihamparkan di kedua sisinya.
Sedangkan mas Rukin, mas Joko, pak Julianto, bergabung jadi satu dengan pak
kadis di kamar depan. Semua tidur di bawah, ditemani sebuah kipas angin untuk
menghalau panas dan nyamuk.
Anak-anak kami para
peserta SM-3T, sementara ditampung di sebuah bangunan dalam kompleks kantor
diknas, sebelum mereka dijemput kepala sekolah masing-masing untuk dibawa ke
tempat tugas. Sebuah rumah dengan tiga kamar, ruang keluarga, dan teras. Tanpa
perabot. Bahkan selembar tikar pun tidak ada. Latihan awal untuk hidup serba
kekurangan, sebelum mereka mencapai tempat tugas yang mungkin kondisinya akan
jauh lebih memprihatinkan.
Para peserta SM-3T
nantinya ditugaskan di beberapa distrik. Dari sembilan distrik, hampir semua
menjadi tempat tugas. Tempat tugas terdekat dari Kasonaweja adalah Burmeso,
tempat yang kemarin kami kunjungi, termasuk distrik Maberamo Hilir. Hanya
memerlukan waktu tidak lebih dari 10 menit dengan speedboat. Tempat tugas yang
lain, tersebar di distrik Rufaer, Benuki, Sawai, Iwaso, Mamberamo Hulu, dan
Mamberamo Tengah Timur serta Waropen Atas.
Tidak ada yang mudah untuk
mencapai tempat-tempat itu. Hampir semua tempat mengandung risiko untuk
mencapainya. Semua harus menumpang speedboat. Di beberapa tempat, speedboat
harus melintasi jeram-jeram berbahaya dengan tingkat kemiringan 60 derajat.
Saya sesungguhnya ketir-ketir dan ngeri dengan kondisi tersebut. Tapi
bismillah, saya harus yakin Allah SWT akan melindungi perjalanan mereka dan
memudahkan mereka dalam melaksankan tugas pengabdian mulia itu.
Mamberamo Raya terkenal
dengan nyamuk malarianya yang ganas-ganas. Oleh sebab itu, selain obat malaria,
para peserta juga kami bekali dengan kelambu. Selain itu, banjir juga menjadi
langganan tahunan. Sekali hujan, seluruh negeri tergenang, begitulah kata pak
kadis. Maka para peserta juga kami bekali dengan sepatu boot untuk
mengantisipasi medan dan banjir.
Pak Kadis juga bilang,
nyamuk di Mamberamo Raya adalah teman cerita yang setia. Saking setianya, waktu
kita sedang menikmati makan pun, mereka maunya ikut menikmati, sehingga suatu
ketika kita harus makan di dalam kelambu.
Selain malaria, penyakit
kaki gajah juga menjadi ancaman serius. Maka kemarin para peserta sudah ke
puskesmas setempat untuk mendapatkan vaksin filaria. Gratis, tidak bayar.
Keberadaan puskesmas pembantu di setiap distrik sangat menolong masyarakat
dalam mencegah dan mengobati berbagai penyakit, termasuk malaria dan kaki gajah
yang merupakan penyakit endemik. Sayang kesadaran mereka untuk memanfaatkan
keberadaan puskesmas belum optimal. Ditambah lagi dengan kebiasaan hidup dan
kebersihan lingkungan yang masih jauh dari standar kesehatan, membuat malaria
dan kaki gajah, juga penyakit kulit, seperti menjadi penyakit langganan.
Adat-istiadat di Mamberamo
Raya masih sangat kuat. Adat kematian, disebut kon, merupakan tradisi penduduk
asli, yaitu menanam mayat anggota keluarganya di para-para, di atas panggung
rumah khusus. Mayat itu akan diletakkan di situ selama sekitar 4-6 bulan,
sampai dagingnya hilang. Sementara itu, pihak keluarga akan mengumpulkan biaya
untuk melaksanakan prosesi penguburannya. Setelah penguburan, pesta kematian
(kon) akan diselenggarakan dengan acara pokok makan dan berdansa selama dua
malam, dengan diiringi alat musik tifa dan suling.
Adat yang lain adalah
pesta adat perkawinan (henem). Pada pesta adat henem, keluarga perempuan
mengantar makanan seperti sagu, babi dan makanan lain yang biasa dimakan.
Makanan ini dinikmati dalam pesta lajang, dilengkapi dengan dansa, sebagai
tanda perpisahan dengan teman-teman yang lajang. Saatnya untuk memenuhi
kewajiban, berbakti pada keluarga.
Masih banyak adat istiadat
yang lain, termasuk kawin tukar dan kawin masuk. Apa pun, setiap pendatang,
termasuk para guru SM-3T, harus menyesuaikan diri. Tidak harus larut dalam
tradisi yang menurut pandangan mereka kurang baik, namun pepatah 'di mana bumi
dipijak, langit dijunjung', harus mereka maknai sebijaksana mungkin.
Air juga tidak tersedia
dengan mudah. Tentu saja tidak ada air PAM. Mereka menampung air hujan untuk
kebutuhan sehari-hari. Setiap hari, Papua nyaris tidak pernah tidak hujan. Air
itulah yang mereka manfaatkan, selain air sungai yang dijernihkan.
Ada ungkapan khas di
Mamberamo Raya: 'hujan sungguh mati, panas sungguh mati'. Menandakan hujan yang
tak pernah absen setiap hari dan bahkan hampir selalu mengakibatkan banjir
tahunan. Sekaligus, karena Mamberamo Raya menghampar di atas batubara, maka
panasnya luar biasa. Pagi sekitar pukul 07.00 sudah membuat orang berkeringat
kepanasan.
Bank hanya ada di
Kasonaweja, itu pun hanya Bank Papua. Jadi para peserta SM-3T mau tidak mau
harus membawa sejumlah uang dalam bentuk tunai, karena di tempat mereka
ditugaskan tidak ada bank atau ATM.
Harapan kami, para guru
muda itu mampu bertahan hidup dalam kondisi serba kekurangan. Seperti kata pak
kadis sewaktu presentasi di Kodikmar: "nikmati apa yang ada dengan segenap
hati. Kalau sudah sampai di medan, pasti kalian bisa. Bukankah kalian datang
untuk mencerdaskan orang lain? Kalau kalian mau orang lain cerdas, kenapa
kalian tidak bisa membahagiakan diri sendiri?" Beliau juga mengatakan:
"sebagai seorang guru, keberhasilan siswa akan menjadi kebanggaan kita
seumur hidup. Jadi jangan takut susah. Lagi pula, siapa suruh kalian jadi guru?"
Yang menghibur hati dari
sekian banyak 'kemalangan' adalah, Mamberamo Raya bukanlah wilayah yang rawan
konflik. Tidak seperti di Timika. Kehadiran guru di sana sangat dibutuhkan
untuk mengatasi kekurangan. Guru, mendapat tempat khusus di hati masyarakat,
karena mereka datang untuk mencerdaskan anak-anak Papua sebagai anak-anak
bangsa.
Baiklah, kembali ke
rencana pulang hari ini. Siang terik, panas sekali. Pukul 11.30. Saat pesawat
kecil itu terbang rendah siap mendarat. Akhirnya, setelah menunggu sejak pukul
07.30, ada pesawat yang akan menerbangkan kami menuju Jayapura.
Sebenarnya kami
dijadwalkan menumpang Suzie air. Namun kabar yang diterima oleh pihak
penerbangan, pesawat itu masih ada di Wamena, bersiap terbang ke Sentani, baru
kemudian lanjut ke Kasonawaja. Wow, berapa lama lagi kami harus menunggu?
Sementara tiket Garuda Jayapura-Surabaya kami sudah ok, dijadwalkan terbang
pukul 14.20.
Kami tadi sudah
kebat-kebit kalau pesawat kecil mungil itu tidak kunjung datang. Mas Nardi,
petugas tiket kami mengabarkan, tiket dari Jayapura ke Surabaya untuk semua
penerbangan sudah full-booked hari ini. Artinya, kalau kami ketinggalan Garuda
siang ini, maka kami terpaksa harus pulang besok pagi.
Alhamdulilah, pada
detik-detik kritis, pesawat kecil itu mendarat. Pesawat yang bernama Pilatus
itu. Warna putih kombinasi biru. Saya belum pernah melihat pesawat yang lebih
kecil daripada pesawat yang sekarang ada di depan mata saya ini, kecuali
pesawat-pesawatan. Hehe...
Pilatus berpenumpang
sepuluh orang plus seorang pilot. Dia memerlukan waktu sekitar 80 menit untuk
mencapai Jayapura. Benar-benar pas waktunya. Begitu turun dari Pilatus nanti,
kami musti bekerjaran dengan waktu untuk check in supaya tidak ketinggalan
Garuda menuju Surabaya.
Beberapa jam sebelumnya,
kami dan semua bagasi ditimbang sebelum naik pesawat. Mungkin karena kami
dikawal terus dari dinas pendidikan, maka dengan pesawat apa pun, kami
dijadwalkan terbang pertama. Maka menggeser-geser penumpang dan barang adalah
pekerjaan yang memerlukan waktu cukup lama.
Setelah semua barang
ditata di bagian belakang badan pesawat dan di sayap-sayapnya, kami dipanggil
satu per satu. Tempat duduk kami diatur sedemikian rupa supaya tetap menjaga
keseimbangan pesawat selama terbang. Siapa duduk di mana, tidak bisa memilih
tempat duduk. Pak Julianto, betapa beruntung dia, karena berat badannya paling
berat, dia mendapat kehormatan duduk di sebelah pilot.
Siang itu, akhirnya,
Pilatus mengudara. Membawa kami berlima bersama lima orang Papua. Aroma sirih
pinang berbaur dengan dinginnya AC dalam pesawat. Melengkapi keindahan hutan
belantara Papua dan sungai Mamberamo yang mengular, yang bisa kami nikmati dari
atas. Papua memang luar biasa. Sebuah mutiara indah di ujung timur Nusantara.
Tidak bisa tidak, apa pun harus dilakukan untuk tetap bisa memilikinya.
Dan Pilatus pun terus
membubung tinggi, membelah angkasa, melintasi mega-mega, menuju Jayapura.
Membawa kami semua kembali kepada 'peradaban', kembali kepada rutinitas,
kembali kepada perjuangan yang lain.....
Selesai...
Jayapura, 19 September 2013
Wassalam,
LN
2 komentar
subhanallah, keren. edisi membramo 1-9 nya.
subhanallah, keren. edisi membramo 1-9 nya.
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...