Pages

Rabu, 18 September 2013

Mamberamo (7): Tempat Singgah Itu Bernama Warembori

Tempat singgah itu, adalah rumah kayu yang sederhana, berdiri di atas bibir sungai. Di muara Sungai Mamberamo.  Rumah yang sederhana, namun tetap kelihatan paling menonjol di antara rumah-rumah sederhana yang lain. 

Saat speedboat kami menghampiri rumah itu, ada dua speedboat yang sudah parkir. Di teras rumah, sejumlah orang, dewasa dan anak-anak, sedang duduk sambil menikmati makan. Di antara mereka, menurut pak kadis, adalah para pejabat kabupaten. Ada juga yang berseragam anggota TNI.
Makanan yang sedang mereka nikmati, saya sempat meliriknya, adalah nasi putih dan mi instan rebus. Ya. Itulah menu makan siang untuk menyambut para pejabat di rumah singgah hari ini.

Kami turun satu per satu dari speedboat. Bersapa pada mereka. Menyerbu kamar mandi di sebelah kanan teras. Cukup lumayan untuk kencing. Tak perlu saluran. Air kencing langsung terjun bebas tumpah ke laut di bawahnya.

Kami lantas menuju bagian belakang rumah. Melihat-lihat kampung Warembori. Kampung ini termasuk dalam Distrik Mamberamo Hilir. Kampung dengan rumah-rumah panggung. Sebuah SD Inpres yang tanpa papan nama dan tiang yang berdiri tegak tanpa bendera. Di dekatnya adalah lapangan rumput yang bisa untuk apa saja. Saat ini, di atas lapangan itu, sedang berlangsung pertemuan dewan adat. Untuk itulah banyak pejabat kabupaten yang datang ke Warembori.

Saya berbelok ke sebuah halaman rumah. Menyapa mama-mama yang sedang bersantai dan mengunyah sirih pinang. Bercanda dengan mereka. Rupanya mereka sedang berkumpul untuk memasak. Di dekat tempat mereka duduk-duduk, adalah bangunan kayu sangat sederhana yang berfungsi sebagai dapur umum. Ada dua tungku besar yang masing-masing di atasnya berdiri panci pengukus besar. Sebuah tungku lagi, sedang digunakan untuk menanak nasi dengan menggunakan panci lebar. Ya, hari ini mereka masak besar, karena ada pertemuan dewan adat. Menunya adalah nasi putih, kuah ikan, dan biak (kerang).

Di samping dapur itu terdapat perahu kayu yang penuh dengan biak. Ternyata itu adalah tempat penyimpanan biak. Bila disimpan dengan baik, di tempat yang lembab, ditutup dengan pelepah atau kayu, tidak kena panas, biak itu bisa tahan seminggu. 

Di mata saya, mama-mama Papua begitu cantik. Begitu juga anak-anak dan para remajanya. Para laki-lakinya juga cakep-cakep. Mata bulat penuh, bulu mata lentik, hidung mancung, dan rambut keriting, begitu serasi dengan kulit mereka yang hitam legam. Dengan keramahan khas orang Papua, orang akan  jatuh hati pada masyarakat di ujung timur Nusantara ini.

Saya mengobrol dengan para mama. Nama mereka saya catat. Antoneta Samber, Hulda Indamare, Antomina Iriori, dan Alerce Ramandai. Nama belakang itu adalah nama marga. Mereka juga menanyakan nama saya. Saat saya sebut, mereka langsung bisa mengucapkannya, dengan lafal yang nyaris sempurna.

Kami juga masuk ke SD Inpres Warembori. SD yang siswanya sekitar 100 orang itu, merupakan sekolah dengan kelas rangkap. Kelas 1, 2, 3, jadi satu kelas. Selebihnya, juga jadi satu kelas. Mereka belajar dengan bangku dan kursi kayu yang sudah tua tapi masih cukup layak, di ruang kelas berdinding kayu dan berlantai semen. Tidak ada media apa pun kecuali papan tulis kusam. 

Seorang guru, Ibu Rosa Konyanan, tengah mengajari mereka membaca. Jangan tanya seperti apa kemampuan baca mereka. Di kelas rendah, saya mencari satu orang saja yang bisa membaca, tidak ada. Ketika ada satu siswa yang memberanikan diri mengangkat tangan karena saya menjanjikan akan memberi hadiah bagi siapa yang berani membaca, Levina namanya, siswa kelas tiga, kemampuan membacanya.....nyaris tidak bunyi. Ternyata kondisi ini bahkan juga ditemui di kelas atas. Wow. Tantangan pertama untuk para guru SM-3T. Mengajari membaca.

Saya sendiri sebenarnya tidak heran dengan kemampuan membaca anak-anak itu. Pengalaman berkali-kali mengunjungi daerah 3T, membukakan mata kita semua betapa memprihatinkannya kondisi para siswa, guru, sekolah, dan daya dukung orang tua, masyarakat, dan pemda. Jadi jangan bicara tentang Standar Nasional Pendidikan. Jangan bicara tentang inovasi pendidikan, tentang ICT, tentang sekolah unggulan. Jangan bicara tentang keterampilan abad 21. Tak terfikir oleh mereka. Jauh, sejauh langit dari bumi. 

Di lapangan, orang-orang, para laki-laki dewasa, sedang duduk dipimpin oleh bupati, yang diwakili asisten 2. Ada kapolres juga di sana. Juga para anggota dewan adat. Mereka akan rapat penting tentang batas kampung, antara kampung Warembori dan Yoke. Kedua kampung tersebut sebenarnya bersaudara. Namun dengan adanya dermaga, batas kampung menjadi sengketa.

Para-para adat. Itulah tempat untuk menyelesaikan sengketa batas desa, atau sengketa apa pun. Tidak seperti di sebagian pedalaman Papua yang lain, menurut beberapa sumber,  dua kampung ini tak pernah angkat senjata untuk menyelesailkan setiap persoalan. Mereka selalu membawanya ke para-para adat. Membicarakannya dengan penuh kekeluargaan. Bila diperlukan, dengan mediasi para pejabat distrik bahkan kabupaten. 

Kami beruntung singgah di kampung ini. Meski hanya sekitar satu setengah jam, kami sempat berinteraksi dengan masyarakatnya yang ramah-ramah, dengan siswa dan guru-guru di sekolah, dan menyaksikan para-para adat meski dari kejauhan. Kalimat-kalimat yang mengalir dalam pertemuan itu betapa santun dan penuh kearifan. Meskipun ini di Papua, jangan harap bisa mendengar orang-orang yang saling teriak atau berbicara keras di sini. Kampung kecil itu sepertinya terlalu tenang dan damai untuk sebuah teriakan kemarahan sekecil apa pun. Kecuali teriakan-teriakan anak sekolah dan anak-anak yang sedang bermain dengan keceriaannya.

"Ada kesalahpahaman,
Sehingga kita semua datang, duduk, untuk menyelesaikan persoalan ini. Dari cerita-cerita leluhur kita, pasti ada yg sesuai dan tidak sesuai. Tapi Tuhan yang mengetahui, dan akan membimbing kita dalam pertemuan ini, agar menghasilkan kesepakatan yang baik. Demi mendapatkan kehidupan dan penghidupan yang damai di tanah tercinta kita". Begitulah sebagian kata-kata pembuka dalam pertemuan itu. 

Di sepanjang jalan, setiap berpapasan, orang-orang itu menyapa. Mengucap selamat pagi sambil tersenyum. Kalau pun tidak ada sapaan, mereka menatap, menganggukkan kepala, dan tersenyum. Sapaan seperti 'hormat, bapak ibu', atau 'mari, adik tuan', sering sekali saya dengar dari pak Kadis untuk orang-orang, termasuk kepada para awak speedboat. 

Sebelum pulang, kami singgah di rumah singgah lagi, karena dari rumah itulah satu-satunya jalan menuju ke tempat speedboat ditambatkan. Tak disangka, bagai pucuk dicinta ulam tiba, kami ditawari makan. Seperti tadi yang saya lihat, menunya adalah nasi putih dan mi instan rebus. Oh, ternyata ada ikan asapnya juga. Dua ekor, besar-besar. Orang Papua menyebutnya ikan kering.

Karena memang dari pagi kami belum makan, maka menu sederhana itu menjadi begitu nikmat. Apa lagi dengan keramahan nyonya rumah, ibu Johan Samber, istri kepala sekolah yang tadi sekolahnya kami datangi. Terasa sekali ketulusannya menjamu kami semua. Ketulusan yang sama seperti ini kami rasakan juga saat dijamu makan papeda di rumah bapak Julius, di Sarmi, tempo hari. 

Setelah makan, kami bergerak menuju speedboat. Kasonaweja masih empat sampai lima jam lagi. Saatnya menyusuri Sungai Mamberamo yang arusnya cukup deras itu. Ya, masih perlu sejumlah energi fisik dan mental lagi untuk bisa berhasil mencapai ibu kota kabupaten Mamberamo Raya itu....

Waromberi, Mamberamo Raya, 17 Sept 2013

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...