Pages

Sabtu, 14 September 2013

Mamberamo (3): Sepuluh jam perjalanan, melewati ratusan jembatan

Setelah berjalan sekitar tiga jam, kami singgah di sebuah tempat makan. Yang punya orang Boyolali. Menunya ramai, mulai dari tempe goreng, ikan goreng dan bakar, ayam goreng dan bakar, bebek goreng, sampai kare ayam dan kare bebek. Ada juga lodeh nangka muda dan sayur bening. 

Pagi tadi sebagian dari kami tidak makan, karena tidak terlalu terbiasa sarapan terlalu pagi. Maka saya, mas Rukin, pak Kadis, Ferry dan mas Joko, pesan makanan. Saya mengambil sayur lodeh dan kare ayam. Rasanya cocok sekali dengan lidah saya. Persis masakan Tuban. Pedas, sedap, segar. 

Anak-anak tidak mau makan, mereka minta dibungkuskan saja. Ya, mereka tentu masih kenyang. Lagi pula, jam masih menunjukkan pukul 11.00. Belum waktunya makan siang. Maka sebanyak 27 bungkus nasi ayam segera disiapkan oleh penjualnya yang ramah. Sementara menunggu nasi bungkus, anak-anak minum dan makan kletikan seperti kerupuk dan rempeyek.

Kami juga membeli jeruk manis untuk bekal di perjalanan. Jeruk manis itu, per lima buahnya seharga sepuluh ribu. Apel, tiga buah, empat puluh ribu. Jeruk itu ditanam oleh para transmigran. Kalau apel, jelas, apel import. Pasti dibawa dari kota, mungkin dari Jayapura atau bahkan langsung dari Jawa.

Melanjutkan perjalanan lagi.  
Melewati ratusan jembatan yang kondisinya membuat hati deg-deg-an. Jembatan yang sebagian besar belum jadi, dengan kayu-kayu yang diatur rapat, dan terlihat tidak terlalu aman. Seperti itu harus kami lalui sebanyak ratusan kali. Ya, ratusan. Jayapura-Sarmi jaraknya sekitar 280 km, dan hampir setiap kilometernya melintasi jembatan. Ada juga yang musti melewati jembatan hanya dengan jarak beberapa ratus meter saja. Tidak heran kalau bus tidak bisa berjalan kencang. Kencang sebentar, lantas pelan, menceburkan diri di jembatan yang bergelombang. Kalau ada gelombang laut, di Papua inilah terjadi gelombang darat.

Lima jam yang dijanjikan pak Kadis saat presentasi di kegiatan prakondisi di Kodikmar tempo hari, ternyata hanya isapan jempol. Lima jam lebih, saat waktu sudah menunjukkan pukul 14.30, kami baru tiba di distrik Bonggo. Jarak ke Sarmi masih kurang seratus kilometer lebih, terbaca di pal kuning sepanjang jalan. Saat saya protes pada pak Kadis, pria hitam yang ramah itu hanya tertawa, menampakkan gigi-gigi putihnya (pak Kadis tidak makan sirih pinang, tidak merokok, dan tidak minum alkohol. Tidak ada bekas kemerahan di gigi dan mulutnya, tidak seperti kebanyakan orang Papua).
Kata beliau, kalau tempo hari beliau katakan bahwa jarak Papua-Sarmi sepuluh jam, maka dia khawatir nanti akan banyak peserta SM-3T yang mengundurkan diri. Dan beliau tidak mau itu. Maka dikatakan saja kalau jarak Jayapura-Sarmi lima jam. Saya menuduh pak Kadis telah melakukan kebohongan publik. Beliau malah tertawa berderai.

Di Bonggo, kami singgah di warung makan. Anak-anak membuka nasi bungkusnya. Sebagian ragu-ragu untuk makan. Perjalanan dengan gelombang darat yang hebat masih harus dilalui lima jam ke depan. Sementara tadi saja, satu dua di antara mereka sudah mengalami mabuk kepayang. Kalau makan, perut penuh, hal itu akan membuat mabuk kepayang mereka semakin parah.

Warung makan itu, yang punya, orang Kebumen. Transmigran sejak 1996. Memiliki empat anak, satu di antaranya adalah angkatan darat, dan satunya lagi arsitek yang kerja di Sorong. Dilihat dari kondisi rumah dan keluarganya, keluarga itu bisa dibilang transmigran yang cukup berhasil. Keberhasilan yang dirintis puluhan tahun. Berjuang, berusaha bertahan hidup, menghadapi berbagai kendala, baik ekonomi, sosial, budaya, bahkan juga keamanan. 

Kami numpang sholat di tempat itu. Air berlimpah dan cukup bersih. Hanya, karena ternyata warung itu baru buka dua hari, maka belum ada tempat khusus untuk sholat. Kami disediakan satu kamar, di bagian belakang rumah, untuk menunaikan sholat dhuhur-ashar jama' takdim.

Melanjutkan perjalanan lagi. Laut ada di sebelah kanan. Rawa-rawa hampir di sepanjang jalan. Ada yang warna airnya hijau rata, pekat sekali. Di atasnya adalah pepohonan dari segala jenis, tumbuh sangat rapat. Diseling-seling pohon kelapa. Sungai, rawa, genangan-genangan air yang menghiasi sepanjang jalan, membuat saya paham, kenapa sebagian besar wilayah Papua adalah endemik malaria.  

Sampai di kampung Arare, distrik Pantai Timur Barat. Rumah-rumah panggung. Anak-anak kecil dan orang dewasa, duduk-duduk di teras, ada juga yang bermain di halaman. Sebagian bertelanjang dada, menampakkan tubuh mereka yang hitam legam. 

Lepas dari kampung, kembali ke rimba, rawa, masuk perkampungan lagi, rimba dan rawa-rawa lagi. Air rawa, seperti tadi, berwarna hijau, meski tidak terlalu pekat.

Singgah di jembatan dengan sungai-sungai lebar, panjang, dan indah. Ada juga sungai yang langsung bertemu dengan laut (muara). Sore yang jatuh membuat langit yang dihiasi awan menggantung hanya menyisakan sedikit kilau di beberapa bagian. Kilau itu berpendar menghiasi permukaan sungai. Indahnya...

Kami juga mengamati orang-orang yang sedang mencari biak (semacam kerang besar). Mereka, ibu, anak, dan mungkin cucu, berada di tepian sungai, naik ke jalan menaiki jalan setapak yang menanjak, membawa karung-karung berisi biak. Biak, bisa dijual di kota Sarmi, dengan harga 150 ribu per karung. Para perempuan itu bahu-membahu mengangkati karung-karung ke atas, dan seorang lagi memanggulnya di atas kepala, dijadikan satu dengan tumpukan lainnya. Meski tubuh mereka kotor, kulit hitam dan rambut keriting mereka tetap memancarkan kecantikan. Mereka cantik sekaligus kekar dan kuat.

Pukul 18.15. Kami tiba di Sarmi. Ya, sepuluh jam perjalanan. Tidak apa, tidak ada pilihan. Yang penting, malam ini bisa segera masuk hotel, mandi, makan, tidur. Sambil menunggu apa yang akan terjadi besok. Saya agak mendesak kepada pak Kadis supaya kami besok pagi bisa melanjutkab perjalanan menuju Kasonaweja. Speedboat supaya disiapkan malam ini. Siapa tahu, tiba-tiba para pemilik speedboat bersedia mengantar kami, meski besok adalah hari Minggu. Ya, siapa tahu...  

Sarmi, 14 Sept 2013

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...