Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Senin, 26 Mei 2014

Jus Pinang Aceh

Pernah minum jus pinang?

Sore ini, sekitar pukul 15.30, saya dan Dr. Heri Yanto, dosen Unnes, tiba di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Begitu keluar pintu bandara, sebuah sapa mengagetkan kami.
"Assalamualaikum..."
Ternyata Pak Jufri, Dekan FKIP. Beliau dengan seorang teman, Bapak Samingan, Koordinator PPG SM-3T Unsyiah.

Kami bersalaman dan saling berkabar. Saya pikir, kami akan dijemput driver FKIP saja atau driver dengan koordinator PPG SM-3T atau salah satu dosen. Tidak membayangkan pak Jufri yang akan menjemput.
"Kok Bapak sendiri yang menjemput?" Protes saya. Benar-benar protes. Kalau dekan yang menjemput, saya jadi tidak leluasa untuk mengajak mampir ke sana ke mari sebelum masuk hotel. Padahal rencana saya dan Pak Heri, sore ini mau langsung jalan-jalan ke Masjid Raya Baiturahman dan makan jagung bakar di Pantai Oleele, sambil menikmati matahari terbenam.

"Ya, karena tahu Bu Luthfi yang mau datang, saya putuskan untuk menjemput sendiri." Kata Pak Jufri. Olala...inilah risikonya jadi orang terkenal. Hehe, bercanda.

Kami diantar ke Hotel Hermes. Saat melepas kami bersama room boy yang akan mengantar kami ke kamar, Pak Jufri mengucapkan selamat beristirahat dan mengatakan kalau pukul 20.00 akan datang menjemput kami untuk makan malam.

Selamat beristirahat? Boro-boro.... Hanya sebentar kemudian, setelah menunaikan salat dhuhur dan ashar jama' taqdim, saya dan Pak Heri sudah berada kembali di lobi hotel. Setelah meminta petugas hotel untuk memanggilkan taksi, maka meluncurlah kami menuju Museum Tsunami.

Sayang sekali, museum sudah tutup. Ya, pukul 16.30 museum memang sudah tutup, dan ini sudah pukul 17.00. No problemo. Masih ada yang menarik. Masjid Raya Baiturahman. Masjid indah yang lebih mirip taman rekreasi itu asyik juga untuk cuci mata. Apa lagi ini hari Minggu. Wow, ramainya mantap. Di mana-mana kerumunan orang. Mulai bayi sampai manula. Juga orang-orang berjualan jajanan. Termasuk mi aceh yang dibeber di rombong.

Tapi yang menarik tentu saja tidak hanya itu. Keindahan Masjid Baiturahman itu menyimpan cerita panjang sejarahnya sendiri sejak ratusan tahun silam. Ya, setelah sekitar 600 tahun lebih melewati peristiwa-peristiwa bersejarah, sampai saat ini, masjid itu masih berdiri kokoh sebagai simbol agama, budaya, semangat, kekuatan, perjuangan dan nasionalisme Suku Aceh.

Di seberang jalan masjid, ada juga sederetan rombong yang menjual produk khas. Buah pinang atau jambe. Dari kejauhan, buah yang warnanya hijau itu nambak bergerombol-gerombol digantung-gantung.  "Pak Epi, apa orang Aceh juga makan sirih pinang?" Tanya saya pada driver.
"O tidak, Bu. Itu untuk obat kuat laki-laki."
"Hah?"
"Ya, buah itu diminum sama telur bebek."
Penasaran, saya menyeberang jalan. Memisahkan diri dari Pak Heri dan Pak Epi. Saya mendekati rombong-rombong itu.
"Bu, ini untuk apa?" Saya bertanya pada ibu penjual, sambil menunjuk buah jambe yang dibungkus dengan daun sirih.
Ibu itu melihat ke saya. Agak heran. Mungkin dalam pikirannya, "perempuan ini kalau lihat manisnya sih kayak perempuan Aceh, tapi kok nggak ngerti sirih jambe buat apa." Hehe. Asli, saya tidak ge-er. Tadi, di perjalanan, driver taksi sempat bilang "saya pikir ibu orang Aceh. Ibu rapi sekali pakai kerudung, dan wajah ibu mirip-mirip orang Aceh." Nah, kan? Padahal orang Aceh kan manis-manis...

"Itu....untuk digigit-gigit....untuk menghilangkan bau badan." Jelas ibu penjual. "Satu harganya seribu."
Saya mengangguk-angguk. Kok jawabannya berbeda dengan penjelasan Pak Epi ya? Apa karena yang bertanya saya ya? Kalau yang bertanya bapak-bapak, mungkin jawabannya berbeda.

Dari Masjid Baiturahman, kami meluncur ke Pantai Oleele. Makan jagung bakar dan minum kelapa muda. Sambil menikmati matahari jingga yang jatuh di kaki langit. Ini kali kedua saya menikmati laut di pantai ini. Di tempat yang sama. Dengan keindahan yang juga sama.

Malamnya, sekitar pukul 20.00, kami dijemput oleh Dekan FKIP bersama istrinya, para Pembantu Dekan, para pengelola PPG SM-3T, makan malam di sebuah restoran. Menu di restoran itu tentu saja menarik, terutama seafood-nya. Udang gorengnya besar-besar, gurih, manis, dan juga...gratis. Haha.

Namun ada yang lebih menarik perhatian saya. Saat pelayan membawa dua buah gelas bertangkai yang isinya cairan kental berwarna kelabu seperti kopi susu, saya bertanya ke pak dekan.
"Itu minuman apa, Pak?"
"Itu dia....jus pinang."
"Hah? Jadi pinang diminum?"
"Ya. Ibu mau?" Tanya pak Dekan, yang disambut dengan gelak tawa berderai-derai dari yang lain. Rupanya khasiat jus pinang sebagai obat keperkasaan laki-laki ini membuat pertanyaan saya terdengar lucu di telinga para bapak itu.
"Mumpung bisa ngerjain profesor." Canda pak dekan. "Kalau di kampus, kita tidak bisa kan ngobrol-ngobrol begini? Betul kan, Pak?" Tanyanya pada yang lain.

Jadi, ternyata, jus pinang itu, banyak dijual di sembarang tempat di Banda Aceh ini. Di depan restoran tempat kami makan, juga ada rombong penjual jus pinang. Namanya Jus Pinang Spesial. Entah seperti apa yang spesial itu. 

Selidik punya selidik, jus pinang spesial itu, adalah
campuran beberapa butir pinang muda yang dikupas dan diambil isi buahnya, jahe merah yang sudah dihaluskan, telur bebek diambil hanya bagian kuning telurnya saja, sari kurma, ditambah serbuk habatus sauda. Semua bahan itu dicampur air dan dihaluskan dengan blender. Hasil akhirnya adalah cairan yang sewarna dengan kopi susu.

Selidik punya selidik lagi, ternyata jus pinang tidak hanya berkhasiat sebagai obat kuat laki-laki, tetapi juga untuk obat masuk angin. Artinya, mungkin cocok juga untuk ibu-ibu yang masuk angin. Dari pada kerokan dan blonyohan minyak kayu putih atau minyak tawon, mungkin ada baiknya sesekali mencoba jus pinang.

Berani coba?
Saya tidak. Tidak. Sekali lagi, tidaaaakkkk.......

Banda Aceh, 26 Mei 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 18 Mei 2014

Sate Dan Gule Pak Slamet

Tiba di Bandara Juanda, begitu saya masuk mobil, bersalam pada Mas Ayik dan mencium tangannya, Mas Ayik bilang "Langsung ke Kediri ya, Sayang?" Saya mengangguk. "Tapi pulang bentar, naruh koper dulu ya, sekalian nengok rumah." Jawab saya.

Maka pagi ini, kami berkendara menuju Kediri, tepatnya Pare. Ada teman kantor Mas Ayik yang punya hajat mantu. Sebenarnya acaranya kemarin, tapi Mas Ayik ingin datang bersama saya, mengingat saya pun sudah kenal baik dengan Pak Siswanto, teman kantor Mas Ayik itu. Tapi karena saya masih bertugas di Semarang, maka baru hari ini kami bisa memenuhi undangan itu.

Di perjalanan, baru beberapa menit, saya sudah izin ke Mas Ayik. "Aku bobo' ya, Mas?"
"Ya. Bobo' aja. Kursi diundurne, sendenan dijeglekne, ben bobo'e nyaman." Tentu saja saya manut. Menggeser jok dan sandarannya, memastikan pada PW (posisis wenak). Dan pulaslah saya.

Sampai di Pare, pas adzan dhuhur. Tamu di rumah Pak Sis ada beberapa pasang. Terop mulai dibongkar. Kami ngobrol ngalor-ngidul sambil makan kue-kue, minum kopi dan teh. Pak Sis jago ngobrol. Ada saja topiknya. Kami lebih banyak hanya mendengar. Sambil senyum-senyum, tertawa-tawa, mengangguk-angguk, dan berkomentar sepatah dua patah kata untuk mengimbangi obrolan saja.

Kami tidak berlama-lama di rumah Pak Sis. Hanya sekitar setengah jam. Yang penting kami sudah datang, menunjukkan perhatian sekaligus mempererat tali silaturahim dengan Pak Sis dan keluarganya. Untungnya, kami tidak disuguh makan siang. Ya, karena ada yang kami incar sejak dari Surabaya. Yaitu, sate dan gule Pak Slamet.

Ini yang kedua kali kami makan sate gule Pak Slamet yang ada di jalan raya Kandangan, Pare itu. Yang pertama kali dulu waktu saya ada kegiatan terusan dari Kediri ke Malang. Ditemani Mas Ayik juga, kami makan sate dan gule di tempat itu. Rasanya cocok dengan selera kami. 

Sebagai orang Ponorogo, Mas Ayik sangat fanatik pada sate. Sate ayam maupun sate kambing. Kalau tidak enak, dia mending tidak makan sate.

Nah, untuk sate dan gule Pak Slamet ini, rupanya cocok dengan selera Mas Ayik. Sama, cocok juga dengan selera saya. Kami berdua memang sama-sama penggemar sate, terutama sate kambing.

Meski penggemar sate, kami tidak lantas umpak-umpakan makan sate. Tahu diri. Ingat kesehatan. Cukuplah sepuluh tusuk untuk berdua. Juga semangkok gule untuk berdua. Minumnya wedang jeruk nipis hangat, untuk menetralisir. Bahkan sambil menunggu sate, kami makan banyak buah untuk 'nglambari'.

Sate Pak Slamet empuk, bumbu kacang yang ditabur irisan bawang merah dan sesendok sambal pas sekali untuk melumuri daging bakar yang masih panas itu. Begitu irisan jeruk nipis dibubuhkan di atasnya, wow, aromanya... Hanya dari aroma dan tampilannya saja, sate ini sudah menunjukkan pesona rasanya yang pasti lekerrr.....

Jadi, tunggu apa lagi? Mari kita nimati satenya. Te.....sate......


Pare, 18 Mei 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 15 Mei 2014

Olala....Sriwijaya....

Saya sedang mengajar di kelas saat sebuah SMS masuk ke ponsel saya. Saya meminta izin mahasiswa untuk mengecek ponsel.

Ya, meski saya tidak membolehkan mahasiswa untuk menghidupkan ponsel ketika perkuliahan sedang berlangsung, tapi sejak awal saya sudah meminta keistimewaan, aturan itu tidak berlaku bagi saya. Posisi saya sebagai koordinator SM-3T mengharuskan saya untuk selalu menyediakan diri mengangkat telepon dan SMS sepanjang waktu, 24 jam nonstop. Para peserta SM-3T tidak mudah untuk mendapatkan sinyal, mereka harus menaiki bukit atau berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk bisa telepon atau mengirim SMS. Dengan kondisi seperti itu, maka saya harus senantiasa siap sedia mengangkat telepon dan membalas SMS secepatnya. Pernah suatu ketika saya telat membaca SMS, akhirnya SMS balasan saya tidak berhasil terkirim. Saya telepon ponselnya, tidak ada nada sambung sama sekali kecuali "tulalit....tulalit...." Yang bersangkutan pasti sudah turun dari bukit sinyal. Di SMS-nya dia bilang "Ibu, mohon SMS saya segera dibalas. Saya sedang di atas bukit, tapi ini mendung. Saya tidak bisa berlama-lama, harus segera turun."

Saya mengecek SMS, ternyata dari Sriwijaya Air. "Kpd YTH pelanggan Sriwijaya Air kami informasikan utk tgl 16MAY SJ225 SURABAYA-SEMARANG jam 11.25 Berubah MAJU  menjadi jam 10.10.
Mohon maaf atas ketidak nyamanan ini. Untuk keterangan lebih lanjut hub 031-5491777 atau call center 021-29279777 atau -031.8688538 -08041777777 atau kantor perwakilan Sriwijaya Air terdekat."

Duh. Padahal saya lagi nggetu-nggetunya mengajar. Saya sudah memperhitungkan waktu dengan baik. Saya akan mengajar sampai pukul 08.30, lantas ke Pasca untuk menyerahkan nilai dan menitipkan tugas-tugas mahasiswa ke sekuriti, lanjut ke LPPM, bertemu dengan tamu penting, yaitu Bapak Nanang Ahmad Rizali dari Pertamina Foundation, baru meluncur ke Bandara Juanda. Kalau penerbangan sesuai jadwal awal, yaitu pukul 11.25, waktu saya lumayan leluasa. Tapi kalau tiba-tiba jadwalnya dimajukan begini, wah, bisa kacaulah rencana saya.

Saya melihat jam. Pukul 8.10. Saya mendekati Pak Leksono, partner mengajar.
"Cak, penerbanganku maju, jek tas onok SMS soko Sriwijaya, piye iki?"
"Yo wis ora opo-opo, Jeng. Wis, ndang budhal, kelas tak atasane."
"Ngono yo, Cak? Sepurone yo, Cak?" Saya bersiap-siap. Mengemasi laptop dan buku-buku saya.
"Sama Pak Leksono dulu ya, anak-anak..." Pamit saya pada mahasiswa. Seperti guru SD ke murid-muridnya.
"Ya, Bu Guru..." Serentak jawaban mahasiswa.

Saya meminta Anang, driver PPG, untuk mengantar saya ke Pasca. Terus yergesa-gesa lanjut ke Bandara Juanda. Di tengah perjalanan, Pak Nanang mengirim pesan di whatsapp.
"Ass. Ww. Bu Prof, saya sdh di mobil keluar jln bandara. LP2M itu dekat gd Rektoratkah?"
Saya langsung mengangkat telepon. Menghubungi Pak Nanang. Menyampaikan permintaan maaf tidak bisa menemui beliau, meskipun sangat ingin. Saya juga katakan kalau Pak Isbondo dan Prof. Wayan Susila, Ketua LPPM, sudah menunggu beliau di LPPM. Dan berharap semoga suatu saat ada kesempatan bagi saya untuk bertemu.

Sampailah saya di Bandara Juanda. Langsung masuk dan menuju tempat check in. Selagi mengantri, ada sepasang suami istri yang marah-marah pada seorang petugas di konter check in itu. Saya tidak terlalu menghiraukan. Tapi begitu giliran saya sampai di depan petugas, saya jadi ngeh, kenapa orang-orang itu marah. Ternyata SMS dari Sriwijaya yang mengatakan kalau jadwal penerbangan dimajukan itu, tidak benar. Ternyata ada miscommuniation di internal Sriwijaya, dan terkirimlah SMS untuk para pelanggan itu. Padahal sebenarnya, ternyata, jadwal tidak berubah. Tetap. Tidak maju tidak mundur.

"Hah, apa?" Tanya saya pada petugas.
"Ya, Bu. Mohon maaf, ada miscommunication, Bu. Jadi jadwal seperti semula."
Rasanya ingin saya ngremus petugas itu. Ingat kelas yang saya tinggalkan sebelum waktunya, ingat pertemuan penting dengan tamu penting yang saya harus abaikan, ingat bagaimana saya meminta Anang untuk ngebut di tol sewaktu mengantar saya tadi. Tapi melihat wajah petugas yang  seperti sudah siap menerima kemarahan itu, hati saya tidak tega. Sepertinya dia sudah sejak tadi menerima komplain dari satu pelanggan ke pelanggan lain. Melihat wajah dan sorot matanya yang memelas, saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja.
"Kok bisa sih..." Kata saya lirih. "Maaf, bu..."

Ya sudah. Saya pun naik. Masuk ke sembarang kafe. Pesan jus jambu dan kentang goreng. Makan, meski tidak sedang lapar. Pelampiasan rasa jengkel dan kecewa. Kecewa sama Sriwijaya. Olala....Sriwijaya.....

Bandara Juanda, 16 Mei 2014


Wassalam,
LN

Nasi Pecel Tempe Kepleh

Pagi ini saya seperti orang mau lebaran. Setelah berminggu-minggu dihajar kesibukan dan banyak kegiatan di luar kota, saya menyambut liburan Waisak ini dengan penuh suka cita. Seolah-olah sayalah yang punya Waisak. Bahkan sejak tadi malam saya sudah menyanyikan lagu sorak-sorak bergembira dan berteriak-teriak "horee....horeee.....besok liburrrr....yes, yes, yes!"

Begitu bangun pagi, salat subuh berjamaah, Mas Ayik langsung menyiapkan sepeda. Dua seli (sepeda lipat) warna putih, segera parkir di teras. Saya juga bersiap. Tanpa bikin jus buah seperti biasa. Tanpa menggoreng tempe, masak balado terong dan omelette. Apa lagi menyapu, mengepel, mencuci piring....oh tidakkkk. Pokoknya pagi ini saya tidak mau itu semua. Saya mau bersepeda, makan di luar, bersenang-senang. Masa bodo dengan piring kotor dan rumah yang amburadul. Bisa diurus nanti. Hehe.

Kami berdua keluar dari rumah setelah pamit Arga. Pagi ini Arga ada acara ke Taman Safari bersama teman-temannya. Mereka pergi semobil, bensinnya urunan, makannya urunan. Seperti biasa, Arga menyiapkan seperangkat alat fotografinya. Ranselnya penuh padat. Seperti fotografer profesional. Koyok iyo-iyo'a....

Meski waktu belum pukul 06.00, Taman Jangkar di samping rumah sudah ramai. Anak-anak kecil dan orang tua memenuhi setiap sudut. Juga beberapa rombong penjual makanan jajanan. Tapi tujuan kami tentu saja bukan ke Taman Jambangan Karah itu (disingkat Jangkar). Terlalu dekat. Jadi ke mana? Ke mana lagi kalau tidak ke Masjid Al-Akbar. Ya, Masjid Agung Surabaya atau MAS. Oh, rasanya sudah bertahun-tahun tidak mengunjungi masjid yang dikelilingi oleh berbagai macam makanan itu. Bersepeda oke, kuliner yes.

Semanggi. Horeee....akhirnya kami makan semanggi. Sepincuk cukup. Dengan segelas jus jeruk. Murni, buah jeruk asli. Jeruk pacitan itu tuh, yang biasanya dipotong-potong untuk dimakan segar. Saat ini memang banyak penjual jus jeruk pacitan itu. Segelas Rp. 8.000,-. Lumayan, daripada memeras sendiri.

Kenyang makan semanggi dan jus jeruk, kami bersepeda lagi mengelilingi Masjid Agung. Satu-dua putaran cukuplah. Mas Ayik pagi ini harus segera bergabung dengan para bapak warga perumahan, kerja bakti. Saya sendiri juga musti beres-beres dapur, kamar, dan juga buku-buku.

Tapi, olala.... Baru nggowes beberapa puluh meter dari kawasan Masjid Agung, di pinggir jalan sisi kiri ada penjual nasi pecel. Nasi Pecel Tempe Kepleh Ponorogo. Siapa pun orang asli Ponorogo, pasti tahu apa itu pecel tempe kepleh. Ya, betul. Nasi pecel yang lauknya tempe goreng setengah matang. Kepleh, tidak keras, tidak renyah. Tempe kepleh itu, kalau sudah ketemu temannya, yaitu nasi pecel, wow, rasanya.....lezat poll.

"Mau?" Tanya Mas Ayik seperti tahu pikiran saya.
"Kan sudah makan semanggi." Jawab saya, pura-pura sih. 
"Semanggi kan sayuran. Belum ada karbohidratnya." 
Kami pun menghentikan sepeda. Duduk di kursi plastik merah, di pinggir jalan. Memesan dua porsi pecel tempe kepleh. Juga tambah lauk lento. 

Begitu nasi pecel pesanan kami ada di tangan, wow.....ini mah Ponorogo banget. Nasi putihnya, kulupannya, sambalnya, tempe keplehnya, lentonya, rempeyek terinya...hmmm.... 

Di Surabaya, pecel ponorogo banyak. Tapi yang "monorogoni", tidak banyak. Pecel ponorogo, cembahnya tidak pernah pakai cambah panjang, selalu cambah pendek. Sambalnya tidak terlalu manis, pedasnya terasa. Lauknya yang khas tempe goreng, lento dan trimbil (teri kambil, kambil artinya kelapa). Juga berbagai pilihan lauk yang lain seperti babat, iso, paru, pelo ati, lidah,  ayam, telur asin. Tapi yang saya paling suka tiga yang terdepan: tempe, lento dan trimbil.

Selesai makan, kami kembali mengayuh sepeda. Masih ada sekitar tiga kilometer untuk mencapai rumah. Jalan menanjak di jembatan Kebonsari membantu membuang lebih banyak kalori. Hah hah hah.....nafas ngos-ngosan. 

Horeeee, akhirnya sampai juga di rumah. Sepeda kami parkir, helm kami gantung. Mas Ayik langsung keplas ikut kerja bakti. Saya langsung berkutat dengan proyek saya, korah-korah, nyapu-nyapu, bersih-bersih, koreksi-koreksi tugas dan UTS, bikin soal, dan...... Ya sudah, mari kembali ke rutinitas.... Cukuplah refreshing pagi ini. Setumpuk pekerjaan menantiiiii....hiks.

Selamat merayakan Waisak.


Surabaya, 15 Mei 2014

Wassalam,
LN

Senin, 12 Mei 2014

Sorong 9: Kembali ke Surabaya

Pagi masih gelap saat Dian, pemandu kami mengetuk pintu  kamar. "Morning call, morning call." Suaranya memecah keheningan.
"Okay.....sudah bangun." Sahut Mbak Desi, teman sekamar saya.

Pagi ini, kami harus sarapan pukul 05.30. Serasa seperti makan sahur. Ya, karena hari masih gelap, lampu-lampu masih menyala. Tapi, meskipun tidak terbiasa sarapan sepagi itu, kami makan lahap saja: roti panggang, mi rebus, dan pisang goreng yang masih panas. 

Pukul 6.30, kami sudah siap di dalam speedboat. Cuaca cerah, sangat bersahabat. Marion dan Didik, dua sejoli yang menjadi host di Raja Ampat Dive Resort, melepas kami di dermaga, bersama dua orang kru. Melambai sampai speedboat kami menjauh. Menembus kabut tipis, berlomba dengan burung-burung laut yang terbang rendah, mengarungi Selat Dampir menuju Sorong.

Di speedboat, saya menulis, membuka tab, melihat foto-foto. Seperti tak percaya, saya baru saja meninggalkan Raja Ampat. Negeri surga. Pulau-pulau cantik nan molek. Penduduknya yang ramah, berkulit hitam, berambut keriting, berbulu mata lentik yang menaungi mata hitamnya yang bulat penuh. Oh Tuhan....betapa saya jatuh cinta pada tanah ini. Pada orang-orang ini. 

Sebersit perasaan sedih menyelinap. Dalam beberapa kali mengobrol dengan Rani, pemandu kami yang lincah dan cerdas lagi intelek itu, ada kekhawatiran pada pendidikan anak-anak di kawasan Raja Ampat. Di sebuah kampung, namanya Tanjung Besi, ada puluhan KK dengan ratusan jiwa di sana, dan anak-anak biasanya suka melongok para pelancong yang melintasi kampung mereka dari jendela-jendela rumah. Anak-anak itu, banyak yang tidak bersekolah, karena di kampung mereka tidak ada sekolah. Di sisi lain, di banyak bagian di Papua ini, ada banyak gedung sekolah yang bagus, tapi guru tidak ada. Kalau ada guru pun, mereka jarang datang ke sekolah, dengan berbagai alasan. Banyak anak lulusan SMA yang bingung mau ke mana, sekolah tidak, kerja belum, akhirnya kerjanya hanya mabuk-mabukan saja. Mereka masih muda. Energi mereka besar. Namun nampaknya, wahana untuk menyalurkan energi itu masih sangat terbatas. Maka pelampiasannya adalah di jalan-jalan, mabuk, dan aktivitas-aktivitas kontraprodutif lainnya.

Saya membandingkan kondisi tersebut dengan kondisi di wilayah-wilayah 3T yang lain. Nyaris sama. Begitulah. Dengan otak yang terus dijejali alkohol, bagaimana orang bisa berpikir jernih, berperilaku halus penuh pertimbangan, dan belajar dengan baik? Bagaimana orang terbiasa berpikir pendek bisa menerima perubahan dengan hati terbuka?  

Tentu tidak semua seperti itu. Banyak orang Papua yang berhasil, intelek dan populer. Walikota Sorong dan Bupati Kabupaten Sorong juga orang asli Papua. Rektor UNIPA, PTN satu-satunya di Papua Barat, adalah doktor lulusan Oxford University, perguruan tinggi ternama di dunia. Orang Papua juga terkenal dengan kepiawaiannya dalam sepak bola. Sebut saja nama yang ada di timnas, Tibo, Oktavianus, Patrich, Boas, dan lain-lain. Mereka hebat memainkan bola, mengharumkan nama Indonesia. Kita juga tentu masih ingat, ada anak-anak Papua yang memenangi olimpiade Matematika dan Fisika tingkat nasional dan dunia dan juara nasional membuat robot. Kalau kita mengintip di Wikipedia, ada sejumlah orang terkenal Papua atau yang secara genetis berdarah Papua, yang dibagi dalam kelompok agamawan dan teolog, ahli dan akademisi, aktivis dan pejuang, juga atlet yang terdiri dari puluhan pesepakbola dan olah raga lain seperti lari, lempar lembing, tolak peluru, petinju, angkat besi dan lain-lain, militer dan polisi, pahlawan nasional, menteri dan pejabat tinggi, politisi dan negarawan, serta seniman sastrawan dan budayawan. Nama Domine Eduard Osek, adalah juga pahlawan asli Papua yang sangat disegani sampai-sampai namanya diabadikan sebagai nama bandara. 

Artinya, Papua sesungguhnya memiliki potensi untuk bisa maju dan berkembang cepat seperti wilayah-wilayah lain di Indonesia bagian barat. Ada banyak upaya yang telah dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, juga organisasi-organisasi lain semacam LSM. Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang langsung di bawah komando wakil presiden juga dimaksudkan untuk mendorong kemajuan Papua dan Papua Barat. Berbagai program afirmasi juga telah dilaksanakan beberapa tahun dan memberi manfaat bagi para pemuda Papua untuk maju sejajar dengan teman-temannya di kota-kota besar di Indonesia. 

Namun begitu, upaya pemberdayaan tidak akan bisa berjalan dengan cepat bila Papua tidak bangkit dengan sepenuh keinginannya. Papua harus membangun kesadaran diri sendiri untuk bangun, untuk menjadi wilayah yang berdaya. Membuang hal-hal buruk yang akan menghambat    kemajuan, belajar dari banyak tempat dan orang-orang, membuka diri untuk sebuah perubahan. 

Dalam upaya tersebut, pendidikanlah yang seharusnya menjadi penggerak utama. Bicara tentang pendidikan, artinya bicara tentang guru. Guru harus menjadi contoh tentang kebaikan, kerja keras, kedisiplinan, religiusitas, penghormatan pada keberagaman, kecintaan pada belajar, kasih sayang pada anak didik, dan kepedulian pada sesama. Tidak sebaliknya, suka mangkir dari tugas, main pukul pada anak didik, mabuk dan berjudi, mengancam, mengintimidasi, dan membenci orang-orang yang ingin membawa perubahan ke arah kebaikan. 

Sedih memang, menyadari kenyataan pahit tersebut. Namun begitu, kita tidak boleh kehilangan semangat, untuk terus melakukan sesuatu, menebarkan hal-hal baik, menyemai benih-benih kasih sayang, agar setidaknya, mereka menyadari bahwa ada banyak tangan yang siap merangkul mereka, membimbing mereka menuju peradaban yang lebih unggul. 

Baiklah. Saat ini saya sedang berada di ruang tunggu Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, menunggu boarding. Saya terpisah dari rombongan Jakarta karena satu-satunya dari Surabaya hanya saya. Kami berangkat bersama-sama menumpang Garuda dari Sorong pukul 14.30 WIT tadi. Bersama rombongan Mendikbud juga. Tapi Mendikbud ada di kelas eksekutif, tidak seperti Jokowi yang tetap memilih duduk di kelas ekonomi...hehe. Sebentar lagi, kalau on time, saya akan masuk pesawat. 

Nah, ini dia, waktunya masuk pesawat. Boarding time. Sampai jumpa di Surabaya.

Makassar, 12 Mei 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 11 Mei 2014

Sorong 8: Snorkeling, Yes!

Dan di sinilah kami. Di ketinggian bukit Pianemo. Setelah berspeedboat sekitar satu setengah jam dari Pulau Waigeo dan menempuh sekitar tiga puluh menit perjalanan mendaki bukit batu yang terjal dan menanjak tajam. Batu-batu karang yang permukaannya runcing-runcing, sangat berbahaya bila terinjak kaki. Maka sepatu harus memadai. Sepatu yang tidak licin, yang alasnya tidak lunak, karena kalau lunak bisa tertembus batu karang.

Di bawah sana, adalah gundukan-gundukan pulau. Seperi jamur-jamur raksasa yang ranum, hijau muda, hijau tua, kebiruan, menghampar di atas air tenang bak pualam. Saya pernah melihat pemandangan ini di internet, di televisi, di kalender. Tapi tentu saja yang saat ini saya lihat jauh lebih indah. Tuhan......ingin rasanya saya berteriak histeris menatap  lukisan alam tiga dimensi itu. Luapan kekaguman pun berhamburan dari semua orang yang ada di puncak bukit. Juga ketercekatan. Tercekat. Ya, tak terbayangkan keindahan seperti ini ada di atas bumi. Ini bukan dunia. Ini surga. Benar-benar surga.

Maka sesi pengambilan gambar pun berlangsung. Terjadi sangat alamiah. Dengan berbagai pose. Di setiap titik-titik berbahaya itu, di atas batu-batu karang. Dengan latar belakang gundukan ratusan pulau. Ya, Raja Ampat memang terdiri dari ratusan pulau. Pulau, dimaknai semua daratan yang menyembul di atas laut. Maka daratan kecil-kecil pun dihitung sebagai pulau. 

Rasanya ingin sekali berlama-lama di atas bukit terjal ini. Memandangi gundukan-gundukan pulau sesuka-sukanya. Seperti tak kunjung puas menikmati setiap lekuknya, keseksiannya, kecantikannya, kemolekannya. Bukit terjal ini, yang harus kami daki dengan susah payah, seperti mewakili perjuangan hidup. Begitu sampai di puncaknya, hadiah indah telah menanti, suguhan alam nan mempesona. Seperti itulah hidup. Bila kau ingin mendapatkan sesuatu, sebuah kenikmatan, kebahagiaan, maka raihlah itu, namun kau harus berjuang demi mendapatkannya.

Turun dari ketinggian, kami kembali berspeedboat. Sementara teman-teman masuk ke speedboat, saya mengambil air wudhu di sebuah toilet di pinggir pantai. Lantas terburu-buru menyusul masuk ke speedboat. Salat di dalam speedboat sebisanya. Setidaknya, menghormati waktu salat. Nanti disempurnakan lagi kalau sudah tiba di daratan. 

Perjalanan menuju Arborek. Kata kapten speedboat, perjalanan akan memakan waktu sekitar 30 menit. Laut berombak keci, dan speedboat terhentak-hentak saat melaju. Lumayan keras. Saya pernah mengalami perjalanan yang lebih berat dan lebih lama dengan menumpang speedboat. Saat mengarungi Samudera Pasifik dan Sungai Mamberamo, menuju Kasonaweja, Mamberamo Raya. Meski begitu, doa yang diajarkan ibu nyaris tak pernah jeda saya lafalkan terus-menerus di dalam hati. Bismillaahi majreeha wamur saaha inna robbi laghofuu rurrohiim.

Tibalah kami di Arborek. Sebuah perkampungan yang dipenuhi dengan anak-anak berkulit hitam, berambut keriting, bermata lentik, dan bola mata hitam bulat penuh. Anak-anak itu ramah sekali, tidak seperti kebanyakan anak di daerah 3T. Mereka semua juga sadar kamera. Langsung bergaya ketika kami akan memotretnya. Oh, ternyata di antara mereka ada Marion, bule asal Perancis itu. Anak-anak itu sedang mengerubuti Marion dan mengacak-acak rambutnya. Mereka bilang, Tante Bule rambutnya banyak yang putih, dan mereka akan membantu mencabuti rambut-rambut putih itu. Tentu saja yang dimaksud rambut putih adalah rambut pirang. Marion duduk rileks saja di dermaga dan membiarkan anak-anak manis itu berebut memilih-milih rambut putihnya. Haha. Lucu sekali.

Acara pertama makan siang dulu. Menunya, nasi putih, ca sawi jagung manis, balado terong, ayam goreng tepung dan telur rebus yang dibumbu (semacam bumbu bali). Karena perut lagi lapar-laparnya, maka kami pun makan dengan lahap. Saya juga sempat salat lagi, menyempurnakan salat saya di speedboat tadi, di rumah penduduk, dengan meminjam tikar untuk alas salat.

Nah, ini dia acara yang dinanti-nanti. Snorkeling, yes! Wow, tak terbayangkan betapa indah pemandangan di dasar laut yang akan kami lihat nanti. Kami semua langsung bersiap. Memasang pelampung bagi yang tidak bisa berenang (termasuk saya), memasang snorkel di muka dan fin di kaki. Siap sudah.

Karena kemarin sore sudah dilatih sama pemandu di Pulau Freewen, hari ini kami langsung mahir. Begitu masuk ke laut yang dalamnya sekitar enam meteran, posisi kami langsung seimbang. 
"Oke, kita wisata laut ya..." Kata Dian, pemandu saya. Dia meminta saya memegang pelampung yang menghubungkan saya dengannya. Menjelajah laut dan menikmati apa pun di kedalamannya. 

Pokoknya, luarrr biasa. Tak terkatakan indahnya. Ikan-ikan itu, batu-batu karang itu, belut laut, ubur-ubur, bintang laut, merah-merah, kuning-kuning, biru-biru, hijau-hijau, semua warna-warna, bentuk-bentuk, yang diam dan bergerak-gerak, yang menghampar di bawah sana... Subhanallah, Allahu Akbar. Tidak salah kalau Raja Ampat dikatakan sebagai tempat ekspedisi bawah laut terbaik di dunia. Meski saya tidak pernah melihat di tempat lain, kecuali di Pasir Putih Sirubondo dan di beberapa laut dangkal di Jawa, namun saya tak bisa membayangkan yang lebih indah dari yang saya lihat di Raja Ampat. 

Tentu saja hari ini, selain di Arborek, kami masih akan mengunjungi tempat lain. Tempat-tempat yang pasti tidak kalah eksotisnya. Tentu saja tidak akan bisa mengunjungi semua tempat di Raja Ampat ini. Kata Dian dan Rani, pemandu kami, untuk bisa menikmati semua pulau di Raja Ampat, waktu yang dibutuhkan setidaknya seminggu. Wow, seminggu? Asyik punya tuh...hehe.

Sore ini, saya ingin segera mengunggah foto-foto saya di FB. Saya ingin menulis status tentang betapa Maha Indah Dia yang Maha Memberi Keindahan, dan betapa Maha Pengasih Dia Yang Maha Memberi Waktu, Kesempatan, Energi, dan Rasa Syukur.

Fabiayyi alaaairobbikumaa tukadzdzibaan....

Raja Ampat, 11 Mei 2014

Wassalam,
LN

Sorong 7: Back to Nature

Pagi ini, hujan deras sekali. Cuaca sepertinya kurang bersahabat untuk kami yang sedang ingin bersenang-senang di laut. Bagi saya, tidak terlalu bermasalah. Tidak membuat saya mati gaya. Saya membawa setumpuk berkas hasil UTS yang menunggu untuk saya koreksi. Begitulah, pagi ini, setelah senam pagi (sendiri) dan mandi, saya duduk manis di atas bed, menghadapi berkas-berkas koreksian. Tapi sebelum koreksi, biarkan saya selesaikan dulu cerita ini.

Tapi, uff. Ternyata sudah ada kru Raja Ampat Dive Resort yang menjemput kami sambil membawakan payung-payung. Kami bersiap turun untuk makan pagi dan bersiap melakukan perjalanan wisata. Ya, turun, karena rumah atau bungalow yang kami tempati adalah rumah panggung, terbuat dari papan-papan dan kayu-kayu, dan berada persis di bawah bukit. Ada 8 bungalow di resort ini, di Pulau Waigeo, kampung Saporkren (sapor artinya tanjung, kren artinya miring). Pemilik Resort ini adalah Nadine Candrawinata, pasti semua mengenalnya, dan Pak Agus, Tionghoa yang tinggal di Sorong. Penjaga resort, antara lain Marion, perempuan bule asal Perancis, bersama suaminya, Didik, keduanya instruktur diving. Didik berasal dari Sulawesi Selatan.

Wisata di kawasan Raja Ampat memberikan banyak pengalaman berharga bagi kita. Tidak hanya keindahan alamnya, pulau-pulau, laut, pasir putih, snorkeling, diving, dan keindahan biota laut, tapi juga pelajaran tentang bagaimana hidup bersama alam. Jangan harap Anda bisa membuang sampah seenaknya di kawasan ini. Bahkan hanya kulit apel pun, kalau Anda membuangnya sembarangan, pemandu akan mengambilnya dan memasukkannya ke kantung plastik sampah yang selalu tersedia, sambil tersenyum manis dan berkata: "Ibu, kulit apelnya saya ambil boleh ya?" Dia memunguti kulit apel itu. "Bukankah itu sampah yang mudah busuk, Mbak? Bukan sampah plastik? Dan di situ itu...juga tumpukan sampah kan?" Tanya saya saat saya membuang kulit apel di gundukan sampah. "Ya, benar, tapi ibu jangan menambahnya lagi...".

Raja Ampat merupakan kawasan wisata terbatas. Tidak terbuka bagi sembarang wisatawan. Konsepnya adalah ekowisata. Di bungalow, handuk akan diganti tiga hari sekali kecuali kalau kita minta ganti sebelum waktunya. Air mineral dalam botol, sangat disarankan untuk tidak dibuang botolnya, melainkan diisi ulang dari dispenser yang disediakan, baik di bungalow atau di tempat makan, juga di speedboat. Kita juga tidak diperbolehkan menggunakan air sesuka kita kecuali harus berhemat, pastikan kran mati ketika tidak sangat dibutuhkan seperti saat kita bersabun atau menyikat gigi, dan kalau ada kran bocor, segera laporkan.

Kita juga akan dihibur dengan suara alam. Saat kami tiba, sore sudah menjelang, bungalow-bungalow di bawah bukit itu menyambut kami begitu kami turun dari speedboat, melangkah di atas jembatan yang menjorok ke laut. Suara binatang, mungkin burung, belalang, jangkrik, entah apa lagi, riuh-rendah dari atas bukit. Tidur malam kita pun ditemani dengan binatang-binatang kecil yang beterbangan di dalam kamar kita yang nyaman, yang tempat tidurnya dilengkapi dengan kelambu untuk menjaga kita dari gigitan nyamuk. Back to nature. Sungguh menyenangkan, tentu saja bagi yang suka dekat dengan alam. Bagi yang tidak suka, seperti teman saya, Mbak Desi, staf operasional Dikti, sudah mengeluh. "Ih, ngeri. Di tengah hutan. Nggak ada TV lagi...."

Wisata Raja Ampat adalah wisata dari pulau ke pulau. Kita akan dibawa speedboat dari satu tempat ke tempat lain. Dengan pemandangan yang subhanallah....begitu luar biasa indahnya. Saya pernah melihat Danau Sentani, Danau Toba, Danau Sarangan, Ranupane, Ranugumbolo, Pantai Kuta di Bali maupun di Lombok, Pantai Delegan di Wonogiri, Pantai Tawui di Sumba, Pantai di sepanjang Talaud, dan pemandangan alam yang lain di banyak tempat. Tapi, sungguh, Raja Ampat begitu mempesona. Luasnya, beningnya, hijaunya, birunya, pulau-pulaunya, karang-karangnya, garis cakrawala bahkab langitnya. Tak henti-hentinya saya menyebut Nama Allah mengagumi ciptaan-Nya. 

"Jadi ingat Tuhan ya, Bu..." Kata Rani, mendengar saya melafalkan "Allahu Akbar."
"Ya..." Saya menjawab pelan, dengan keharuan yang menyesakkan dada. Saya selalu jatuh pada perasaan tak berarti setiap kali dihadapkan pada alam terbuka mahaluas yang indahnya tak terkatakan. Begitu tak berarti. Begitu kecil. Hanya setitik noktah di hamparan kemahaluasan. Dan Sang Khalik, Sang Kreator segala makhluk, betapa Maha Besarnya. Terima kasih, Ya Rabbi, telah Kau beri kesempatan pada hamba untuk menikmati keindahan karya cipta-Mu.      

Kami juga melewati Tanjung Besi, sebuah kampung nelayan yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Mereka menetap di kampung itu, dengan rumah-rumah mereka yang mengikuti kontur bukit, sama-sekali tidak memotong bukit untuk membuat lantai rumah mereka menjadi rata. Dari kejauhan, rumah mereka nampak miring, mengikuti kemiringan bukit. Mereka membuat ikan asin, dijual di Waisai (wai artinya kepala, sai artinya perahu, dulunya merupakan tempat turunnya perahu), ibukota Kabupaten Raja Ampat.  

Speedboat kami terus melaju. Ada delapan belas orang dalam grup tim Dikti ini. Ditambah dua pemandu, dua driver, dan dua yang lain, mungkin semacam mekanik atau kenek. Seperti di kapal pesiar saja, makanan selalu tersedia, buah, kue-kue, bahkan teh, kopi dan jus. 

Hari ini kami akan tracking di Pulau Pianemo. Melihat pemandangan Raja Ampat dari ketinggian. Kemudian melanjutkan berspeedboat lagi menuju Arborek. Makan siang di tempat ini, terus snorkeling di jettynya, melihat seahorse dan aneka ikan tropis. Dari Arborek, kami akan melanjutkan perjalanan dengan speedboat menuju Yenbuba. Snorkeling lagi di air jernihnya, melihat karang-karang yang cantik, baracuda, parot fish, dan turtles. Setelah itu ke pasir timbul, menyeruput kehangatan teh dan kopi sambil menikmati keindahan pasir, menunggu sunset. Sepertinya luar biasa.

Baiklah, biarkan kami melanjutkan perjalanan dulu sampai nanti bertemu tempat-tempat yang akan kami kunjungi ini. BTW, seharusnya judul tulisan ini tidak lagi Sorong, karena kenyataannya kami sudah pindah tempat ke sebuah kabupaten, yang namanya Kabupaten Raja Ampat. Tapi tidak apa-apa, judul tetap Sorong, meski edisi Raja Ampat. Besok kembali ke Sorong lagi, dan langsung bertolak ke Surabaya.

Surabaya, oh....rasanya begitu lamanya telah kutinggalkan dikau....


Raja Ampat, 11 Mei 2014

Wassalam,
LN

Sabtu, 10 Mei 2014

Sorong 6: Ke Raja Ampat

Pagi ini adalah acara puncak itu: upacara Hardiknas, di alun-alun Aimas, alun-alun Kabupaten Sorong. Tentu saja Mendikbud dan semua rombongannya ada di sana. Saya, seperti biasa, tidak betah hanya duduk. Setelah menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, saya beringsut mendekati kerumunan wartawan yang ada di sekeliling panggung besar. Ikut memotret-motret apa pun pertunjukan yang digelar di atas panggung, termasuk sambutan demi sambutan. Saat seorang ajudan Mendikbud melihat saya, kebetulan dia mengenali saya, dia menggeser tubuhnya dan menyilakan saya berdiri di depannya. Saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Semalam, saya tidak bisa seleluasa ini. Semalam, di Rumah Makan Aquarius, digelar acara Silaturahim Mendikbud dengan Peserta SM-3T Wilayah Papua dan Papua Barat, sekaligus penganugerahan Rekor MURI kepada Mendikbud dan Dirjen Dikti, untuk pengiriman 7.962 Sarjana Pendidikan ke Daerah 3T. Saya didapuk sebagai pemandu acara. Weleh, jauh-jauh dari Surabaya ke Sorong, ternyata ada gunanya juga.

Selain sibuk memotret ke sana kemari, saya juga bergerak dari satu stand pameran ke stand pameran yang lain. Selain, tentu saja, di stand Pameran Foto SM-3T yang ada di ujung deretan. Stand SMK 2 Kabupaten Porong cukup menarik perhatian saya. Di sana ada pernak-pernik kebogaan, selain juga kecantikan dan kebusanaan. Seorang guru, Ibu Butar Butar, memamerkan produk jus buah merah segar. Wow, tentu saja saya tertarik. Segelas jus buah merah yang segar lansung membasahi kerongkongan saya yang memang lagi kering-keringnya. Seorang guru yang lain, Ibu Widya, lulusan Tata Boga UM, meminta saya untuk berfoto bersama, ketika saya mengaku dari Tata Boga Unesa.

Usai upacara, Mendikbud dan rombongannya melanjutkan perjalanan ke UNIPA, karena di sana sudah ditunggu dengan serangkaian acara yang lain. Kami, tim Dikti, tidak bergabung, melainkan kembali ke hotel. Pagi ini, kami akan checkout, dan bersiap ke Raja Ampat.

Ya, Raja Ampat. Tak pernah terpikir suatu saat saya akan melancong ke Raja Ampat. Tempat yang menjadi impian para wisatawan itu. Jarak dan biaya untuk mencapainya seperti tak mudah bagi setiap orang untuk memperoleh kesempatan itu. Alhamdulilah, kuasa Allah, hari ini saya mendapatkannya. 

Sebenarnya, begitu tiba di Sorong, saya dan Prof. Selamat dari Unimed, sudah mencoba mencari tiket pesawat untuk pulang tanggal 10 Mei. Bermaksud untuk kembali ke tempat kami masing-masing. Kepikiran sama tugas-tugas dan keluarga. Ternyata tiket tidak ada, bahkan sampai tanggal 12 Mei, full booked. Saya SMS ke Mas Ayik: "Mas, haruskah aku ikut ke Raja Ampat?" Jawab Mas Ayik, "Ya, sayang, ikut saja, itu kesempatan buat kamu. Nikmati. Mosok uwong kok kerjo terus. Sekali-sekali rileks. Oke?"

Ya sudah, saya menyerah. Toh tiket pesawat juga tidak ada. Mau pulang pakai kapal laut? Weleh-weleh.... Kampul-kampul di atas laut malah tidak nyampai-nyampai....

Jadilah siang ini, kami ber-18 orang berada di dalam speedboat. Semua bagasi kami masuk. Tiga orang pemandu wisata, Dian, Rani, dan Ferdi, dengan seorang driver, menemani kami mengarungi Selat Dampiar, menuju sebuah pulau di Kabupaten Raja Ampat. Dua jam perjalanan untuk sampai ke Pulau Freewen. Serangkaian agenda sudah disiapkan oleh para pemandu. Sekarang, yang penting, tidur dulu. Mengendapkan kantuk, melenturkan otot-otot, menghimpun stamina yang sempat terforsir untuk berbagai kegiatan sebelumnya...

Sampai jumpa di Raja Ampat.

Selat Dampiar, Raja Ampat, 10 Mei 2014

Wassalam,
LN

Sorong 5: The Silent Hero

Pagi yang basah di Sorong. Mendung menggantung di langit. Meski begitu, cuaca tak menyurutkan masyarakat Sorong dan sekitarnya untuk memenuhi alun-alun. Pagi ini, Mendikbud akan melakukan jalan sehat, jalan keakraban bersama anak sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat Sorong. 

Saya bersama tim sendiri sudah sejak sekitar pukul 06.00 membaur di kerumunan itu. Dasar saya, setelah sebentar beramah-tamah dengan para pejabat kemdikbud, UNM, dan Pemda Sorong, saya menyelinap di antara kelompok-kelompok dengan kostum warna-warni itu. Memotret tulisan di punggung-punggung mereka.  


STKIP Muhammadiyah Sorong, SM-3T Universitas Negeri Gorontalo Angkatan III, SD Inpres 44 Klamalu, SD Inpres 41 Malawele Aimas Sorong, MI Al-Ikhtiar Al Ma'arif Kabupaten Sorong, MIN Malawele Kabupaten Sorong, SD Inpres 39, MB. Gema Harmoni SMP 3 Sorong, SMA Bethel Aimas Kabupaten Sorong, IGTKI PGRI Kabupaten Sorong, SD Negeri 27 Mariyai Kabupaten Sorong, dan seterusnya. Asyik juga mengumpulkan tulisan-tulisan di punggung-punggug itu. 

Jalan sehat berjalan lancar. Entah di mana teman-teman tim, saya melesat jauh meninggalkan mereka. Bak wartawan yang tidak jelas dari surat kabar apa, saya sibuk memotret ke sana kemari. Berlomba dengan belasan wartawan dari berbagai media. Masa bodoh. Memang hanya wartawan saja yang boleh menyusup ke mana pun dan potret sana-sini. Hehe. 

Jalan sehat diramaikan oleh kelompok drumband SMP 3 Sorong. Suaranya berdentum-dentum mengiringi lagu-lagu daerah dan lagu-lagu nasional. Mayoretnya, laki-laki dan perempuan, lincah bergerak-gerak memberi komando. Ribuah peserta jalan keakraban mengikuti gerak langkahnya. Mendikbud dan para pejabat berada di barisan terdepan, persis di belakang barisan drumband.

Usai jalan sehat yang hanya memakan waktu sekitar satu jam, rombongan kembali ke alun-alun. Pameran foto SM-3T serta penulisan kesan dan kemanfaatan SM-3T berpadu dengan hiburan di panggung besar dan pengambilan undian berhadiah. Luar biasa ramainya. 

Saya seperti tidak sedang berada di Papua. Ini bukan daerah tertinggal. Bukan daerah yang minim penduduknya, bukan daerah yang masyarakatnya sulit diajak berubah. Lihatlah. Yang duduk di kursi-kursi itu saja, jumlahnya ada 1500 orang lebih. Ya, pasti. Karena kursi itu sudah disiapkan untuk 1500 orang lebih, yang terdiri dari anak sekolah, guru, orang tua dan masyarakat, untuk menuliskan kesan dan kemanfaatan program SM-3T. Belum yang di luar kursi-kursi itu, yang jumlahnya bisa dua tiga kali lipat. Gila. Sepanjang pengalaman saya menginjak daerah tertinggal, tidak pernah saya melihat kerumunan orang sebanyak ini.

Semua acara berjalan lancar. Tim sebelas, panitia inti yang menjadi event organizer acara, benar-benar menunjukkan ketangguhannya. Tim sebelas itu terdiri dari Akhiruddin dan sepuluh temannya yang lain, alumni SM-3T angkatan pertama. Mereka adalah alumni UNM, LPTK yang menjadi tumpuan bagi suksesnya seluruh rangkaian acara, mulai dari awal sampai akhir. Tim pusat, tanpa fasilitasi UNM, Pemda Sorong, dan seluruh masyarakat Sorong, tak akan bisa berbuat banyak.

Pagi ini, penganugerahan Rekor MURI untuk Kemdikbud, dengan penulisan 1500 kesan dan kemanfaatan Program SM-3T, diberikan oleh Bapak Paulus, perwakilan dari MURI, kepada Mendikbud, Prof. Dr. Muhammad Nuh. Sebanyak 1500 kesan yang ditulis di selembar kaus, terkumpul sebagai bukti kecintaan anak sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat Papua, pada SM-3T. Hampir semua kesan yang ditulis begitu mengharukan sekaligus membanggakan. Salah satu tulisan yang begitu mengesankan Mendikbud dan banyak orang adalah: "SM-3T, The Silent Hero." 

The Silent Hero. Ya, guru-guru itu tidak banyak cakap, tidak banyak bicara, tidak banyak publikasi, dalam segala keterbatasan dan kesulitan, mereka bergerak, mengetuk pintu hati setiap siswa, setiap pendidik, setiap orang tua, mengajak mereka semua untuk bangun, bangkit, pelan namun pasti, meninggalkan lorong-lorong gelap, menuju sebuah tempat yang terang-benderang. Guru-guru itu mengisi hati dan jiwa-jiwa yang kosong, memenuhinya dengan sentuhan penuh kasih sayang, dengan pengetahuan, keterampilan, dan kecintaan pada Tanah Air. Mereka datang di ujung-ujung negeri, merangsek menembus hutan belantara, melanggar derasnya sungai-sungai, menerjang terjalnya bukit dan batu karang, menyalakan pelita-pelita, dan memancarkan cahaya di mana-mana. Bagi mereka, menjadi guru di daerah-daerah tertinggal, bukan masalah pengorbanan, tapi masalah kehormatan. Kehormatan sebagai bangsa dan negara yang harus terus diperjuangkan. Mereka berjuang melalui jalan lain. Tidak mengangkat senjata, tidak membawa tombak dan anak panah, kecuali hanya sebuah pena, sebuah pelita, dan segunung ketulusan. Guru-guru itu, merekalah 'the silent hero' itu....  

Sorong, 9 Mei 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 08 Mei 2014

Sorong 4: Pesta Bakar Batu dan Dokter Peradaban

Sore ini Sorong hujan deras. Tapi kami musti berlomba dengan waktu. Bagi tugas dengan anggota tim. Sebagian mengikuti rombongan Mendikbud untuk acara di UNIPA. Sebagian berkonsolidasi untuk menyiapkan acara Pameran Foto dan Silaturahim besok.

Saya, Prof. Ngurah (Undiksha), Prof. Selamat Triono (Unimed) dan Pak Agus Susilohadi (Kasubdit PE Dikti), berangkat ke UNIPA. Dalam guyuran gerimis yang rapat, selepas maghrib, kami menumpang mobil FH UMS, Drivernya, Mas Umar, kelahiran Sorong, tapi berasal dari Enrekang, Sulawesi Selatan. Sejak kemarin, empat driver yang berganti-ganti memandu kami, tiga dari Sulawesi Selatan, satu dari Ciamis, Jawa Barat.

Jarak ke UNIPA lumayan jauh. Sekitar lima belas kilometer. UNIPA Kampus 1 ada di Manokwari. Yang di sini, khusus Fakultas Kedokteran, Kampus 2. Fakultas Pariwisata, Kampus 3, ada di Raja Ampat.  

Sampai di halaman UNIPA, aroma sedap makanan langsung tercium. Malam ini, selain peresmian Gedung Fakultas Kedokteran UNIPA, juga ada acara pesta bakar batu. Bakar batu merupakan budaya khas Papua yang melambangkan rasa syukur, persahabatan dan persaudaraan. Pesta ini biasanya dilakukan untuk acara pernikahan, kematian, dan hajatan yang lain, juga untuk menyambut tamu agung. 

Pesta Bakar Batu juga merupakan ajang untuk berkumpul bagi warga. Dalam pesta ini akan terlihat betapa tingginya solidaritas dan kebersamaan masyarakat. Makna lain dari pesta ini adalah sebagai ungkapan saling memaafkan antar-warga. 

Pada pesta bakar batu, biasanya makanan yang dimasak adalah babi, juga umbi-umbian dan sayur-sayuran seperti daun singkong dan daun pepaya. Namun untuk malam ini, tentu yang dimasak bukan babi, melainkan rusa. Rusa memang menjadi hewan buruan yang masih mudah didapatkan di Papua. Binatang itu, setelah disembelih, dibumbui, dimasukkan ke lubang yang sebelumnya sudah disiapkan. Lubang itu terdiri dari batu yang sudah dipanaskan, dilapisi dan pisang dan alang-alang. Daging yang sudah dipotong-potong dan ditata di lubang itu, ditutup lagi dengan daun pisang dan alang-alang serta bebatuan panas. Begitulah proses memasak berlangsung sekitar satu sampai satu setengah jam. Daging dan umbi-umbian yang dimasak mengeluarkan aroma sedap bersamaan dengan asap yang mengepul dari gundukan bebatuan itu.

Meski nampaknya sederhana, untuk menyelenggarakan pesta bakar batu, diperlukan persiapan yang cukup panjang. Prosesi Pesta Bakar Batu biasanya terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap persiapan, bakar babi, dan makan bersama. Tahap persiapan diawali dengan pencarian kayu bakar dan batu yang akan dipergunakan untuk memasak. Batu dan kayu bakar disusun dengan urutan: pada bagian paling bawah ditata batu-batu berukuran besar, di atasnya ditutupi dengan kayu bakar, kemudian ditata lagi batuan yang ukurannya lebih kecil, dan seterusnya hingga bagian teratas ditutupi dengan kayu. Kemudian tumpukan tersebut dibakar hingga kayu habis terbakar dan batuan menjadi panas. Semua ini umumnya dikerjakan oleh kaum pria.

Di lain tempat, kaum wanita menyiapkan bahan makanan yang akan dimasak. Babi disiapkan, demikian pula dengan sayur mayur dan umbi-umbian.

Kaum pria yang lain menyiapkan sebuah lubang yang besarnya sesuai dengan  jumlah makanan yang akan dimasak. Dasar lubang itu dilapisi dengan alang-alang dan daun pisang. Dengan menggunakan jepit kayu khusus yang disebut apando, batu-batu panas disusun di atas daun-daunan. Setelah itu dilapisi lagi dengan alang-alang. Di atas alang-alang dimasukan daging babi, ditutup lagi dengan dedaunan. Di atas dedaunan ditutup lagi dengan batu membara, dan dilapisi lagi dengan rerumputan yang tebal.

Tahap selanjutnya, hipere (ubi jalar) disusun di atasnya. Lapisan berikutnya adalah alang-alang yang ditimbun lagi dengan batu membara. Kemudian sayuran berupa iprika atau daun hipere, tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya), nahampun (labu parang), dan towabug atau hopak (jagung) diletakkan di atasnya. Kadang-kadang masakan itu ditambah dengan potongan barugum (buah). Selanjutnya lubang itu ditimbun lagi dengan rumput dan batu membara. Teratas diletakkan daun pisang yang ditaburi tanah sebagai penahan agar panas dari batu tidak menguap.

Tiap daerah dan suku memiliki istilah sendiri untuk merujuk kata bakar batu. Masyarakat Paniai menyebutnya dengan gapii atau mogo gapii, masyarakat Wamena menyebutnya kit oba isago, sedangkan masyarakat Biak menyebutnya dengan barapen. Namun tampaknya barapen menjadi istilah yang paling umum digunakan. 

Dalam sambutannya, Mendikbud menyampaikan, dua pilar yang menunjukkan sebuah peradaban unggul atau tidak, adalah pendidikan dan kebudayaan. Kedua hal itu, pendidikan dan kebudayaan, terlihat jelas ada di Sorong. Geliat pendidikan dan kebudayaan begitu terbaca dan nampak di mana-mana. Peradaban Indonesia yang unggul diyakini akan terwujud di wilayah ini. 

Mendikbud juga menjelaskan, mengapa Puncak Hardiknas yang biasanya selalu diadakan di Jakarta, saat ini diadakan di luar Jakarta, dan Sorong menjadi pilihan. Tentu ada alasannya. Sorong ada di Papua. Waktunya dua jam lebih awal dari bagian Indonesia yang lain. Kalau dua jam ini lebih maju, semuanya akan lebih maju. Selain itu, Sorong letaknya persis di kepala burung, tempat otak dari burung itu. Begitulah kata Mendikbud. 

Di Sorong ini, juga ditemukan adanya kombinasi pilar pendidikan dan kebudayaan. Hal ini jugalah yang menyebabkan restu untuk  pendirian Fakultas Kedokteran di Papua diberikan. Bahkan tidak hanya restu, tapi juga dukungan penuh. Fakultas Kedokteran UNIPA diharapkan tidak sekedar mencetak dokter untuk manusia, tapi juga dokter untuk peradaban.

Dokter peradaban. Frasa ini tentunya sangat cocok dengan tema Hardiknas tahun ini: Pendidikan untuk Peradaban Indonesia yang Unggul. Pertanyaannya, seperti apakah peradaban yang unggul itu? Kapankah perdaban yang unggul itu bisa dicapai? Sementara masalah pemerataan pendidikan, kualitas pendidikan, keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan, tak juga kunjung teratasi dari negeri ini? Peradaban yang unggul, semua kita sedang menuju ke sana. Seluruh energi harus diarahkan ke sana. Meski jauh...namun itulah tujuan bangsa dan negara ini.
  
Sorong, 8 Mei 2014


Wassalam,
LN

Sorong 3: We Love Papua

Pagi ini, pukul 09.00 WIT, kami semua sudah siap di lobi. Direktur Diktendik, Prof. Supriadi Rustad, sudah hadir bersama para direktur selingkung Dikti yang lain, yaitu Direktur Litabmas dan Lemkerma. Direktur Belmawa, Dr. Illah Saillah, tidak hadir karena sedang berkunjung ke China. 

Ada beberapa mobil yang sudah disiapkan untuk kami semua. Enam mobil di antaranya disediakan oleh Universitas Muhammadiyah Sorong (UMS). UMS merupakan salah satu PT swasta yang cukup diminati di Sorong, saat ini mahasiswanya sebanyak lima ribu lebih. Selain UMS, ada juga STKIP Muhammadiyah serta Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), satu-satunya PTN di Sorong. Universitas swasta yang lain adalah Universitas Victory, Universitas Kristen Papua (UKIP), Poltek Saint Paul, IKIP Kristen Papua, dan sebagainya.

Kami bergerak menjemput rombongan Mendikbud di Hotel Royal Mamberamo. Tepatnya bukan menjemput, tapi bergabung. Bertemu dengan para pejabat kemdikbud yang lain. Juga bertemu Dr. Sukemi, staf ahli Mendikbud. Beramah-tamah sekedarnya, sebelum akhirnya konvoi bergerak menuju SD-SNP Satap Ninjemor 1, Distrik Moisegen, Kabupaten Sorong. Salah satu SD yang menjadi tempat mengajar para peserta SM-3T. Jaraknya sekitar 60 km, dua jam dari Kota Sorong.

Jalan menuju Kabupaten Sorong kebanyakan adalah jalan beraspal, cukup baik, dan beberapa bagian adalah jalur yang ramai. Sebagian lagi jalan berkelok-kelok, naik turun, berhutan, berbukit. Batas kota dan kabupaten, adalah Taman Wisata Alam (TWA), yang sampai saat ini konon masih menjadi sengketa, apakah TWA itu milik kota atau kabupaten. Di sepanjang jalan ditemui para penjual manggis, langsap, dan buah-buahan lain. Langsap merupakan buah asli Sorong, juga matoa dan durian. Sayang sekali saat ini sedang tidak musim matoa dan durian. Kalau durian bisa didapatkan di mana pun, tapi matoa bukanlah buah yang mudah diperoleh. Buah yang berwarna coklat tua, berkulit tebal, rasa dagingnya mirip kelengkeng itu, baru saya nikmati dua kali saja, saat seorang teman pulang dari Papua. Matoa, adalah hasil bumi khas Papua, selain buah merah, sarang semut dan daun gatal.

Mobil kami melaju cepat. Berlomba dengan mendung tipis yang menggantung di langit. Sorong, bila tidak sedang hujan, suhunya panas sekali. Kata seorang teman dari Dikti, panasnya Makassar digabung Surabaya belum dapat Sorong. Syukurlah hari ini agak mendung, membantu mengurangi panas yang biasanya sangat menyengat.

Jalan antara kota dan kabupaten dulunya merupakan jalan yang rawan dengan tindak kekerasan pemalakan. Para pemalak kebanyakan adalah penduduk asli yang tinggal di hutan-hutan. Mabuk juga menjadi 'budaya', yang sering menimbulkan banyak kericuhan. Beberapa waktu yang lalu, gara-gara ulah orang mabuk yang memukul imam masjid, sempat menimbulkan pertikaian sengit yang menjurus ke SARA.  

Kabupaten Sorong merupakan daerah transmigrasi, mayoritas penduduknya adalah orang Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur). Para transmigran itu datang sejak tahun 1980-an. Yang membuat kabupaten Sorong ramai pada awalnya adalah para transmigran ini. Saat ini, masyarakatnya sudah sangat heterogen, Jawa, Ambon, Sulawesi, China, dan penduduk asli (suku Moi), Ayamaru dan dari suku yang lain. Selain suku Moi, semua suku di sini dianggap sebagai pendatang.  

Jalan mulus hanya sekitar tiga puluh menit saja, sisanya adalah jalan-jalan rusak. SP1, SP2, SP3 dan seterusnya adalah lebih popules untuk menyebut wilayah daripada nama desa. SP singkatan dari satuan pemukiman. Di wilayah SP3, ada sejunlah rumah yang bentuk dan ukurannya seragam, dibangun oleh departemen sosial untuk para penduduk asli. Namun rumah-rumah itu tidak semua ditempati, melainkan disewakan pada orang lain, dan mereka kembali hidup di hutan-hutan.

Memasuki kawasan SP4, barisan anak sekolah dan guru-guru berjejer di sepanjang jalan, mereka bernyanyi sambil melambai-lambaikan bendera. Menyambut para pejabat negara yang hanya lewat di depan mereka sekejap saja. Sekedar melambai terus berlalu. Mengharukan, hanya karena jalan dan sekolah mereka dilewati konvoi mobil pejabat, mereka rela memasang ratusan bendera dan berbaris berpanas-panas di pinggir jalan. 

Saya sedang membayangkan menjadi mereka. Membayangkan bermimpi melihat wajah menteri. Begitu raungan sirine terdengar, tegopoh merapikan barisan, dan bersiap melemparkan senyum termanis. Dalam balutan seragam sekolah, keringat yang mengucur deras, haus dan mungkin lapar, tapi betapa puas karena sudah melambai pada belasan mobil yang lampunya terus berkelip-kelip itu. Di manakah pak Menteri? Pasti di mobil yang terdepan. Sudah berlalu. Mungkin yang tadi tangannya keluar melambai-lambai. Puas sekali rasanya bisa menyambut orang besar itu.  

Mobil terus melaju di jalan yang sangat berdebu. Anak-anak sekolah dan guru-guru terus berbaris dan tertepa debu-debu itu. Pohon-pohon sagu berbaris di kanan-kiri jalan. Menurut Mas Lestari, driver UMS yang bersama kami, ulat sagu disukai penduduk setempat. Dijual juga di pasar-pasar tradisonal. Saya jadi ingat, kemarin saya ke pasar Remu, untung tidak menemui ulat sagu. Tapi itu warning bagi saya, musti hati-hati dan waspada kalau berkunjung ke pasar tradisonal lagi, supaya saya tidak kaget dan lantas berteriak histeris saking ketakutannya. Ulat, apa pun jenisnya, adalah makhluk teraneh dan ter'nggilani' di mata saya. Saya lebih baik disuruh ngepel alun-alun daripada disuruh lihat ulat. Hehehe.

Gerimis menyambut kami saat mendekati Distrik Moisegen. Hanya sekejap. Berbaur dengan debu tebal dari jalan-jalan yang berbatu dan bertanah kering. Semakin mendekati tempat kegiatan, keramaian terlihat di mana-mana. Juga bunyi-bunyian dari alat-alat musik tradisional. 

Tari Yospan, tari penyambutan,  dibawakan oleh sekelompok anak sekolah. Dengan bertelanjang dada, dan tubuh dicat warna-warni, tarian itu rancak diiringi dengan bunyi-bunyian. 

Rombongan Mendikbud, Pemda Sorong, Universitas Negeri Papua (UNIPA), Univesitas Negeri Makassar (UNM) masuk ke ruang SD yang sudah disiapkan. Lagu Indonesia Raya dibawakan oleh sekelompok anak SMP diikuti oleh semua yang hadir. Sambutan wakil peserta SM-3T UNM, Suwandi, mencairkan sekaligus membekukan suasana. Cerita tentang perjuangannya mengabdi di tempat terpencil, sulitnya medan, harapan anak didik dan masyarakat, serta kerinduannya pada keluarga, memancing applaus sekaligus air mata. 

Dalam dialog Mendikbud dengan siswa, beberapa kelucuan terjadi. Mendikbud merangkul seorang siswa SD dan bertanya. 
"Siapa namamu?"
"Anita."
"Kelas berapa?"
"Empat."
"Berapa usiamu?"
"Tidak apa-apa."
"Lho?"
"Umur, berapa umurmu?"
Anita diam.
"Ya sudah, tidak pakai umur tidak apa-apa, yang penting sekolah ya?"
Semua tertawa.

Seorang anak laki-laki, juga ditanya dengan pertanyaan yang sama oleh Mendikbud. Saat ditanya tentang nama dan kelas, dia bisa menjawab. Tapi begitu ditanya umur, dia bingung lalu menjawab: "Dua bulan." Tentu saja jawaban itu mengundang tawa. Giliran ditanya, "di mana rumahmu?", dia menjawab: "di belakang."

Meski mungkin terdengar lucu, tapi hati saya justeru menangis mendengar jawaban siswa itu. Betapa terbelakangnya mereka. Betapa tertinggalnya. Seperti itu, tentulah tidak hanya di tempat ini. Seperti itu, tersebar di ratusan bahkan ribuan tempat di berbagai pelosok Tanah Air.

Perjuangan para peserta SM-3T, bukan sekedar kisah pengabdian pada dunia pendidikan, namun kisah pengabdian untuk kemanusiaan. Lihatlah anak-anak itu, para orang tua itu. Mereka kotor, kurus kering, miskin. Mereka bisa jadi tidak peduli dengan pendidikan bukan karena tidak butuh.  Mereka hanya perlu hidup. Kebutuhan dasar mereka yang tidak pernah tercukupi memerlukan perhatian yang tidak kalah pentingnya dengan pendidikan itu sendiri. Belajar bagi mereka tidak hanya baca tulis hitung. Menggembala ternak, mencari kayu bakar, menanam ubi, mencari air, adalah bagian dari belajar itu sendiri, dan dengan itu semua mereka bisa bertahan hidup. 

Guru-guru SM-3T itu, mempunyai tugas berat untuk kedua-duanya. Memastikan mereka tetap bisa bertahan dalam kondisi serba kekurangan, sembari meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan, kesehatan dan kecintaan pada Tanah Air. Memastikan di dada mereka tetaplah merah putih, meyakinkan bahwa Papua adalah bagian dari NKRI, dan NKRI itu menghampar dari Sabang sampai Merauke.

Pendidikan di Papua harus bangkit. Tugas kita adalah menyentuh mereka, mengantarkan mereka, agar mereka bisa bangun, keluar dari matarantai ketidaktahuan, kemiskinan, menuju dunia terang-benderang. Salah besar jika kita, sebagai bangsa dan negara, tidak memberikan perhatian pada mereka.

Berapa banyak energi, berapa lama waktu, yang dibutuhkan untuk membuat Papua sejajar, atau setidaknya tidak ketinggalan terlalu jauh dengan saudara-saudaranya di belahan lain di Indonesia? Itu PR besar bagi negera besar bernama Indonesia. Tugas berat bagi siapa pun pemimpin negeri kaya raya tapi miskin ini. Namun, kebijakan apa pun yang diambil oleh para pemimpin negeri, pendidikan harus menjadi prioritas. Pendidikan telah terbukti mampu memangkas matarantai kemiskinan dan kebodohan. Pendidikan memberikan multiplier effect terhadap peningkatan kesehatan dan ekonomi, yang pada akhirnya mampu meningkatkan mutu SDM seutuhnya. 

Di akhir dialognya, Mendikbud mengatakan: "Kami bangga Papua, Kami cinta Papua. We love Papua, we love Indonesia". 

Sorong, 8 Mei 2014

Wassalam,
LN