Pages

Rabu, 07 Mei 2014

Sorong 2: Daun Gatal

Daun gatal yang dijual penjual sayur.
Pagi ini, saya dan Ayu, salah satu Duta SM-3T (wakil dari UPI), mencuri kesempatan untuk naik taksi melihat-lihat Kota Sorong. Taksi, jangan dibayangkan sebagaimana taksi di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya dan kota besar yang lain. Taksi di Sorong adalah sebutan untuk angkutan kota (angkot), berwarna kuning, dengan simbol beragam, A, B, H, dan seterusnya.

Kami naik taksi dari depan hotel. Begitu duduk, saya bertanya pada pak supir, "mas, ini jurusan mana?" Tentu saja pak supir heran. "Lha ibu mau ke mana?" Tanyanya balik. "Kemana aja deh. Putar-putar Sorong."
Pak Supir yang baik hati itu, menjelaskan kalau taksi sedang menuju Pasar Remu.
"Pasar Remuk?" Tanya saya. "Pasar Hancur?"
Pak supir langsung tertawa, begitu juga penumpang di sebelahnya. Rupanya dia tahu juga kalau remuk itu dalam Bahasa Jawa artinya hancur.

Di Sorong, para pendatang menguasai hampir semua sektor. Mulai dari pasar tradisional, toko-toko kecil sampai mall, di hotel, di jalan-jalan, wajah-wajah yang bertebaran lebih banyak bukan wajah asli Papua. Mereka dari Jawa, Sulawesi, Maluku, Sumatra, dan beberapa pendatang dari bagian lain Indonesia. Jawa dan Sulawesi yang paling mendominasi. Meskipun begitu, penduduk asli, yaitu suku Moi, mayoritas  tetap eksis di antara para pendatang tersebut. Suku Moi pada dasarnya mudah berinteraksi dengan masyarakat luar, dan melebur, sehingga jumlah mereka yang meskipun tidak terlalu banyak tetap mendapatkan tempat dan berperan dalam pembangunan dan kemajuan kota. Bupati Sorong, Dr. Stevanus Malak, adalah orang asli suku Moi. Salah satu universitas swasta, Universitas Victory (Unvic), pemiliknya juga orang Moi bermarga Kalami. Kalagison, Osok, Kalami, adalah beberapa marga suku Moi yang tetap eksis di Sorong. Agama mereka yang fifty-fifty antara Kristen Protestan dan Muslim, membuat mereka tidak hanya memiliki para pendeta namun juga para ustadz.
    
Kami turun di Pasar Remu, setelah diberi petunjuk oleh pak supir dan seorang ibu, taksi lyn apa yang bisa kami tumpangi untuk kembali ke kawasan Yohan, tempat hotel kami. Ayu ragu waktu saya ajak masuk ke dalam pasar. Dia sudah bergidik duluan melihat kondisi pasar yang becek.

"Ayo, masuk. Kalau mau lihat apa-apa yang khas, di pasar tradisionallah tempatnya." Ajak saya pada Ayu. 

Di pasar, saya dan Ayu sibuk memotret-motret saja. Memotret komoditi yang dijual maupun penjualnya. Para perempuan berkulit hitam gelap berambut keriting. Ramah-ramah. Di depannya gundukan-gundukan berbagai sayur dan buah, ubi-ubian, ikan tongkol besar-besar yang sudah dipanggang, dan juga, yang selalu khas di wilayah timur, buah pinang dan sirih segar maupun kering. 

Para perempuan itu, kebanyakan bukan dari suku Moi, tetapi dari suku Ayamaru. Suku Ayamaru, Aitinyo, dan Aifat, mereka dari Sorong Selatan. Meski sirih pinang banyak dijual di mana-mana, tapi bertemu orang mengunyah sirih pinang tidak sesering di Jayapura, Sarmi atau di Mamberamo. Pengkonsumsi sirih pinang di sini lebih banyak para orang tua, dan jarang dikonsumsi para anak muda.

Salah satu jenis komoditas yang khas, yang belum pernah saya lihat di tempat lain, adalah irisan bunga pisang dengan daun pepaya. Pada wadah-wadah plastik, bahan untuk sayur itu dijual per gundukan. Sayang saya lupa tidak bertanya berapa harganya. 

Komoditas lain yang juga unik adalah daun gatal. Daun ini bentuknya mirip daun jati tapi bagian pangkalnya lebih lancip dan ukurannya juga lebih kecil. Daun-daun itu diikat setumpuk demi setumpuk, dan dari teksturnya saja sudah kelihatan kalau permukaannya sangat kasar. Saya bertanya pada ibu penjual berkulit hitam yang ramah, apa nama daun itu. "Daun gatal." Jawabnya. "Kenapa namanya daun gatal?" Tanya saya lagi. Dia minta saya menjulurkan tangan saya, supaya dia bisa menggosokkan daun itu. Tentu saja saya menolak.
"Mama dulu." Kata saya. "Kasih contoh." 
Ternyata ibu itu tanpa ragu-ragu menggosokkan tumpukan daun itu ke lengannya. Saya pun, meski agak ragu, menjulurkan lengan saya.
"Waw!" Kaget sekali saya, meski sudah menduga sebelumnya, begitu daun itu menggerus punggung tangan saya, tak ayal teksturnya yang kasar mengagetkan saya. Dan tak perlu menunggu lama, tangan saya langsung terasa gatal. Semakin lama semakin gatal. Beberapa menit kemudian bahkan keluar bintik-bintiknya, seperti habis kena ulat. 
"Sampai berapa lama gatalnya, Mama?" Tanya saya.  "Terserah ibu."
Terserah? Saya tidak paham maksud kata itu. Tapi saya tidak bertanya lebih lanjut, khawatir semakin tidak paham. Kata-katanya yang sepatah dua patah tidak terdengar jelas di telinga saya. 

"Ibu, kenapa sih mau digaruk pakai daun kasar begitu?" Protes Ayu. "Itu tangan Ibu jadi keluar bintik-bintik."
"Tenang aja, Ayu, pengalamannya ini yang mahal..."

Belakangan, saya bertanya pada driver dari Universitas Muhammadiyah Sorong (UMS) yang mengantar kami ke lokasi kegiatan, daun gatal ternyata fungsinya untuk menghilangkan pegal-pegal. Daun itu digosokkan ke punggung atau bagian tubuh yang capek, dia akan bekerja sendiri. Rasa gatal-gatal itulah yang menghilangkan pegal-pegal. 

Saya pikir, menarik juga daun gatal ini. Dia pasti punya kandungan yang berkhasiat obat, setidaknya obat pegal-pegal. Obat luar semacam balsam atau obat gosok. Saat saya coba googling, ternyata benar, daun dari tumbuhan famili Urticaceae ini memiliki kandungan kimiawi seperti monoridin, tryptophan, histidine, alkaloid, dan lain-lain. Kandungan ini disebut juga asam semut. Asam semut ini sendiri terkandung di dalam kelenjar duri pada permukaan daun. Saat duri lunak tersebut mengenai tubuh, asam semut dalam kelenjar itu terlepas dan mempengaruhi terjadinya pelebaran pori-pori tubuh. Pelebaran pori-pori ini disinyalir merangsang peredaran darah, dan alhasil, hilanglah pegal-pegal di bagian tubuh tersebut.

Papua Barat, seperti Indonesia pada umumnya, begitu kaya akan hasil alam yang memiliki banyak khasiat obat. Masih ingat buah merah dan sarang semut yang asli Papua dan memiliki khasiat menyembuhkan berbagai penyakit? Nah, saat ini wawasan saya tentang hasil alam khas Papua yang berkhasiat obat itu tambah satu lagi: daun gatal.

Sorong, 7 Mei 2014

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...