Pages

Sabtu, 10 Mei 2014

Sorong 5: The Silent Hero

Pagi yang basah di Sorong. Mendung menggantung di langit. Meski begitu, cuaca tak menyurutkan masyarakat Sorong dan sekitarnya untuk memenuhi alun-alun. Pagi ini, Mendikbud akan melakukan jalan sehat, jalan keakraban bersama anak sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat Sorong. 

Saya bersama tim sendiri sudah sejak sekitar pukul 06.00 membaur di kerumunan itu. Dasar saya, setelah sebentar beramah-tamah dengan para pejabat kemdikbud, UNM, dan Pemda Sorong, saya menyelinap di antara kelompok-kelompok dengan kostum warna-warni itu. Memotret tulisan di punggung-punggung mereka.  


STKIP Muhammadiyah Sorong, SM-3T Universitas Negeri Gorontalo Angkatan III, SD Inpres 44 Klamalu, SD Inpres 41 Malawele Aimas Sorong, MI Al-Ikhtiar Al Ma'arif Kabupaten Sorong, MIN Malawele Kabupaten Sorong, SD Inpres 39, MB. Gema Harmoni SMP 3 Sorong, SMA Bethel Aimas Kabupaten Sorong, IGTKI PGRI Kabupaten Sorong, SD Negeri 27 Mariyai Kabupaten Sorong, dan seterusnya. Asyik juga mengumpulkan tulisan-tulisan di punggung-punggug itu. 

Jalan sehat berjalan lancar. Entah di mana teman-teman tim, saya melesat jauh meninggalkan mereka. Bak wartawan yang tidak jelas dari surat kabar apa, saya sibuk memotret ke sana kemari. Berlomba dengan belasan wartawan dari berbagai media. Masa bodoh. Memang hanya wartawan saja yang boleh menyusup ke mana pun dan potret sana-sini. Hehe. 

Jalan sehat diramaikan oleh kelompok drumband SMP 3 Sorong. Suaranya berdentum-dentum mengiringi lagu-lagu daerah dan lagu-lagu nasional. Mayoretnya, laki-laki dan perempuan, lincah bergerak-gerak memberi komando. Ribuah peserta jalan keakraban mengikuti gerak langkahnya. Mendikbud dan para pejabat berada di barisan terdepan, persis di belakang barisan drumband.

Usai jalan sehat yang hanya memakan waktu sekitar satu jam, rombongan kembali ke alun-alun. Pameran foto SM-3T serta penulisan kesan dan kemanfaatan SM-3T berpadu dengan hiburan di panggung besar dan pengambilan undian berhadiah. Luar biasa ramainya. 

Saya seperti tidak sedang berada di Papua. Ini bukan daerah tertinggal. Bukan daerah yang minim penduduknya, bukan daerah yang masyarakatnya sulit diajak berubah. Lihatlah. Yang duduk di kursi-kursi itu saja, jumlahnya ada 1500 orang lebih. Ya, pasti. Karena kursi itu sudah disiapkan untuk 1500 orang lebih, yang terdiri dari anak sekolah, guru, orang tua dan masyarakat, untuk menuliskan kesan dan kemanfaatan program SM-3T. Belum yang di luar kursi-kursi itu, yang jumlahnya bisa dua tiga kali lipat. Gila. Sepanjang pengalaman saya menginjak daerah tertinggal, tidak pernah saya melihat kerumunan orang sebanyak ini.

Semua acara berjalan lancar. Tim sebelas, panitia inti yang menjadi event organizer acara, benar-benar menunjukkan ketangguhannya. Tim sebelas itu terdiri dari Akhiruddin dan sepuluh temannya yang lain, alumni SM-3T angkatan pertama. Mereka adalah alumni UNM, LPTK yang menjadi tumpuan bagi suksesnya seluruh rangkaian acara, mulai dari awal sampai akhir. Tim pusat, tanpa fasilitasi UNM, Pemda Sorong, dan seluruh masyarakat Sorong, tak akan bisa berbuat banyak.

Pagi ini, penganugerahan Rekor MURI untuk Kemdikbud, dengan penulisan 1500 kesan dan kemanfaatan Program SM-3T, diberikan oleh Bapak Paulus, perwakilan dari MURI, kepada Mendikbud, Prof. Dr. Muhammad Nuh. Sebanyak 1500 kesan yang ditulis di selembar kaus, terkumpul sebagai bukti kecintaan anak sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat Papua, pada SM-3T. Hampir semua kesan yang ditulis begitu mengharukan sekaligus membanggakan. Salah satu tulisan yang begitu mengesankan Mendikbud dan banyak orang adalah: "SM-3T, The Silent Hero." 

The Silent Hero. Ya, guru-guru itu tidak banyak cakap, tidak banyak bicara, tidak banyak publikasi, dalam segala keterbatasan dan kesulitan, mereka bergerak, mengetuk pintu hati setiap siswa, setiap pendidik, setiap orang tua, mengajak mereka semua untuk bangun, bangkit, pelan namun pasti, meninggalkan lorong-lorong gelap, menuju sebuah tempat yang terang-benderang. Guru-guru itu mengisi hati dan jiwa-jiwa yang kosong, memenuhinya dengan sentuhan penuh kasih sayang, dengan pengetahuan, keterampilan, dan kecintaan pada Tanah Air. Mereka datang di ujung-ujung negeri, merangsek menembus hutan belantara, melanggar derasnya sungai-sungai, menerjang terjalnya bukit dan batu karang, menyalakan pelita-pelita, dan memancarkan cahaya di mana-mana. Bagi mereka, menjadi guru di daerah-daerah tertinggal, bukan masalah pengorbanan, tapi masalah kehormatan. Kehormatan sebagai bangsa dan negara yang harus terus diperjuangkan. Mereka berjuang melalui jalan lain. Tidak mengangkat senjata, tidak membawa tombak dan anak panah, kecuali hanya sebuah pena, sebuah pelita, dan segunung ketulusan. Guru-guru itu, merekalah 'the silent hero' itu....  

Sorong, 9 Mei 2014

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...