Pages

Minggu, 04 Mei 2014

Memaknai Kehilangan

Siang kemarin, ketika saya sedang ada di acara peresmian gedung dekanat FMIPA, tiba-tiba saya ingat ibu (mertua) dan ingin meneleponnya. Saya keluar ruangan yang hiruk-pikuk karena campursarinya grup Bharada sedang manggung, untuk mencari tempat yang agak terhindar dari keriuhan.
"Nembe nopo, Uti?" Sapa saya pada ibu.
"Iki lho, Fi....resik-resik..." Lantas pecahlah tangis ibu. Menceritakan semua aktivitasnya sepanjang pagi sambil terisak-isak. Melipat baju-baju bapak, selimut, sarung, membenahi tempat tidur. Membayangkan bapak yang biasanya pada jam-jam seperti ini sedang duduk-duduk di teras di depan dapur sambil minum teh manis dilengkapi sepotong dua potong polopendem, menemani ibu yang lagi sibuk di dapur.
"Ti..." Lembut suara saya. "Uti tidak boleh terus-menerus sedih seperti itu. Bapak meniko sampun dipun pilihaken yang terbaik kalih Gusti Allah. Ingkang dipun suwun Uti, putro wayah, lak inggih meniko to? Sing paling sae kagem bapak..."
"Iyo, Fi...yo kuwi sing menghiburku. Tapi jenenge ati, Fi..."
"Uti berdoa terus kagem akung.."
"Uwis, Fi..., mesti tak dongakne...tapi aku kelingan terus bapak sak tingkah polahe, kebiasaane, remenane...."
"Inggih mesti, Ti... Tapi mboten sisah dipun inget-inget terus, didongakne mawon saben kemutan..."

Saya mengakhiri telepon setelah berhasil sedikit menenangkan ibu. Saya katakan ke ibu, saya dan Mas Ayik akan sowan nanti sore, dan tidur di Tanggulangin untuk menemani. Setelah berpulangnya bapak, saya dan Mas Ayik memang harus sering mondar-mandir dan tidur di Tanggulangin untuk menemani ibu.

Saya pernah kehilangan bapak (sendiri, bukan mertua). Ketika itu saya masih menempuh Program S2 di Yogyakarta, dan tidak sempat melihat bapak pada hari-hari terakhirnya. Saat pulang ke rumah, bapak baru saja selesai dimakamkan, tapi ratusan tamu masih memenuhi rumah dan halaman kami yang besar. Saya yang sempat sempoyongan dan tidak sadar, dibangunkan oleh ibu dan beliau menguatkan saya untuk bersabar dan bertahan. Ibu, yang saya pikirkan akan 'jatuh' karena kehilangan bapak, ternyata justeru yang menguatkan saya dan kami semua, anak-anaknya. 
"Alhadulilah, Nduk....bapak apiiiikkk kapundhute. Kowe ora usah nangis yo? Bapak wis kepenak. Awake dewe kabeh kudu bersyukur, bapak kepenak banget kapundhute. Mugo-mugo awake dewe kabeh yo iso dipundhut kepenak koyo bapak..."

Berhari-hari setelah itu, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun setelah meninggalnya bapak, ibu masih terus teringat bapak. Ya, namanya juga suami, belahan hati, yang telah puluhan tahun menemani membangun dan mengayuh bahtera rumah tangga, siapa pun akan mengalami hal yang sama. Terus teringat, terus terkenang, bahkan mungkin sampai mati. 

Tapi ada yang begitu mengagumkan pada diri ibu setiap kali teringat bapak. Caranya memaknai kesedihan dan rasa kehilangan. Suatu ketika, kami sedang menikmati makan bersama di meja makan, dan salah satu makanan itu adalah kesukaan bapak. "Dadi eling bapak...iki remenane bapak..." Kata saya sambil menunjuk gule kambing. 
"Bapak wis luwih enak dahare ning kono...ngersakke opo wae ono..." Tukas ibu. Wajahnya datar saja, tanpa kesedihan, malah menyungging senyum. "Bar maem ndang podho salat, ojo lali kirim Fatihah ning bapak."

Suatu saat, ibu berkata. "Iki lho, bapak iki lho....wis kapundhut isih saget nafkahi anak bojo terus. Alhamdulilah, Gusti... Panjenengan Ingkang Moho Sugih." Waktu itu ibu habis terima uang pensiun. Bapak adalah guru PNS, sehingga beliau masih memperoleh uang pensiun bahkan saat beliau sudah berpulang.

Saya dan kami semua tidak pernah melihat ibu begitu terbebani dengan meninggalnya Bapak. Meskipun kami yakin, pasti ibu sangat merasa kehilangan. Sangat sedih. Tapi ibu tidak pernah menunjukkan rasa khilangan itu dengan menangis, mengeluh, apa lagi menyesali meninggalnya bapak. Ibu meyakini, semua yang sudah digariskan oleh Allah untuk bapak, untuk kami semua, adalah yang terbaik. "Gusti Allah wis noto kanthi apik." Begitu selalu yang dikatakan ibu. "Awake dewe sing syukur. Bapak wis kepenak. Mugo-mugo awake dewe kabeh ngko yo kepenak. Kepenak ndunyo akhirat sak anak bojo lan kabeh keturunan."

Semangat ibu seperti tak pernah padam dan bahkan terus memberikan energi pada kami semua. Benar sekali apa yang dikatakan orang bijak. Selalu berpikir positif, banyak bersyukur, akan membuat orang yang bersangkutan selalu memancarkan energi positif. Itulah yang kami rasakan dari ibu. Senyumnya, kekuatan batin sekaligus kepasrahannya, adalah energi buat kami semua untuk terus memaknai hidup ini dengan segala hal yang berarti demi kehidupan yang lebih abadi kelak.

Memang beda sekali dengan cara ibu (mertua) dalam memaknai kehilangan bapak (mertua). Kesedihan dan kedukaan yang mendalam menjadi warna-warna dominan di hari-hari setelah kepergian bapak. Dalam pembicaraan melalui telepon, dalam keseharian, ibu lebih banyak menangis. Membalut setiap ucapan, ingatan, dengan kesedihan dan kedukaan. Kadang terselip penyesalan kenapa tidak begini, tidak begitu. Kadang mempertanyakan, kenapa begini, kenapa begitu. 

Setiap kali kami ingatkan, bahwa inilah hal terbaik untuk bapak dan kami semua, ibu bisa menerima dengan mudah. Ya, karena ibu sebenarnya juga tahu betul tentang hal itu. Namun pemahamannya itu, sayang sekali, belum diejawantahkan dari caranya memaknai kesedihan dan rasa kehilangannya. Belum bisa membalut kesedihannya dengan senyum tulus yang menunjukkan keihklasan dan kerelaan. Siapa pun yang di dekatnya akan menjadi tumpuan kesedihan dan keluh kesahnya. Meskipun ibu mengatakan bahwa ibu sudah ikhlas bapak pergi, namun sikap dan ucapannya tidak mencerminkan keikhlasan itu.

Kami yakin, ibu hanya perlu waktu untuk merasa "lego lilo". Mudah-mudahan segera. Dengan keteguhan hati kami anak-anaknya, ibu akan menjadi kuat dan kembali 'hidup'. Ya, karena roda terus berputar, dan hidup harus terus berlanjut.

Begitulah, setiap orang memiliki cara yang tidak sama dalam memaknai sebuah kehilangan. Namun setiap orang yakin, kehilangan adalah suatu keniscayaan. Tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali harus terus bersyukur bahkan saat kita harus kehilangan. Rasa syukur itu akan menjadi energi abadi dalam diri kita, dan akan selalu memancarkan energi bagi orang-orang di sekitar kita. Meski kehilangan, kita harus tetap dapat memberikan makna dan manfaat bagi orang lain. Rasa syukur itulah kuncinya....


PPPG, Kampus Lidah Wetan, 4 Mei 2014

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...