Nama mahasiswa penulis skripsi tersebut adalah Agus Dwi Kurniawan. Awalnya dia mahasiswa D3 Tata Boga angkayan 2007, lulus tahun 2010 dengan pedikat cumlaude (IP 3,87). Selepas dari D3, dia langsung mengambil program alih jenjang (transfer) ke program S1 Pendidikan Tata Boga. Saat ini dia maju ujian skripsi, mendahului teman-teman seangkatannya.
Agus, begitu nama panggilannya, adalah mahasiswa bimbingan saya. Sejak awal dia sudah menampakkan diri sebagai mahasiswa yang istimewa. Bukan karena keberadaannya di antara mahasiswa yang mayoritas kaum Hawa itu. Namun lebih karena kelebihannya dibanding teman-teman seangkatan, baik dalam bidang akademis maupun non akademis. Agus tidak seperti kebanyakan mahasiswa pada umumnya, yang hanya memiliki salah satu keunggulan dalam dua bidang, teori atau praktek. Agus memiliki dua-duanya. Dia cerdas di matakuliah teori dan sangat terampil di matakuliah praktek. Agus juga aktif berkegiatan di BEM Jurusan, aktif di kegiatan kewirausahaan dan pelatihan karya tulis. Yang istimewa lagi, Agus sangat santun, ramah, helpful ke siapa saja.
Agus juga pekerja keras. Sembari kuliah, dia berwirausaha. Jualan apa saja. Mie goreng, nasi bungkus, roti, dan lain-lain. Sejak beberapa tahun ini, bersama teman-temannya, dia menjalankan wirausaha boga. Outlet-nya ada di halaman gedung A3. Ketekunan dan kekompakan dengan teman-temannya dalam berwirausaha inilah yang menjadikan usahanya telah mampu bertahan sejak tiga tahun ini.
Sepanjang pengalaman saya menguji skripsi, inilah ujian tercepat. Tidak lebih dari tiga puluh menit. Bu Dwi Kristiastuti sebagai penguji pertama nyaris tidak ada pertanyaan, kecuali apakah Agus tidak dicolek-colek sama siswanya ketika mengajar. Mengingat sepuluh siswa yang diajarnya ketika pengumpulan data, semua cewek, dan mereka--sebagaimana anak usia SMA--mungkin sedang dalam masa pubertas, betapa pun mereka adalah anak-anak berkebutuhan khusus. Agus menjawabnya sambil agak malu-malu, ya memang begitulah yang terjadi. Tapi hal itu tidak menjadi kendala yang berarti, karena justru membuat dia bisa masuk ke dunia mereka dengan mudah, dan itu sangat membantunya dalam mengajarkan keterampilan. Kalau selama ini mereka selalu diajar oleh guru-guru perempuan, dengan sumber belajar yang sangat terbatas, maka kehadiran Agus dengan sumber belajar yang menarik dan inovatif sangatlah berarti bagi sepuluh siswa sekaligus lima guru itu. Benar-benar memberi warna dan semangat yang lain. Bahkan kepala sekolah berharap, ada lebih banyak lagi mahasiswa Unesa yang bersedia meneliti di sekolah itu. Tidak hanya bidang boga, tapi juga bidang yang lain. Tidak hanya untuk tunagrahita, tapi juga ketunaan yang lain.
Bu Niken Purwidiani sebagai penguji kedua lebih banyak melakukan klarifikasi atas apa yang ditulis Agus dalam skripsinya. Misalnya tentang bagaimana cara Agus mengajar, menilai aktivitas siswa dalam belajar, dan menilai respon siswa. Dengan kondisi ketunaan mereka, tentu tidak mudah memahamkan mereka. Juga bagaimana keterlibatan guru-guru selama dia melaksanakan pembelajaran.
Saya sendiri, sebagai dosen pembimbing sekaligus penguji, hanya menyarankan satu hal pada Agus. Yaitu menambahkan kajian secara kualitatif mulai dari tahap pengembangan perangkat, tahap pengumpulan data, dan juga pada hasil penelitian dan pembahasan. Apa yang telah dilaporkan Agus dalam skripsinya lebih banyak berupa angka-angka dan diagram-diagram yang 'dangkal makna'. Tidak lebih dari laporan penelitian 'gaya standar'. Keunggulan penelitiannya tidak tergali dengan baik karena Agus menulis laporannya dengan mengikuti pola yang 'itu-itu' saja.
Saya meminta Agus lebih mendetilkan analisis siswa yang menjadi subjek belajarnya. Sebanyak sepuluh siswa itu dengan masing-masing karakteristiknya, baik secara fisik maupun mental. Saya juga meminta Agus untuk menjelaskan lebih rinci bagaimana dia memasuki lapangan penelitiannya. Bagaimana membangun hubungan dengan siswa dan guru-guru di sana. Bagaimana dia menuntun siswa berinteraksi dengan media pembelajaran yang sudah dikembangkannya, membimbing mereka bergulat dengan alat dan bahan-bahan, serta mengspresiasi kinerja mereka selama proses pembelajaran. Saya ingin Agus menceritakan bagaimana perilaku dan ekspresi kebanggaan mereka ketika mereka merasa telah berhasil membuat sesuatu. Meski sesuatu itu hanya berupa biskuit kecil-kecil yang disebut cornflakes cookies itu. Saya juga ingin Agus lebih banyak menceritakan latar penelitiannya, bagaimana kondisi sekolah, kepala sekolah, guru-guru, fasilitas sekolah, dan juga atmosfer lingkungan sekolah. Banyak hal menarik dan mengharukan yang bisa ditulis Agus daripada sekedar angka-angka yang bagi saya seperti angka-angka yang miskin makna.
Tentu saja saya yakin Agus akan bisa memenuhi harapan saya, harapan kami semua dosen pengujinya. Dia anak cerdas dan selalu berusaha melakukan yang terbaik. Maka siang itu, kami bertiga sepakat meberikan nilai yang nyaris sempurna untuk skripsinya. Kalau ada A plus, dia layak mendapatkannya. Tapi karena tidak ada, maka cukuplah A saja.
Sebelum memberikan ucapan selamat, saya sempat menanyai Agus, apa cita-citanya. Dia ingin menjadi guru. Setelah lulus, dia akan mengikuti program SM-3T, ingin mengabdikan diri di pelosok, supaya dia mendapatkan pengalaman riil sebagai bekal untuk mencapai cita-citanya. Tapi perasaan saya sempat terharu ketika saya bertanya tentang keluarganya. Agus anak kedua dari dua bersaudara. Sejak kelas empat SD, dia dan kakaknya sudah ditinggal bapak dan ibunya pergi ke Brunei untuk bekerja. Sungguh saya tidak menduga, Agus yang begitu ramah dan ceria memiliki masa-masa di mana dia harus kehilangan kasih sayang orang tua karena jarak yang memisahkan mereka. Bahkan ketika dia diwisuda dengan predikat cumlaude beberapa waktu yang lalu, tak satu pun anggota keluarga yang mendampinginya. Tapi anak itu begitu manis. Membungkus kerinduannya pada kedua orang tuanya dengan keceriaan, kemandirian, keramahan dan optimisme.
Selamat, Agus. Satu tahap telah berhasil kau lewati. Semoga tahap-tahap selanjutnya tetap mampu kau jalani dengan baik.
Surabaya, 26 November 2012
Wassalam,
LN
(OTW ke Jombang)