Pages

Sabtu, 03 November 2012

Konaspi VII (3): Ary Ginanjar: Piramida Kebutuhan Terbalik

Siapa yang tidak mengenal Ary Ginanjar? Tentu saja banyak orang di Indonesia ini mengenalnya. Anak sekolah, mahasiswa, pegawai negeri, karyawan swasta, ABRI, dan masyarakat luas, terutama yang pernah mengikuti pelatihan ESQ, pasti tahu. Dia identik dengan ESQ. Buku pertamanya, yang juga berjudul Emotional Spiritual Quotient (ESQ), terbit di tahun 2001, cukup populer. Konon terjual lebih dari satu juta seratus eksemplar. Setelah itu terbit belasan bukunya yang lain. Yang terakhir adalah Spiritual Samurai (2010).

Pada tahun 2007, AG menerima anugerah sebagai Doktor Honoris Causa dalam bidang Pembangunan Karakter dari UNY. Tentu saja ini adalah penghargaan yang sangat prestisius bagi pria kelahiran 1965 itu. Sebelum itu, dia menerima penghargaan The Most Powerful People and Ideas in Business versi Majalah SWA (2004), Agents of Change in 2005 versi Harian Republika (2005), dan berbagai penghargaan lain setelah 2007, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri (Malaysia, United Kingdom, dan Saudi Arabia). 

Menikmati penampilan AG selama sekitar satu setengah jam menjelang istirahat makan siang ini begitu menyenangkan. Panitia sangat tepat menempatkannya pada detik-detik yang 'genting' saat-saat audience mulai mengantuk. Setelah mendengarkan presentasi Sri Sultan Hamengkubuwono yang pembawaannya datar-datar saja bagai air tanpa riak gelombang, meski materinya sebenarnya bagus, penampilan AG bagai musik indah yang memecah keheningan. Siapa pun yang mendengarkan letupan-letupan AG akan terhanyut. Dia menyampaikan ide-idenya dengan gayanya yang khas, cerdas, humoris, dan bersemangat. Meski, harus disadari, tidak semua pikiran-pikirannya bisa diterima dengan begitu saja, terutama kalau disandingkan dengan konsep-konsep pembelajaran dan pendidikan.

Salah satunya adalah idenya untuk membalik konsep Piramida Abraham Maslow. Menurut Maslow, kebutuhan yang paling dasar (basic need) manusia antara lain adalah makan, minum, pakaian, papan, dll (kebutuhan akan materi), dan kebutuhan tertinggi adalah 'self actualization'. Menurut AG, basic need itulah yang menjadi biang masalah di mana-mana, karena manusia tidak ada puas-puasnya. Dia memberikan ilustrasi, saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah sedemikian luar biasa, yaitu mencapai 6,4 persen di semester satu tahun 2012. Namun demikian, peningkatan tersebut ternyata
tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas kehidupan secara totalitas, bahkan nampaknya justeru terjadi penurunan kualitas hidup. Bukan hanya karena masalah pemerataan ekonomi semata. Tengoklah berbagai krisis moral yang terjadi di sana-sini sehingga mengakibatkan tingginya angka korupsi, demo buruh yang terus meningkat, kerusakan hutan dan lingkungan, peningkatan penggunaan narkotika di kalangan remaja, pergaulan bebas dan aborsi di kalangan remaja, tawuran pelajar dan mahasiswa, dan masih banyak lagi. Jelas bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak menjamin peningkatan kualitas kehidupan bangsa Indonesia. Artinya, pemenuhan kebutuhan 'basic need' tidak pernah terpuaskan, dan justeru semakin membuat manusia serakah.

AG menawarkan supaya piramida itu dibalik. Basic need yang pada mulanya berada pada posisi paling dasar, diputar menjadi paling atas. Self actualization yang tadinya tertinggi dan jarang tercapai, kini justeru menjadi yang paling dasar. Perubahan ini hanya akan terjadi bila pendidikan benar-benar menyentuh aspek spiritual, tidak hanya aspek emosional dan intelektual. Setiap manusia yang terjun di dunia pendidikan baik mahasiswa, dosen, staf, harus memiliki 'meaning' dalam mengemban misinya. Misi suci pendidikan tidak lain adalah sebuah panggilan suci dan aktualisasi diri. Saat self actualization menjadi dasar, basic need secara otomatis akan terpenuhi bahkan mungkin lebih dari yang diharapkan semula. 

Tentu saja ide ini sangat bisa diperdebatkan. Bayangkan seorang bayi yang baru lahir, apa yang dia butuhkan? Tentu saja air susu ibu untuk mengisi perutnya, dan dekapan ibu untuk memberinya rasa aman (safety need). Bukan kebutuhan untuk melakukan aktualisasi diri. Sebuah penelitian tentang penerapan keterampilan proses (PKP), yang dilakukan oleh Prof. Nur di wilayah Surabaya dan di pelosok kabupaten Lamongan juga menunjukkan betapa  basic need adalah yang terpenting. Ketika PKP diterapkan di sebuah sekolah di pelosok Lamongan, ternyata respon dan aktivitas siswa sangat jauh dibanding dengan yang di Surabaya. Setelah ditelusuri ternyata apa penyebab utamanya? Siswa-siswa itu sebagian besar tidak sarapan, perut mereka lapar. Sehingga jangankan melakukan interaksi di dalam pembelajaran, dapat menerima pelajaran saja sudah bagus. Ini menunjukkan, urusan perut harus aman dulu, sebelum memenuhi kebutuhan yang lain, yang meliputi safety need, social need, self esteem, dan self actualization.      
Lepas dari itu, presentasi AG sangat inspiratif. Konsep ESQWay165 yang diajukannya diterapkan di banyak institusi, salah satunya di UNY. Menurutnya, diperlukan kecerdasan emosional (EQ) yang akan memberikan keterampilan dalam bersosialisasi dan berhubungan dengan orang lain, serta kecerdasan spiritual (SQ) yang akan memberikan jawaban atas eksistensi diri.  
Konsep ESQWay165 merupakan sebuah konsep pembangunan karakter yang komprehensif dan integratif berdasarkan 1 nilai universal, 6 prinsip pembangunan mental, dan 5 langkah aksi. Ketika ketiga model kecerdasan digabungkan, maka lahirlah manusia yang memiliki keseimbangan antara otak, akal, dan hatinya, sehingga secara otomatis akan melahirkan karakter. 

AG juga menyebut bahwa di setiap diri manusia ada segumpal hati. Segumpal hati ini disebutnya sebagai 
super intellegence software. Software inilah yang mampu menuntun seorang ahli hukum menjadi bijaksana, hakim menjadi adil, pengusaha menjadi jujur, dan sebagainya. Bila software ini  tidak digunakan maka manusia akan mengalami spiritual pathologist. Penyakit hati. Manusia akan mengalami kegilaan yang luar biasa. Dengan menyitir kata-kata Arnold Tonybee, AG menyatakan bahwa suatu bangsa akan mengalami kejayaan ketika hati menjadi panglima, akan mengalami masa keemasan ketika akal fikiran dan hati disatukan, namun akan mengalami kehancuran ketika akal fikiran dan nafsu yang menjadi panglima. 

Menutup presentasinya, AG menanyakan, berapa tahun lagi kita akan mencapai tahun 2045? Adalah 33 tahun lagi. Berapa kali kita berdzikir seusai sholat? 33 kali. Maka, kata AG, hari ini adalah hari dzikirnya Konaspi untuk Indonesia. 

Yogyakarta, 1 November 2012

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...