Pages

Minggu, 04 November 2012

Konaspi VII (4): H. A. R. Tilaar, dari Konferensi Rio+20 sampai Pekik Merdeka

Pagi ini dimulai dengan presentasi oleh Prof. Dr. H. A. R. Tilaar, M. Sc. Ed, seorang pakar dan pemerhati pendidikan, guru besar emeritus dari UNJ. Topiknya adalah 'Memantapkan Karakter Bangsa Menuju Generasi 2045'. Meski usia sepuhnya membuat langkah kakinya pelan, namun suaranya yang terkadang tidak jelas artikulasinya itu masih mampu meluncurkan banyak inspirasi yang tajam.

Tilaar memulai presentasinya dengan mengangkat Konferensi Dunia Rio+20 yang diselenggarakan di Rio de Jeneiro bulan Juni 2012 yang lalu. Konferensi ini merupakan pembaharuan komitmen atas pembangunan berkelanjutan, mengidentifikasi kesenjangan antara perkembangan dan implementasi seperti penanggulangan kemiskinan serta mengatasi berbagai tantangan baru. Salah satu topik yang
ditonjolkan di dalam konferensi tingkat tinggi di Rio tersebut antara lain mengenai ekonomi hijau (green economy) dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pada dasarnya KTT Rio+20 meluruskan langkah-langkah selanjutnya di dalam mewujudkan "The Future We Want". Dalam rangka membangun 'The Future We Want", KTT Rio+20 menekankan kepada pentingnya peranan manusia di dalam pembangunan yang berkelanjutan, pemberantasan kemiskinan dan kehidupan yang lebih sejahtera.

Indonesia sendiri di dalam menghadapi agenda KTT Rio+20 telah menyusun rencana kerjanya di dalam pengembangan ekonomi dengan berslogan 'pro-miskin, pro-pekerjaan, pro-perkembangan, dan pro-pemeliharaan lingkungan.'

Menurut Tilaar, Indonesia 33 tahun ke depan akan memperingati 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Dalam rangka KTT Rio+20 apakah yang dapat dibuat oleh Indonesia di dalam peningkatan mutu kehidupan rakyat Indonesia, sambil turut serta dalam penyelamatan planet bumi untuk menjamin pembangunan yang berkesinambungan?

Salah satu keuntungan yang dimiliki Indonesia dalam kurun waktu tersebut ialah adanya apa yang disebut bonus demografi yang cukup signifikan. Dengan menyajikan sebuah tabel, Tilaar menunjukkan bahwa pada 33 tahun yang akan datang, kita memiliki sejumlah generasi dalam usia produktif. Apabila usia yang produktif tersebut ketika menghadapi peringatan 100 tahun kemerdekaan Indonesia tidak dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, kemungkinan besar bukan merupakan bonus, tetapi bahkan merupakan malapetaka.

Bonus manusia produktif 33 tahun ke depan harus dipersiapkan dari sekarang. Mereka itu adalah generasi muda yang lahir dewasa ini atau pun yang sedang duduk di sekolah dasar dan menengah. Bonus demografi ini perlu dipersiapkan sebaik-baiknya bukan karena mereka adalah warganegara Indonesia yang baik,
tetapi juga sebagai warganegara Indonesia yang hidup di dalam 'knowledge-based society' abad ke-21. Mereka perlu dibekali dengan pengetahuan yang relevan dengan kemajuan zaman, menguasai teknologi komunikasi yang merupakan salah satu ciri utama dalam kehidupan modern abad 21, dibekali keterampilan yang sesuai dengan lapangan pekerjaan yang terbuka di masa depan serta tentunya warganegara yang bermoral yang mendukung dan mewujudkan identitas atau watak keindonesiaannya.

Apakah masyarakat dan bangsa Indonesia telah siap menghadapi tantangan perubahan besar abad ke-21? Beberapa ahli seperti Keri Facer, Direktur dari Future Lab, Manchester Metropolitan University, meragukan apakah bangsa di dunia menyadari akan perlunya menguasai 'new survival skills' melalui pendidikan di sekolahnya. Bahkan negara-negara maju sekali pun belum seluruhnya menyadari akan tantangan tersebut. Lanjut Tilaar, pandangan saat ini bukan lagi hanya menekankan pada bagaimana kita tetap survive di dalam tantangan yang diberikan oleh masa depan tetapi bagaimana menciptakan dunia yang kita inginkan untuk didiami. Hal ini sangat sesuai dengan logo Konferensi Rio+20, yaitu 'The Future We Want'.

Tilaar juga mengemukakan empat kekuatan global yang sedang melanda dunia menurut Laurence C. Smith, yaitu: 1) demografi, 2) sumber-sumber alam, 3) perubahan Iklim, dan 4) globalisasi. Keempat kekuatan global tersebut kesemuanya digerakkan oleh kemajuan teknologi.

Dalam kaitannya dengan demografi, bahaya ledakan penduduk dunia telah dilihat oleh Thomas Maltus sekitar dua abad lalu dan pada tahun 1968 Paul R. Ehrlich, seorang profesor dari Universitas Stanford mengeluarkan bukunya yang terkenal The Population Bomb.

Tentang keterbatasan SDA, dewasa ini dunia mengalami krisis energi yang gawat khususnya yang bersumber dari hidrokarbon. Bahkan kebanyakan negara-negara berkembang mulai memerlukan hidrokarbon untuk industri dan transportasinya. Dunia akan mengalami krisis energi yang gawat sebelum ditemukan sumber-sumber energi alternatif.

Terkait dengan globalisasi, Tilaar menjelaskan, dalam bukunya 'Globalization' (2003), Manfred A. Steger menceritakan ternyata globalisasi telah dimulai sejak prasejarah. Sekitar 10 ribu tahun SM telah terjadi migrasi manusia dari pusatnya di Afrika kemudian menyebar ke Eropa, Asia, Amerika Utara dan Selatan. Pada masa pramodern terjadi migrasi besar-besaran bangsa seperti di Asia. Juga dikenal jalan sutra (silkroad) yang telah menghubungkan Cina dengan kerajaan Romawi dan pedagang-pedagang Afrika. Kita juga mengenal perdagangan dari Barat seperti VOC serta British East India Company yang menghubungkan antara dunia Barat dengan Asia. Pada era modern mulai terjadi perdagangan yang dikenal sebagai 'global crossing systems' untuk komoditas-komoditas seperti gandum, kapas dan berbagai
metal. Dalam era 1970 sampai sekarang terjadi proses globalisasi yang sangat cepat.

Selanjutnya, tentang perubahan iklim, dewasa ini planet bumi dirasakan semakin panas akibat efek rumah kaca. Telah banyak kesepakatan internasional untuk membatasi efek rumah kaca dengan pengurangan emisi CO2 di angkasa. Kesepakatan global yang disepakati Protokol Kyoto yang terkenal itu bahkan banyak dilanggar oleh negara-negara industri maju. Di samping itu, paru-paru bumi yaitu hutan-hutan di daerah tropis seperti yang terdapat di Brasilia dan Indonesia mulai terancam oleh penebangan yang tidak terkendali. Akibatnya ialah bumi terasa semakin panas bahkan pada beberapa waktu yang lalu banyak yang tewas karena iklim panas yang menyengat. Perubahan iklim tersebut juga akan mempengaruhi produk makanan dan mungkin dunia akan mengalami krisis air bersih untuk dikonsumsi.

Yang menarik, dengan sentilan-sentilan yang cukup pedas terhadap berbagai kebijakan pendidikan saat ini, Tilaar menegaskan betapa UN telah mematikan kreativitas anak didik. Di sisi lain, kalau ingin menjadi bangsa yang maju, menurut Ciputra, setidaknya diperlukan dua persen entrepreneur. Indonesia baru
memiliki 0,8 persen entrepreneur. Kalau sistem pendidikan terus seperti ini, dengan UN yang menjadi tolok ukur kelulusan, sulit dihasilkan lulusan yang kreatif. Sehingga sulit dihasilkan entrepreneur-entrepreneur baru yang andal. Dengan pedas Tilaar mengatakan, pengembangan kreativitas dan entrepreneur dalam Pendidikan Nasional sudah dimatikan kreativitasnya. Sudah mampus.

Tilaar juga menyoroti SBI/RSBI. Menurutnya, kebijakan ini telah membuat masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang berkelas. Ada yang kelas kambing dan kelas sapi. Berapa banyak dana yang digelontorkan demi RSBI, sementara berapa banyak anak-anak petani dan nelayan yang drop out atau tidak bisa bersekolah. SBI/RSBI akan menjadi dosa bangsa Indonesia.

LPTK juga disoroti oleh Tilaar. LPTK selama ini telah dininabobokan oleh kebijakan. Ketika IKIP bermetamorfosis menjadi universitas, maka sejak itulah ilmu pendidikan mati. Tidak ada LPTK yang meneliti tentang pendidikan anak Indonesia, atau penelitian tentang moral. Kohlberg dan Lickona yang dominan disebut kalau kita bicara tentang moral.

BNSP oleh Tilaar juga diplesetkan sebagai Badan Skandal Pendidikan Nasional. Menurutnya, BNSP-lah yang selama ini sering menjadi biang kerok dari banyak permasalahan pendidikan.

Di akhir presentasinya, Tilaar merekomendasikan bahwa pendidikan harus merakyat. Guru dan peserta didik adalah 'knowledge builder' bukan 'Knowledge Provider' dan Kkowledge Acquisition'. Genre guru profesional adalah: (1) menghasilkan generasi produktif dan kreatif, (2) menghasilkan generasi yang survive dalam knowledge-based-economy, dan (3) menghasilkan cukup banyak entrepreneur.

Belajar dari WIFF di Kazakhstan, pendidikan harus memperhatikan 3C (Connect, Compete, Collaborate). Sedang proses pembelajaran meliputi 3C + SM, yaitu: Cognitive, Computer, Collaborationan Spiritual, dan Moral.

Dengan mendasarkan diri pada teori Ralph Linton, Lev Vygotsky, dan Ki Hadjar Dewantara, Tilaar mendefinisikan karakter atau watak bangsa Indonesia dalam menghadapi abad ke-21, yaitu: karakter atau watak bangsa Indonesia adalah suatu konstruksi budaya tentang sikap hidup, cara berpikir dan bertindak dari setiap individu bangsa Indonesia yang multikultural yang terpancar dari nilai-nilai budaya dan ideologi nasional Indonesia yaitu Pancasila (dalam menghadapi era global).

Di ujung presentasinya, Tilaar mengakhirinya dengan pekik merdeka.

Yogyakarta, 2 November 2012

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...