Pages

Kamis, 24 Januari 2013

Omah Ndeso dan Silaturahim

Sebuah rumah kecil di desa Brotonegaran, kelurahan Brotonegaran, kecamatan Ponorogo. Luas tanah 7 x 15 meter persegi. Dua kamar, satu ruang tamu, satu kamar mandi, dan sebuah ruang dapur. Kecil mungil. Ada pohon-pohon jati di sekeliling rumah, dan sebuah sungai memanjang di belakang rumah. Kebun jagung menghampar di depan halamannya. Udara bersih dan sejuk.

Rumah itulah yang saat ini sedang kami kunjungi. Seorang saudara mengabarkan tentang rumah itu. Dia, namanya dik Ria, putrinya bulik, adik ibu mertua. Dia sendiri sudah punya rumah besar di Griya Mapan Brotonegaran. Rumah kecilnya itu hanya untuk investasi. Dia dengan ringan hati mempersilakan kami untuk mengambil alih rumah mungil itu kalau kami berminat. Tidak ambil untung. Harga persis sama dengan ketika dik Ria membelinya. Dia hanya ingin supaya keinginan kami untuk memiliki sebuah rumah singgah di Ponorogo bisa terwujud. Selama ini kalau kami ke Ponorogo, kami tinggal di rumah keprabon yang sekarang ditinggali bu Heni, bulik kami sekeluarga. Bu Heni inilah ibunya dik Ria.

Adik misan kami ini memang sangat bersahabat. Sangat 'nyedulur'. 'Ndilalah' gampang rezeki juga. Suaminya, dik Budi, bekerja di PLN. Saat ini mereka sekeluarga tinggal di Jambi, karena dik Budi tugasnya di PLN Provinsi Jambi. Rezeki mereka berlimpah sejak awal membangun rumah tangga. Saat ini sudah ada sepasang anak yang melengkapi kebahagiaan keluarga, dan saat ini juga, di perut dik Ria ada jabang bayi berusia empat bulan. Rumah tempat tinggal mereka yang besar di Ponorogo dikontrakkan, dan mereka menempati rumah dinas yang luas di Jambi. Dik Ria sendiri yang pada awalnya adalah karyawan BNI Syariah memilih resign dan bekerja di rumah supaya bisa menemani putra-putrinya. Senang sekali melihat kehidupan adik misan kami itu yang penuh dengan kebahagiaan dan kelimpahan rezeki. Alhamdulilah.

Oya, kembali ke rumah mungil itu. Tentu saja kami berminat dengan rumah itu. Begitu juga bapak dan ibu, yang memang bersama-sama kami datang ke Ponorogo ini dengan salah satu tujuan untuk ikut melihat rumah. Pak Anwar dan bu Heni, paklik dan bulik kami, juga bersama-sama kami. Jadi saat ini kami berenam. Mengitari rumah kecil itu, melihat sungai yang menghampar di belakang rumah, dan memetiki ciplukan liar yang lagi berbuah. Menyenangkan sekali.

Setelah puas memandangi rumah dan sekitarnya, kami semua memasuki mobil. Sekarang waktunya makan nasi pecel. Jam menunjukkan pukul 09.00. Waktu yang tepat untuk sarapan pagi. Warung nasi pecel iwak kali di desa Sekayu menjadi pilihan. Hmm.....sego pecel Ponorogo memang top. Inilah salah satu makanan 'klangenan' kami setiap pulang kampung ke Ponorogo. Selain sate ayam, sate kambing, dan gule kambing. Tapi dua makanan terakhir ini sedang kami posisikan sebagai musuh bebuyutan. Dia sangat potensial untuk meningkatkan kandungan trigliserida, asam urat, dan kolesterol. Mending makan sego tahu, salah satu makanan lain yang juga menjadi klangenan kami.

Selesailah sudah prosesi makan sego pecel. Bapak, yang 'dahar' dengan tangan kirinya, menuntaskan isi piring tanpa tersisa sedikit pun. Ibu, pak Anwar dan bu Heni, juga tentu saja saya sendiri, sudah membereskan sepaket nasi pecel itu. Satu paket terdiri dari nasi pecel, dengan lauk ikan kali yang digoreng renyah berbalut tepung dan selembar rempeyek udang. Bahkan di luar paket itu, kami sudah menambahkan lento, tempe kepleh (mendoan) dan pia-pia (ote-ote). Mas Ayik bahkan sudah 'tandhuk'. Ya, meski dia sedang dalam program diet dan dalam pengawasan ketat seorang ahli gizi (maksudnya ya saya sendirilah ahli gizi itu....hehe), tapi demi melengkapi kebahagiaan momen ini, dia saya beri kelonggaran. Tapi minumnya tetap, teh tawar. Teh tanpa gula. 

Sekarang saatnya melakukan lawatan dari satu saudara ke saudara yang lain. Waktu yang hanya sehari ini akan kami manfaatkan untuk mengujungi bu Har, adik bapak yang juga sudah sepuh dan tinggal di rumah keprabon. Selanjutnya ke rumah dik Iyong, kakak dik Ria, yang baru 'mbangun' rumah. Juga ke saudara-saudara lain dan teman-teman masa kecil bapak. Kebetulan, beberapa teman masa kecil bapak adalah juga orang tua teman-temannya mas Ayik. Juga, yang terpenting, berziarah ke 'pesarean' mbah kakung dan mbah putri, bapak ibunya bapak. Seterjangkaunya. Pisto. Tipis-tipis sing penting roto. Hehe. Karena nanti sore kami sudah harus bertolak ke Surabaya. Besok, kembali beraktivitas. Kembali ke rutinitas.

Seperti kata sahabat-sahabat saya (M. Khoiri, Samsulhadi, Sirikit Syah, Suhartoko, dll), mari melakukan  silaturahim untuk menyeimbangkan hidup. 'Nuruti gawean gak onok entekke'. Karena silaturahim ini juga, mas Ayik yang kemarin sakit, tiba-tiba sehat. Dia mengemudikan sendiri mobil kami dan menolak membawa driver. Silaturahim memang memberikan kesehatan. Sehat lahir dan sehat batin. Insyaalah, barokah Maulid Nabi juga. Alhamdulilah.

Ponorogo, 24 Januari 2013
   
Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...