Pages

Kamis, 31 Januari 2013

Aceh Singkil 2: Singkohor dan Danau Paris

Malam tadi, meleset dari perkiraan saya, kami tiba di Aceh Singkil pada pukul 23.10. Tapi sebenarnya, andai saja tidak terjadi tragedi ban 'mbledos', mungkin kami bisa sampai lebih cepat. Saat itu pukul 22.23. Ketika saya sedang menikmati dengkuran  teman-teman yang pulas kelelahan, dan saya berusaha terus berjaga supaya bisa menemani driver melek (sejak dari Medan saya duduk di sebelah driver), tiba-tiba ban Iikiri belakang mobil meletus. Mobil spontan limbung setelah terdengar suara keras berdentum, dan ada yang terasa 'mlesek' di sebelah kiri. Untungnya laju mobil sedang tidak terlalu kencang karena jalan yang berbelok-belok memang tidak memungkinkan. Saat itu wilayah Rimo baru saja kami tinggalkan dan hanya perlu sekitar sepuluh menit untuk mencapai Aceh Singkil.  Terpaksalah kami berhenti dulu. Driver membongkar ban dan menggantinya dengan ban cadangan. Tidak memerlukan waktu lama, hanya sekitar 15 menit dan mobil siap melaju lagi. 

Maka sampailah kami di sini. Di Hotel Bidadari. Saya tidak tahu apakah ini hotel terbaik di Aceh Singkil. Hotel yang sama sekali tidak terkesan hotel mewah, dengan lobi yang tidak jelas di mana tempat meja front office-nya, dengan sebuah meja makan dan dua kursi (kursi yang lain berada di teras bersisian dengan sofa kumal dan koyak), dan ketika kami datang hanya ditemui oleh seorang laki-laki yang berkaus dan bercelana pendek, yang hanya melihat-lihat saja kami menurunkan bagasi dari mobil, lantas menunjukkan di mana kamar-kamar kami. Sebuah kamar berukuran 5x5 meter, itu pun sudah termakan oleh sekotak kamar mandi,  dengan satu single bed yang cukup untuk tidur berdua, dan satu extra bed yang dihamparkan langsung di lantai. Sebuah televisi LG model lama berukuran 21 inchi di atas meja yang merangkap rak untuk meletakkan digital satellite receiver yang berdebu tebal dan sebuah sajadah. Tanpa meja, tanpa kaca, tanpa meja rias dan kaca cermin. Apalagi lemari dan mini refrigerator atau safe deposit box sebagaimana yang biasa kita lihat di hotel-hotel bagus, tentu tidak ada.

Saya mengenyahkan keinginan untuk segera membersihkan diri dan membaringkan tubuh di atas springbed yang melambai-lambai karena malam itu juga kami akan berkoordinasi dengan dinas pendidikan Kabupaten Aceh Singkil. Pak Dasir, kasi dikmen bagian kurikulum disdik, segera tiba menyambut kami. Begitu juga Yusuf, koordinator SM-3T Aceh Singkil (kami menyebutnya lurah) dan dua temannya, Fadil dan Nahdiyin, yang bertugas di Danau Paris, sudah berkumpul. Kami menggeser kursi di teras dan duduk melingkar. Saya sendiri duduk di sofa koyak itu. Malam ini kami akan konkritkan rute monev besok pagi. Setelah berunding agak lama, memperhitungkan waktu, keterjangkauan lapangan sasaran, kondisi medan, dan jarak tempuh dari satu titik ke titik lain, maka kami putuskan hari pertama besok kami fokuskan ke wilayah daratan. Hari kedua baru ke wilayah pulau. Itu pun kalau cuaca memungkinkan. Semoga. Kami mengakhiri meeting pada tengah malam lebih sedikit, yaitu pukul 24.12. Saya langsung masuk kamar, bergabung dengan bu Nanik dan bu Lusi yang sudah mandi dan bersiap tidur. 

Pagi ini, saya dibangunkan oleh suara hujan yang seolah ditumpahkan dari langit. Suara itu semalaman mengganggu tidur saya berkali-kali. Meski waktu sudah menunjukkan pukul 05.30, di luar masih gelap. Saya bergegas mengambil air wudhu dan sholat shubuh, disusul bu Nanik. 

Begitu pagi mulai terang, kami baru tahu kalau hotel ini berdekatan dengan pantai. Air laut yang berkilauan tertangkap dari jendela kamar.  Begitu kami keluar dari kamar dan memeriksa sekitar hotel, ternyata pantai ada di depan hotel juga. Jadilah pagi ini kami manfaatkan waktu untuk berfoto-foto. Agak-agak narsis gitu. Hehe....

Bu Nanik, yang biasanya tidak berjilbab, pagi ini mengenakan jilbab. Cantik. Bu Lusi juga. Ketika sarapan pagi, dengan menu nasi gurih dan balado teri medan, di sebuah warung yang letaknya tidak terlalu jauh dari hotel, saya geli melihat bu Lusi. Meski berjilbab, dia mengawali makan paginya dengan doa yang khas: atas nama Bapa di Surga dan Roh Kudus......    

Pagi ini kami memasuki ruang Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) pada pukul 09.10 menit. Lebih lambat satu jam lebih dari rencana kami. Ya, pukul 08.00 ternyata masih terlalu pagi untuk mengawali aktivitas di kantor-kantor. Maka setelah sarapan, kami masih sempat 'pusing-pusing' melihat speedboat yang besok pagi akan membawa kami ke Pulau Banyak, baru menuju ke kantor disdik. 

Kepala disdik, lelaki berpostur tinggi berkulit hitam, ramah menyambut kami. Dialah Yusfit Elmi, S.Pd., kepala disdik kabupaten Aceh Singkil. Kami diterima di ruangnya yang sederhana dan sejuk. Saya memperkenalkan empat teman tim monev yang lain, juga tiga peserta SM-3T yang bersama kami. Menyampaikan salam Rektor dan PR1, mengucapkan terimakasih untuk keterbukaan pemda dalam menerima para peserta, dan menyampaikan tujuan kami melakukan monev ini.

Menurut Kadisdik, masyarakat Aceh Singkil sangat heterogen.  Mereka berasal dari suku Minang, Batak, Nias, Aceh dan Pakpak. Aceh Singkil sendiri merupakan daerah paling pangkal di Aceh, berbatasan dengan Tapanuli, Sumatera Utara. Juga merupakan kabupaten terluas di Aceh. Terdiri dari sebelas kecamatan: Pulau Banyak Barat (PBB), Pulau Banyak, Kuala Baru, Singkil, Singkil Utara, Gunung Meriah, Danau Paris, Singkohor, Kota Baharu, Simpang Kanan dan Suro. Ada 229  sekolah, yaitu: SMA: 11sekolah; SMK: 4 sekolah; SMP: 33 sekolah; SD: 102 sekolah; dan TK: 79 sekolah. Dari jumlah tersebut, 83 di antaranya adalah sekolah swasta (1 SMA, 1 SMK, 3 SMP dan 78 TK). 

Di antara sebelas kecamatan, enam di antaranya menjadi tempat tugas para peserta SM-3T, yaitu:  PBB, Pulau Banyak, Kota Baharu, Kuala Baru, Singkohor dan Danau Paris. Danau Paris merupakan daerah perbatasan dengan Tapanuli Tengah, masyarakatnya memeluk agama Islam dan Nasrani dengan perbandingan fifty-fifty. Pulau Banyak Barat merupakan daerah wisata, yang menonjol adalah wisata bahari khususnya menyelam (sambil menikmati terumbu karang dan mencari gurita) serta memancing (di sini disebut 'mengirik'). Pohon kelapa yang menghasilkan buah kelapa muda yang melimpah juga merupakan daya tarik tersendiri. Namun konon, bagi pendatang baru, disarankan untuk tidak langsung mengonsumsi kelapa muda. Katanya bisa mudah terjangkit malaria, atau bisa terkena 'tasapo' (disapa oleh makhluk ghaib penghuni pulau atau oleh hantu lawik/hantu laut). Wallahu a'lam.

Kami konvoi dengan dua mobil selepas dari kantor disdik. Satu mobil dengan driver pak Marlon, berisi pak Beni, bu Nanik dan bu Lusi. Satu mobil lagi, mobil dinas, dikendarai pak Fitra, staf disdik, dengan penumpangnya pak Dasir, pak Sulaiman, Yusuf, dan saya sendiri yang duduk di sebelah pak Fitra. 

Tujuan kami adalah SMP 2 di kecamatan Singkohor. Sekitar satu setengah jam perjalanan. Menempuh jalan yang lumayan mulus, meski ada beberapa bagian yang belum beraspal dan juga harus melintasi beberapa jembatan kayu yang nampaknya tidak terlalu aman. Jalan berkelok-kelok, naik turun, dan di sepanjang kanan-kiri jalan adalah hutan kelapa sawit yang rapat. Sesekali diselingi dengan pemandangan berupa bukit-bukit dan lembah-lembah nan hijau. PAD terbesar Aceh Singkil memang dari sawit dan ikan, juga sektor pariwisata. Tidak heran jika puluhan truk tangki yang mengangkut CPO (minyak mentah) adalah teman kami menempuh perjalanan tadi malam.  

Meski sudah menempuh perjalanan sejauh satu setengah jam, SMP 2 
ternyata tidak juga ketemu. Lebih dari sejam kami hanya putar-putar, bolak-balik, tanya sana-sini, dan nyaris tidak berhasil. Sampai akhirnya Fadil menelepon dan kami diminta balik arah, kembali ke SMA 2 Gunung Meriah, padahal tempat itu sudah kami lewati setengah jam yang lalu. Ketika saya tanya ke teman-teman dinas apa tidak pernah ke SMP 2, jawabnya itu bukan bagian mereka, tetapi bagian dikdas. Jawaban yang di telinga saya terdengar sangat aneh. Bagaimana tidak. Kami sedang melakukan monev, didampingi orang-orang disdik, tapi ternyata mereka juga belum tahu di mana tempat yang akan kami kunjungi itu. Kalau saya diminta untuk memberi rekomendasi untuk disdik, maka rekomendasi saya yang pertama adalah, disdik Aceh Singkil sebaiknya lebih sering turun ke lapangan supaya tahu di mana letak sekolah-sekolah yang ada di wilayahnya.

Setelah melalui jalan tak beraspal yang lumayan jauh, ketemulah SMP 2 Singkohor. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.30-an. Sementara kami menikmati tari Ranup Lampuan yang dibawakan tujuh siswa putri, sebuah tari-tarian untuk menyambut tamu atau menyambut pengantin, peserta SM-3T yang menunggu kami di SMA 1 menghubungi kami dan menyampaikan kami sudah ditunggu dari pukul 11.00. Tapi hidangan makan siang, berupa lontong sate dan buah-buahan segar sudah disiapkan, tidak mungkin kami abaikan. Maka sekali lagi, kami disuguhi tari-tarian selama kami menikmati hidangan makan siang. Pengisian instrumen monev selesai, pengumpulan tulisan dan buku harian selesai, maka kami segera pamit untuk meluncur ke SMA 1 Singkohor.

Kami sampai di SMA 1 Singkohor pada pukul 14.30. Sekolah sudah sepi, tapi kepala sekolah dan para peserta SM-3T masih setia menunggu kami. Kami berdialog dalam waktu cukup lama di sebuah ruang yang dilengkapi dengan hidangan makan siang dan kue-kue. Siang itu banyak hal yang terungkap. Dialog interaktif antara para peserta, kasek SMA 1 Singkohor dan SMA 2 Singkohor, perwakilan dari disdik, dan tim monev SM-3T berjalan dengan sangat bermakna. Tak terasa dua jam sudah kami di situ. Sekitar pukul 16.30, kami mohon pamit. Masih ada tempat yang harus kami datangi, yaitu Danau Paris. Jaraknya dua jam dari Singkohor. Maka waktu yang kami perlukan untuk kembali ke hotel masih empat jam. Tubuh yang mulai lelah tidak terlalu kami hiraukan karena mengunjungi anak-anak kami di Danau Paris adalah hutang yang harus kami tuntaskan. Meski tidak bisa bertemu mereka di sekolah karena waktunya jelas tidak memungkinkan, setidaknya kami bisa mengunjungi tempat tinggal mereka, berbincang dengan mereka tentang berbagai persoalan yang mereka temui di lapangan dan mendengar harapan-harapan mereka. 

Sepanjang perjalanan sejak pagi tadi, tidak seperti di Sumba Timur dan Talaud, kami banyak menemukan perkampungan. Meski hutan-hutan sawit, bukit dan lembah sangat mendominasi, Aceh Singkil bukanlah tempat yang sangat tertinggal. Sekolah-sekolah juga relatif lebih maju dibanding dengan sekolah-sekolah di Sumba Timur. Kelas-kelasnya juga kelas-kelas yang tidak terlalu kecil, berkisar 20-40 siswa per kelas.  Jumlah guru PNS di sekolah-sekolah juga lebih banyak meskipun memang belum memadai, baik dari jumlah maupun mutu. Di SMA 1, contohnya, dengan delapan kelas pararel, jumlah guru PNS ada empat belas orang, dan guru honorer ada lima orang. Di antara guru-guru tersebut, tidak ada satu pun yang memiliki latar belakang pendidikan bidang sejarah dan geografi. Maka terjadilah, seperti yang diistilahkan oleh kepala sekolah, jeruk makan jeruk. Lulusan SMA mengajar SMA. Tidak ada rotan, akar pun jadi. Kepala sekolah sendiri, pak Syafri, adalah lulusan diploma. Menurut pak Dasir, memang ada sekitar 30 persen guru yang belum memenuhi kualifikasi S1/D4. 

Untuk masalah makanan, ketersediaan, aksesibilitas dan konsumsi masyarakat juga jauh lebih baik daripada di Sumba Timur. Setiap kita ke sekolah, selalu menemukan hidangan yang lumayan enak dan lengkap, dengan standar rasa dan penyajian yang tidak jauh berbeda dengan di Jawa. Memang ada yang agak sulit didapatkan, misalnya di Kuala Baru, yaitu tahu dan tempe. Kalau pun ada, bahan makanan ini harganya sangat mahal, bisa lima enam kali dengan harga di Surabaya. 

Tapi hari ini kami baru melihat keadaan di daerah daratan. Besok, bila segala sesuatunya memungkinkan, kami akan mengunjungi wilayah pulau, yaitu Pulau Banyak. Sesuai dengan namanya, mungkin akan lebih banyak yang kami bisa ceritakan.  

Aceh Singkil, 31 Januari 2013

Wassalam,
LN

2 komentar

Anonim

mantappp

Alaika Abdullah 12 September 2014 pukul 17.54

Saya mencari informasi tentang hotel di aceh singkil, dan oleh si mbah googklle saya direfer kemari. :) salam kenal, kak, trims infonya.

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...