Pages

Minggu, 27 Januari 2013

Gagal Pulang Kampung

Minggu pagi ini saya dan mas Ayik berencana mengunjungi ibu di kampung halaman, di desa Jenu, Tuban. Sebenarnya rencana itu sudah sejak kemarin sore, tetapi tidak jadi. Ketika saya ber-sms dengan ibu kemarin pagi, ternyata beliau malah sedang di perjalanan menuju Surabaya, mengikuti rombongan ziarah wali se-Jawa Timur. Maka kami putuskan untuk besok paginya saja, yaitu hari ini, untuk berangkat ke Tuban.

Saya memasak dengan cepat untuk Arga yang sudah 'sambat' lapar. Tempe goreng, ayam bacem, dan pecel sayuran. Mas Ayik membersihkan mobil dan ngecek air aki. Selesai semua, saya mandi, bersiap-siap. Tiba-tiba seorang tetangga mengabarkan, ada tetangga kami yang meninggal. Kabar itu hampir bersamaan dengan kabar duka berpulangnya bapak Widodo, mantan PR 2 Unesa. Saya pun jadi ragu, jadi pulkam tidak ya? 

Saya menelepon ibu. Menanyakan kabarnya, jam berapa tadi malam beliau rawuh dari ziarah wali, sayah apa tidak, dan apa ada acara hari ini. Ternyata ibu ada acara pengajian, ba'da dhuhur. Ya sudah. Mungkin memang belum waktunya pulang kampung mengunjungi ibu. Kalau kami tetap berangkat pun, bisa jadi tidak bertemu ibu, karena ibu sendiri sedang padat acaranya. 

Jadilah kami gagal pulkam. Ada hikmahnya juga. Selain bisa memanfaatkan waktu untuk takziyah, kami juga bisa mengunjungi teman-teman, bersilaturahim. Maka beberapa teman berhasil kami datangi rumahnya hari ini. Ada dua teman SMP dan SMA saya, yang tinggalnya di jalan Gundih, dekat PGS (Pasar Grosir Surabaya), yang memang sejak lama ingin kami kunjungi. 

Sebelum silaturahim ke teman-teman, kami juga menyempatkan mampir di Kampoeng Ilmu di jalan Semarang. Saya berburu majalah Anita Cemerlang, yang di dalam majalah kumpulan cerpen itu ada tulisan Lutfi AZ. Beberapa waktu yang lalu saya menemukan empat buah, di Kampoeng Ilmu ini juga. Hanya empat buah. Padahal yang saya cari mungkin belasan atau bahkan puluhan. Saya memang telah bertindak ceroboh. Tidak mendokumentasikan majalah-majalah yang telah memuat tulisan-tulisan saya itu. Ada cerpen, ada laporan perjalanan dalam bentuk feature. Saat ini, setelah beberapa puluh tahun kemudian (saya menulis di Anita Cemerlang sejak 1982-1989), saya mencoba mengumpulkannya lagi. Selain dari Kampoeng Ilmu, beberapa saya peroleh dari kolektor di Yogya dan Banjarmasin. Dengan harga yang relatif mahal. Dua puluh ribuan per majalah. Padahal di Kampoeng Ilmu cuma lima ribuan. 

Saya dan mas Ayik juga melihat-lihat buku-buku yang lain. Buku-buku baru seperti Ainun dan Habibie, 5 cm, Chairul Tanjung si Anak Singkong, Sepatu Dahlan, Ganti Hati, dan puluhan buku baru yang lain. Buku baru apa pun. Juga buku-buku sastra keluaran Balai Pustaka: Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layang Terkembang dan banyak lagi. Juga novel-novel terjemahan. Kalau mau melanggar undang-undang hak cipta, monggo, silahkan borong semua buku itu. Buku dengan kertas dan cetakan yang kualitasnya jauh di bawah buku aslinya. Juga, tentu saja, harganya. Ya, buku-buku tembakan.    

Selepas dari Kampoeng Ilmu dan silaturahim ke teman-teman, saya ber-BBM dengan adik kami, Rini. Rini adalah istri Dedi, adik bungsu mas Ayik. Dia bersama anak semata wayangnya, yang saat ini sudah berusia lima tahun, tinggal di rumahnya di perumahan Permata Gedangan, Sidoarjo. Dedi sendiri saat ini sedang bertugas di Laos. Ichiro dilahirkan sebagai anak berkebutuhan khusus, yakni down syndrom (DS) atau biasa disebut mongoloid. Meski DS, Ichiro tergolong anak yang cerdas, lincah dan lucu menyenangkan. Ichi berarti satu, ro adalah sebutan untuk anak laki-laki. Waktu Ichiro masih di dalam perut ibunya, Dedi saat itu sedang bertugas di Jepang. Senseinya, namanya Ichiro Yamaguchi, adalah sosok yang sangat dikagumi Dedi karena kebaikannya. Oleh sebab itu, atas seizin beliau, Dedi menggunakan nama Ichiro, nama depan senseinya, untuk anak laki-laki pertamanya. Sampai saat ini, setiap Ichiro berulang tahun, Ichiro Yamaguchi selalu mengirim message 'selamat ultah dari papa di Jepang'.

Kami mengajak Rini dan Ichiro berburu bandeng bakar di tempat pemancingan di desa Kalanganyar, Sedati. Awalnya Rini tidak mau karena dia sedang menggoreng kentang, bahan untuk membuat kering kentang. Dua minggu lagi Dedi cuti, minggu berikutnya kembali ke Laos. Kering kentang, kering tempe, balado ikan teri, menjadi bawaan wajib bagi Dedi kalau dia kembali ke Laos. Terbatasnya pilihan menu halal di tempatnya bekerja membuat Dedi memilih membawa sendiri lauk-pauk dari Tanah Air. 

Meski hari sudah menjelang sore, lewat pukul 15.00, tempat pemancingan bandeng masih ramai.  Tempat yang sepanjang kanan-kiri jalannya adalah tambak, umumnya tambak bandeng. Di sisi kanan, di situlah menghampar kolam pemacingan, tepatnya tambak pemancingan. Lengkap dengan tenda-tenda semi permanen tempat para pemancing menghabiskan waktunya. Di sepanjang kiri jalan, para tukang masak sedang membakar bandeng-bandeng pesanan para pemancing. Asap mengepul-ngepul menyebarkan aroma gurih bandeng bakar. Di sela-sela tukang bakar itu adalah para ibu yang sedang melakukan aktivitas mencabuti duri bandeng. Bandeng, sebagaimana yang kita ketahui, adalah jenis ikan yang duri lembutnya sangat banyak. Orang seringkali malas mengonsumsi bandeng yang sebenarnya rasanya sangat gurih itu karena malas berurusan dengan duri-durinya. Maka ibu-ibu yang menawarkan jasa cabut duri bandeng sangat membantu mengatasi persoalan tersebut. Seekor bandeng dihargai dua ribu rupiah untuk menghilangkan duri-durinya. Bebas dari duri. Mau dibakar, digoreng, dipepes, bandeng bisa dimakan dengan nikmat tanpa khawatir tertelan durinya yang lembut tapi jahat itu.

Tapi entah kenapa, mungkin karena kondisi habis hujan, tempat pemancingan itu terkesan becek di mana-mana, dan belum-belum sudah membuat selera makan kami hilang. Bau anyir dan kepulan asap dari pembakaran bandeng menghasilkan aroma yang mulek meski di alam terbuka. Kami batal makan di tempat itu, dan memilih keluar dari area pemancingan.

Kami lantas menuju ke TPI Banjarkemuning yang letaknya tidak jauh dari tempat pemancingan tersebut. Saya dan teman-teman jurusan PKK sering ke tempat ini. Membeli kepiting telur, dan memasakkan ke jasa pengolahan kepiting di warung yang ada di tempat itu juga, dengan masakan asam manis atau lada hitam. Bandeng, gurami, nila, kakap, cumi-cumi, udang, bahkan lobster juga tersedia, dan bisa diolah sesuai keinginan kita. Sore itu kami memesan dua bandeng bakar dan sekilo kepiting masak lada hitam untuk kami nikmati dengan nasi putih dan teh manis.

Senja mulai turun ketika kami keluar dari warung pasar ikan 'Pak Budi', nama warung tempat kami makan itu. Sekilo kepiting masak lada hitam saya tenteng menuju mobil. Jatah untuk Arga. Anak lanang kami itu sedang tidur di rumah, kecapekan setelah tadi malam manggung di Imperial Ballroom. Ichiro di gendongan mas Ayik, dan Rini membawa sebungkus nasi putih serta beberapa potong kepiting masak lada hitam, juga menuju mobil. Kami pulang dengan perut kenyang.

Meski gagal pulkam, hari ini kami dapat banyak. Silaturahim, buku-buku, bandeng bakar dan kepiting lada hitam. Insyaalah menjadi tambahan nutrisi bagi jasmani dan rohani kami. Amin.

Banjarkemuning, 27 Januari 2013

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...