Sayang sekali saya tidak terlalu tertib mengumpulkan tulisan-tulisan saya. Sebenarnya sudah pernah saya kumpulkan tulisan-tulisan itu, saya masukkan ke dalam kotak-kotak karton khusus, tapi terus ke mana karton-karton itu, saya tidak berhasil melacaknya. Maklum, ketika SMA, saya sempat dua kali pindah tempat kos, begitu juga ketika mahasiswa. Saya khawatir jangan-jangan karton-karton itu 'katut dirombeng'. Hehe.
Andaikata waktu itu saya sudah punya komputer atau laptop (boro-boro.....), mungkin tulisan-tulisan itu bisa saya dokumentasikan dengan baik. Tapi jangankan komputer. Mesin tik manual saja musti 'memaksa' minta dibelikan ke bapak ibu. Kertas juga pakai kertas buram, itu pun harus menghabiskan berbotol-botol tipp-ex. Haha...geli juga kalau mengingat masa-masa itu....
Saya pernah bercita-cita jadi wartawan. Ketika saya kuliah di Prodi Tata Boga, saya merasa telah salah masuk program, dan saya terlalu banyak kelebihan energi. Maka saya mulai mencari informasi ke AWS (Akademi Wartawan Surabaya), siapa tahu saya bisa 'nyambi' kuliah di sana. Ya, ternyata bisa. Untuk waktu dan energinya. Tapi untuk duitnya....tunggu dulu. Kuliah di prodi Tata Boga saja rasanya sudah sangat berat. Kalau hanya membayar kos dan uang makan saja tidak terlalu repot. Tapi biaya praktek, job training, gelar-gelar, PPL, dan juga.....untuk kegiatan di Himapala dan lain-lain. Wah, saya tidak tega untuk meminta lagi pada bapak ibu agar menambah jatah bulanan saya dengan mengambil kuliah di AWS. Dua kakak laki-laki saya masih kuliah juga. Membiayai tiga anak kuliah dan tiga anak sekolah, tentu bukanlah beban yang ringan. Bapak 'hanya' seorang guru di M.Ts.N, dan ibu 'hanya' guru honorer, yang 'nyambi-nyambi' jualan krupuk, kacang, dan emping.
Maka saya berusaha melupakan AWS. Saya menghibur diri dengan terus menulis dan berpetualang. Saya sangat menyukai aktivitas outdoor, dan Himapala menjadi pilihan saya untuk menyalurkan kelebihan energi saya. Di situlah saya banyak kenal dengan orang-orang yang akhirnya memberi warna dalam hidup saya, dan terus menjadi sahabat saya sampai detik ini. Pratiwi Rednaningdyah dan Rukin Firda adalah dua di antaranya. Bahkan saya menemukan pendamping hidup saya. Ya, Baskoro Adjie. Mas Ayik. Senior yang dua tahun di atas saya itu saya 'temukan' di 'belantara' Himapala dan di Senat Fakultas. Peribahasa 'tresno jalaran soko ngglibet' itu benar-benar terjadi dalam hidup saya. He he....
Jalan untuk menjadi wartawan sebenarnya sempat terbuka. Menjelang lulus D3 Tata Boga dengan predikat mahasiswa pemuncak (karena IP tertinggi), saya didekati oleh salah seorang wartawan Surya. Harian Surya waktu itu belum lama terbit, dan saya diminta untuk menjadi kontributor tetap di kolom boga yang terbit setiap hari Minggu. Wah, senang sekali saya. Saya sudah sempat beberapa kali keluar-masuk markas Surya untuk setor naskah dan ambil honor. Namun ternyata....panggilan jadi dosen itu lebih kuat menarik saya. Saat itu saya diminta untuk menjadi koasisten di beberapa mata kuliah, yang kebanyakan adalah mata kuliah praktek, antara lain Patiserie, Dasar Boga, dan Hidangan Oriental. Sibuknya bukan main, saya sampai seperti kekurangan waktu. Maka dengan sangat berat hati, Surya saya lepaskan. Hidup memang harus memilih.
Nah, sekarang kembali ke soal menulis.
Belum terlalu lama, mungkin sekitar pertengahan 2010, saya bergabung di mailing list (milis) keluarga unesa. Di situlah saya mengenal orang-orang hebat yang kemudian menjadi rabuk yang menyuburkan kembali kegemaran saya menulis. Benar-benar sebuah berkah.
Betapa tidak. Mereka, Sirikit Syah, Eko Prasetyo, Satria Darma, Habe Arifin, hanyalah beberapa nama yang begitu mampu menggelorakan semangat saya untuk kembali menulis. Menulis sesuatu yang sudah sangat lama tidak saya lakukan. Menulis cerpen, puisi, dan laporan perjalanan atau kegiatan dalam bentuk feature. Bukan sekedar menulis proposal dan artikel ilmiah seperti yang telah bertahun-tahun belakangan ini musti saya geluti. Juga Achmad Wahju, M. Ihsan, M. Khoiri, Suhartoko, Abdur Rohman, Fafi Inayatillah, Rukin Firda dan Pratiwi Rednaningdyah. Bahkan nama-nama yang 'katanya' pendatang baru dalam urusan menulis pun, Hariyani Fatawi, Lies Amin, Ida Tisrina, Samsul Hadi, Azis Hakim, begitu berarti menjaga stamina saya dalam menulis.
Saya bersyukur 'kecemplung' dalam kubangan lumpur milis keluarga Unesa ini. Saya seperti tanaman yang sudah bertahun-tahun dirundung kegersangan dan nyaris mati kekeringan, ketika itu, tiba-tiba seperti ditegakkan lagi. Disiram dengan air hujan yang terus-menerus sepanjang tahun, dan dirabuk. Saya serasa lahir kembali.
Gara-gara berteman dengan keluarga unesa inilah saya akhirnya dapat bergabung sebagai penulis dalam antologi cerpen 'Ndoro, Saya Ingin Bicara, serta 'Hope and Dream'. Saya juga akhirnya memiliki website yang 'kopen' karena jasa baik M. Ihsan dan Abdur Rohman, yang dari sana kemudian muncul buku 'Jejak-Jejak Penuh Kesan'. Saya juga beberapa kali diminta untuk memberikan endorsement pada buku-buku yang ditulis dan digawangi oleh Eko Prasetyo dan M. Basir. Ya, memberikan endorsement. Selevel saya, diminta untuk memberi endorsement. Begitu hebatnya teman-teman itu memberikan apresiasi pada 'kepakaran' saya.
Kalau selama ini saya sudah biasa menjadi penyunting jurnal dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya, maka saya mulai memberanikan diri menjadi penyunting buku-buku yang ditulis dalam bentuk feature, seperti 'Jangan Tinggalkan Kami' dan 'Setahun Hatiku untuk Sumba'. Saya telah menghasilkan beberapa buku sebelum bertemu dengan keluarga Unesa, namun pertemanan dengan mereka membuat saya berpikir untuk tidak hanya menulis buku ajar dan referensi, tapi juga buku-buku jenis lain. Maka dalam berbagai tugas saya, khususnya sebagai koordinator Program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T), dan juga Direktur Program Pendidikan Profesi Guru (PPPG), serta tugas-tugas yang lain, selain tulisan-tulisan dalam bentuk artikel 'standar' yang saya hasilkan, saya juga menuliskan hampir semua kisah perjalanan dan pengalaman saya. Menulis dan berpetualang, membuat hidup saya menjadi lebih hidup (Iklan A Mild kali.....hehe).
Apa yang sudah saya lakukan dalam urusan tulis-menulis, tentu saja bukan merupakan pencapaian yang hebat. Saya tidak termasuk orang yang dengan senang hati mengorbankan rasa kantuk hanya supaya menghasilkan sebuah tulisan. Tugas-tugas utama saya sebagai dosen dan tugas tambahan yang lain, bagaimana pun harus saya prioritaskan. Menulis hanyalah selingan yang menyenangkan. Tidak ada yang menuntut saya harus menulis kecuali diri saya sendiri. Kalau saya merasa lelah dan ingin tidur karena energi sudah tersita untuk tugas-tugas yang lain, maka saya pun tidur. Menulis? Nanti-nanti saja...
Begitulah. Saat ini, sebuah buku 'Khasanah Kuliner Tradisional Jawa Timur' sudah siap terbit. Sebuah buku lagi, rencananya berjudul 'Berbagi di Ujung Negeri', sedang dihimpun oleh Abdur Rohman, dan Rukin Firda siap menyuntingnya. Ada banyak sahabat di kanan-kiri saya yang membuat saya merasa kuat untuk terus menulis. Bersama M. Khoiri dkk, saat ini kami sedang mempersiapkan buku 'Unesa Menuju Era Indonesia Seabad Bermartabat' (pada mulanya bertema 'Unesa Menuju Era Indonesia Emas'). Buku ini, rencananya, akan menandai lahirnya 'Pusat' Literasi Unesa. Istilah 'Pusat' (dalam tanda petik), karena nama ini masih dibahas dalam rapim, dan musti disesuaikan dengan 'aturan main' berdirinya pusat di bawah payung universitas.
Apa pun, embrio Pusat Literasi Unesa itu sudah ada. Apa pun namanya nanti, itu hanya wadah. Tentu saja, wadah tetaplah penting. Tapi apalah artinya wadah, kalau isinya tidak ada?
Maka teruslah menulis, dan mari kita ucapkan: selamat datang 'Pusat' Literasi Unesa.
Tanggulangin, Akhir Agustus, 2013. 19.00 WIB.
(Bukber bersama keluarga)
Wassalam,
LN
Andaikata waktu itu saya sudah punya komputer atau laptop (boro-boro.....), mungkin tulisan-tulisan itu bisa saya dokumentasikan dengan baik. Tapi jangankan komputer. Mesin tik manual saja musti 'memaksa' minta dibelikan ke bapak ibu. Kertas juga pakai kertas buram, itu pun harus menghabiskan berbotol-botol tipp-ex. Haha...geli juga kalau mengingat masa-masa itu....
Saya pernah bercita-cita jadi wartawan. Ketika saya kuliah di Prodi Tata Boga, saya merasa telah salah masuk program, dan saya terlalu banyak kelebihan energi. Maka saya mulai mencari informasi ke AWS (Akademi Wartawan Surabaya), siapa tahu saya bisa 'nyambi' kuliah di sana. Ya, ternyata bisa. Untuk waktu dan energinya. Tapi untuk duitnya....tunggu dulu. Kuliah di prodi Tata Boga saja rasanya sudah sangat berat. Kalau hanya membayar kos dan uang makan saja tidak terlalu repot. Tapi biaya praktek, job training, gelar-gelar, PPL, dan juga.....untuk kegiatan di Himapala dan lain-lain. Wah, saya tidak tega untuk meminta lagi pada bapak ibu agar menambah jatah bulanan saya dengan mengambil kuliah di AWS. Dua kakak laki-laki saya masih kuliah juga. Membiayai tiga anak kuliah dan tiga anak sekolah, tentu bukanlah beban yang ringan. Bapak 'hanya' seorang guru di M.Ts.N, dan ibu 'hanya' guru honorer, yang 'nyambi-nyambi' jualan krupuk, kacang, dan emping.
Maka saya berusaha melupakan AWS. Saya menghibur diri dengan terus menulis dan berpetualang. Saya sangat menyukai aktivitas outdoor, dan Himapala menjadi pilihan saya untuk menyalurkan kelebihan energi saya. Di situlah saya banyak kenal dengan orang-orang yang akhirnya memberi warna dalam hidup saya, dan terus menjadi sahabat saya sampai detik ini. Pratiwi Rednaningdyah dan Rukin Firda adalah dua di antaranya. Bahkan saya menemukan pendamping hidup saya. Ya, Baskoro Adjie. Mas Ayik. Senior yang dua tahun di atas saya itu saya 'temukan' di 'belantara' Himapala dan di Senat Fakultas. Peribahasa 'tresno jalaran soko ngglibet' itu benar-benar terjadi dalam hidup saya. He he....
Jalan untuk menjadi wartawan sebenarnya sempat terbuka. Menjelang lulus D3 Tata Boga dengan predikat mahasiswa pemuncak (karena IP tertinggi), saya didekati oleh salah seorang wartawan Surya. Harian Surya waktu itu belum lama terbit, dan saya diminta untuk menjadi kontributor tetap di kolom boga yang terbit setiap hari Minggu. Wah, senang sekali saya. Saya sudah sempat beberapa kali keluar-masuk markas Surya untuk setor naskah dan ambil honor. Namun ternyata....panggilan jadi dosen itu lebih kuat menarik saya. Saat itu saya diminta untuk menjadi koasisten di beberapa mata kuliah, yang kebanyakan adalah mata kuliah praktek, antara lain Patiserie, Dasar Boga, dan Hidangan Oriental. Sibuknya bukan main, saya sampai seperti kekurangan waktu. Maka dengan sangat berat hati, Surya saya lepaskan. Hidup memang harus memilih.
Nah, sekarang kembali ke soal menulis.
Belum terlalu lama, mungkin sekitar pertengahan 2010, saya bergabung di mailing list (milis) keluarga unesa. Di situlah saya mengenal orang-orang hebat yang kemudian menjadi rabuk yang menyuburkan kembali kegemaran saya menulis. Benar-benar sebuah berkah.
Betapa tidak. Mereka, Sirikit Syah, Eko Prasetyo, Satria Darma, Habe Arifin, hanyalah beberapa nama yang begitu mampu menggelorakan semangat saya untuk kembali menulis. Menulis sesuatu yang sudah sangat lama tidak saya lakukan. Menulis cerpen, puisi, dan laporan perjalanan atau kegiatan dalam bentuk feature. Bukan sekedar menulis proposal dan artikel ilmiah seperti yang telah bertahun-tahun belakangan ini musti saya geluti. Juga Achmad Wahju, M. Ihsan, M. Khoiri, Suhartoko, Abdur Rohman, Fafi Inayatillah, Rukin Firda dan Pratiwi Rednaningdyah. Bahkan nama-nama yang 'katanya' pendatang baru dalam urusan menulis pun, Hariyani Fatawi, Lies Amin, Ida Tisrina, Samsul Hadi, Azis Hakim, begitu berarti menjaga stamina saya dalam menulis.
Saya bersyukur 'kecemplung' dalam kubangan lumpur milis keluarga Unesa ini. Saya seperti tanaman yang sudah bertahun-tahun dirundung kegersangan dan nyaris mati kekeringan, ketika itu, tiba-tiba seperti ditegakkan lagi. Disiram dengan air hujan yang terus-menerus sepanjang tahun, dan dirabuk. Saya serasa lahir kembali.
Gara-gara berteman dengan keluarga unesa inilah saya akhirnya dapat bergabung sebagai penulis dalam antologi cerpen 'Ndoro, Saya Ingin Bicara, serta 'Hope and Dream'. Saya juga akhirnya memiliki website yang 'kopen' karena jasa baik M. Ihsan dan Abdur Rohman, yang dari sana kemudian muncul buku 'Jejak-Jejak Penuh Kesan'. Saya juga beberapa kali diminta untuk memberikan endorsement pada buku-buku yang ditulis dan digawangi oleh Eko Prasetyo dan M. Basir. Ya, memberikan endorsement. Selevel saya, diminta untuk memberi endorsement. Begitu hebatnya teman-teman itu memberikan apresiasi pada 'kepakaran' saya.
Kalau selama ini saya sudah biasa menjadi penyunting jurnal dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya, maka saya mulai memberanikan diri menjadi penyunting buku-buku yang ditulis dalam bentuk feature, seperti 'Jangan Tinggalkan Kami' dan 'Setahun Hatiku untuk Sumba'. Saya telah menghasilkan beberapa buku sebelum bertemu dengan keluarga Unesa, namun pertemanan dengan mereka membuat saya berpikir untuk tidak hanya menulis buku ajar dan referensi, tapi juga buku-buku jenis lain. Maka dalam berbagai tugas saya, khususnya sebagai koordinator Program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T), dan juga Direktur Program Pendidikan Profesi Guru (PPPG), serta tugas-tugas yang lain, selain tulisan-tulisan dalam bentuk artikel 'standar' yang saya hasilkan, saya juga menuliskan hampir semua kisah perjalanan dan pengalaman saya. Menulis dan berpetualang, membuat hidup saya menjadi lebih hidup (Iklan A Mild kali.....hehe).
Apa yang sudah saya lakukan dalam urusan tulis-menulis, tentu saja bukan merupakan pencapaian yang hebat. Saya tidak termasuk orang yang dengan senang hati mengorbankan rasa kantuk hanya supaya menghasilkan sebuah tulisan. Tugas-tugas utama saya sebagai dosen dan tugas tambahan yang lain, bagaimana pun harus saya prioritaskan. Menulis hanyalah selingan yang menyenangkan. Tidak ada yang menuntut saya harus menulis kecuali diri saya sendiri. Kalau saya merasa lelah dan ingin tidur karena energi sudah tersita untuk tugas-tugas yang lain, maka saya pun tidur. Menulis? Nanti-nanti saja...
Begitulah. Saat ini, sebuah buku 'Khasanah Kuliner Tradisional Jawa Timur' sudah siap terbit. Sebuah buku lagi, rencananya berjudul 'Berbagi di Ujung Negeri', sedang dihimpun oleh Abdur Rohman, dan Rukin Firda siap menyuntingnya. Ada banyak sahabat di kanan-kiri saya yang membuat saya merasa kuat untuk terus menulis. Bersama M. Khoiri dkk, saat ini kami sedang mempersiapkan buku 'Unesa Menuju Era Indonesia Seabad Bermartabat' (pada mulanya bertema 'Unesa Menuju Era Indonesia Emas'). Buku ini, rencananya, akan menandai lahirnya 'Pusat' Literasi Unesa. Istilah 'Pusat' (dalam tanda petik), karena nama ini masih dibahas dalam rapim, dan musti disesuaikan dengan 'aturan main' berdirinya pusat di bawah payung universitas.
Apa pun, embrio Pusat Literasi Unesa itu sudah ada. Apa pun namanya nanti, itu hanya wadah. Tentu saja, wadah tetaplah penting. Tapi apalah artinya wadah, kalau isinya tidak ada?
Maka teruslah menulis, dan mari kita ucapkan: selamat datang 'Pusat' Literasi Unesa.
Tanggulangin, Akhir Agustus, 2013. 19.00 WIB.
(Bukber bersama keluarga)
Wassalam,
LN